Modernisasi pondok pesantren (studi atas pola pengembangan pendidikan modern di Pondok Pesantren Roudlotul-Qur’an Mulyojati Metro Lampung)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam tertua1 yang berusaha menanamkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam (tafaqquh fî al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.2 Penyelenggaraan lembaga pendidikan di pesantren berbentuk asrama, yang merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kyai dan dibantu beberapa orang ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah para santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan. Gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar adalah pusat kegiatan belajar mengajar sementara asrama adalah tempat tinggal para santri.3

Arus modernisasi telah menyebabkan tantangan yang dihadapi pesantren menjadi semakin besar, kompleks, dan mendesak.4 Pergeseran-pergeseran nilai di pesantren, baik nilai-nilai yang mempunyai titik singgung pada pola

1Hal ini bisa diketahui ketika terdapat pola pendidikan yang dilakukan oleh Maulana

Malik Ibrahim pada awal abad XVII di daerah Gresik Jawa Timur (tahun 1619). Sahal Makhfud, KH. MA, Nuansa Fiqih Sosial,(Yogyakarta, LKiS, 2003) h. 265

2

Dinamika Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Direktorat Kelembagaan Depag RI, 2003, hal. 8-9.

3Mastuhu,

Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,(Jakarta, INIS; 1994), h. 6

4Dalam menanggapi modernisasi umat Islam secara umum terbagi atas tiga bagian;

bagian pertama merespons secara berbalikan, yaitu sikap anti modernisme dan bahkan “anti Barat”. Sedangkan yang kedua terpengaruh oleh pola modernisasi dan beranggapan bahwa dalam konteks beragama perlu adanya pemisahan antara agama dan masalah-masalah politik ataupun permasalahan keduniawian lainnya. Dan yang ketiga lebih bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti modernisasi atau anti Barat. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren, ada yang menyikapinya dengan sikap pertama yang “anti Barat” ini biasanya didominasi oleh pesantren-pesantren salafiyah yang masih tetap ingin mempertahankan kesalafiyahannya. Sedangkan yang lain bersikap seperti kelompok ketiga yang berusaha mengambil apa yang baik dari modernisasi meskipun tidak seluruhnya. Qodri Azizy,Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 28


(15)

pembelajaran maupun manajemen pendidikan terjadi dalam skala luas. Perlu adanya kesiapan dari semua elemen pesantren untuk bisa membenahi diri menjadikan pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan modern yang sesuai dengan keadaan zamannya serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pergeseran nilai tersebut menurut Azyumardi Azra juga diakibatkan adanya ekspansi sistem pendidikan umum ataupun mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidaknya menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadaptasi isi dan metodologi pendidikan umum.5

Hal ini wajar saja karena dinamika pesantren masa depan tak dapat dipisahkan dari proses globalisasi. Sebaliknya justru eksistensi pesantren masa depan sangat ditentukan oleh kemampuannya berintegrasi secara kultural dengan sistem internasional, yang ditandai dengan tata hubungan yang semakin rasional, dinamis, dan kompetitif. Salah satu syarat untuk bisa berintegrasi dengan sistem tersebut adalah menguasai iptek, maka dibutuhkan sains yang islami. Bagaimana merumuskannya? Tampaknya ada beberapa hal yang perlu diperbaharui sebelum mengetahui lebih lanjut peluang-peluang ataupun kemungkinan-kemingkinan pesantren menjadi pusat pengembangan sains dan teknologi yang islami itu.6

Pertama, visi pesantren yang cenderung berorientasi kepada pengembangan moral/ etika harus diperbaharui dengan visi yang lebih mengacu kepada persoalan bagaimana menguasai sains dan teknologi dengan tidak mengesampingkan karakteristik utama pesantren yang berupaya menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada para santri/ siswanya. Dengan kata lain, pesantren harus bisa melahirkan pandangan bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah paradigma bagi pengembangan iptek untuk pegangan dan pedoman kehidupan masyarakat mutakhir, yaitu masyarakat sains dan teknologi yang bermoral.

5Ahmad Susilo, MSi,

Strategi Adaptasi Pondok Pesantren(Jakarta, Kucica, 2003), h. 2

6

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999) , h. 277-280


(16)

Kedua, adanya dikotomi antara ilmu agama dan umum,7untuk konteks sekarang tidak relevan lagi. Sebaliknya pesantren harus memperkenalkan bahasa sains dan teknologi kepada para santri dengan lebih memfokuskan kurikulumnya kepada mata pelajaran : kimia, matematika, dan fisika, tentu saja dengan porsi yang seimbang dengan pelajaran agama.

Ketiga, pesantren harus tetap konsisten pada pandangan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Melalui ijtihad inilah apresiasi terhadap agama dilakukan penafsiran di balik ungkapan linguistiknya tidak hanya terpaku pada pemaknaan apa yang tersurat. Pesantren diharapkan mampu membangun bahkan menjadi pelopor terciptanya tradisi ilmiah umat Islam. Dalam upaya mengembangkan tradisi ilmiah inilah, pesantren memiliki agenda yang sangat krusial: pembentukan konsorsium ilmu-ilmu keislaman dan pencarian metodologi pemahaman Islam. Ilmu-ilmu keislaman klasik seperti Ilmu Kalam, Syariah, dan Tasawuf yang sedemikian bakunya sehingga tidak ada penambahan dan pengayaan materi. Pesantren tidak lagi didominasi oleh pendekatan normatif yang kurang berwawasan empiris-historis dan kritis-historis dalam memahami berbagai aspek ajaran Islam. Pandangan dunia pesantren cenderung

7Terkait dengan ketertinggalan pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin Ag.

dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Jika melihat pendapat Muhaimin ini, maka akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yanga sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomik. Adanya simtom dikotomik inilah yang menurut Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, serta fakir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu kurang berkembnagnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah). Susanto, MA. Modernisasi Pendidikan Islam, Artikel disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema Menggagas Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta, 3 April 2008


(17)

mengajarkan doktrin yang bersifat fiqh-sufistik dan mistikal8yang membawa para santrinya berperilaku sakral dalam kehidupan sehari-hari harus diubah dengan pandangan dunia yang lebih rasional, progresif, dan menekankan transformasi sosial. Jika demikian, maka akan lahir sikap kritis baik terhadap penafsiran keagamaan maupun prilaku sosial-politik dan negara.

Keempat, pesantren disuplai oleh beberapa kalangan, baik ulama, ilmuwan, maupun cendekiawan. Visi pesantren masa depan sangat ditentukan oleh ulur tangan mereka. Keterlibatan mereka menjadi indikator bahwa pesantren mampu menjelma menjadi suatu institusi yang modern dan profesional.

Sudah menjadi kesadaran umum di kalangan ulama’ pembaharu9bahwa kata kunci untuk memajukan umat Islam adalah melalui jalur pendidikan, hanya saja sistem pendidikan yang selama ini berlangsung dirasa kurang signifikan

8

Hal ini dapat ditemukan pada tradisi yang melekat pada dunia pesantren, adanya kegiatan-kegiatan ritual yang mengindikasikan pengaruh-pengaruh mistis, menurut Jalaluddin Rahmat hal ini disebabkan karena umumnya Kyai pada sebuah pesantren juga mengajarkan ilmutarîqat yang ternyata silsilah gurutarîqat tersebut pada urutan di bawah Rasulullah adalah Ali bin Abi Talib dan tujuh imam-imam Syi’ah. Maka menurutnya terdapat ritual-ritual masyarakat Islam Indonesia yang sama dengan apa yang sering dilakukan orang-orang Syi’ah. Seperti bacaan-bacaan shalawat khas Syi’ah, tradisi membaca al-barzanji, wirid-wirid tertentu yang menyebut lima ahlu bait, tradisi ziarah kubur, bahkan pada sebagian masyarakat muslim Jawa terdapat kebiasaan mengsakralkan bulan ‘asyura (muharram) karena pada bulan tersebut pernah terjadi peristiwa berdarah di bukit Karbala yaitu meninggalnya Hasan bin Ali bin Abi Talib.lihat Jalaluddin Rakhmat, Suara Ukhuwah Kang Jalal: “Dikotomi Sunni-Syi’ah tidak Relevan Lagi”dalam Dedy Djamaluddin Malik (ed) Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikiran dan Aksi Politik, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), cet ke-1, h.294

9Para ulama’ pada umumnya menyadari akan kemunduran Islam karena lemahnya

semangat menuntut ilmu di kalangan umat Islam tidak seperti pada masa kebangkitan Islam, pandangan tersebut merupakan suatu keharusan seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Soorkati, Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Rasyid Ridha. Nikkie R. Keddie, “Sayyid Jamaluddin Al-Afghani”, dalam Ali Rahnema (ed) Para perintis Jalan Baru Islam,Ilyas Hassan (terj) (Bandung: Mizan, 1995), h. 19-20 Terlebih lagi ketika gerakan pembaharuan atau modernisasi di Timur Tengah memberikan nilai tersendiri bagi perkembangan umat Islam di Tanah Air. Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin Al-Afghani yang mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah dimodernisasikan. Gerakan ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kebangkitan Islam di Indonesia. Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 257-258


(18)

bagi terwujudnya kemajuan umat Islam, karena sistemnya tidak mendukung, baik dari segi kelembagaan, metode dan sistem pengajaran, maupun dari segi tujuan dan kurikulumnya. Pada umumnya aspek-aspek tersebut mengikuti tradisi yang sudah ada, yaitu diselenggarakan secara tradisional kurang ada inisiatif untuk mengupayakan bagaimana agar lebih maju dan berkembang. Dengan demikian, maka yang menjadi poin pertama bagi ulama pembaharu adalah melakukan pembaharuan sistem pendidikan.

