Akar-Akar Tradisionalisme Modernisasi pondok pesantren (studi atas pola pengembangan pendidikan modern di Pondok Pesantren Roudlotul-Qur’an Mulyojati Metro Lampung)

85 mengadopsi secara total pesantren awal yang menjadi induknya dan akan terjadi jalinan silaturahmi yang baik antara pesantren induk dengan pesantren yang baru. Sehingga pada gilirannya pesantren baru tersebut akan cepat tumbuh besar dan terkenal karena kharisma dari kyai pertama yang cukup kuat sehingga pesantren tersebut bisa tetap eksis. 36 Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan cara mengikutsertakan para santri yang sudah mempunyai keilmuan agama Islam yang cukup dan pengalaman bermasyarakat yang baik untuk disiapkan menjadi para ustadz di pesantren baru tersebut. 37 Untuk tipe pesantren di atas dapat dilihat di Pondok Pesantren Hidayatut Tullab di Way Jepara Lampung Timur, pesantren ini merupakan pesantren yang dibangun dari lahan yang awalnya tanah kosong dan berada di kawasan yang rawan perampokan. Berkat kharisma dari KH. Muhtar Sya’roni yang mengasuh Pondok Pesantren Miftahul Falah, Sumber Sari, Teluk Dalem Mataram Baru Lampung Timur pesantren yang dibangun di lahan tersebut perlahan-lahan menjadi besar. Dalam hal ini kuatnya pengaruh KH. Sya’roni menjadi salah satu faktor penting yang membuat Pondok Pesantren Hidayatut Tullab diterima di masyarakat sekitar pesantren baru tersebut. 38 36 Contoh nyata dari hal tersebut adalah pendirian Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa Al- Bahari yang terletak di desa Keramat Kelurahan Sidang Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. Pada awalnya di desa ini terdapat hutan “kayu gelam” yang berada di sekitar muara sungai Way Seputih yang berdekatan langsung dengan pantai Timur pulau Sumatera, kemudian diubah menjadi areal pertanian dan yang lebih dekat ke sungai dijadikan areal pertambakan ikan air tawar. Pertimbangan lahan yang mempunyai potensi ekonomi menjanjikan, beberapa alumni Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa Raman Utara Lampung Timur akhirnya ikut pula membuka lahan dan ada yang menetap di sana dan ada pula yang hanya menjadikannya umbulan tinggal sementara di sekitar lahan ketika musim tanam saja. Akhirnya di kawasan tersebut didirikan Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa Al-Bahari pada tanggal 17 Januari 1995. Ky. Sholihin, Wawancara, tanggal 17 Februari 2008 37 Muhammad Fahimul Huda Ketua Dewan Asatidz Pondok Pesantren Hidayatut Tullab, Lampung Timur, Wawancara, tanggal 7 April 2008 38 Sebenarnya pesantren tersebut merupakan upaya kerjasama dengan KH. Muntaha yang berasal dari Banyuwangi Jawa Timur. Karena beliau juga masih mempunyai ikatan persaudaraan yang dekat dengan KH. Muhtar Sya’roni, maka pesantren ini seolah-olah menjadi pesantren yang dikelola dengan kolektif, akan tetapi struktur kepengurusan dan pembagian job kerja masing-masing sudah 86 Hal yang sama terjadi pula di Pondok Pesantren Nurul Qodiri yang berada di desa Simpang Bandar Sakti, Kali Palis Lempuyang Bandar Kecamatan Way Pengubuan Kabupaten Lampung Tengah. Pesantren ini didirikan dengan bekal memboyong santri kelas III Aliyah dari Pondok Pesantren Darus Sa’adah Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah untuk bersama-sama mendirikan pondok pesantren baru di lahan yang pada awalnya kawasan untuk menanam singkong. Meski umur pesantren tersebut baru tiga tahun, namun perkembangannya cukup baik sehingga pada peringatan ulang tahun pesantren yang ketiga jumlah santri sudah mencapai 200 orang santri mukim dan sekitar seratus santri kalong hanya mengaji di pondok, namun tidurnya di rumah masing-masing. 39 Angka ini tentu saja cukup fantastis mengingat lokasi pesantren yang berada di pedesaan yang tidak terlalu padat penduduknya dan berdekatan dengan kawasan perkebunan nanas milik PT. Great Giant Pineapple Company. 