Kadar abu Hasil Analisis Proksimat

Kandungan air dan aktivitas air mempengaruhi perkembangan reaksi pembusukan secara kimia dan mikrobiologi dalam makanan. Makanan yang dikeringkan mempunyai kestabilan tinggi pada penyimpanan, biasanya dengan rentang kadar air antara 5-15 . Makanan semi basah memiliki kadar air 20-40 . Makanan semi basah memiliki aktivitas air 0,5. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu bakteri aw 0,9, khamir aw 0,8-0,9, dan kapang aw 0,6-0,7 deMan 1997. Penetapan kandungan air pada belut segar dan belut goreng dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 110 o C sampai beratnya konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan Winarno 2008. Kandungan air dalam belut sawah yang segar adalah 78,90 dan belut sawah goreng 23,47 . Kandungan air belut sawah segar lebih besar daripada belut sawah goreng. Kadar air pada hewan diikat oleh protein otot. Kemampuan otot mengikat air disebabkan oleh aktomiosin komponen utama myofibril deMan 1997. Kandungan air belut sawah goreng lebih kecil bila dibandingkan dengan kandungan air belut sawah segar. Penggorengan dengan suhu 180 o C selama 5 menit menyebabkan 55,43 kadar air belut segar menguap. Pemanasan saat penggorengan menyebabkan pori-pori permukaan bahan terbuka, sehingga air dalam bahan akan menguap. Kekosongan air pada bahan pangan kemudian digantikan oleh minyak yang berdifusi ke dalam bahan makanan Ketaren 1986. Belut sawah yang digoreng memiliki kadar air 23,47 . Kadar air tersebut menandakan bahwa bahan makanan tersebut termasuk dalam golongan makanan semi basah. Menurut deMan 1997 makanan semi basah memiliki aktivitas air 0,5 dimana bakteri, kamir dan kapang tidak bisa hidup pada jangka waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa belut goreng memiliki waktu simpan lebih lama daripada belut segar apabila disimpan pada suhu ruang.

4.3.2 Kadar abu

Kandungan mineral pada bahan pangan hewani sekitar 4 yang dalam analisis bahan makanan tertinggal sebagai kadar abu, yaitu sisa yang tertinggal bila suatu sempel bahan makanan dibakar sempurna di dalam suatu tungku. Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang menguap Sediaoetama dan Achmad 2008. Unsur mineral disebut sebagai zat anorganik. Pembakaran akan menguapkan bahan-bahan organik, tetapi zat organik tetap utuh Winarno 2008. Penentuan kadar abu dengan cara tersebut, abu tidak mengandung nitrogen yang terdapat pada protein, sehingga berbeda dengan kandungan mineral yang sebenarnya pada bahan. Anion organik menghilang selama pembakaran, dan logam diubah menjadi oksidanya deMan 1997. Mineral di dalam tubuh ada yang bergabung dengan zat organik, dan ada yang berbentuk ion bebas. Mineral yang bergabung dengan zat organik berasosiasi dengan bagian daging non lemak misalnya protein. Daging tidak berlemak biasanya memiliki kandungan mineral yang tinggi deMan 1997. Daging ikan memiliki kadar abu berkisar antara 1-2 dari berat totalnya Ruiter 1995. Kadar abu pada belut sawah segar dalam basis kering adalah 1,56 , sedangkan kadar abu belut sawah goreng adalah 4,12 . Kadar abu belut sawah segar setelah penggorengan naik sebesar 2,56 . Menurut Ghidurus et al. 2010, penggorengan tidak mengurangi secara signifikan kandungan mineral bahan pangan karena beberapa jenis mineral tidak larut di dalam minyak tetapi larut di dalam air. Mineral bukan merupakan senyawa volatile, sehingga tidak mudah menguap. Kenaikan kandungan mineral ini dapat disebabkan oleh minyak yang digunakan saat penggorengan mengandung sejumlah mineral, sehingga mineral dari minyak terdifusi ke dalam bahan pangan. Minyak yang berasal dari kelapa sawit memiliki beberapa kandungan mineral seperti Cu, P, dan Fe yang kadarnya masing-masing 0,0200-0,047 ppm, 0,35-0,89 ppm, dan 0,0157-0,093 ppm. Hasibuan dan Nuryanto 2011. Selain mineral di atas, dimungkinkan masih terdapat beberapa mineral yang terdapat pada minyak goreng yang belum terdeteksi. Kenaikan jumlah kadar abu setelah penggorengan, hampir dua kali lipat dibandingkan kadar abu belut sawah segar. Hal ini juga dapat disebabkan oleh proses penggorengan. Menurut Winarno 2008 bahan yang dipanaskan akan kehilangan bahan organiknya dan yang tersisa adalah bahan anorganiknya. Proses penggorengan akan menghilangkan sejumlah bahan organik di dalam bahan makanan, sehingga secara proporsional akan meningkatkan kadar abu tersebut karena berat total bahan setelah digoreng lebih ringan dibandingkan bahan yang masih segar. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada jenis bahan dan proses pengabuannya Sudarmadji dan Suhardi 1989 dalam Jacoeb et al. 2008.

4.3.3 Kadar protein