Mengenai pembaharuan pendidikan (atau lebih tepatnya modernisasi pendidikan) menurut Azyumardi Azra bahwa gagasan modernisme Islam yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern.10 Titik tolak modernisme pendidikan Islam adalah dikelolanya sistem kelembagaan pendidikan modern, bukannya sistem dan lembaga pendidikan tradisional. Menurut pendapatnya bahwa eksperimentasi bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri. Sistem pendidikan pesantren dan surau yang merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous (tradisional) dimodernisasikan misalnya dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik, metode pengajaran dan sebagainya.11

Reaksi pesantren untuk melakukan perubahan dan pembaharuan sepanjang sejarahnya menunjukkan realitas yang beragam sejalan dengan kebijakan bidang pendidikan yang dilakukan oleh para penguasa negeri ini. Namun yang pasti, pesantren menunjukkan vitalitasnya yang tinggi untuk tetap bertahan dan melanjutkan kiprahnya bagi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia. Pembaharuan politik nasional di masa orde baru telah memberikan

10Azyumardi Azra,

Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), h.90

11


(19)

pengaruh terhadap perubahan-perubahan corak pendidikan pesantren. Adanya sistem persekolahan yang populer di masyarakat nyaris menyudutkan pesantren. Namun pola pendidikannya yang diperbaharui di lembaga-lembaga pesantren, menunjukkan bahwa realisasinya terhadap kelemahan sistem persekolahan memberikan implikasi semakin kokohnya keberadaan pesantren.12

Upaya pembaharuan tersebut boleh jadi berawal dari upaya membangun paradigma baru pendidikan Islam yang merupakan landasan bagi kelangsungannya. Paradigma baru dimaksud adalah upaya untuk mengevaluasi dan menata ulang dengan menganut azas al-muhâfazah ‘ala al-qadîm al-sâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-aslah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan dan memilih pola baru yang lebih baik).13

Berkaitan dengan pembaharuan pondok pesantren tersebut, maka Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang terletak di desa Mulyojati Kecamatan Metro Barat merupakan contoh dari pondok pesantren yang sedang menjalankan proses modernisasi. Ada beberapa faktor yang meyebabkannya antara lain: secara

12Ivan A Hadar,

Pengaruh Politik Pendidikan Pesantren, Makalah Seminar, Pesantren dalam Perspektif Pengembangan Ilmu dan Masyarakat.(Jakarta : 1985), h.8

13Pembangunan paradigma baru sebagai landasan bangunan pendidikan Islam

setidaknya mencakup empat landasan penting:pertama)landasan profetik; landasan ini mengacu pada upaya memperlakukan Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasulullah yang diutus oleh Allah SWT. dengan menjadi suri tauladan yang paling ideal. Karena di samping beliau menyampaikan wahyu, beliau pulalah yang menjadi pusat telaah interpretasi, kedua) Landasan Keilmuan; landasan ini memberi pengertian bagi upaya penelaahan suatu kajian ilmu dengan mempergunakan disiplin ilmu yang sesuai dengan obyek kajian, sehingga umat Islam tidak lagi membedakan antara ilmu dunia dengan ilmu akhirat, tetapi bagaimana umat Islam mampu menguasai keduanya tanpa harus menganggap ilmu yang satu lebih utama dari yang lainnya, ketiga) Landasan Moral; landasan ini mempunyai titik singgung dengan social justice, yaitu pendidikan yang mempertimbangkan perilaku pribadi dengan lingkungan sosial yang melingkupinya,keempat) Rekonstruksi Paradigma Keilmuan; merupakan upaya merekonstruksi paradigm keilmuan yang lebih komprehensif, mencakup yang mendorong berkembangnya scientific curiosity sampai memuarakan pada jiwa mutmainnah, paradigma keilmuan technological high weighted dan paradigm spiritual high weighted yang kesemuanya diberdayakan untuk mencapai kebahagiaan material dan spiritual dunia dan akhirat. Baca, Noeng Muhajir,Filsafat Penddikan Multikultural Pendekatan Postmodern (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2004), h. 15-18


(20)

geografis Desa Mulyojati merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Metro Barat Kota Metro dan merupakan sebuah desa yang menjadi wilayah penyangga Kota Metro.

Sebelum didirikannya lembaga pendidikan Roudlotul Qur’an ini sebenarnya di desa tersebut telah ada lembaga pendidikan yang lain yakni Pondok Pesantren Darul A’mal. Bahkan Pendiri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dahulunya merupakan tenaga pengajar/ ustadz di pondok Darul A’mal. Akan tetapi corak pendidikan yang dilakukan bersifat semiformal pondok ini mengadakan pendidikan tradisional dan juga formal yang menginduk ke Departemen Agama, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), meskipun pada tahun ajaran 2007-2008 membuka program pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).14

Berbeda dengan Pondok Pesantren Darul A’mal pada awal pendiriannya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang memilih berkonsentrasi terhadap al-Qur’an dan segala keilmuan yang mempunyai keterkaitan dengannya. Dalam hal ini Pondok Pesantren lebih mengedepankan pendidikan seni baca al-Qur’an (Tilâwat al-Qur’an), hafalan al-Qur’an (Tahfîz al Qur’an). Pendirinya (Drs. KH. Ali Qomaruddin) merupakan alumni Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta dan semasa beliau menjadi Mahasiswa pernah menjadi duta Negara Indonesia pada perlombaan Tilâwat al-Qur’an Tingkat Internasional di Mesir dan menjadi juara kedua.15

Pada perkembangan selanjutnya, ide untuk lebih mengembangkan program pendidikan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an muncul, karena santri yang mondok tidak kesemuanya menginginkan memperoleh keilmuan

14Untuk tahap awal SMK membuka jurusan Komputer Terpadu dan mendapat status

terdaftar dari Kantor Pendidikan Nasional Kota Metro, Muhammad Amin HS, S.PdI (Kepala Tata Usaha SMK Darul A’mal),Wawancara tanggal 22 Maret 2008

15


(21)

yang diajarkan selama ini. Di samping itu inovasi pendidikan pondok pesantren menuntut adanya pengayaan materi kurikulum, apabila ingin tetap eksis dalam mengelola pendidikan agama Islam. Sehingga jajaran pengurus yayasan dan pemimpin pondok pesantren berupaya mencari model yang cocok untuk diterapkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dengan mempertimbangkan animo masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam saat itu.16

Kota Metro sebagai sebuah Kota, yang berumur sekitar enam tahun (sebelumnya Metro merupakan Ibukota Kabupaten Lampung Tengah) dan baru terjadi satu kali pergantian Wali Kota, tengah berupaya menjadi Kota Pelajar di Propinsi Lampung. Pada saat ini Kota Metro telah mempunyai delapan Perguruan Tinggi Negeri mupun swasta17sedangkan untuk tingkat Madrasah Aliyah.18 Untuk Madrasah Tsanawiyah di Kota Metro19Sedangkan Pondok

16

Fakta tersebut meruntuhkan sebagian pandangan bahwa pesantren hanya berorientasi kepada taqdîs al-afkâr al-dîn.Menariknya berkah dari adanya ruang kebebasan berfikir yang dibangun pesantren melahirkan pelopor pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Seperti Nurcholis Madjid (cak nur), Abdurrahman Wahid (gus dur), dan lain-lain. Fakta ini agaknya dapat dicatat sebagai babak baru dalam lembaran sejarah pemikiran Islam Indonesia. Padahal tegas Greg Barton, sepanjang 25 tahun terakhir, kebangkitan Islam Indonesia bukan sebagai gerakan pemikiran yang main-main, namun tampak terlihat kebangkitan pemikiran Islam yang signifikan, penuh vitalitas, bermutu, dan tidak bisa disejajarkan dengan negara berpenduduk mayoritas muslim lain di belahan dunia. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 1. Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalamMerambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Islam Indonesia Masa Orde Baru (1986), M. Syafi’i Anwar dalamPemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru(1995), Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim dalam Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik(1998)

17Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Jurai Siwo, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah

(STIT) Agus Salim, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ma’arif, Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Metro, Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Metro, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Darma Wacana, Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Budi Luhur di samping itu Institut Agama Islam Negeri Bandar Lampung membuka program Pascasarjana di Kota Metro. (Dokumentasi Pemerintah Kota Metro tahun 2008)

18Madrasah aliyah Negeri (MAN) II, Madrasah Aliyah Khusnul Khotimah, Madrasah

Aliyah Darul A’mal, Madrasah Aliyah Muhammadiyah, Madrasah Aliyah Tuma’ninah Yasin, Madrasah Aliyah Al-Muhsin (Dokumentasi MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Metro tahun 2007)


(22)

Pesantren yang ada di Kota Metro selain Roudlotul Qur’an juga terdapat pondok-pondok pesantren lain. Pondok Pesantren Darul A’mal, Pondok Pesantren Al-Muhsin, Pondok Pesantren Mamba’ul ’Ulum, Pondok Pesantren Luhur Muhammadiyah, Pondok Pesantren Wahdatul Ummah, Pondok Pesantren Tuma’ninah Yasin, dan Pondok Pesantren Roudlotuththolibin.20

Akan tetapi dari kesemua lembaga pendidikan pesantren tersebut belum ada yang menerapkan kurikulum yang secara terintegrasi dengan kegiatan asrama. Pada umumnya siswa belajar di sekolah siang hari dan mengikuti kegiatan diniyah di malam atau sore harinya,21materi yang disajikan pun kendati ada kesamaan antara sekolah pagi yang formal dengan kegiatan asrama yang non formal namun tidak ada hubungan yang sinergis, sehingga dapat dipastikan hal ini akan berdampak pada kekurangmampuan siswa/ santri menangkap materi keilmuan karena dirasakan sangat banyak yang perlu dipelajari,22meskipun pada

19Madrasah Tsanawiyah Negeri, Madrasah Tsanawiyah Darul A’mal, Madrasah

Tsanawiyah Muhammadiyah, Madrasah Tsanawiyah Mamba ul ’Ulum, Madrasah Tsanawiyah Tuma’ninah Yasin (Dokumentasi MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Metro tahun 2007)

20Kota Metro yang hanya terdiri atas lima kecamatan yang berupaya untuk mewujudkan

dirinya sebagai Kota Pendidikan merupakan salah satu strategi untuk menggiatkan aktivitas sosial ekonomi masyarakat dengan kebijakan mendukung berdirinya lembaga-lembaga pendidikan baik umum maupun agama disertai dengan dibangunnya asrama pelajar oleh Pemerintah Kota Metro di Kecamatan Metro Timur. Menariknya asrama pelajar ini memang dipersiapkan untuk para pelajar yang berasal dari luar Kota Metro. Dengan kebijakan ini tentunya akan dapat menambah pendapatan masyarakat pada sektor jasa. Saifurrizal SPd (Kepala Asrama Pelajar Kota Metro),Wawancara, tanggal 23 April 2008)

21Seperti di Pesantren Darul A’mal dan Roudlotuttolibin yang keduanya merupakan

pesantren yang memiliki lembaga pendidikan Madrasah Aliyah (belajar siang hari) dan juga memiliki lembaga pendidikan Madrasah Diniyah (belajar malam hari) akan tetapi antara lembaga tersebut berdiri sendiri, sehingga pelajaran yang diajarkan siang hari (Madrasah Formal) akan terulangi pada materi pelajaran di malam hari (Madrsah Diniyah) missal pada pelajaran Nahwu, Sharaf, fiqih, dan tauhid. Muhammad Syarif (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal), Wawancara,tanggal 30 April 2008

