Strategi penerapan disiplin terhadap siswa

pemberian pengertian pada setiap pelanggaran, tentunya akan menimbulkan rasa keteraturan dan disiplin diri.” 36 Sangat banyak strategi yang bisa dilaksanakan dalam menerapkan disiplin di sekolah. Disiplin harus ditanamkan dan ditumbuhkan di hati para siswa, sehingga akhirnya disiplin itu akan tumbuh dari hati sanubari anak itu sendiri. Menurut Singgih D. Gunarsa, ada beberapa cara untuk mendisiplinkan siswa, yaitu : a. Cara otoriter Pada cara ini biasanya tokoh otoriter baik orang tua atau guru misalnya, selalu menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Dalam hal ini anak harus patuh dan tunduk serta tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Kalau anak tidak memenuhi tuntutan tersebut, ia akan diancam atau dihukum. Dalam kondisi ini, anak umumnya lebih merasa takut kalu tidak melakukan, kalau pun anak tersebut melakukannya itu bukan karena kesadaran dari dalam dirinya. Tokoh otoriter dalam kaitan ini hanya menentukan tanpa memperhitungkan keadaan anak. Dan tanpa menyelami keinginan dan sifat-sifat khusus anak yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Dengan cara otoriter, ditambah dengan sikap keras, menghukum, mengancam akan menjadikan anakn patuh di hadapan tokoh otoriter saja, tetapi di belakangnya, kebanyakan anak memperlihatkan reaksi- reaksi lain. Misalnya menentang atau melawan. Reaksi menentang atau melawan ini bisa ditampilkan dalam tingkah laku yang melanggar norma-norma dan yang menimbulkan persoalan dan 36 Singgih Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: Gunung Mulia, 2000, Cet. Ke-9, h. 140 kesulitan, baik pada dirinya, lingkungan rumah, sekolah dan pergaulannya. Di sekolah dimana guru menanamkan disiplin dengan cara otoriter, pada umumnya tidak banyak mengalami kemajuan- kemajuan dalam upaya mengembangkan kepribadian peserta didik. Melalui cara ini guru menganggap dirinya paling tahu atau benar, apa yang dikatakan dan diajarkannya adalah mutlak benar. Di sisi lain, peserta didik kurang diberi kesempatan untuk mengemukakan dan mengambangkan ide atau buah pikirannya. Para guru yang menanamkan disiplin melalui cara otoriter pada dasarnya telah melakukan suatu upaya penjinakan peserta didik. Artinya peserta didik dijinakan melalui usaha guru agar peserta didik menerima saja tentang apa yang dikatakan atau diajarkan oleh guru, tanpa diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat dan mengembangkan ide atau buah pikirannya. Dampak penggunaan cara otoriter dalam menanamkan disiplin dapat menimbulkan hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan kreatifitasnya menjadi tumpul. Secara umum kepribadiannya lemah, demikan pula dengan kepercayaan dirinya. b. Cara bebas Dalam cara ini tokoh yang menenamkan disiplin umumnya membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan-batasan pada tingkah lakunya. Salah satu ciri menonjol dari cara ini adalah longgarnya pengawasan dan pengontrolan. Sehingga anak memiliki kebiasaan mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik. Hal ini akan mengakibatkan perkembangan kepribadiannya menjadi tidak terarah. Kemungkinan pada anak tersebut akan tumbuh rasa keakuan yang terlalu kuat dan kaku serta mudah timbulnya kesulitan-kesulitan kalau harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam lingkungan sosialnya. Implikasi cara ini di sekolah adalah munculnya pandangan bahwa guru sebagai sesuatu yang memaksimalkan kebebasan peserta didik untuk melakukan apa saja yang mereka sukai dan kapan mereka inginkan. Para guru yang menganut cara bebas ini dalam menanamkan disiplin pada umumya beralasan bahwa kebebasan adalah hak yang paling asasi yang harus diberikan kepada anak didik di dalam suatu proses agar peserta didik dapat dengan sepenuhnya mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka. c. Cara demokratis Cara menanamkan disiplin dengan model ini adalah dengan memberikan perhatian kepada kebebasan anak dalam arti positif bukan kebebasan mutlak. Kebebasan positif mengandung pengertian kebebasan mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri anak. Cara demokratis ini juga memperhatikan keinginan dari pendapat anak dengan pertimbangan kalau sesuai dengan norma-norma yang berlaku maka disetujui untuk dilakukan. Sebaliknya kalau keinginan dan pendapat anak tersebut tidak sesuai, maka kepada anak diberikan bimbingan melalui penjelasan yang rasional dan objektif. Penggunaan cara demokratis ini mengandung banyak keuntungan, antara lain dengan cara demokratis ini pada anak tumbuh rasa tanggung jawab memperlihatkan suatu tingkah laku dan selanjutnya memupuk kepercayaan dirinya. Ia mampu bertindak sesuai dengan norma dan kebebasan yang ada pada dirinya untuk memperoleh kepuasan dan menyesuaikan diri dan kalau tingkah lakunya tidak berkenan bagi orang lain, ia mampu menunda dan menghargai tuntutan pada lingkungannya sebagai sesuatu yang bisa berbeda dengan norma pribadinya. Dalam upaya guru di sekolah menanamkan disiplin kepada peserta didiknya, cara demokratis haruslah menjadi pilihan utama. Namun demikian, mengingat keadaan pribadi dan tahapan perkembangan peserta didik, maka kedua cara sebagai tersebut kadang-kadang masih perlu digunakan dalam kondisi dan situasi tertentu. 37