40 Di sisi lain Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an merupakan prototype dari pesantren yang berasal dari figur KH. Ali Qomaruddin, SQ, al-Hafiz yang pada awalnya membentuk pengajian Al-Qur’an di rumah beliau. Dengan berkembangnya waktu jumlah santri yang tertarik untuk mengikuti pengajian semakin banyak, sehingga pada perkembangan selanjutnya didirikanlah secara resmi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an hingga berkembang sampai saat ini. jelas. Upaya ini nampaknya mirip dengan awal mula kebangunan pesantren-pesantren modern yang biasanya dibangun secara kolektif dan masih mempunyai ikatan saudara. Ustadz Fahimul Huda Ketua Pondok Pesantren Hidayatut Tullab, Wawancara, tanggal 12 Nopember 2007 39 Seksi Dokumentasi Panitia Ulang Tahun ketiga Pondok Pesantren Nurul Qodiri, Way Pengubuan: PPNQ, 2008. h. 3 40 Di kawasan tersebut terdapat beberapa perusahaan perkebunan swasta misal PT. Umas Jaya Farm nanas, kelapa sawit, bambu, dan mengkudu, PT. Gunung Madu tebu, PT. Gula Putih Mataram tebu, Sweet Indo Lampung tebu, dan Indo Lampung Perkasa tebu. Sehingga di kawasan perusahaan-perusahaan tersebut banyak terdapat housing bedeng tempat bermukimnya para karyawan tetap maupun harian temporal bersama sanak keluarganya. Dari sinilah akhirnya beberapa dari karyawan tersebut memilih Pondok Pesantren Nurul Qodiri untuk memondookan anak-anaknya. Ustadz Saiful Anwar Ketua Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Nurul Qodiri, Wawancara tanggal 13 Mei 2008 87

B. Sejarah Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an

Pondok pesantren Roudlotul Qur’an merupakan lembaga pendidikan Islam yang pada awal mulanya didirikan oleh Drs. KH. Ali Komaruddin, SQ. al-Hafidh yang secara resmi dibuka pada tanggal 27 Juli 2001. 41 Motivasi utama didirikannya pondok pesantren ini adalah sebagai respon atas kian langkanya ulama yang menguasai disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an ‘ul ǔ m al-Qur’an baik yang berkaitan langsung dengan tahfîz al-Qur’an maupun keilmuan al-Qur’an yang lain. 42 Mengingat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, maka seharusnya ada sebagian muslim yang menjaga dan men-tadabburi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam di dunia ini. Karena sesungguhnya al-Qur’an itu sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. 43 Momentum awal yang mengagumkan adalah di tahun pertama pendiriannya pondok pesantren telah berhasil mewisuda empat orang hâfiz disusul dengan diwisudanya tujuh orang hâfiz pada acara wisuda kedua. 44 Sebelum didirikan Lembaga Pendidikan Roudlotul Qur’an ini sebenarnya di desa tersebut telah ada lembaga pendidikan yang lain yakni Pondok Pesantren Darul A’mal. Bahkan Pendiri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dahulunya merupakan 41 Dokumentasi Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, h. 3 42 Dari pendataan yang dilakukan pihak Kolonial Belanda dalam laporan statistik tahun 1885 tersebut dapat ditemukan bahwa bentuk dan tingkatan dalam sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa, ternyata 45 dari jumlah lembaga tersebut adalah lembaga pengajian yang mengajarkan pembacaan al-Quran, dasar-dasar bahasa Arab, kitab-kitab pengetahuan agama tingkat dasar sampai tinggi yang tergolong sebagai pesantren hal tersebut merupakan kesimpulan yang diberikan oleh LWC van Den Berg. Hanun Asrahah, Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan, dan Pelembagaan Jakarta: Departemen Agama RI-INCIS, 2002, h. 7 43 QS. Al-Baqarah: 2 44 Pada awal pendiriannya, pondok pesantren hanya mengelola pendidikan yang masih sederhana baik perangkat kasarnya hardware maupun perangkat lunaknya software. Program tahfîz al-Qur’an merupakan program inti yang wajib diikuti oleh seluruh santri, diantaranya dimulai dengan khatam al-Qur’an dengan lancar, fasih, dan sesuai dengan hukum tajwîd bi nazar membaca al-Qur’an 44 kegiatan pembelajaran semuanya belum menggunakan sistem klasikal, semua lini pendidikan hanya menggunakan sistem sorogan dan kyai merupakan figur sentral terhadap apapun yang berkenaan dengan pembelajaran dan keadaan lingkungan asrama pondok. KH. Ali Komaruddin, Wawancara tanggal 23 Agustus 2006 88 tenaga pengajar ustadz di Pondok Darul A’mal. Sedangkan Pondok Pesantren Darul A’mal sendiri corak pendidikan yang dilakukan bersifat semi formal artinya mengadakan pendidikan tradisional dan juga formal yang menginduk ke Departemen Agama, yaitu Madrasah Tsanawiyah MTs, Madrasah Aliyah MA. 45 Berbeda dengan awal pendirian Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang memilih konsentrasi terhadap al-Qur’an dan segala keilmuan yang mempunyai keterkaitan dengannya. Dalam hal ini Pondok Pesantren lebih mengedepankan pendidikan seni baca al-Qur’an Tilâwah al-Qur’an, hafalan al-Qur’an tahfîz al Qur’an. Ini dilandasi karena