22 Banyaknya jenis materi yang disampaikan ini dapat dilihat dari untuk materi

pelajaran di sekolah formal saja sudah mencapai 25 materi pelajaran kurikuler maupun nonkurikuler dan ditambah lagi dengan materi pelajaran diniyah yang berjumlah 9 mata pelajaran. Ahmad Taslim (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal), Wawancara, tanggal 1 Mei 2008


(23)

hakikatnya terdapat beberapa mata pelajaran yang terjadi pengulangan penyampaian.23

Berawal dari kenyataan tersebut, maka pihak Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya mencari model pendidikan yang tepat yang sekiranya dapat mempercepat para santri untuk lebih menguasai berbagai cabang keilmuan tanpa harus menggunakan waktu yang lebih banyak. Hal ini dimaksudkan agar nantinya out put pesantren ini telah siap terjun ke masyarakat menjadi motor penggerak kemajuan umat Islam. Dengan kesepakatan berbagai pihak dipilihlah sistem Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah (TMI) untuk diterapkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Mengenai Lembaga Pendidikan sistem TMI yang dijadikan sebagai kiblat adalah Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura Jawa Timur.24 Keseriusan dalam mengadopsi sistem ini tercermin pula dari sowan yang dilakukan pihak Yayasan Roudlotul Qur’an ke Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien KH. Muhammad Idris Jauhari pada bulan Oktober 2003. atas izin beliau maka pada tahun ajaran 2004/ 2005 secara resmi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an membuka program Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah .25

23 Pengulangan penyampaian ini terjadi ketika sebuah pesantren memiliki dua lembaga

pendidikan yang tidak terintegrasi secara kurikulum, misal jika sebuah pesantren memiliki lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah yang di dalamnya terdapat materi Bahasa Arab. Sementara pesantren juga mempunyai lembaga pendidikan Madrasah Diniyah yang tentu saja dalam kurikulumnya terdapat mata pelajaranNahwu.Hal ini setidaknya yang terjadi di Pondok Pesantren Darul A’mal yang lokasinya berdekatan dengan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Dokumentasi Lembaga Pendidikan Darul A’mal 2007

24 Sistem TMI yang diterapkan di sini merupakan penggabungan secara berkelanjutan

antara Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sehingga masa pendidikan berlangsung selama 6 tahun. Meskipun pada 6 tahun pertama dari 46 orang siswa yang mendaftar pada saat pertama kali dibuka, hanya 11 orang santri saja yang bisa bertahan menjadi wisudawan TMI, pada September 1978. Akan tetapi setelah 29 tahun berjalan, TMI Al-Amin telah menjadi lembaga yang mapan dan diperhitungkan. Berkisar antara 1.900 alumni TMI. menyebar dan berjuang di tengah-tengah masyarakat Islam. Departemen Agama RI. Direktori Pesantren, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, 2007), h. 374-375.

25


(24)

Ada hal-hal yang menarik dari sistem mu’alimin ini. Pertama, semua materi pelajaran disajikan dalam sebuah kelas formal yang berjenjang sesuai tingkatan kelas, dan sistem pengajarannya lebih modern dalam arti bukan sistem tradisional yang terkesan pasif karena hanya guru yang aktif murid cenderung hanya menerima tanpa ada kesempatan untuk mengkritisi. Kedua, perhatian yang lebih kepada fondasi keilmuan, materi pelajaran yang disajikan meskipun terkesan mendasar seperti kitab-kitab maraji’ (referensi) yang rendah seperti Nahwu Wadlîh26 dan yang lainnya, tapi justru itulah yang harus diperkuat. Karena semakin kuat pondasi semakin kokoh bangunan di atasnya. Ditopang dengan sistem pengajaran yang aktif-aplikatif, bahasa Arab dan Inggris menjadi bahasa keseharian. Diibaratkan belajar dengan sistem ini para pengajar berusaha memberikan kunci dan kewajiban para anak didik selanjutnya adalah membuka khazanah-khazanah pengetahuan yang ada dengan kunci yang telah ia peroleh tersebut. Lemari apapun kalau sudah dipegang kuncinya dapat dibuka. Ketiga, al-’Ulǔm al-Tanzîliyyah (ilmu-ilmu berbasis agama) disajikan secara komprehensif (menyeluruh), berbeda dengan Madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah yang ada. Keempat, sebenarnya kalau dilihat dari arti secara bahasanya, TMI berarti Pendidikan Guru Islam seakan tidak jauh berbeda dengan Pendidikan Guru Agama (PGA) tempo dulu. Hal ini dimaksudkan bahwa sistem

26Ali Jarim dan Mustofa Amin,

Nahwu Wadlîh(Jakarta: Alaydrus, t.th) Dr. Mahmud Ismailal-‘Arabiyyah li an-Nâsyi in(Beirut: Dar al-Fikr, t.th) merupakan kitab-kitab yang lazim disampaikan dalam mata pelajaranNahwu, hal ini berbeda dengan kitab-kitab yang disampaikan di pesantren-pesantren salafiyah yang biasanya mengajarkan kitab NahwusepertiJurumiyyah, al-‘Umrity, Al-Fiyah karangan ibn Malik. Perbedaan ini didasarkan bahwa untuk kitab nahwu yang diajarkan di pesantren modern titik tekannya pada kemampuan berbahasa Arab secara aktif dalam percakapan sehari-hari, sedangkan di pesantren-pesantren salaf pengajaran bahasa Arab lebih ditekankan untuk memahami struktur gramatika Arab yang dipergunakan untuk memahami kitab-kitab klasik (kitab kuning).


(25)

ini berupaya mencetak kader-kader yang memiliki jiwa pendidik meskipun tidak harus berprofesi sebagai guru agama di sekolah.27

Di lain pihak pemilihan Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah (TMI) dan bukannya Kulliyatul Mu’allimîn al-Islâmiyyah (KMI), menurut Ustadz Saiful Hadi, LC, adalah terinspirasi dengan sistem mu’allimîn yang ada di Pondok Pesantren Al-Amin, Prenduan Madura Jawa Timur yang mempunyai sedikit perbedaan dengan Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, yaitu perangkat pendidikan TMI disesuaikan dengan kondisi sosial keagamaan masyarakat yang masih kental dengan tradisionalitasnya sehingga lebih membumi. Jadi tradisi-tradisi seperti tahlilan, pembacaan al-Berzanji, dan pengajian kitab kuning dengan sistem sorogan28 semuanya ada di Pondok Pesantren tersebut. Di samping Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan juga mempunyai program Tahfîz al-Qur’an yang merupakan cikal bakal dari Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an.

Hal lain yang menarik adalah sistem mu’allimin di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dikombinasikan dengan kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Maka praktis kurikulum

27KH. Ali Komaruddin, SQ. Al-Hafiz (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an),

Wawancara,Tanggal 27 Mei 2006

28Tradisi semacam ini merupakan hal yang lazim dilakukan di pesantren-pesantren

salafiyah, bahkan dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Islam Lampung acara tahlilan pada malam Jum at, malam pertama hingga ketujuh sesudah seseorang meninggal, dan pada malam-malam ke 40, 100, 1000 dari meninggalnya seseorang merupakan tradisi yang sangat kuat. Di lain pihak pembacaan Al-Barzanji di malam walimatul ‘urs, walimatul khitan, syukuran kelahiran merupakan tradisi yang masih berlangsung. Sehingga dalam satu dusun (yang rata-rata terdiri atas 40 Kepala Keluarga) terdapat kelompok tahlilan, Berzanji baik yang dilakukan oleh ibu-ibu maupun bapak-bapak. Pada kenyataan inilah biasanya kyai pesantren juga bertindak sebagai pemimpin jamaah tahlilan di lingkungan pesantren. Kyai Rosyadi (Pemimpin Jamaah Yasin/ Tahlil dusun II Mulyojati Metro Barat),Wawancara,tanggal 22 Maret 2008


(26)

yang ada adalah kombinasi antara kurikulum Departeman Pendidikan Nasional dan kurikulum Mu’allimîn.29Sehingga bukan mu’allimin an sich.

Pada perkembangan selanjutnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berhasil mendapat hati di kalangan umat Islam, hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat yang begitu tinggi untuk memondokkan anaknya di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Terbukti dengan semakin menaiknya grafik jumlah santri, terutama setelah sistem mu’allimîn diberlakukan.30Secara umum santri yang belajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis; pertama, santri yang menghafalkan Al-Qur’an saja dan tidak terikat dengan institusi pendidikan manapun. Kedua, santri yang menghafalkan Al-Qur’an sambil melanjutkan pendidikan pada institusi pendidikan di luar Pondok Pesantren.31Ketiga, santri yang belajar pada SMP atau SMA Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah, mereka ini tidak menghafalkan al-Qur’an. Ketiga jenis santri tersebut tinggal di asrama Pondok Pesantren. Keempat, santri-santri Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang tidak bermukim di asrama pesantren.

Akan tetapi dari keempat jenis tersebut, yang paling mengalami kenaikan yang cukup signifikan adalah santri yang mengikuti program pendidikan Tabiyatul Mu’allimin. Pada tahun perdana pembukaan SMP TMI (2004-2005)

29 Ketika Departemen Pendidikan Nasional memberlakukan kurikulum berbasis

kompetensi (KBK), maka kurikulum ini juga diberlakukan di SMP TMI Roudlotul Qur’an dan juga pada saat kurikulum berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara¸ tanggal 9 Mei 2008

30 Rata-rata kenaikan jumlah santri adalah 75 % untuk tahun ajaran pertama dibuka

kelas SMP TMI, dan pada tahapan selanjutnya berkisar antara 35 - 50% pada tahun ajaran selanjutnya sampai pada tahun ajaran 2007-2008. (Dokumentasi Tata Usaha SMP TMI Roudlotul Qur’an tahun 2004 s.d 2008)

31Santri tipe ini mayoritas adalah santri yang telah lulus dari SLTA di luar Pesantren

Roudlotul Qur’an hanya saja mereka ingin melanjutkan ke perguruan tinggi di wilayah Metro dan Roudlotul Qur’an dipilih sebagai tempat untuk menimba ilmu di luar jam-jam kuliah. Ahmad Ansori (santri tahfizul Qur’an yang juga kuliah di Fakultas Teknik Sipil Jurusan Pertanian di Universitas Darma Wacana Metro. Ahmad Ansori,Wawancara, tanggal 29 Januari 2008


(27)

terjaring satu kelas dan mencapai angka 20 siswa/ siswi. Maka pada tahun kedua (2005-2006) terjaring dua kelas, berjumlah 57 siswa/siswi baru, dilanjutkan pada tahun ketiga (2006-2007) mencapai 61 siswa/ siswi. Dan pada tahun selanjutnya (2007-2008) mencapai 64 siswa baru.32 Dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa sistem ini mendapat respon positif dari umat Islam. Hal ini dimungkinkan karena adanya upaya modernisasi pendidikan di Pondok pesantren Roudlotul Qur’an.

