INDEKS GLIKEMIK DAN BEBAN GLIKEMIK

6 2001 penderita diabetes meningkat menjadi 4 juta jiwa dari 2.5 juta jiwa pada tahun 1994 Tjokroprawiro 2001. Hingga tahun 2008, penderita diabetes di Indonesia mencapai 8.4 juta jiwa. Diabetes mellitus kencing manis adalah penyakit di mana tubuh penderita tidak dapat mengendalikan tingkat glukosa dalam darahnya. Glukosa merupakan zat yang bersifat hidrofilik sehingga peningkatannya dapat meningkatkan osmotic diuretic dari sel disekitarnya dan akhirnya terjadi dehidrasi intraselular diikuti dengan polyuria. Penderita mengalami gangguan metabolisme dari distribusi gula sehingga tubuh tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau tidak mampu menggunakan insulin secara efektif. Akibatnya, terjadi kelebihan gula di dalam darah. Badan kesehatan dunia, WHO, menyatakan bahwa diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan terjadinya difisiensi insulin absolut atau relatif, dan gangguan fungsi insulin. Hal ini berhubungan dengan aterosklerosis yang dipercepat dan dapat menimbulkan komplikasi mikrovaskuler spesifik pada retina, jaringan saraf, serta organ ginjal. Diabetes mellitus juga dapat definisikan sebagai suatu tingkat kronis peningkatan kadar glukosa darah dan adanya gangguan toleransi glukosa yang akan meningkatkan kadar glukosa darah. Kedua hal tersebut terjadi karena kekurangan insulin, gangguan fungsi insulin, atau peningkatan faktor yang memiliki fungsi berlawanan dengan insulin, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Terdapat dua tipe Diabetes Mellitus yaitu tipe 1 dan tipe 2. Tubuh penderita DM Tipe 1 T1DM hanya memproduksi insulin sedikit atau bahkan tidak sama sekali, sedangkan pada DM Tipe 2 T2DM tubuh penderita masih mampu produksi insulin namun tidak cukup efektif, karena terjadinya retensi insulin atau tidak bekerja maksimal Wijayakusuma 2004. Umumnya kenaikan kadar gula darah pada penderita T1DM lebih besar daripada penderita T2DM. Namun, jumlah penderita T2DM jauh lebih banyak daripada T1DM yaitu mencapai 80-90. T2DM dapat dicegah dengan cara mengatur pola makan dan berolahraga Wijayakususma 2004. Secara umum penyakit ini dapat dikatakan terjadi karena defisiensi kerja insulin. Kekurangan insulin menghambat glukosa dalam darah masuk dalam sel, dengan demikian kadar glukosa dalam pembuluh darah mengalami peningkatan atau yang dikenal dengan hiperglikemika. Umumnya peningkatan kadar glukosa darah pada penderita T1DM sebesar 400 mgdL, lebih tinggi daripada penderita T2DM yaitu 150-300 mgdL. Bila kadar glukosa darah telah melebihi ambang batas ginjal 180 mgdL, maka glukosa tidak dapat lagi diserap oleh ginjal dan akan dikeluarkan melalui urin.