pendirinya Drs. KH. Ali Qomaruddin merupakan alumni Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an PTIQ Jakarta dan semasa beliau menjadi Mahasiswa pernah menjadi duta Negara Indonesia pada perlombaan Tilâwah al- Qur’an Tingkat Internasional di Mesir. Pada perkembangan selanjutnya, santri yang menginginkan spesialisasi mempelajari ilmu-ilmu al-Qur’an ‘ul ǔ m al-Qur’an semakin bertambah, meskipun perkembangan jumlah santrinya relatif lamban, 46 hal ini disebabkan umumnya yang mondok hanya yang ingin menghafalkan al-Qur’an dan mempelajari seni baca al- Qur’an. Dan dipersempit lagi umumnya mereka yang aktif pada perlombaan Musabaqoh Tilawatil Qur’an MTQ 47 belum mengacu secara umum ke halayak 45 Dokumentasi Lembaga Pendidikan di Kecamatan Metro Barat, Arsip Kecamatan Metro Barat. 46 Dari tahun pertama pendirian 2001 sampai hingga tahun 2004 jumlah santri hanya berkisar 17 orang santri mukim. Karena program belajar yang masih sederhana, maka tak jarang dari jumlah tersebut santri tidak selalu aktif berada di asrama. Ahmad Sonhaji, Santri Tahfîzul Qur an, Wawancara. tanggal 12 Maret 2008 47 Musabaqoh Tilawatil Quran MTQ merupakan agenda kegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran LPTQ yang berada di bawah naungan Departemen Agama RI. Kegiatan ini bertujuan mengembangkan Al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam. Di samping itu juga sebagai ajang untuk menyeleksi para qâri qâriah, hâfizah untukj dikirim pada even-even internasional. Seperti pada pada 23 Oktober 2007 Provinsi Jawa Timur akan mengirimkan pesertanya untuk mengikuti Musabaqoh Tilawatil Quran MTQ Tingkat Internasional yang berlangsung di Saudi Arabia. Surabaya ANTARA News, tanggal 11 Agustus 2007 Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran ini secara resmi dibentuk pada tahun 1977 dan selama ini kiprahnya dalam memajukan umat Islam di bidang tulis-baca Al-Quran sudah cukup signifikan.bahkan dewasa 89 ramai. Keadaan demikian berdampak pada kurang adanya optimalisasi peran pesantren bagi umat Islam, mengingat kajian yang dibutuhkan umat Islam saat ini tidak hanya berkutat pada hal-hal tersebut. Peran optimal pesantren yang mempunyai spesialisasi dengan Al-Qur’an manakala Al-Qur’an yang turun dari langit tersebut mampu diaplikasikan dalam kehidupan. Tidak hanya terlepas pada upaya menjadikan Al-Qur’an sebagai barang yang sakral, namun kering dari makna yang mampu mengilfitrasi jiwa umat Islam. 48 Al-Qur’an yang turun dari langit harus diupayakan menjadi spirit dalam peri hidup umat manusia, untuk itu perlu usaha nyata agar dapat diterjemahkan tidak hanya dalam tataran linguistik akan tetapi haruslah diejawantahkan dalam setiap sisi kehidupan, meminjam istilah Quraisy Shihab 49 untuk dapat mengamalkan al-Qur’an maka harus dibumikan. Jika demikian halnya, maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh pihak pesantren Roudlotul Qur’an adalah membuat suatu sistem pembelajaran yang diharapkan bisa menjadi jembatan antara Al-Qur’an di satu sisi dan pengamalan kaum muslimin di lain sisi. Rumusan tersebut haruslah dapat pula memuat ilmu-ilmu penunjang lain yang berasal dari Hadits Nabi Muhammad SAW. maupun yang bersifat umum demi terciptanya keilmuan santri yang paripurna. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi dikotomi yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum. Mengingat pada umumnya pesantren-pesantren kurang memperhatikan ilmu umum karena dipandang sebagai ilmu dunia yang bersifat sementara. Padahal ini mulai berkembang LPTQ di tingkat Perguruan Tinggi Agama Islam WWW. Waspada.on-line, Jumat 9 Mei 2008 48 Kenyataan bahwa Al-Qur’an menjadi sesuatu yang hanya dibaca ataupun dihafalkan saja dengan tidak ada upaya untuk lebih memahami makna kandungannya hingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan merupakan salah satu tujuan dari Al-Qur’an itu sendiri yang dalam Surat al-Baqarah disebutkan sebagai hudan lil-muttaqîn. Konteks ini rasanya akan sulit terwujud manakala Al-Qur’an hanya dianggap sebagai sesuatu yang sakral, tanpa ada upaya untuk membongkar untuk dapat menggali isi kandungannya yang maha luas. Membaca Al-Qur’an memang bernilai ibadah yang besar. Namun besarnya nilai pahala tersebut hendaknya tidak serta-merta menghentikan dari upaya pengakajian lebih lanjut. Manna’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 