Secara garis besar perkembangan jumlah santri dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1

Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an (tahun 2001-2008)

Tahun Santri

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Putra 8 9 11 21 56 106 176 233

Putri 7 10 16 27 54 140 187 239

Jumlah 15 19 27 48 110 246 363 472

Sumber : Sekretaris Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an

Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari Pesantren Roudlotul Qur’an ini. Pertama, adanya perpaduan antara teori-teori pendidikan yang lazim dilakukan di pondok-pondok pesantren tradisional/ salafiyah dengan teori-teori pendidikan yang umumnya dilakukan di Pondok Pesantren Modern.33

32Dokumentasi Sekretaris TMI Roudlotul Qur’an tahun 2004-2007

33Untuk konteks Lampung hal ini adalah fenomena baru, mengingat pada umumnya

masing-pesantren ingin mempertahankan identitasnya masing-masing baik yang mengaku pesantren modern maupun salaf. Dan yang dilakukan oleh Roudlotul Qur’an merupakan upaya untuk tidak terlalu mempertentangkan identitas, kendati dalam pelaksanaannya juga mengandung berbagai konsekuensi yang tidak mudah. Muhammad Saiful Hadi, Lc, (Direktur TMI Roudlotul Qur’an),Wawancara, tanggal 17 Maret 2008


(28)

Suatu contoh setiap malam Jum’at sehabis Sholat Maghrib Pengasuh dan para santri melakukan kegiatan istighotsah,34tahlîlan selain itu pada malam-malam

tertentu diadakan pembacaan al-Barzanji, pembacaan kitab kuning. Di pihak lain pesantren mewajibkan para santri untuk menggunakan Bahasa Arab dan Inggris secara aktif di luar maupun di dalam Pesantren yang dalam hal ini kita temukan di pondok-pondok pesantren modern. Kedua, perpaduan antara kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (SMP/ SMA) dengan kurikulum Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah ternyata lebih memacu kreatifitas dan prestasi siswa dalam berbagai ajang kompetisi baik di tingkat sekolah maupun di luar sekolah. Dalam hal ini para santri telah mampu berkiprah dan menjuarai berbagai even perlombaan, seperti : Juara pertama pada kegiatan Perkemahan yang diadakan Kwartir Cabang Metro untuk tingkat SLTP tahun 2006, Juara pertama Khitobah Bahasa Arab dan Inggris bagi pelajar Tingkat Kota Metro tahun 2006. Juara pertama MTQ tingkat Propinsi Lampung tahun 2005 kategori Tahfidz 5 juz, 30 juz, juara Tilawah anak-anak. Dengan demikian ternyata di usianya yang relatif muda ternyata mampu menunjukkan kemampuannya, sehingga dimungkinkan keberadaannya akan terus maju dan berkembang pesat. Ketiga, adanya integrasi kegiatan pendidikan di sekolah dengan kegiatan pesantren menjadikan pemahaman materi bagi para santri lebih mendalam.35Hal ini dikarenakan pelajaran yang telah diperolehnya di sekolah pada siang harinya

34Istilah

istighatsah cukup dikenal di kalangan muslim tradisionalis yang umumnya berafiliasi dengan NU, maka sering dijumpai acara semacamistighatsah kubra yang merupakan tradisi dalam pesantren-pesantren salaf yang kyai pengasuhnya telah menjadi guru mursyid atau telah dibai’at dengantariqah tertentu. KH. Aziz Mashuri (ed) Permasalahan Thariqah,Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabaroh Nahdlatul ‘Ulama (1957-2005M),(Surabaya: Khalista, 2006), h. 68-69

35Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan tingkat kelulusan pada Ujian Nasional

yang sudah berlangsung selama dua periode berhasil mencapai 100% dari keseluruhan siswa kelas IX (III SMP). Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara¸tanggal 22 Juni 2008


(29)

akan dijadikan bahan kajian dan diskusi pada malam harinya, tentunya kegiatan ini selalu dimonitor oleh para ustadz dan pengurus pesantren.

Sementara pembaharuan yang diadakan sudah barang tentu mendobrak tradisi lama yang belum tentu kurang baik, sebagai gambaran terdapat beberapa jenis santri yang mondok apakah perbedaan ini menimbulkan ekses yang kurang baik.36Seperti dipahami bahwa santri yang menghafalkan al-Qur’an pada umumnya lebih menutup diri terhadap pola-pola kemodernan dan memilih kesakralan dalam upaya menghafalkan al-Qur’an. Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka permasalahan ini layak diajukan sebagai bahan penelitian.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka permasalahan-permasalahan yang ada dapat diidentifikasikan sebagai berikut: pertama, Langkah-langkah Modernisasi yang perlu dilakukan oleh pesantren dalam upayanya memenuhi tuntutan zaman globalisasi dan bergerak sangat dinamis. Kedua, dampak yang terjadi setelah diberlakukan modernisasi. Ketiga, sambutan berbagai elemen pesantren setelah diberlakukannya modernisasi.

2. Pembatasan Masalah

Penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian yang berusaha menemukan keterkaitan yang positif antara modernisasi pendidikan Islam di satu sisi dan pondok pesantren di sisi yang lain. Keterkaitan tersebut apakah menjadi sangat erat pada tiap aspek yang ada di Pondok Pesantren Roudlotul

36Perbedaan yang muncul ke permukaan sebenarnya hanya berkisar pada aturan-aturan

nonformal pesantren, misal dalam tradisi pesantren tahfizul Qur’an pakaian ala santri salaf sangat kental, seidaknya dapat dilihat dari penggunaan sarung dan kopiah bagi santri putra dan rok panjang serta jilbab yang panjang bagi santri putri, sementara di sisi lain dalam pondok modern santri putra tidak diharuskan memakai kopiah dan sarung dan bagi santri putri menggunakan celana panjang untuk kesempatan tertentu tidak menjadi masalah. Ira Shofiyatuzzulfa (santri tahfiz ul Qur’an),Wawancaratanggal 3 April 2008


(30)

Qur’an, atau hanya pada level-level tertentu modernisasi tersebut terkait, atau bahkan pada level yang lain malah bersikap resistan terhadap modernisasi itu sendiri. Sikap yang berbeda dalam menanggapi suatu proses tersebut pada gilirannya juga akan berpengaruh pada interpretasi masing-masing terhadap proses yang ada dan terjadi saat itu. Kendati semangat modernisasi timbul dari dalam pesantren, akan tetapi pola-pola yang ada diakui atau tidak tentu berasal dari luar, yang tentu saja bisa dari pola-pola pendidikan Islam atau pola-pola pendidikan yang dianggap sekuler.37

Oleh sebab itu dalam penelitian ini, penulis memilih aspek-aspek yang terkait dengan modernisasi, yaitu langkah-langkah modernisasi yang dilakukan oleh pesantren dalam upayanya memenuhi tuntutan zaman. Mengingat modernisasi pendidikan adalah suatu proses dari belum modern kemudian diupayakan menjadi modern, dan modernisasi yang sedang terjadi merupakan masa transisi, tentunya ini menimbulkan ekses-ekses tertentu. Responsitas yang berbeda dalam menanggapi makna modern juga berakibat pada perbedaan dalam menentukan kebijakan pendidikan.

Dari perbedaan tersebut dapat juga melahirkan kelompok-kelompok baru yang terbentuk dari hasil sebuah proses modernisasi. Karena pada proses modernisasi tersebut Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an perlu melibatkan banyak pihak dan tentunya masing mempunyai kepentingan masing-masing.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah dan ruang lingkup di atas, maka permasalahan utama yang diteliti dalam tesis ini dirumuskan sebagai berikut: (1) usaha-usaha modernisasi pendidikan yang dilakukan pondok pesantren

37


(31)

(2) pengaruh modernisasi terhadap para pengelola pendidikan yang ada di pondok pesantren (3) respon dari komponen-komponen pondok pesantren terhadap modernisasi. Ketiga rumusan masalah tersebut yang hendak didiskusikan dalam penelitian ini dengan menggunakan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an sebagai obyek kasus.

D. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pondok pesantren memang telah sejak lama dilakukan, 38 hal ini menyangkut dengan keterkaitan masuknya Islam di Nusantara maupun keterkaitannya dengan proses islamisasi yang terjadi sehingga Islam menjadi agama mayoritas. Penelitian yang terdahulu tentang pondok pesantren misalnya Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai 39 yang diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, merupakan karya tulis tentang pesantren yang bisa dikatakan sebagai karya klasik tentang pesantren dan cukup representatif sehingga menjadi rujukan yang penting bagi penelitian tentang pondok pesantren di Indonesia. Dalam tulisannya Zamakhsyari banyak mengupas bangunan dasar pesantren yang termasuk di dalamnya kurikulum, model pendidikan, kitab-kitab yang diajarkan, jaringan yang dikembangkan pesantren serta tradisi keilmuan yang dikembangkan. Pemaparan mengenai sejarah sebuah pesantren biasanya lahir dari sebuah

38Penelitian yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje pada masa penjajahan Belanda

menjadi bukti bahwa kajian tentang pondok pesantren telah dilakukan sejak lama. Dalam catatannya dia mengkonfirmasi adanya sejumlah pesantren yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Snouck Hurgronje antara lain mengunjungi Garut, Cianjur, Bandung, Bogor, Cirebon, dan beberapa daerah lain di Indonesia. Catatan perjalanan ini juga merekam pesantren di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam temuannya tersebut pada kenyataannya bahwa sebagian pimpinan pesantren pernah mengenyam pendidikan agama Islam di berbagai wilayah di Timur Tengah terutama di Mekkah. C. Snouck Hurgronje,Travel Notes in West and Central Java 1889-1991(Leiden: University Library, t.th). Arief Subhan,Lembaga Pendidikan Islam Abad ke-20, Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007, disertasi tidak diterbitkan), h. 75

39

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982)


(32)

pengajian di musholla/ masjid yang cukup sederhana hingga tumbuh dan berkembang menjadi institusi yang maju dan bahkan menjadi modern juga menjadi perhatian dalam tulisan tersebut. Di satu sisi Zamakhsyari mengemukakan tentang kehidupan para kyai pemangku pesantren-pesantren salaf/ tradisional dengan berbagai aktifitasnya dalam lingkup pesantren dan masyarakat, status sosial yang ada sampai pada ritual-ritual40 yang biasanya dikembangkan para kyai.

