42
2 Pendekatan evaluatif, adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Pertanyaan pokoknya
adalah berapa nilai sesuatu ? 3 Pendekatan normatif, adalah pendekatan yang terutama berkaitan dengan
pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus dilakukan ?
Beberapa teknik analisis yang sering dipakai dalam kebijakan publik yang pada akhirnya menyediakan rekomendasi kebijakan, yaitu analisis SWOT analisis
AHP, CBA Cost Benefit Analysis dan variasi dari pendekatan CBA yaitu CEA Cost Effective Analysis, OCA Opportunity Cost Analysis, analisis PETS
politik, ekonomi, teknologi, dan sosial, dan sekarang cukup mutakhir adalah Balanced Scorecard
Analysis. Ke empat analisis ini memang bukan murni dari studi kebijakan publik, tetapi dipengaruhi oleh keberhasilan manajemen sektor
privat Badjuri dan Yuwono, 2002.
2.7 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Menurut WCED 1987, bahwa pembangunan berkelanjutan identik dengan pembangunan yang berkesinambungan. Mengingat pemenuhan kebutuhan
dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan, maka pembangunan berkesinambungan mensyaratkan pertumbuhan ekonomi di tempat-tempat yang
kebutuhan esensialnya belum terpenuhi. Di tempat lainnya, pembangunan berkesinambungan bisa konsisten dengan pertumbuhan ekonomi asalkan
pertumbuhannya mencermi nkan prinsip-prinsip yang luas mengenai keberlanjutan dan non-eksploitasi kepada sesama. Dengan demikian tersirat tujuan pokok dalam
pembangunan berkelanjutan yaitu bagaimana memadukan aspek lingkungan dan kepentingan ekonomi dalam pengambilan keputusan.
Menurut Serageldin 1996 yang diacu dalam Bengen 2003 pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yaitu pilar ekonomi,
ekologi dan sosial yang membentuk sebuah bangunan segetiga Gambar 3. Pilar ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasis penggunaan
sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada
keseimbangan ekosistem dunia. Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada
43
pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik antar generasi maupun dalam suatu generasi.
Sumber : Munasinghe 1993 yang diacu dalam Bengen 2003
Gambar 3 Tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan Menurut Serageldin 1993, keberlanjutan aspek ekonomi, meliputi
pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan modal capital maintenance dan efisiensi penggunaan sumberdaya dan modal. Keberlanjutan ekologi meliputi kesatuan
integrity ekosistem, daya dukung lingkungan, perlindungan keanekaragaman jenis dan sumberdaya alam. Keberlanjutan aspek sosial adalah adanya keadilan
equity, pemberdayaan empowerment, partisipasi dan kelembagaan. Kegagalan aplikasi keberlanjutan selama ini diakibatkan oleh kurangnya
perhatian terhadap aspek sosial. Serageldin 1993 mengemukakan bahwa implementasi pembangunan berkelanjutan yang pertama kali harus diperhatikan
adalah aspek sosial karena manusia dengan aspek sosial berperan sebagai sentral dari pembangunan itu sendiri. Aspek sosial yang paling penting adalah
kesejahteraan dan pemberdayaan. Kelompok masyarakat yang harus diutamakan adalah masyarakat marginal dan kelompok masyarakat miskin karena ke dua
masyarakat tersebut bisa merupakan pemicu rusaknya keamanan dalam berusaha. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan membuka akses pada kelompok
Ekonomi
Sosial Ekolog
i -
Distribusi Pendapatan
- Penyerapan Tenaga Kerja
- Penilaian Lingkungan
- Valuasi Internalisasi.
Partisipasi, Konsultasi dan Pluralisme
44
masyarakat kepada sumber modal, penyuluhan, training, kesempatan berusaha dan kerja Sumodiningrat, 1990.
Untuk membumikan atau mengoperasionalkan konsep atau rumusan Pembangunan Berkelanjutan, Bank Dunia telah melakukan beberapa prakarsa.
Sebagai langkah pertama, Bank Dunia telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan, bahwa suatu kegiatan pembangunan termasuk pengelolaan SDA
dengan berbagai dimensinya dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat keberkelanjutan Serageldin, 1996
yang diacu dalam Bengen, 2003. Keberkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,
pemeliharaan kapital capital maintenance, dan penggunaan sumberdaya, serta investasi secara efisien. Keberkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa
kegiatan termaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk
keanekaragaman hayati biodiversity. Sedangkan keberkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan
pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan
kelembagaan. Dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang
perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta stakeholders, dan
konsultasi dalam setiap program pembangunan. Koordinasi dan keterpaduan antara pihak yang terlibat dan terkait dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi kegiatan pembangunan serta masyarakat juga harus ditingkatkan. Dengan cara ini, rakyat masyarakat akan merasa memiliki terhadap setiap kegiatan
pembangunan dan konsekuensinya mereka akan berupaya semaksimal mungkin untuk mensukseskan kegiatan pembangunan.