21 49 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000, h. iii 90 pandangan tersebut untuk konteks zaman sekarang yang telah mengglobal ini perlu dikaji lagi. 50 Pada perkembangan selanjutnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berhasil mendapat hati di kalangan umat Islam, hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat yang begitu tinggi untuk memondokkan anaknya di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Terbukti dengan semakin menaiknya grafik jumlah santri, terutama setelah sistem mu’allimîn diberlakukan. Secara umum santri yang belajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis; pertama, santri yang menghafalkan Al-Qur’an saja dan tidak terikat dengan institusi pendidikan manapun. 51 Kedua, santri yang menghafalkan Al-Qur’an sambil melanjutkan pendidikan pada institusi pendidikan di luar Pondok Pesantren. Ketiga, santri yang belajar pada SMP atau SMA Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyah, mereka ini tidak menghafalkan al-Qur’an. Ketiga jenis santri tersebut tinggal di asrama Pondok Pesantren. Keempat, santri-santri Taman Pendidikan Al-Qur’an TPA yang tidak bermukim di asrama pesantren. Akan tetapi dari keempat jenis tersebut, yang paling mengalami kenaikan yang cukup signifikan adalah santri yang mengikuti program pendidikan Tabiyatul Mu’allimin. Pada tahun perdana pembukaan SMP TMI 2004 terjaring satu kelas, kurang lebih 20 siswasiswi. Maka pada tahun kedua terjaring dua kelas, kurang lebih 60 siswa siswi. Jadi kenaikannya berkisar antara 300. Dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa sistem ini mendapat respon positif dari umat 50 A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, Jakarta: Diva, 2001, h. 13 51 Santri tahfîz ini merupakan cikal-bakal dari santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang ada, akan tetapi dengan seiringnya waktu jumlahnya paling sedikit diantara santri lain. Bukan karena mengalami pengurangan jumlah santri, akan tetapi lebih dikarenakan lebih banyak santri yang memilih masuk sekolah formal daripada mengikuti program tahfîz ini. Dan pada umumnya yang mengikuti adalah mereka yang sudah tamat jenjang SLTA Madrasah Aliyah maupun Sekolah Menengah Umum ataupun dalam pendidikan diniyah sudah tamat tingkat Wustho, KH. Drs Ali Qomaruddin, al-Hâfiz, Wawancara, tanggal 7 Januari 2008 91 Islam. Hal ini dimungkinkan karena adanya upaya modernisasi pendidikan di Pondok pesantren Roudlotul Qur’an. Mengenai proses perkembangan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, yang selama ini melakukan pembaharuan menuju modernisasi pendidikan, baik dari segi organisasi kelembagaan, metode pembelajaran dan kurikulumnya. Tentu saja hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama dan mengembangkan ajaran Islam yang lebih universal dan akomodatif. 52

C. Visi dan Misi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 1. Visi

Visi merupakan mimpi besar yang ingin dicapai pada suatu program atau kegiatan. Dalam hal ini Visi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah : a. Menjaga kelestarian al-Qur’an yang sarat dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan science. 53 Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an tetap terpelihara keasliannya di samping berusaha menggali kandungannya untuk mendapatkan rujukan yang qath’i dari apa yang dipesankan al-Qur’an. Pemeliharaan al- Qur’an ini dimaksudkan sebagai pengamalan surat al-Hijr ayat 9. 54 b. Menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan pandangan hidup dalam kehidupan sehari-hari. 55 Mengupayakan pengamalan isi kandungan al-Qur’an dapat diserap dalam semua sisi kehidupan, sehingga al-Qur’an tidak hanya menjadi suatu bacaan sakral yang nisbi dari proses al-Qur’an yang membumi. Al-Qur’an sudah 52 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945, Jakarta : LP3ES, 1980, h. 322 53 Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an. h. 2-3 54 óäæõÙöÝÇ?Íóá?åóáÇ?äöÅ?æ?Ñúß?ÐáÇÇ?äúá?Ò?ä?ä?Í?äÇ?äöÅ Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya_. Q.S.al-Hijr : 9 55 Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an. h. 2-3 92 selayaknya dipandang sebagai sumber ilmiah yang menjadi motivator bagi kita untuk membedah isi kandungannya dan diaplikasikan dalam kehidupan. Visi ini merupakan pengejawantahan dari Surat Al-Isra’ ayat 9.