Tulisan lain yang juga penting disebutkan dalam kesempatan ini adalah karya Karel A Steenbrink berjudul Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,41 yang juga terbitan LP3ES Jakarta yang diterbitkan empat tahun berselang setelah karya Zamahsyari Dhofier, yaitu pada tahun 1986. Dalam tulisannya Steenbrink memaparkan bahwa kesejarahan awal sejarah pesantren khususnya di Jawa dan umumnya di wilayah nusantara kabur, hal ini seperti yang diungkapkan Steenbrink ketika mempertanyakan tentang pesantren mana yang dianggap pertama kali ada karena dalam karya sastra Jawa Kuno “Serat Centini”42 tidak pernah disingguh-singgung istilah

pesantren, dan belum ditemukan sebuah literatur yang secara tegas menyebutkan kapan mulai ada istilah pesantren. Kendati Steenbrink juga setuju kalau pesantren merupakan pendidikan yang berakar dari kebudayaan Indonesia (indigenous) dan bukan berasal dari kebudayaan tempat agama Islam lahir. Dalam pandangannya modernisasi dalam pendidikan pesantren merupakan hasil

40Dalam tradisi kyai-kyai yang diteliti Zamakhsyari kebanyakan merupakan “Kyai

NU” sehingga tradisi yang dimaksud sangat kental sekali dengan paham ahlussunnah wal jama’ah, yang pada ritual tertentu dianggapbid’ah oleh kelompok lain.Tawassul, ziarah kubur, tahlilan merupakan tradisi yang dianggap oleh sebagian umat Islam bukan tradisi yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad sehingga dianggap sebagai amalan bid’ah.H. Munawar Abdul Fattah,Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2007), h. 29

41Karel A Steenbrink,

Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986)


(33)

dari berbagai persinggungan yang terjadi di kalangan ulama dengan berbagai kebudayaan sehingga melahirkan berbagai tipologi pesantren.43

Buku karangan Marwan Saridjo yang berjudul Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, dalam bukunya tersebut Marwan berusaha mendeskripsikan pesantren-pesantren yang termasuk besar dan menjadi suatu institusi yang cukup memberi corak bagi pendidikan agama Islam di Indonesia dengan berbagai model kurikulum yang diajarkannya. Dalam bukunya tersebut dipaparkan pula pesantren-pesantren mana yang dianggap modern ataupun salaf. Modern dalam istilah Marwan Saridjo pada umumnya dijadikan referensi bagi pemaknaan modernitas sebuah pondok pesantren. Menurutnya pesantren lahir umumnya sangat bergantung pada otoritas pendiri pesantren dalam menentukan identitas pesantrennya, oleh karena itu pesantren modern akan lahir dari seseorang yang pernah/ mempunyai semangat modern.44

Selain itu adalah sebuah buku hasil karya Abdullah Syukri Zarkasyi yang diberi judulGontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren45 terbitan Raja Grafindo Persada Jakarta yang berusaha mengungkapkan sejarah dari awal berdirinya pesantren Gontor dalam melaksanakan program pendidikan yang diteruskan dengan pendapatnya mengenai peran pesantren Gontor bagi pembaharuan pesantren di Indonesia, menurutnya ini dapat dilihat dari para alumni Gontor yang tersebar di seluruh Indonesia banyak yang mendirikan pesantren ala Gontor

Dalam penelitian yang penulis lakukan adalah tentang modernisasi yang sedang terjadi di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, yang dalam hal ini obyek yang penulis teliti berada dalam masa transisi dari pesantren salaf ke pesantren

43Karel A Steenbrink,

Pesantren, Madrasah,...h. 7-9

44Marwan Saridjo,

Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1983)

45

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)


(34)

modern. Modernisasi yang terjadi penulis analisis dengan pendekatan model-model modern yang berasumsi bahwa modern pada tataran praktis mempunyai tiga model, yaitu:

Pertama, teori historis, yang menurut teori ini kemodernan adalah apa yang berasal dari Barat karena dari sanalah isu tentang modern itu berasal. Tinjauan teori ini didasarkan pada kenyataan sejarah dari sejak munculnya istilah modern. Menurut teori historis mengenai modernisasi, maka acuan yang dipakai ialah masyarakat maju atau dalam hal ini adalah masyarakat Barat. Oleh sebab itu dalam teori ini modernisasi juga berartiwesternisasi (west =Barat) Menurut Samuel Eisenstadt pengertian ini memang telah muncul sejak abad 17-19 di Eropa pada masa aûfklarung atau enlightenment (pencerahan) dengan rasionalismenya. Konsep ini merambat dari Eropa dan Amerika Utara ke Asia pada sekitar abad ke-20 M. Modernisasi merupakan suatu transformasi total dari masyarakat pra-modern ke masyarakat modern, yaitu suatu masyarakat yang sudah berkembang teknologinya serta organisasi sosial yang mendukungnya. Inilah yang dijadikan kriteria dari negara ekonomi maju dengan politik yang sudah mapan. Rumusan ini mempunyai suatu kekeliruan etnosentrisme, karena seakan-akan negara maju hanya di Eropa dan Amerika Utara-lah yang mempunyai hak dijadikan acuan suatu masyarakat maju.46

Kedua, Teori relativisme, teori ini tidak menjadikan Eropa dan Amerika Utara sebagai pusat masyarakat modern. Sesuai dengan namanya teori ini menghendaki bahwa modern tidak selamanya dimiliki oleh satu golongan saja, bisa jadi satu golongan yang pada awalnya dianggap paling modern, akan tetapi pada giliran selanjutnya golongan lain mampu menjadi pelopor kemodernan.

46

H.A.R Tilaar,Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia,(Jakarta: Grasindo, 2002), h. 16


(35)

Titik tekan teori ini adalah kemajuan suatu bangsa dalam menciptakan kebudayaan yang maju dalam berbagai bidang.

Ketiga, teori analitik, yang melihat tingkat modernisasi suatu masyarakat dari berbagai aspek, yaitu: ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, stratifikasi dan mobilisasi sosial, dan agama. Suatu masyarakat yang modern di bidang ekonomi akan menerapkan teknologi berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini dijadikan dasar pengembangan kehidupan ekonomi dengan perkembangan teknologinya.47

Bahwa Kajian ini menjadi penting, mengingat dalam konteks perkembangan pesantren-pesantren yang ada di Lampung khususnya, modernisasi yang dilakukan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an merupakan proses penerusan (continuing) dari modernisasi yang mungkin saja pernah ada dan juga proses adaptasi terhadap modernitas itu sendiri dan juga adaptasi terhadap tuntutan kebutuhan umat Islam di masa mendatang. Di samping itu mengingat pesantren tersebut sedang berada dalam masa transisi dari tradisionalisme menuju ke arah modernisme; tarik menarik berbagai kelompok terhadap berbagai kepentingan, ideologi masih sangat kuat.48

E. Tujuan Penelitian.

Bagi penulis penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu kesimpulan empirik dan gambaran yang jelas mengenai modernisasi pendidikan yang telah/ sedang dilakukan oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an posisinya dalam kebangunan pesantren-pesantren modern di Lampung pada

47H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, h. 18

48 Tarik-menarik antar kelompok dimaksud merupakan wujud dari adanya diferensiasi

kelompok-kelompok Islam dalam menanggapi modernisme. Mereka yang berasal dari alumni pesantren salafiyah umumnya yang menolak modernisme di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Meskipun dalam hal-hal tertentu, misal penggunaan sarana dan prasarana menyetujui penggunaan alat-alat modern. Abdurrahman (Ustadz Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an alumni Pesantren Salafiyah), Wawancara,tanggal 3 Desember 2007


(36)

khususnya dan Indonesia pada umumnya. Mengingat dalam asumsi awal penulis pesantren Roudlotul Qur’an merupakan pesantren yang memulai prinsip-prinsip modernitas yang diserap dari Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur dan Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura.

Dengan tercapainya tujuan tersebut di atas, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang komprehensif mengenai pola-pola pendidikan pesantren modern yang pada saat ini makin banyak didirikan.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif49 dengan menggunakan paradigma fenomenologi. Yaitu yang berasumsi bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan.50Sedangkan menurut Edmund Hussrell Fenomenologi merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. Intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Konstitusional merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas.

49Penelitian kualitatif merupakan sebuah model penelitian yang prosedur dan

metodologinya sangat spesifik, didasari teori korespondensi sebagai teori kebenaran ilmiahnya, serta sangat menghargai keragaman data lapangan tanpa tendensi untuk melakukan generalisasi . Robert C. Bogdan and Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction to Theories and Methods,(Boston: Allen Publishing, 2003), h.314

50

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif,(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000). h. 116


(37)

Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.51Sebagai contoh dari konstitusi: misal ketika melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang terlihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, begitupun jika melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas..52Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya.

Maka dalam paradigma fenomenologi peneliti berusaha menjawab pertanyaan, apa struktur pengalaman dari sebuah fenomena yang dilakukan oleh orang-orang dalam suatu komunitas tertentu, dan apa esensi dari pengalaman-pengalaman tersebut dalam pandangan mereka.53 Sehingga pada penelitian ini peneliti berusaha memahami arti peristiwa, gejala/ fenomena dan

kaitan-51Harun Hadiwijono,

Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius. 1980), h. 1

52konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai konstitusi genetisal. Proses

yang mengakibatkan suatu fenomena menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis. Bertens.Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman, (Jakarta : Gramedia. 1983)

53

John W. Best and James V. Kahn, Research in Education, (Boston: Allyn and Bacon,1993), h. 69


(38)

kaitannya terhadap orang-orang secara umum dalam situasi-situasi tertentu.54 dalam fenomenologi ini mempunyai titik tekan pada verstehen (understanding) yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.

Dalam fenomenologi ini peneliti dapat juga berada dalam lingkungan obyek yang diteliti secara aktif, artinya bila obyek yang diteliti sebuah organisasi, maka peneliti bisa saja termasuk salah satu anggota dari organisasi tersebut. Fenomenologi diartikan sebagai; 1) pengalaman subyektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai angapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subyektif dan berbagai jenis dan tipe subyek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang. Sebagai suatu disiplin ilmu hal ini kemukakan oleh filosuf Jerman, Edmund Husserl.55

1. Sumber Data

Penulis melakukan studi eksplorasi56 sebelum melakukan eksplanasi yaitu menjaring berbagai informasi tentang Pesantren Roudlotul Qur’an sebagai bahan untuk menemukan permasalahan penelitian. Penulis melakukan teknik in deep interview (wawancara mendalam) tentang perubahan yang terjadi di Pondok Pesantren Roudlotul terutama yang berkaitan dengan kelembagaan dan organisasi, kurikulum dan manajemen pendidikannya setelah diadakan

54Lexy J. Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 9

55M. Suryana,

Metodologis Penelitian Kontemporer, Bandung: Cendekia Press, 2004, h. 135.