2. Cara Menanamkan Disiplin

Menurut Amin Daein Indrakusuma menyatakan bahwa ada langkah- langkah untuk menanamkan disiplin pada anak ialah : dengan pembiasaan, contoh dan tauladan, penyadaran serta pengawasan. 38 a. Dengan pembiasaan Anak dibiasakan melakukan hal-hal dengan tertib, baik dan teratur. Misalnya berpakaian rapi, masuk dan keluar kelas dengan teratur, makan dan tidur pada waktunya, hingga menulis dan membuat catatan-catatan di buku pun harus dibasakan dengan rapi dan teratur. Akhir-akhir ini, menulis dan membuat catatan-catatan dengan rapi dan teratur ini rupa-rupanya kurang mendapat perhatian dari para guru. Nampaknya hal ini remeh dan sepele, tetapi 37 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Gunung Mulia, 2000, h. 82-84. 38 Amir Daien Indrakusuma, Pengatur Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1978, h. 143-144. sebenarnya akan berpengaruh besar terhadap kebiasaan-kebiasaan akan ketertiban dan keteraturan dalam hal-hal lain. 1 Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan. 2 Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus-menerus berulang-ulang dijalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. 3 Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendiriannya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk melanggar pembiasaan yang telah ditetapkan. 4 Pembiasaan yang mula-mula mekanistis harus makin menjadi pembiasaan yang disertai dengan kata hari anak itu sendiri. 39 b. Dengan contoh dan tauladan Dalam hal ini para pendidik, guru dan orang tua harus selalu memberikan contoh dan menjadi tauladan bagi anak. Jika guru maupun orang tua membiasakan sesuatu bagi anak, hendaknya dirinya sendiri melakukan hal tersebut sebagai upaya mencontohkan dan menjadi tauladan bagi anak. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakuan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Sehubungan dengan itu, beberapa hal di bawah ini perlu mendapat perhatian dan bila perlu didiskusikan para guru. 1 Sikap dasar, postur psikologis yang akan nampak dalam masalah-masalah penting, seperti keberhasilan, kegagalan, pembelajaran, kebenaran, hubungan antar manusia, agama, pekerjaan dan diri. 2 Bicara dan gaya bicara; penggunaan bahasa sebagai alat berpikir. 39 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. Ke -18, h. 178. 3 Kebiasaan bekerja; gaya yang dipakai oleh seseorang dalam bekerja yang ikut mewarnai kehidupannya. 4 Sikap melalui pengalaman dan kesalahan; pengertian hubungan antara luasnya pengalaman dan nilai serta tidak mungkinnya mengelak dari kesalahan. 5 Pakaian; merupakan perlengkapan pribadi yang amat sangat penting dan menampakkan ekspresi seluruh kehidupan. 6 Hubungan kemanusiaan; diwujudkan dalam semua pergaulan manusia intelektual, moral, keindahan, terutama bagaimana berperilaku. 7 Proses berpikir; cara yang digunakan oleh pikiran dalam menghadapi dan memecahkan masalah. 8 Perilaku neuritis; suatu pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri dan bisa juga untuk menyakiti orang lain. 9 Selera; pilihan yang secara jelas merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki oleh pribadi yang bersangkutan. 10 Keputusan; keterampilan rasional dan intuitif yang dipergunakan untuk menilai setiap situasi. 11 Kesehatan; kualitas tubuh, pikiran dan semangat yang merefleksikan kekuatan, perspektif, sikap tenang, antusias dan semangat hidup. 12 Gaya hidup secara umum; apa yang dipercaya oleh seseorang tentang setiap aspek kehidupan dan tindakan untuk mewujudkan kepercayaan itu. 40 c. Dengan penyadaran Di samping adanya pembiasaan yang disertai dengan contoh dan tauladan, maka kepada anak yang mulai kritis pikirannya, sedikit demi sedikit harus diberikan penjelasan-penjelasan tentang pentingnya peraturan-peraturan itu diadakan. Anak lambat laun akan menyadari kegunaan peraturan tersebut. Apabila kesadaran telah timbul, maka pada diri anak telah tumbuh disiplin diri. 40 E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. Ke-1, h. 127-128. d. Dengan pengawasan Anak adalah tetap anak. Di mana terdapat kesempatan yang memungkinkan, ia cenderung berbuat sesuatu yang bertentangan dengan peraturan-peraturan, berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tata tertib. Oleh karena itu pengawasan penting sekali. Pengawasan harus terus-menerus dilakukan, terlebih dalam situasi yang sangat memberi kemungkinan untuk terjadinya pelanggaran terhadap peraturan. Pengawasan bertujuan untuk menjaga atau mencegah agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dan untuk memperkuat kedudukan dari pengawasan, maka dapat diikuti dengan adanya hukuman-hukuman. Menurut Oteng Sutisna beberapa karakteristik dari proses pengawasan yang efektif, yaitu: 1 Pengawasan hendaknya disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan organisasi. 2 Pengawasan hendaknya diarahkan pada penemuan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas dijalankan. 3 Pengawasan mengacu pada tindakan perbaikan. 4 Pengawasan dilakukan bersifat fleksibel yang preventif. 5 Sistem pengawasan dapat dipakai oleh orang-orang yang terlibaj dalam pengawasan. 6 Pelaksanaan pengawasan harus mempermudah tercapainya tujuan-tujuan. Oleh karena itu pengawasan haris bersifat membimbing supaya para pelaksana meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan pekerjaannya. 41 Dengan pembiasaan, peneladanan, pengawasan dan penyadaran yang diterapkan baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat sekitar, maka dapat terbentuk kesadaran susila dan anak- anak pun lebih bermoral dan berbudi luhur. 41 Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional, Bandung: Angkasa, 1989, Cet. Ke-10, h. 243-244.