2. Misi

Misi merupakan kelanjutan daripada misi, artinya dalam mengupayakan tercapainya visi tersebut di atas, maka ditentukanlah misinya, yang adalah : a. Mencetak dan melahirkan kader-kader generasi penerus yang hafal al-Qur’an yang mempunyai kulitas tinggi. b. Membina qâri’ qâri’ah, tahfîz tahfîzah yang mempunyai kualifikasi dan memiliki wawasan qur’ani yang luas. c. Mencetak lulusan santri dan tenaga pendidik yang handal, berwawasan dan cerdas. 56 Visi yang digagas oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an nampaknya masih berada dalam posisi yang idealistis, sehingga pada tataran aksi yang diaplikasikan pada misi pesantren, kiranya menjadi suatu angan-angan yang tidak mudah diwujudkan. Misal, pada visi pertama berupaya melestarikan Al-Qur’an_ ini menjadi suatu istilah yang terlalu luas untuk dijangkau, apakah pelestarian itu dimaksudkan untuk memproduksi hafiz yang dengan hafalan tersebut Al-Qur’an dimaksudkan akan tetap lestari, atau ada upaya-upaya lain, seperti berupaya memahaminya dengan mengajarkan kitab-kitab tafsir? Sementara apabila santri- santri yang berkonsentrasi pada penghafalan Al-Qur’an hanya mendapatkan pengajian Al-Qur’an dengan metode sima’i santri menghafalkan Al-Qur’an dan memperdengarkan bacaannya kepada guru dan metode talaqqy santri berhadapan langsung dengan guru. Bagi santri putra waktunya sehabis sholat subuh dan 56 Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an, h. 3 93 sehabis sholat maghrib, sementara untuk santri putri waktunya sehabis subuh dan sehabis sholat ‘isya. 57 Untuk mencapai tingkat ideal yang dicita-citakan tersebut, kiranya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mempunyai pekerjaan rumah yang berat. Sebut saja misi pada poin pertama a, kendati pada dekade awal pesantren telah berhasil melaksanakan beberapa kali upacara wisuda, akan tetapi bila dilihat dari jumlah keseluruhan santri yang ada pada tahun ajaran 2006 2007, dari 294 santri, hanya 34 santri yang mengambil spesialisasi tahfîz al-Qur’an, atau hanya sekitar 11,5 santri dari jumlah keseluruhan. Dengan demikian pada gilirannya alumni yang hafal al-Qur’an berada pada level minoritas. Dengan demikian Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang pada awal pendiriannya merupakan pesantren tahfîz al-Qur’an 58 akan kehilangan identitasnya, dan dikhawatirkan hal ini akan memudarkan spirit yang termaktub pada visi di atas. Tabel 2 Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berdasarkan Jenjang Pendidikan TA. 2006 2007 No Jenjang Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah 1 TPA 21 29 50 2 SMP TMI 76 82 158 3 SMA TMI 9 35 44 4 Tahfidhul Qur’an 15 19 34 5 Lain-lain 3 5 8 JUMLAH 124 170 294 Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2007 57 Ahmad Ansori Pengurus Santri Putra, Wawancara , 23 Juni 2006 58 Perlu dicatat di sini, bahwa dalam sosialisasi awal kebangunan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dalam nama resminya selalu menyertakan tahfîz al-Qur’an, baik dalam kop surat, papan nama, dan penulisan-penulisan resmi lainnya, kendati dalam akta notaris pendirian yayasan hanya mencantumkan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an tahfîz al-Qur’an. Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. 94 Di sisi lain, visi dan misi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an apabila dihadapkan dengan modernisasi, pada level tertentu berada pada posisi yang selaras, ini setidaknya terlihat dari semangat yang terkandung dalam visi maupun misi yang cukup terbuka dan adaptatif, namun dalam level yang lain, nampaknya terdapat ambivalensi terutama pada ketiga poin misi pondok pesantren yang seakan hanya mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu mempunyai lulusan hafîz hafîzah , kemudian yang kedua qari’ qari’ah dan yang ketiga guru. Dari sini tentu saja apabila modernisasi bergerak sejajar dengan globalisasi, tentu saja akan menjadi penghambat modernisasi, dimana modernisasi menuntut adanya profesionalitas dalam berbagai bidang, 59 dan ini tidak akan cukup hanya mengandalkan ketiga varian lulusan tersebut.