56Winarno Surakhmad,

Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik, (Bandung; Tarsito, 1982) h. 106


(39)

pembaharuan (modernisasi) dengan para informan yang paling banyak mengetahui masalah yang diteliti dan terlibat langsung sebagai pendiri dan pembina pesantren, seperti pimpinan dan pengurus Pesantren Roudlotul Qur’an, para pengajar, masyarakat luas, dan juga informasi dari pesantren-pesantren lain sebagai data pendukung yang berjumlah 21 orang. Selain itu informasi juga diperoleh melalui studi bahan bahan tertulis yang berhubungan dengan Pesantren Roudlotul Qur’an.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data yang diperoleh dari penelitian ini ada 2 macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dijaring melalui penelitian lapangan dan dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian yang akan diteliti, yaitu yang berkaitan dengan manajemen, kurikulum, organisasi dan kelembagaan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui kepustakaan mengenai sumber data yang berkaitan dengan obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini digunakan tiga metode pengumpulan data yaitu :

a. Metode Observasi

Metode ini merupakan metode yang selalu ada dalam penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi, karena dengan observasi peneliti yang dalam hal ini sebagai observer akan dapat melihat secara langsung fenomena-fenomena (gejala-gejala) baik itu yang terjadi pada individu-individu yang diobservasi maupun struktur kerja yang terjadi di lapangan untuk kemudian menjadi acuan data yang siap dijadikan bahan penelitian selanjutnya. Observasi yang penulis lakukan pada umumnya adalah observasi partisipan, dalam arti peneliti melakukan observasi langsung kepada obyek yang diobservasi, sementara observer termasuk ke dalam kelompok yang diobservasi. Hal ini


(40)

bertujuan untuk dapat menangkap fenomena alamiah, bukan rekayasa karena diobservasi.

Sementara tempat yang penulis jadikan sebagai media observasi adalah Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an, Pondok Pesantren Darul A'mal, Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa, Pondok Pesantren Roudlotuttholibin, Pondok Pesantren Pondok Pesantren Wali Songo, Pondok Pesantren Nurul Qodiri, Pondok Pesantren Al-Muhsin, dan Pondok Pesantren Miftahul Falah.

b. Metode interviu (wawancara)

Metode interviu atau wawancara yaitu penulis mengumpulkan data melalui wawancara dengan pihak-pihak yang bersangkutan seperti pimpinan pondok pesantren, sekolah, para guru, murid, alumni dan sebagainya yang berjumlah 21 orang tentang fenomena-fenomena yang terjadi di dalam Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dengan mempertimbangkan adanya proses modernisasi dan sebagai pembanding untuk menambah informasi penulis mewawancarai pengasuh-pengasuh pondok pesantren lain yang ada di Provinsi Lampung.

c. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan pengambilan data melalui apa yang telah ada dalam dokumen, baik dokumen yayasan, sekolah, maupun dokumen pondok pesantren Roudlotul Qur’an. Metode dokumentasi menurut Koentjaraningrat adalah “Data variabel seperti yang terdapat dalam surat, catatan harian, kenang-kenangan, laporan, dan sebagainya.”57

4. Analisis Data Penelitian

Untuk menguji validitas data, penulis melakukan upaya validasi dengan proses triangulasi yaitu memperbandingkan antara data-data yang diperoleh dari

57

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat,(Jakarta: Gramedia, 1997), h. 129


(41)

sumber dan menganalisa dengan teknik/ metode penelitian. Pandangan demikian diakui oleh Noeng Muhadjir, menurutnya suatu penelitian dipandang obyektif, bila seseorang dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan kesimpulan penelitian yang sama.58 Data-data yang dihimpun di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dan beberapa pesantren lainnya akan dianalisa dengan teori-teori yang sesuai dengan metode penelitian. Selain itu dalam menganalisis data penulis menggunakan paradigma induktif, yaitu penarikan kesimpulan setelah berbagai data terkumpul secukupnya kemudian dianalisis. 59

G. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini ditulis secara sistematis dalam lima bab, penyusunan secara sistematis dilakukan agar pembahasan di tiap-tiap bab tidak hanya mendalam namun juga dapat dibaca sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Pada Bab I berisi pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah tentang perlunya pesantren-pesantren melakukan perubahan ke arah lebih maju apabila ingin eksistensinya tetap hidup di masyarakat dan menjadi mesin pendorong bagi dinamika pendidikan Islam. Identifikasi masalah-masalah yang ada dan selanjutnya dibahas pada bab-bab selanjutnya. Batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan juga tercakup pada bab pertama ini. Bab II berisi kajian tentang pondok-pondok pesantren yang ada di wilayah Lampung, baik para tokoh pendiri, pengasuh, maupun orang-orang yang dianggap memberi warna dalam dinamika pendidikan Islam di pondok pesantren. Diteruskan dengan gambaran sepintas tentang keadaan pesantren-pesantren yang merupakan cikal-bakal pendidikan Pondok Pesantren di Provinsi

58Noeng Muhadjir,

Metodologi Penelitian Kualitatif,Yogyakarta; Rake Sarasin, 1996). h. 36

59

Pembahasan lebih lengkap terkait dengan paradigma induktif, lihat Dagobert D. Runes,Dictionary of Philosophy,(New Jersey: Little Fieed, Adam & Co, 1995), h. 146


(42)

Lampung. Pada bab ini dipaparkan lembaga-lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) berbagai tipe pondok pesantren di Lampung dengan berbagai variannya. Diteruskan dengan menimbang tingkat responsitas sebuah pesantren terhadap modernisasi.

Bab III berisi tentang akar-akar tradisionalisme pondok pesantren. Kesejarahan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dari awal pembentukan hingga proses modernisasi. gambaran mengenai proses modernisasi pondok pesantren di Provinsi Lampung

Bab IV membahas aspek modernisasi/ pembaharuan pendidikan yang ada di Pesantren Roudlotul Qur’an meliputi Modernisasi Aspek Kelembagaan dan Organisasi, Modernisasi Aspek Kurikulum dan Pembelajaran.

Bab V adalah penutup dari kajian tesis ini yang berisi kesimpulan kajian serta beberapa hal yang menjadi saran-saran penulis setelah mengadakan penelitian.


(43)

BAB II

KONTEKS MODERNISASI PONDOK PESANTREN DI LAMPUNG

Modern secara bahasa diartikan baru, kekinian, akhir, up to date, atau semacamnya, bahkan juga diartikan pembangunan. Sehingga modernisasi dapat diartikan sebagai kemodernan, pembaharuan.1 Istilah modern ini juga dapat dikontraskan dengan istilah lama, kolot, atau sejenisnya.2 Istilah modern ini juga dapat dikaitkan dengan karakteristik. Oleh karena itu istilah modern dapat diterapkan untuk manusia dan juga yang lainnya, misalnya konsep bangsa, sistem politik, ekonomi, negara, kota, pendidikan sampai merambah pada sifat, perilaku, dan hampir apa saja. Misalnya saja predikat modern dapat disandarkan kepada pemikiran seseorang, dapat juga menyebut pakaian modern, rumah modern akan tetapi perlu diperhatikan setelah mmenjadi istilah yang merupakan predikat umum, istilah tersebut akan mempunyai pengertian/ definisi tersendiri.3

Istilah modernisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.4 Oleh sebab itu jika modernisasi merupakan suatu proses menjadikan sesuatu modern, maka setiap yang diupayakan untuk sesuai dengan pola hidup kekinian misal pendidikan dapat disebut nodernisasi pendidikan (educational Modernization).5 Sedangkan modernisme sebuah terminologi yang berlaku di masyarakat Barat yang

1 John M. Echols dan Hassan Sadily,

Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 384

2 Murtadha Mutahhari,

Gerakan Islam Abad XX,(terj) Fahry Ali, (Jakarta, Boenabi Cipta, 1986), h. 15

3Qadri Azizy,

Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani,(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), h. 5

4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 589

5 Akbar S. Ahmed,

Postmodernisme and Islam:Predicament and Promise, (London, Routledge, tth).


(44)

mengandung arti pikiran, adat-istiadat, institusi-institusi lama untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.6

Diskursus mengenai modernisasi menjadi menimbulkan tanggapan yang berbeda-beda. Sebagian kalangan tertentu merasa bahwa modernisasi merupakan ancaman bagi eksistensi kebudayaan lokal tertentu, mengingat modernisasi meniscayakan proses globalisasi yang menganggap bahwa dunia sebagai one world-one globe sehingga menghancurkan sekat-sekat pembeda yang ada di dunia ini. Hal inilah yang menurut Nurcholis Madjid perlu diwaspadai dalam rangka melestarikan (mempertahankan) keberagaman manusia.7 Kendati menurut Cak Nur modernisasi sendiri dipahami sebagai suatu proses perubahan sosial, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem sosial praindustrial (misal agraris) ke sistem sosial industrial. Kadang-kadang juga disejajarkan dengan perubahan dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Perubahan sosial inilah nampaknya yang menarik perhatian Cak Nur. Sehingga dalam konteks keagamaan menurutnya kehidupan industrial (yang menjadi ciri modern) dapat menimbulkan efek negatif, dan sekaligus menyimpan kandungan makna yang positif. Ia menyatakan "...bentuk hubungan dinamis antara religiusitas dan industrialisasi/ modernisasi merupakan suatu persoalan rumit yang banyak menimbulkan kontroversi."8

Pada sisi yang positif, industrialisasi menurut Cak Nur akan membawa kemakmuran (dan inilah yang menjadi cita-cita semua orang) dari kemakmuran inilah pada gilirannya akan melahirkan peningkatan manusia. Meskipun industrialisasi sendiri bukan tanpa harga atau pengorbanan, ia membutuhkan

6Harun Nasution,

Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 11

7 Nurcholis Madjid, "Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi" dalam

Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), h. 141


(45)

tumbal untuk membangunnya. Oleh karena itu manusia –dalam masyarakat modern- sering rentan terhadap depersonalisasi dan dehumanisasi. Akibatnya menurut Cak Nur "...ia tak lagi mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau alienasi."9 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai penopang kukuh masyarakat industri modern, produknya lebih bersifat profan. Di sisi lain agama merupakan sesuatu yang sakral. Dengan demikian, posisi keduanya dalam pandangan Cak Nur terjadi antagonistik. Antagonisme inilah yang membuat sebagian orang berreaksi negatif terhadap modernisasi. Ini juga disebabkan karena mereka hanya melihat modernisasi dari sudut ekses negatif. Keadaan ini justru terjadi pada umat Islam, yang merasa kemodernan dapat mengakibatkan menjauhnya umat Islam dari keberagamaannya. Sehingga penolakan itu dianggap menjadi perisai untuk menghadapi ekses-ekses yang ditimbulkan oleh kemodernan tersebut.

