203
Gambar 4.3. Dinamika Kasus Ketiga DV
4.6 Gambaran Kemampuan Toilet Training Anak Down Syndrome
Toilet training adalah cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol buang air kecil BAK dan buang air besar BAB secara benar di kamar mandi toilet,
berupa: anak dapat menahan keinginan buang air hingga ia sampai di kamar mandi atau toilet, serta mampu menegakkan kemandiriannya dalam hal buang air
tanpa bantuan orang lain. Toilet training baik dilakukan sejak dini untuk Anak Down
Syndrome DV
Orang tua
Teknik lisan Toilet Training
Sama sekali belum
berhasil Dampak
negatif 1
Belum mampu buang air kecil
maupun besar tanpa dibantu
orang lain
2 Belum mampu
pergi ke toilet tanpa diantar
oleh orang lain
3 Belum mampu
membersihkan diri sendiri
tanpa bantuan orang lain.
Faktor pendukung keberhasilan
Faktor penghambat keberhasilan
Kesiapan fisik yang cukup
Kesiapan psikologis Kesiapan intelektual
Kemampuan komunikasi yang
kurang Kesiapan orang tua
yang kurang Pengetahuan orang
tua tentang toilet training yang rendah
Pola asuh orang tua
204
menanamkan kebiasaan yang baik pada anak. Hal ini penting dilakukan untuk melatih kemandirian anak dalam melakukan BAK dan BAB sendiri.
Anak down syndrome harus dilatih keterampilan buang air kecil BAK dan buang air besar BAB secara mandiri. Bagi anak down syndrome,
pembelajaran mengenai toilet training memerlukan waktu lebih lama. Pasalnya, mereka memiliki keterbatasan fisik dan kognitif. Anak down syndrome
mempunyai kekurangan dalam perilaku adaptif karena fungsi intelektualnya yang rendah yaitu dengan IQ dibawah 70. Seseorang dikatakan dan dinilai memiliki
kemampuan apabila mampu untuk mengerjakan dan meyelesaikan sesuatu dengan baik. Demikian halnya dengan anak down syndrome dikatakan memiliki
kemampuan dalam toilet training apabila yang bersangkutan mampu melakukan tahapan-tahapan sebagaimana seharusnya dan dilakukan oleh orang-orang pada
umumnya. Keterampilan toilet training untuk anak down syndrome, biasanya sudah
dapat dimulai sejak umur 30 bulan. Orang tua perlu menunggu ia hendak buang air kecil maupun buang air besar Selikowitz, 2001; 80. Pada usia tiga sampai
empat tahun latihan toilet berjalan dengan baik. Hal ini membutuhkan waktu dan menjelang usia lima tahun seharusnya anak dapat menarik dan menurunkan
celananya dan mencuci tangannya setelah menggunakan toilet Selikowitz, 2001; 84.
Ketiga subjek penelitian adalah WD, OT dan DV merupakan siswa down syndrome yang sudah diajarkan toilet training oleh guru dan orang tuanya. Subjek
WD sudah mampu toilet training namun belum berhasil dengan sempurna karena
205
terkadang jika malas WD buang air besar di celana. Subjek OT sudah berhasil secara sempurna dalam toilet training yang diberikan oleh orang tuanya. Subjek
DV sama sekali belum bisa toilet training dan masih sepenuhnya dibantu oleh orang tuanya. Berhasil atau tidaknya toilet training pada subjek WD, OT dan DV
karena faktor dari dalam diri subjek dan faktor dari orang tua. Mengajarkan toilet training pada anak bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan. Dalam mengajarkan toilet training dibutuhkan metode atau cara yang tepat sehingga mudah dimengerti oleh anak. Penggunaan metode yang tepat akan
mempengaruhi keberhasilan orangtua dalam mengajarkan konsep toilet training pada anak. Menurut Hidayat 2005; 63, Teknik lisan dalam toilet training,
Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan intruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah buang air kecil dan buang air besar.