D. Keadaan Santri, Pengurus, dan Tenaga Pengajar 1. Santri

Secara umum santri yang belajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian. Pembagian tersebut mengacu pada pola pendidikan yang diikuti santri dimaksud dan tersedia di dalam Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an maupun lembaga institusi pendidikan lainnya yang ada di lingkungan sekitar dan Kota Metro pada umumnya. Berdasar pada kondisi faktual tersebut, maka dapatlah dikategorisasikan menjadi: 1. Santri yang belajar dan tinggal di pondok mengikuti program pendidikan yang diadakan oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, mereka umumnya yang mengikuti jenjang pendidikan pada tingkat SLTP. dan SLTA. Ini merupakan santri yang mendominasi dari keseluruhan santri. Dan pada umumnya mereka yang tertarik mengikuti pendidikan di tarbiyat al-mu’allimîn wa al-mu’allimât 59 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002, h. 16 95 al-islâmiyyah. Dan juga santri yang secara intens mengkhususkan diri bergelut dalam program tahfîz al-Qur’an, dalam kuantitasnya santri ini menduduki porsi berkisar 70 – 72 lihat tabel 2 dari total keseluruhan santri yang ada. 60 2. Santri yang tinggal di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, akan tetapi juga mengikuti pendidikan di luar pondok, dalam kelompok ini terdiri atas santri yang menginginkan jalur pendidikan lain yang tidak belum ada di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, umumnya santri yang yang berada pada jenjang pendidikan Perguruan Tinggi dan Sekolah Dasar SD, ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan santri, karena biasanya santri yang sudah mengambil program pendidikan di perguruan tinggi hanya mereka yang sudah mengajar ustaz. 3. Santri yang tidak tinggal di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an akan tetapi mereka mengikuti program pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok, umumnya adalah mereka yang berada di lingkungan desa Mulyojati dan pendidikan yang diikuti adalah Taman Pendidikan Al-Qur’an TPA. 61 Untuk santri yang bukan TPA hampir bisa dikatakan tidak ada, karena kendatipun ada biasanya mereka hanya pada waktu-waktu tertentu dan tidak secara reguler, misalnya karena akan diadakan even Musabaqoh Tilawatil Qur’an, sehingga ada beberapa orang santri yang belajar tilawah hafiz karean akan mengikuti even MTQ tersebut. Mengacu pada ketiga kelompok santri tersebut, secara lebih detail dapat dilihat dalam tabel berikut : 60 Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2008 61 Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an TA. 2006-2007 96 Tabel 3 Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berdasarkan pendidikan yang diikuti TA. 2006 2007 No Santri Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Tinggal di asrama dan mengikuti pendidikan di Pondok Pesantren Roudlotul Quran 100 136 246 2 Tinggal asrama tetapi mengikuti pendidikan di luar Pondok Pesantren Roudlotul Quran 3 5 8 3 Santri yang tidak tinggal di Pondok tetapi mengikuti pendidikan di pesantren Roudlotul Quran 21 29 50 JUMLAH 124 170 294 Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2007 Tabel 4 Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Quran tahun 2001-2008 Tahun Santri 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Putra 8 9 11 21 56 106 176 233 Putri 7 10 16 27 54 140 187 239 Jumlah 15 19 27 48 110 246 363 472 Sumber : Sekretaris Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Dari tabel tersebut dapat dipahami bahwa Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mempunyai santri dengan jumlah seluruhnya 294 orang. 