Sementara, Abdurrahman Wahid ketika menyinggung keterkaitan antara agama dan modernitas menyatakan: "...antara modernisasi dan agama adalah menyatu."10 Menurutnya andaikata modernisasi dilepaskan dari agama maka modernisasi akan tumbuh secara bebas nilai (free of value). Kalau ini terjadi, maka akan meruntuhkan nilai-nilai lama yang sudah ditetapkan agama. Di sini, ditandaskan Gus Dur, akan terjadi proses yang sifatnya saling menggusur antara proses modernisasi dengan agama.11 Jika demikian halnya, maka pertentangan antara agama dan modern malah justru dapat meruntuhkan bangunan nilai-nilai kemajemukan di antara masyarakat muslim yang mendukung modernitas dengan yang ingin mempertahankan tradisi lama yang tak jarang bertolak belakang dengan modernitas.

9 Nurcholis Madjid, "Peranan Agama dalam Kehidupan Modern", dalam

Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), h. 124

10 Baca Abdurrahman Wahid, "Agama dan Modernisasi adalah satu", dalam Majalah

Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No.40/tahun VI/ 1985, h. 47


(46)

Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa agama memodofikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan diartikan sebagai komponen Barat tetapi lebih dimaknai sebagai setting keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya

Weber, Robert N. Bellah dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya (semuanya terangkum dalam kolaborasi makna modernisasi). Sehingga agama hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.12

Ada pula yang mengaitkan modernisasi dengan pembangunan,13 sementara di sisi lain pembangunan akan terkait dengan kemerdekaan. Sehingga ketiga istilah ini merupakan satu rangkaian yang tak dapat dipisahkan (kemerdekaan-pembangunan-modernisasi), keterkaitan ini dapat dipahami dengan suatu negeri tidak akan dapat melakukan pembangunan manakala ia masih terkungkung oleh belenggu penjajahan, maka otomatis kemerdekaan di sini menjadi sarat pertama untuk melakukan modernisasi. Dengan kemerdekaan pembangunan dapat berjalan dengan sempurna tanpa ada hambatan dari bangsa lain. Dengan pembangunan itulah maka modernisasi dapat digerakkan. Oleh sebab itu ada pula yang memahami modernisasi dengan seberapa jauh suatu bangsa mempunyai berbagai fasilitas-fasilitas yang memudahkan manusia sebagai ukuran taraf kehidupannya. Ada pula yang memahami dengan seberapa jauh suatu bangsa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.14 Dalam kaitan ini nampaknya agama tidaklah menjadi penghalang derap langkah modernisasi. Karena parameter

12

Lihat Hebert W. Richardson,Toward an Amerikan Theology(New York; Harp & Row, 1967), h. 64

13 Baca Prem Kirpal, "Modernization of Education in South Asia" "http://science.jrank.

org /pages/9065/Education-in-Asia-Traditional-Modern-Modernization.html" tanggal 8 September 2008

14 C. Arnold Anderson, "The Modernization of Education", dalam

Modernization-The Dynamics of Growth, Myron Weiner (ed) (New York: Basic Books, inc, 1966), h. 68


(47)

kemodernan diukur dengan tiga indikator tersebut. Sehingga antara modernisasi dan agama tidak akan menjadi dua istilah yang saling bertentangan.

Proses modernisasi pendidikan, dalam rangka merubah diperoleh melalui dua cara; Pertama, melalui injection mativation, dan kedua melalui revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau misalnya, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir.15 Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya syekh Ahmad Khatib, syekh Taher Djalaluddin, syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Rasul, dan Abdullah Ahmad.16

Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia. Menurut kelompok ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam, ketertinggalan umat Islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir.17

15 Q. Edward Wang,

Traditional Education in Asia and Modern– Modernization. http://science.jrank.org/pages/9065/Education-in-Asia-Traditional Modernization.html. dikutip tanggal 9 September 2008

16Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. 17Lihat Yudi Latif,

Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan. (Bandung,Mizan: 1999), h. 48.


(48)

Mengenai pendidikan Islam di Lampung,18 atau lebih tepatnya pesantren, terkait dengan program transmigrasi yang dilaksanakan di Propinsi Lampung dari daerah Jawa. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari sebagian besar pondok pesantren yang berdiri sejak lama di wilayah Lampung kyai/ pendirinya adalah berasal dari pulau Jawa.19 Hal ini bukan berarti mengecilkan peran masyarakat Islam pribumi Lampung, karena di daerah-daerah perkotaan terdapat yayasan-yayasan pendidikan Islam yang dibangun oleh penduduk asli Lampung. Akan tetapi pondok pesantren yang bersifat tradisional/ salafiyah hampir dipastikan kesemua pendirinya adalah transmigran/ putera transmigran asal Jawa, sehingga kultur yang ada dalam pesantren tersebut mengadopsi dari pesantren-pesantren tempat kyai tersebut menimba ilmu di Jawa.20 Hal ini bisa dipahami pula mengingat pulau Jawa merupakan pusat penyebaran agama Islam di seluruh Nusantara sejak zaman Wali Songo.21

18Luas Provinsi Lampung adalah 2.969,313 km² yang saat ini terbagi menjadi sembilan

Kabupaten dan dua Kota yaitu Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Tulang bawang, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran serta Kota Bandar Lampung dan Kota Metro,www. Indonesia Tourism, peta lampung, Tanggal 23 Mei 2008

19Dari tujuh pesantren yang ada pada

Direktori Pesantrenterbitan Departemen Agama Pusat menunjukkan bahwa kesemua pendiri/ kyainya adalah berasal dari Jawa, namun data yang dimuat dalam buku tersebut ternyata merupakan data yang pernah diterbitkan pada buku dengan judul yang sama pada penerbitan-penerbitan sebelumnya dan tidak diup date datanya sehingga tidak dapat mengcover dari keseluruhan pesantren yang ada di Provinsi Lampung. BacaDirektori Pesantren,Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, (Jakarta: DEPAG RI, 2007) h. 135-154

20Dari 14 pondok pesantren yang penulis kunjungi, hanya Pondok Pesantren Darussalam

Tegineneng Kabupaten Pesawaran yang pendirinya bukan transmigran asal Jawa. Sehingga pantas kalau pondok pesantren ini bercorak modern. Untuk pondok-pondok selain itu dapat dilihat dari teori transliterasi kitab kuningnya yang menggunakan bahasa Jawa, munculnya istilahutawidalam mengartikan dan merumuskan kode untuk mubtada’, iku untuk khabar, sopo/ opo untuk fa’il(pelaku pekerjaan),ing untukmaf’ul bihi (obyek) dan lain-lain merupakan bentuk tradisi yang ada di pesantren-pesantren salafiyah, Muhammad Ma’sum, SHI, Kamus Santri, Pedoman Pembacaan Kitab Kuning,( Raman Utara, Pon-Pes Tri Bhakti Attaqwa,2003), h. 5

21Kendati wilayah Lampung berada di pulau Sumatera yang juga terdapat pintu awal

masuknya Islam di Nusantara (misal di daerah Peurlak, Pasai/ Aceh) akan tetapi secara historis tidak ada yang menyimpulkan bahwa proses islamisasi di Lampung berasal dari Aceh. Hal ini dimungkinkan karena jalur transportasi antara Lampung yang merupakan wilayah paling ujung


(49)

Sebut saja misalnya Pondok Pesantren Darussalamah yang berada di desa Braja Dewa Kecamatan Way Jepara yang merupakan salah satu pondok pesantren tua dan para alumninya sudah banyak yang mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren, pendirinya adalah KH. Ahmad Shodiq yang berasal dari Kediri Jawa Timur.22 Selain itu di daerah Ambarawa Kecamatan Pring Sewu Kabupaten Tanggamus juga terdapat pondok pesantren yang berkonsentrasi pada ‘Ulum al-Qur’an dengan prioritas tahfîz al-Qur’an pendirinya (KH. Rois Abdillah al-Hafiz, MA, ) juga berasal dari Jawa Timur tepatnya daerah Jember.

Kemunculan modernisasi di Lampung juga tak dapat dilepaskan dari kemunculan-kemunculan pesantren-pesantren yang berorientasi modern di wilayah Jawa. Selain Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo juga menjadi salah satu pesantren yang menyemai bibit-bibit pesantren modern di Lampung. Sebagai sebuah contoh adalah Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, istri dari KH. Ali Komaruddin (pendiri Pesantren Roudlotul Qur’an) adalah alumni pesantren Wali Songo tersebut. Perannya kendati hanya sebagai istri namun juga menentukan karena di sisi lain dia juga termasuk dalam komposisi kepengurusan yayasan yang bertindak sebagai Bendahara II. Ketika mendirikan sistem TMI yang mula-mula direkrut untuk mengelola adalah Dra. Siti Nurjanah, M.Pd, dan Laila Rismadiati S.PdI yang keduanya merupakan alumni Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.23

Munculnya modernisasi di berbagai pesanten turut serta mempengaruhi pesantren-pesantren di wilayah Lampung. Pengaruh yang cukup signifikan terjadi pada pola pembelajaran sedang dalam materi pelajaran yang disampaikan

Timur pulau Sumatera lebih dekat dengan Jawa daripada Aceh yang berada di ujung Barat Sumatera. Drs. Marwan Saridjo, dkk,Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1983), h. 20

22Team Redaksi Memori 2007,

Risalah Kenangan Alumni Santri Darussalamah, (Way Jepara: kelas III Madin Darussalamah, 2007), h. 38

23 Laila Rismadiati, SPdI (alumni Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo/ Dewan


(50)

cenderung masih meneruskan tradisi klasik. Kultur yang ada juga masih belum begitu berbeda dengan kultur yang ada dalam pesantren salafiyah.24 Munculnya berbagai varian pondok pesantren di wilayah Lampung merupakan fenomena awal kebangunan pesantren-pesantren modern di wilayah tersebut.

Pendidikan Islam yang bercorak modern diyakini pertama muncul pada permulaan abad ke-20, seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Muslim Indonesia. Istilah Pondok Pesantren Modern umumnya dikontraskan dengan Pondok Pesantren Tradisional yang dianggap identik dengan kejumudan berpikir, taqlid,25 dan sistem pendidikan yang kurang efektif.26 Diantara para tokoh pendidikan Islam Indonesia yang dianggap mempunyai peran dalam merumuskan konsep Pondok Pesantren Modern adalah KH. Imam Zarkasyi, Pendiri Pondok Modern Gontor Jawa Timur. Dalam pandangannya pesantren harus menerapkan kebebasan berpikir, manajemen yang efektif dan efisien dan tak kalah pentingnya santri harus dikenalkan dengan modernitas dalam berbagai aspek.27

Pola pembelajaran santri yang mengagungkan salah satu mazhab dapat menyebabkan santri menjadi kurang mempunyai kebebasan berpikir. Sejak awal Gontor berupaya untuk tidak terlalu mementingkan mazhab tertentu dalam

24

Karakteristik dari kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut merupakan suatu keunikan. Keunikan tersebut yang dalam pandangan Clifford Geertz sebagai subkultur masyarakat Indonesia yang hanya berkutat pada soal “kuburan dan “ganjaran”. Geetz, “The Javanese Kyai: The Changing Role on a Cultur Broker” dalamComparative Studies in Society and History, 1989, h. 245. baca juga Siti Zahrah, Rekonstruksi Pesantren, Menuju Kompetisi Global, Yogyakarta: Citra Press, 2006, h. 34.

