Upaya Penanggulangan Gizi Kurang Pada Balita Cara Penilaian Status Gizi

40 Ketiga faktor tidak langsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pada ”akar masalah” yaitu pendidikan, ekonomi keluarga serta keterampilan memanfaatkan sumber daya keluarga dan masyarakat. Akhirnya akan berpangkal pada masalah pokok yang lebih besar di masyarakat dan bangsa secara keseluruhan, seperti masalah ekonomi, politik dan sosial. Sebagai contoh, meningkatnya jumlah anak yang bergizi buruk di beberapa kota di Indonesia pada tahun 1998-1999 adalah akibat krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 Soekirman, 2002.

2.3.3. Upaya Penanggulangan Gizi Kurang Pada Balita

Menurut Soekirman 2002, upaya penanggulangan masalah gizi memerlukan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi. Artinya tidak cukup dengan memperbaiki aspek makanan, tetapi juga lingkungan hidup anak seperti; pola pengasuhan, pendidikan ibu, air bersih dan lingkungan. Menurut Depkes R.I 2005, dengan meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan dasar terutama imunisasi, penanganan diare, tindakan yang cepat terhadap anak yang tidak naik berat badan, pendidikan, penyuluhan kesehatan dan gizi, pelayanan posyandu, penyediaan air bersih, kebersihan lingkungan, akan menentukan tinggi rendahnya kejadian infeksi. Menurut Widaninggar 2003, kondisi lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan, adalah bangunan rumah, kebutuhan ruangan Universitas Sumatera Utara 41 bermain-main, pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah, saluran pembuangan air limbah, kamar mandi, jamban dan halaman rumah. Kebersihan baik kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan memegang peran penting bagi tumbuh kembang anak agar terhindar dari terjadinya penyakit infeksi, kecacingan, diare dan lain-lain.

2.3.4. Cara Penilaian Status Gizi

Ada beberapa cara mengukur status gizi balita, yaitu dengan pengukuran antropometrik, klinik dan laboratorium. Diantara ketiganya, pengukuran antropometrik adalah yang relatif paling sederhana dan banyak dilakukan. Pengukuran klinik biasanya dilakukan oleh dokter ahli di klinik untuk melihat adanya kelainan-kelainan organ tubuh akibat KEP, misalnya adanya pembengkakan oedema, perubahan warna dan sifat rambut, kelainan kulit dan sebagainya. Sedangkan pengukuran laboratorik dilakukan pemeriksaan darah dan urine, untuk mengetahui adanya kelainan kimiawi darah dan urine akibat KEP. Adakalanya ketiga pengukuran tersebut dilakukan untuk saling mendukung dan meyakinkan hasil pengukuran yang satu dengan yang lain Soekirman, 2000. Di Indonesia pengukuran antropometrik banyak dilakukan dalam kegiatan program maupun dalam penelitian. Masing-masing indeks antropometri yaitu Berat Badan BB dan Tinggi Badan TB memiliki buku rujukan atau nilai patokan untuk memperkirakan status gizi balita. Sampai sekarang ada beberapa kegiatan penilaian Universitas Sumatera Utara 42 status gizi yang dilakukan, adalah kegiatan Pemantauan Status Gizi PSG, kegiatan bulan penimbangan menggunakan jenis pengukuran antopometrik Depkes, 2005. Pengukuran status gizi balita berdasarkan antropometri adalah jenis pengukuran dimensi tubuh dalam komposisi dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi yang dapat dilakukan terhadap BB, TB dan Lingkar Kepala LK serta Lemak di Bawah Kulit LBK Supariasa, 2002. 2.3.4.1. Indeks Berat Badan menurut Umur BBU Indeks BBU menggambarkan secara sensitif status gizi saat ini saat diukur karena mudah berubah. Indeks BBU dapat normal gizi baik, lebih rendah gizi kurang atau lebih tinggi gizi lebih setelah dibandingkan dengan standar WHO- NCHS. Penggunaan indeks BBU sebagai indikator penilaian status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian. Kelebihan pemakaian Indeks BBU, yaitu : 1 Dapat dengan mudah dimengerti oleh masyarakat umum. 2 Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu yang pendek. 3 Dapat mendeteksi kegemukan. Kelemahan indeks BBU adalah: 1 Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat pembengkakan oedema. 2 Kadang umur secara akurat sulit didapat. 3 Sering terjadi salah pengukuran growth monitoring. Universitas Sumatera Utara 43 4 Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua untuk tidak mau menimbang anaknya. 2.3.4.2. Indeks Tinggi Badan menurut Umur TBU Hasil pengukuran TBU menggambarkan status gizi masa lalu. Balita yang diukur dengan TBU dapat dinyatakan TB normal, kurang dan tinggi. Bagi yang TBU kurang menurut WHO-NCHS dikategorikan sebagai stunted atau pendek tidak sesuai dengan umurnya PTSU. Berbeda dengan BBU yang mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak maupun dewasa. PTSU pada dewasa tidak dapat lagi dinormalkan. Kelebihan pemakaian indeks TBU, yaitu : 1 Dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa lampau. 2 Dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk. Kelemahan pemakaian indeks TBU, yaitu : 1 Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badantinggi badan. 2 Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini. 3 Kadang umur secara akurat sulit didapat 4 Kesalahan sering terjadi pada pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas non-profesional. 2.3.4.3. Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan BBTB Pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator BBTB. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan Universitas Sumatera Utara 44 spesifik. Artinya mereka yang BBTB kurang dikategorikan sebagai ”kurus” wasted. Kelebihan pemakaian indeks BBTB, yaitu : 1 Independen terhadap ”umur” dan ”ras”. 2 Dapat menilai status “kurus” dan “gemuk” dan keadaan marasmus atau KEP berat lain. Kelemahan pemakaian indeks BBTB, yaitu : 1 Kesulitan dalam melakukan pengukuran kelompok usia balita. 2 Kesalahan dalam pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas non-profesional. 3 Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, normal atau jangkung. 4 Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua mau menimbang anaknya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan R.I, Nomor : 920MENKES SKVIII2002, tanggal 1 Agustus 2002, tentang Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun Balita, maka nilai indeks antropometri BBU, TBU atau BBTB adalah dibandingkan dengan nilai rujukan WHO-NCHS. Istilah status gizi dibedakan untuk setiap indeks yang digunakan agar tidak terjadi kerancuan dalam interpretasi. Batas ambang dan istilah status gizi untuk indeks BBU, TBU dan BBTB berdasarkan hasil kesepakatan pakar gizi pada Universitas Sumatera Utara 45 bulan Mei tahun 2000 di Semarang mengenai standar baku nasional di Indonesia, disepakati sebagai berikut: 1. Indeks BBU a. Gizi Lebih, bila Z_score terletak : +2 SD b. Gizi Baik, bila Z_score terletak dari : ≥ -2 SD sd +2 SD c. Gizi Kurang, bila Z_score terletak dari : -2 SD sampai ≥ -3 SD d. Gizi Buruk , bila Z_score terletak : -3 SD 2. Indeks TBU a. Normal, bila Z_score terletak : ≥ 2 SD b. Pendek, bila Z_score terletak : -2 SD 3. Indeks BBTB a. Gemuk bila Z_score terletak : +2 SD b. Normal bila Z_score terletak dari : ≥ -2 SD sampai +2 SD c. Kurus wasted bila Z_score terletak dari : -2 SD sampai ≥ -3 SD d. Kurus sekali bila Z_score terletak : -3 SD

2.4. Landasan Teori