97 Hal ini menunjukkan kenaikan jumlah yang cukup dinamis bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan setelah diteliti dengan mendalam dari berbagai sumber ternyata latar belakang keluarga orang tua santri yang mempunyai animo tinggi terhadap Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berasal dari latar belakang yang cukup heterogen, kendati latar belakang ekonomi menengah ke bawah mendominasi, dan pekerjaan orang tua sebagai petani menduduki tempat yang paling tinggi. Ditambah lagi secara umum mereka adalah yang secara kultural 62 adalah kaum nahdliyyin yang kental dengan Islam yang tradisionalis. Hal ini apabila penulis kaitkan dengan pola-pola kemodernan, maka akan timbul suatu pertanyaan apakah mereka yang mengirimkan anaknya ke Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an untuk belajar adalah karena semata-mata aspek-aspek kemodernan menjadi alasan utama? Atau karena figur sentral kyai sebagai top leader begitu dominan bagi ketertarikan orang tua santri terhadap pesantren ini? Untuk itu perlu kiranya penulis memaparkan latar belakang sosial ekonomi wali santri untuk mendapatkan gambaran apakah wali santri mempunyai kecenderungan kepada pendidikan Islam yang modern, mengingat dalam lapisan masyarakat tertentu modern masih dianggap sebagai suatu ancaman bagi keberlangsungan budayanya. Sehingga mereka pada umumnya sedapat mungkin berusaha menghindarkan diri atau melakukan filterisasi yang cukup ketat. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam tabel berikut: 62 Untuk kasus di Lampung pada umumnya, mereka yang secara faktual adalah kalangan pendatang transmigran dan tidak secara tegas menolak tradisi-tradisi keagamaan yang dilegalkan dan mentradisi di kalangan NU maka secara kultural ‘dianggap’ sebagai orang NU, meski secara organisasi tidak jelas kapan ia resmi menjadi anggota atau apakah ia benar-benar memahami apa itu NU. Hal ini seperti dikatakan KH. Drs. Khoiruddin Tahmid Mantan Ketua Tanfidiyah NU Wilayah Lampung yang dalam satu kesempatan di suatu Seminar yang diadakan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri STAIN JURAI SIWO Metro mengklaim keanggotaan warga NU dapat dilihat dari ketidakpunyaannya Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah, Salafi, atau Hizbut Tahrir. Hal ini kendati tidak dapat dijadikan argumen yang kuat, namun dapat dijadikan suatu gambaran bahwa kebanyakan warga NU yang ada merupakan mereka yang secara kultur sama dengan kultur NU. KH. Khoiruddin Tahmid, Nahdlatul Ulama’ dan Dakwah Kultural, Makalah Seminar tanggal 13 Juli 2007 98 Tabel 5 Latar Belakang Ekonomi Wali Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an No Latar Belakang Ekonomi Kuantitas 1 PNS 10 2 Pedagang pengusaha 9 3 Wira usaha 12 4 Petani 61 5 Karyawan swasta 8 Sumber: Data base Ahmad Komaruddin Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum. Dari masyarakat yang sebagian besar adalah petani dan tinggal di pedesaan, tentu saja mereka adalah golongan yang masih bisa dikatakan marginal dengan tingkat ekonomi yang berada pada level bawah dan tingkat penyerapan teknologi dan informasi yang masih rendah. Dari kenyataan di lapangan sebenarnya sebagian besar para wali santri ketika memilih Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah karena semangat modernisasinya, yang dengan pola kemodernan ini diharapkan anaknya akan mendapat keilmuan yang lebih daripada yang lain. Akan tetapi di sisi lain mereka juga mempunyai kekhawatiran terhadap berkurangnya substansi materi keagamaan yang disampaikan, mengingat dari sejumlah materi pelajaran yang disampaikan porsi pelajaran agama menjadi menyempit waktunya karena banyaknya kegiatan ekstrakurikuler. 63 Banyaknya waktu yang tersedia untuk memberikan materi agama sebelum dilakukan modernisasi dianggap lebih berpotensi bagi santri untuk mendalami ilmu agama Islam dibandingkan dengan ketika materi keagamaan disampaikan bersamaan dengan materi umum, sehingga beban pelajaran yang harus dipelajari santri menjadi banyak. Keadaan ini pada gilirannya akan menyulitkan santri yang tingkat kecerdasannya rendah dan boleh jadi akan mengaburkan hasil 63 Subandi, Wali Santri Roudlotul Qur’an, Wawancara, tanggal 3 Mei 2008 99 akhir santri, sehingga kekhawatiran yang paling ditakuti adalah ilmu agama kurang menguasai dan ilmu umum juga kurang berhasil diperoleh. 