25

Taqlid merupakan bentuk peniruan/ melakukan suatu amal ibadah syar’i dengan meniru kepada para ulama’ yang meletakkan dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad saw. Praktek semacam ini dikarenakan ketidakmampuannya untuk berijtihad, maka hukum bertaqlid dalam tradisi NU tidak dipermasalahkan. H. Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU,(Yogyakarta: Tradisi Pesantren, 2007), h. 20

26Jajang Jahroni,”Merumuskan Modernitas: Kecenderungan dan Perekembangan

Pesantren di Jawa Tengah” dalam Jajat Burhanuddin,Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan Islam Indonesia,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). h. 113

27Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi,

Biografi K.H. Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pondok Modern,(Ponorogo: Gontor Press, 1996), h. 33-35


(1)

Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Universitas Indonesia Press & Tintamas, 1986

Hielmy, Irfan KH., Modernisasi Pesantren, Meningkatkan Kualitas Umat Menjaga Ukhuwah,Bandung: Nuansa, 2003

Imran, Arifin, Kepemimpinan Kiai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng,(Jombang: Kalimasada Press, 1991)

John, W. Best and James V. Kahn, Research in Education, Boston: Allyn and Bacon,1993

Khadim, al-Haramain asy-Syarifain,Al-Qur’an dan Terjemahnya,Madinah: t.th Khalid, Abu MA, Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa,

(Surabaya: Karya Ilmu, t.th)

Koentjaraningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat,Jakarta: Gramedia, 1997 Kuntowijoyo,Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi,Bandung: Mizan,1991 Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru,

2003

Madjid, Nurcholish, “Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi” , Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,Bandung: Mizan, 1987

---, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997)

Al-Mahallî, Jalaluddin dan Jalluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuty, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm lil Imâmain al-Jalâlain, Semarang: Makatabah Toha Putera, t.th

Mahfudh, Sahal, KH. MA.Nuansa Fiqih Sosial,Yogyakarta: LKiS , 2003 ---,Pesantren Mencari Makna,Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999

Al-Maududî, Abu al-A’la, Langkah-Langkah Pembaharuan Islam, terj. Dadang Rahmad dan Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Malik, Dedy Djamaluddin (ed), ZAMAN BARU ISLAM INDONESIA, Pemikiran dan Aksi Politik,Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,Jakarta: INIS, 1994

Mas’ud, Abdurrahman dalam, Dinamika Pesantren dan Madrasah,Ismail SM. Et.al. (ed) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002


(2)

Moleong, Lexy J.,Metodologi Penelitian Kualitatif,Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000

Moestoko, Sumarsono, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1986

Muhajir, Noeng, Filsafat Pendidikan Multikultural Pendekatan Postmodern, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2004

---,Metodologi Penelitian Kualitatif,Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000

Mutahhari, Murtadha, Gerakan Islam Abad XX, (terj) Fachry Ali, Jakarta: PT. Boenabi Cipta, 1986

Muzadi, Hasyim, Nahdlatul Ulama’ di tengah Agenda Persoalan Bangsa, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2002

An-Nahlawî, Abdurrahman, Ushul Tarbiyah Islamiyyah wa Asalibaha fi al-baiti wa al-madrasah wa al-mujtama’, terjemahan Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

Nata, Abuddin, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003

---,Modernisasi Pendidikan di Indonesia,Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006 ---, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sejarah dan Filsafat

Pendidikan,Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang,Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 Maret 2004

---, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003

Noer, Deliar, gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945,Jakarta : LP3ES, 1980 Pasha, H. Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai

Gerakan Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Pedersen, J,The Arabic Book,(terj), Bandung: Mizan, t.th

Poerbakawatja, Soegarda,Ensiklopedi pendidikan,Jakarta: Gunung Agung, 1976 Porter, Bobbi De, et al,Quantum Teaching,Bandung: Mizan,2001

Al-Qardlawî, Yusuf, al-Rasul wa al-Ilm, (ter) Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991

Al-Qusyairî, Abî ‘Abdullâh Muhammad ibn Yâzid, Al-Sunan Ibnu Mâjah, t.tp: Isa al-Bâbi wa Syirkah


(3)

Al-Qusyairî, Muslim Ibn al-Hajjâj ibn Muslim, Sahîh Muslim, Kairo: Dar al-Hadis, juz III

Al-Syaibanî, Omar Muhammad Al-Toumy, Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, (terj) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979

Rahardjo, M. Dawam (ed), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985

Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam Indonesia,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001

Ramayulis,Metodologi Pendidikan Agama Islam,Jakarta: Kalam Mulia, 2005

Robert, C. Bogdan and Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction to Theories and Methods,Boston, 2003

Rosyada, Dede, Bahan Ajar Penelitian Kualitatif Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saleh, Abdul Rahman, Konsepsi dan Pengantar dasar Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: DPP GUPPI, 1993)

Saridjo, Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1983

Saurah, Abû Îsâ Muhammad ibn Îsâ, Sunan al-Tirmidzi,Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Shihab, M. Quraish,Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan,1992

Stanton, Charles Michael,Pendidikan Tinggi dalam Islam,(terj), Jakarta: Logos,1994 Steenbrink, A Karel., Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam

(Modern),Jakarta: LP3ES, 1986

Sujana, HD. S, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, Bandung: Falah Production, 2001

Suparta, Mundzier (ed),Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003 Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik,

Bandung; Tarsito, 1982

Susilo, Ahmad, MSi,Strategi Adaptasi Pondok Pesantren, Jakarta, Kucica, 2003 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak, Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan

Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,Yogyakarta: Belukar, 2004

Tauchid, Moh, Masalah Pendidikan Rakyat, Bogor: Dewan Partai-Partai Sosialis Indonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954

TILAAR, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia,Jakarta: Grasindo, 2002


(4)

Van, Bruinessen Martin, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1992

Wahid, Abdurrahman, “Agama dan Modernisasi adalah satu”, dalam Majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa,No. 40/ Thn. VI/ 1985

---, Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, dalam Manfred Oepen, dan Wolfgang K. (ed), Dinamika Pesantren, (Jakarta: P3M, 1988)

Wijaya, Cece, dkk., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: CV.Remaja Karya, 1988), cet. ke-1,

Woodward, Mark R.,Islam Jawa,Yogyakarta: LkiS, 1999

Yatim, Badri,Sejarah Peradaban Islam,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997

Yunus, Mahmud, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990, cet ke-3.

---, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim Ponorogo: Pondok Modern Gontor Ponorogo, 1986

Yûsuf, Al-Hasan Muhammad, Pendidikan Anak dalam Islam, (terj) Muhammad Yusuf Harun, Jakarta: Darul Haq, 1998

Zarkasyi, Abdullah Syukri,Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

---, Pondok Pesantren Sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan Untuk Program Pengembangan Studi Islam Asia tenggara, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 1990

Az-Zarnuji, Burhanudin,Ta’lîm al-Muta’alîm, Semarang : Toha Putera, t.th.

Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Butche B. Soendjono (terj), Jakarta: LP3M, 1985

az-Zuhaili, Wahbah, Al-Qur’an al-Kariim : Bunyatuhu al-Tasyri’iyyah wa Khasaa’isuhu al-Hadhaariyyah¸ (terj) Syarif Hade Masyah, Jakarta: Mustaqim, 2002

Zuharini dkk, Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Kamus

Anis, Ibrahim,al-Mu’jam al-Wasith, juz 1, Kairo: t.p., 1972

Cowen, J. Milten (ed) Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, New York:t.p., 1971


(5)

John, M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003

Manzur, Ibn,Lisaan al-Arab,T.tp: Darul Ma’arif, t.th

Munawwir, A.W, Kamus al-Munawwir,Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of English Language,

The United States of America: William Collin Publisher, INC, 1980 Yunus, Mahmud,Kamus Arab Indonesia,Jakarta: 1990

Majalah

Majalah Gontor (Jakarta),Edisi 01, V. Mei, 2007

Majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa,No. 40/ Thn. VI/ 1985 MajalahTaswirul Afkâr,edisi No.6 tahun 1999, h. 97

Wawancara

Muhammad Amin HS, S.PdI (Kepala Tata Usaha SMK Darul A’mal)

KH. Ali Komaruddin, al-Hafiz, (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an) Saifurrizal SPd (Kepala Asrama Pelajar Kota MetroLampung )

Muhammad Syarif (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal)

Rosyadi (Pemimpin Jamaah Yasin/ Tahlil dusun II Mulyojati Metro Barat) Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Muhammad Saiful Hadi, Lc, (Direktur TMI Roudlotul Qur’an),

Husni Mubarok (Ketua Seksi Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Ira Shofiyatuzzulfa (santri tahfiz Roudlotul Qur’an)

Abdurrahman (Ustadz Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an alumni Pesantren Salafiyah),

Laila Rismadiati, SPdI (alumni Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo/ Dewan Pembina Asrama Pondok pesantren Roudlotul Qur’an),

Muhammad Sayyid Wijaya (alumni Pondok Pesantren Darussalam Tegineneng) Khalimi (Ta’mir Masjid Darul Muttaqin, desa Rejokaton Kecamatan Raman Utara)

Ahmad Sukemi (Ketua Kelompok Santri Tambak Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa)


(6)

Muhammad Muhibbin (Pengasuh Pesantren Tri Bhakti Al-Mubarok, desa Umbul Raman Keramat, Spontan yang berada di wilayah Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah)

KH. Ihwanul Faruq (Ketua Ikatan Alumni Santri Tri Bhakti Attaqwa),

Ky. Umar Ansori (Pengasuh generasi kedua pondok Pesantren Darul A’mal Metro) Muhammad Muballighin Adnan, S.HI, (Kepala Lembaga Pendidikan Tri Bhakti

Attaqwa)

KH. Imam Suhadi (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qodiri),

Muhammad Nurul Baqy (Kepala Madrasah Diniyah Tri Bhakti Attaqwa An-Nahdliyyah),

Musnad Ngaliman. S.H.I, (Ketua Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Periode 2004-2005)

Heri Suwarto, S.PdI (Ketua Persatuan Guru Diniyah Indonesia Cabang Metro Lampung)