Konsepsi keberlanjutan baik secara ekonomis, ekologis dan sosial ternyata juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Dahuri, et al. 2001, bahwa secara
garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 empat dimensi, yaitu: 1 ekologis; 2 sosial, ekonomi dan budaya; 3 sosial politik; dan 4
hukum kelembagaan.
45
Dimensi ekologis, dimensi ini mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana
mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi
kapasitas fungsionalnya. Dimensi sosial, ekonomi dan budaya, dimensi ini mengandung arti bahwa
manfaat keuntungan yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan proyek tersebut, terutama mereka yang ekonomi termasuk lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi
wilayah itu sendiri. Dimensi sosial politik, pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan
transparan. Dimensi hukum dan kelembagaan, pembangunan berkelanjutan dapat
tercapai apabila memiliki komitmen pengendalian diri dari setiap warga untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi
melalui penerapan sistem peraturan dan perundangan-undangan yang berwibawa dan konsisten.
Menurut Monintja dan Yusfiandayani 2001, penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam kaitannya dengan sektor perikanan tercermin
dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries FAO, 1995 pada point Artikel 10: Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir, isinya
memuat: 1 Kerangka kerja kelembagaan:
1 Negara harus menjamin pemberlakuan suatu kebijakan, hukum dan kerangka kelembagaan yang tepat, guna mencapai pemanfaatan
sumberdaya secara terpadu dan lestari, dengan memperhatikan kerawanan dari ekosistem pantai dan sifat sumberdaya alamnya yang terbatas, dan
kebutuhan dari masyarakat pesisir. 2 Mengingat penggunaan ganda dari wilayah pesisir, negara harus menjamin
bahwa wakil dari sektor perikanan dan masyarakat penangkap ikan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan serta kegiatan lainnya
46
yang terkait dalam perencanaan pengelolaan dan pembangunan wilayah pantai.
3 Negara harus membentuk sebagaimana layaknya, kelembagaan dan kerangka hukum untuk menentukan kemungkinan pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan untuk mengatur akses terhadapnya, dengan memperhatikan hak-hak masyarakat nelayan pesisir dan praktek-praktek
kebiasaan mereka untuk keselarasan terhadap pembangunan berkelanjutan. 4 Negara harus memfasilitasi pemberlakuan praktek-praktek perikanan yang
dapat menghindarkan konflik antar pengguna sumberdaya perikanan dan antara mereka dengan pengguna wilayah pesisir lainnya.
5 Negara harus mengusahakan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat administrasi yang sesuai, guna menyelesaikan konflik di dalam
sektor perikanan dan antara pengguna sumberdaya perikanan dengan para pengguna wilayah pesisir lainnya.
2 Ukuran kebijakan: 1 Negara harus mengusahakan kesadaran publik dari kebutuhan untuk
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengelolaan yang dipengaruh olehnya.
2 Membantu dalam hal pengambilan keputusan terhadap alokasi dan penggunaan sumberdaya pesisir, negara harus mengusahakan penilaian
dari masing-masing nilai tersebut ke dalam perhitungan faktor-faktor ekonomi, sosial dan budaya.
3 Dalam membantu kebijakan pengelolaan wilayah pesisir, negara harus memperhatikan resiko dan ketidakpastian yang ada.
4 Negara, dalam kaitannya dengan kapasitasnya, harus membangun sistem untuk memantau lingkungan pesisir sebagai bagian dari proses
pengelolaan pesisir dengan menggunakan parameter fisika, kimia, biologi dan sosial.
5 Negara harus mengusahakan penelitian multi disipliner untuk mendukung pengelolaan wilayah pesisir khususnya aspek lingkungannya, fisika,
ekonomi, sosial, hukum dan kelembagaan.
47
3 Kerjasama regional: 1 Negara dengan wilayah pesisir negara tetangga nya harus bekerjasama
antara satu dengan yang lain untuk memfasilitasi pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dan konservasi lingkungan.
2 Dalam kasus kegiatan yang memiliki pengaruh lingkungan pada lintas batas negara yang berbatasan, maka ne gara sebaiknya:
a. Memberikan informasi, jika mungkin memberitahukan kepada negara tetangga yang dipengaruhinya secara potensial.
b. Konsultasi dengan negara-negara tetangga seawal mungkin 3 Negara harus bekerjasama pada tingkat sub-regional dan regional untuk
memperbaiki pengelolaan wilayah pesisir. 4 Implementasi:
1 Negara harus menetapkan mekanisme kerjasama dan koordinasi diantara penguasa nasional yang meliputi perencanaan, pembangunan, konservasi
dan pengelolaan wilayah pesisir. 2 Negara harus menjamin penguasa tersebut atau yang mewakili sektor
perikanan dalam proses pengelolaan pesisir yang memiliki kapasistas teknis dan sumberdaya finansial yang sesuai.
2.8 Penataan Ruang Zonasi