64 Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, mengingat pesantren yang selama ini ada dalam pikiran mereka adalah pesantren salaf yang memberikan porsi lebih besar atau keseluruhan materi-materi pelajaran agama. Dan di saat yang bersamaan mereka dihadapkan pada keinginan generasi penerusnya untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan umum dan tidak juga buta terhadap ilmu-ilmu agama. Hal yang berbeda dapat ditemukan pada orang tua yang berlatar belakang Pegawai Negeri Sipil yang secara umum mendukung modernisasi pendidikan yang dilakukan dengan segala konsekuensinya. Ini lebih disebabkan karena mereka pada awalnya lebih memilih pendidikan umum SMP SMA untuk membekali anak- anaknya dan menginginkan tambahan pelajaran agama meski dalam porsi lebih sedikit. Dan kesempatan bagi anaknya untuk memperoleh pendidikan umum yang nantinya dapat dipergunakan untuk mencari kerja menjadi PNS lebih berpeluang. Oleh sebab itu SMP SMA Tarbiyat al-Mu’allimîn wa al-Mu’allimât Al-Islâmiyyah TMI dianggap sebagai pilihan yang tepat. Kemudian bila ditelusuri latar belakang orang tua dari sisi kesenderungannya pada golongan-golongan keagamaan, maka dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 6 Kecenderungan Wali Santri pada Organisasi Keagamaan No Kecenderungan Pada Golongan Kuantitas 1 Nahdlatul Ulama’ 85 2 Muhammadiyah 12 3 Lain-lain 65 13 64 Memang diakui kendati sistem TMI yang dijalankan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mengadopsi sistem TMI ala Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura, akan tetapi untuk hal-hal tertentu mempunyai perbedaan. Diantaranya semua materi umum yang diajarkan di SMP juga diajarkan semua di SMP TMI.. Roudlotul Qur’an. Saiful Hadi, LC, Direktur TMI Roudlotul Qur’an 100 Dengan mempertimbangkan latar belakang ini, setidaknya akan dapat dilihat keberpihakannya pada modernisasi. Seperti diketahui bahwa modernisasi pendidikan Islam lebih mendapat respon yang baik di kalangan Muhammadiyah, dan berbanding silang dengan Nahdlatul Ulama yang ingin mempertahankan identitas kesalafiyahannya . 66 Dengan demikian, ini menjadi suatu hal yang patut dicermati, dari latar belakang yang kebanyakan NU, 67 namun menginginkan pendidikan yang mulai menerapkan prinsip-prinsip modernitas. Dari kenyataan tersebut, boleh jadi orientasi orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren mengalami perubahan. Pesantren yang hanya memberikan pelajaran agama dan cenderung fiqh oriented yang didominasi pesantren-pesantren salaf, lulusannya dianggap kurang mampu bersaing di dunia kerja dan ini menjadi persyaratan di zaman globalisasi ini. Sehingga mereka mengharapkan anaknya yang lulus dari pesantren juga mengantongi ijazah umum yang bisa dipergunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya dan tidak mesti memilih spesialisasi ilmu-ilmu agama. Atau boleh jadi alasan lainnya karena elemen yang ada di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an bukanlah dari kalangan Muhammadiyah ataupun yang lainnya, karena Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah salah satu pengurus Tanfidyah Nahdlatul Ulama tingkat Cabang di Kota Metro. 68 65 Komaruddin, Wawancara, tanggal 23 Januari 2008. Data tersebut memang belum bisa dianggap valid mengingat proses pengambilan sumbernya tidak bisa langsung kepada para wali santri sebagai obyek observasi. 66 Baca Fuad Jabali Membangun Pesantren di Ranah Sunda: Belajar dari Darul Arqam_ dalam Jajat Burhanudin dan Dina Afrianty penyunting Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, h. 272-274. 67 Kendati pada lapis bawah masyarakat nahdliyyin sering diidentikkan dengan yang kurang merespon modernisme, akan tetapi sebenarnya di lapis atas di kalangan intelektual NU lahir tokoh- tokoh yang merefleksikan semangat modernisasi dengan pemikiran dan gagasan yang demokratis, liberal, inklusif, serta moderat yang menjadi ciri dari modernisme. Majalah Taswirul Afkâr, edisi No.6 tahun 1999, h. 97 68 Dokumentasi Susunan Dewan Pimpinan Cabang NU Kota Metro tahun 2006