Teknik modeling dalam toilet training merupakan usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air dengan cara meniru untuk buang air atau memberikan
contoh. Pengajaran toilet training anak down syndrome menggunakan teknik lisan
dan teknik modeling. Pengajaran toilet training dari orang tua pada ketiga subjek semuanya menggunakan teknik lisan, namun tidak semua subjek mendapatkan
pengajaran teknik modelling. Teknik lisan yang diberikan semua orang tua WD, OT dan DV berupa mengintruksi agar anak dapat melepas sendiri celana dan
segera ke kamar mandi. Orang tua selalu mengingatkan anak agar tidak lupa membersihkan diri dan menyiram setelah buang air. Teknik modelling pada
subjek petama WD dan subjek kedua OT berupa mengajarkan anak dengan
206
memberi contoh bagaimana cara membersihkan diri sendiri sesudah buang air. Subjek ketiga DV belum pernah diberikan teknik modelling oleh orang tuanya, ia
hanya diberikan teknik lisan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan toilet training pada
seorang anak. Menurut Hidayat 2005, faktor yang mempengaruhi keberhasilan program toilet training antara lain: 1. Motivasi orang tua, 2. Kesiapan anak
secara fisik, psikologis maupun secara intelektual. Selain itu menurut Supartini 2004, faktor lain yang mendukung keberhasilan toilet training pada anak
berkebutuhan khusus, adalah kesiapan orang tua dan pola asuh orang tua dalam mengajarkan toilet training pada anak. Pengetahuan orang tua dan motivasi
stimulasi toilet training oleh orang tua ikut berperan dalam pelaksanakan dan keberhasilan program toilet training.
Pada ketiga subjek anak down syndrome mengatribusikan pendorong dan penghambat keberhasilan toilet training tidak hanya faktor internal dan eksternal
diatas saja. Faktor pendorong keberhasilan toilet training yang ditemukan pada subjek berupa adanya sikap konsisten orang tua saat toilet training, Pada subjek
WD yang kemampuan toilet trainingnya cukup dan OT yang kemampuan toilet trainingnya sudah sangat baik, kedua orang tua subjek ini mempunyai sikap
konsisten yang tinggi dalam mengajarkan toilet training. Sikap konsistensi ini dengan tujuan agar anak tidak lupa dan terbiasa dengan kebiasaan toilet training
yang benar. Faktor lainnya yaitu pemberian reward dan punishment dari orang tua dan adanya kesediaan orang tua khususnya ibu dalam meluangkan waktu untuk
mengajarkan toileting pada anak. Orang tua WD dan OT juga memberikan reward
207
berupa pujian jika melakukan toilet training dengan benar dan memberikan punishment jika anak tidak sesuai dalam melakukan toilet training.
Pola asuh ibu dalam mengasuh anak memberikan dampak penting pada pelatihan toilet training anak. Terbukti pada ibu subjek OT yang mempunyai pola
asuh otoriter dan ibu subjek DV yang mempunyai pola asuh permisif. Ibu OT yang otoriter dan tegas saat melatih toilet training menjadikan OT berhasil
mandiri dalam toilet training. Bisa dibandingkan dengan pola asuh ibu DV yang permisif dan memanjakan DV, karena DV selalu dibantu dan akibatnya hingga
saat ini DV sangat tergantung pada ibunya dan sama sekali belum mampu dalam toilet training.
Kesediaan orang tua khususnya ibu untuk lebih meluangkan waktu dalam mengajarkan toilet training pada anak terbukti pada subjek OT yang sudah
berhasil dalam toilet training. Ibu OT lebih banyak meluangkan waktu untuk mengajarkan toilet training karena latarbelakang ibu OT yang hanya ibu rumah
tangga dan kesehariannya terus bersama OT, dibandingkan dengan ibu WD yang setiap harinya bekerja dan ibu DV yang ibu rumah tangga dan mempunyai usaha
warung. Fasilitas toilet yang memadai tidak mempengaruhi keberhasilan toilet
training pada seorang anak down syndrome. Bukan berarti jika fasilitas toilet yang tidak memadai membuat anak down syndrome menjadi enggan untuk melakukan
tugas buang airnya di toilet. Terbukti dengan minimnya fasilitas toilet yang ada di rumah OT, walaupun tidak memadai namun OT tetap berhasil dalam toilet
training. Bisa dibandingkan dengan fasilitas di rumah DV yang sudah memadai
208
karena mempunyai dua model toilet yaitu toilet duduk dan toilet jongkok, kemampuan toilet training DV masih rendah padahal fasilitas toilet di rumahnya
sudah memadai. Faktor penghambat keberhasilan yang dapat ditemukan pada subjek adalah
adanya rasa khawatir ibu jika anaknya tidak bersih ketika melakukan toilet training sendiri. Subjek terkadang masih dibantu oleh orang tuanya ketika
membersihkan diri setelah buang air karena orang tua mereka merasa belum yakin dan khawatir jika anaknya belum bersih ketika membersihkan sendiri setelah
buang air. Seperti halnya subjek OT walaupun sudah mampu membersihkan diri dan bekas buang airnya, namun orang tua masih mengulangi membersihkan diri
OT karena kurang yakin jika OT sudah bersih.
4.7 Kelemahan Penelitian