2.4 INDEKS GLIKEMIK DAN BEBAN GLIKEMIK

Indeks glikemik glycemic index adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Nilai indeks glikemik IG diperoleh dari respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Bahan pangan memiliki IG berbeda-beda tergantung pada fisiologis, bukan pada kandungan bahan pangan tersebut Sarwono 2002. Indeks glikemik pangan merupakan sifat bahan pangan yang sangat unik, dipengaruhi oleh jenis bahan, cara pengolahan, dan karakteristik komposisi dan sifat biokimiawi bahan, tidak bisa diprediksi dari satu karakter bahan. Masing-masing komponen bahan pangan memberikan kontribusi dan saling berpengaruh sinergis antarsifat bahan hingga menghasilkan respon glikemik tertentu Widowati 2007. Indeks pangan menggunakan indeks glikemik IG glukosa murni sebagai perbandingannya IG gluksoa murni adalah 100 Rimbawan dan Siagian 2004. Menurut Miller 1996 berdasarkan 7 respon glikemiknya, pangan dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu pangan IG rendah IG55, IG sedang 55IG70 dan IG tinggi IG70. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi IG pada pangan antara lain : cara pengolahan tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel, perbandingan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotic, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat-zat anti gizi pangan Rimbawan dan Siagiaan 2004. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mekanisme adanya hubungan negatif antara asupan polifenol dengan indeks glikemik masih belum jelas. Diduga hal ini berhubungan langsung dengan interaksi antara pati dan polifenol yang belum dapat digambarkan secara rinci. Sehingga data daya cerna pati merupakan parameter penting. Diasumsikan bahwa daya cerna pati memiliki korelasi positif terhadap nilai indeks glikemik. Indeks glikemik memberikan informasi kecepatan perubahan karbohidrat menjadi glukosa darah, tetapi tidak memberikan informasi mengenai banyaknya karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap glukosa darah. Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk mengetahui banyaknya karbohidrat terhadap kenaikan glukosa dapat dilihat dari beban glikemik. Beban glikemik memberikan informasi lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi aktual karbohidrat per saji terhadap peningkatan kadar gula darah yang ditunjukkan oleh indeks glikemik Powell et al. 2002. Karbohidrat yang diserap secara lambat akan menghasilkan puncak kadar glukosa darah yang rendah dan berpotensi dalam mengendalikan daya cerna pati beras yang dipengaruhi oleh komposisi amilosa atau amilopektinnya Willet et al. 2002. Kandungan pati dan komposisi amilosaamilopektin berpengaruh terhadap daya cerna pati beras atau nasi. Amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan dengan amilopektin Behall and Hallfrisch 2002, karena amilosa merupakan polimer dari gula sederhana dengan rantai lurus, tidak bercabang. Rantai yang lurus ini menyusun ikatan amilosa yang solid sehingga tidak mudah tergelatinisasi. Oleh karena itu, amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan dengan amilopektin Lehninger 1982. Hasil penelitian Heatehr et al. 2001 menunjukkan adanya korelasi positif pada pangan IG rendah dengan perbaikan pengendalian metabolik pada penderita DM tipe 2 dewasa. Pada beras, secara umum nilai IG dipengaruhi oleh varietas atau jenis padi dan gabahnya Miller et al. 2003. Tak hanya itu, nilai IG juga dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan, diantaranya pada proses parboiling Nugraha 2008. Berikut Tabel 2 disajikan daftar IG beberapa varietas beras yang tersebar di Indonesia. Tabel 2 Nilai indeks glikemik beberapa varietas beras giling di Indonesia Varietas IG Glukosa = 100 Varietas IG Glukosa = 100 Begawan solo Gilirang Sintanur Sarinah Ciliwung Celebes Batang piaman Mekongga Ketonggo Setail Widas IR 64 IR 42 Cisadane Membramo 98 97 91 90 87 86 80 79 79 74 71 70 69 68 67 Cigeulis Batang lembang Logawa Cande Cibogo Ciherang Aek sibondo Martapura Air tenggulang IR 74 Ciujung IR 36 Margosari Cisokan 64 63 59 59 58 54 53 50 50 49 48 45 39 34 Sumber: Widowati 2007, Argasasmita 2008, Nugraha 2008, Indrasari et al. 2008 8 Beras Taj Mahal memiliki IG sebesar 66 Widowati 2007. Nilai IG ditentukan berdasarkan perbandingan respon gula darah beras dengan glukosa murni sebagai standar IG 100. Pengonsumsian nasi IG rendah atau dari beras berkadar amilosa tinggi, laju pencernaan lebih lambat karena pada saat pengolahan atau pemanasan amilosa membentuk kompleks dengan lipid sehingga menurunkan kerentanan terhadap hidrolisis enzimatik dan laju pencernaan juga menurun Widowati 2007. Suatu studi intervensi tinjauan sistematik menunjukkan bahwa makanan dengan jumlah IG rendah dapat membantu menormalkan kadar glukosa darah , meningkatkan kadar protein serta sensitivitas insulin Livesey dan Tagami 2002. Selain nilai indeks glikemik, terdapat nilai beban glikemik BG. Pada tahun 1997, konsep BG diperkenalkan untuk menentukan potensial dari suatu makanan dalam meningkatkan kadar glukosa darah berdasarkan pada kualitas dan kuantitas karbohidrat yang terkandung dalam makanan. Beban glikemik merupakan skala nilai yang menunjukkan pengaruh karbohidrat dengan memperhitungkan nilai indek glikemik IG, tetapi memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang pengaruh suatu makanan terhadap kadar gula darah berdasarkan jumlah karbohidrat yang dimakan Rimbawan dan Siagian 2004. Nilai BG berbanding lurus dengan nilai kandungan karbohidrat, yang berarti bahwa semakin tinggi kandungan karbohidrat maka semakin besar BG makanan tersebut dengan IG yang sama Jenkins et al. 1981 dalam Panjaitan 2011. Manfaat BG didasarkan pada ide bahwa makanan dengan IG tinggi namun dalam jumlah kecil akan memiliki efek yang sama dengan makanan yang mempunyai IG rendah tetapi jumlahnya lebih banyak Berra dan Rizzo 2009. Kecepatan peningkatan kadar gula darah berbeda untuk setiap jenis makanan, untuk itu dianjurkan meningkatkan konsumsi makanan dengan IG rendah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi BG makanan secara keseluruhan. BG bahan pangan dapat diklasifikasikan menjadi BG rendah 10, BG sedang 11-19, dan BG tinggi 20. Nilai indeks glikemik yang tinggi pada bahan pangan tidak langsung menunjukkan kecepatan peningkatan gula darah, tetapi ditentukan oleh kandungan karbohidrat yang disajikan. Bahan pangan dengan beban glikemik yang tinggi lebih mencerminkan peningkatan kadar glukosa darah dibandingkan dengan nilai indeks glikemik yang tinggi. Konsumsi dalam jangka panjang terhadap bahan pangan yang memiliki nilai beban glikemik yang tinggi dapat dikaitkan dengan resiko penyakit T2DM Powell et al. 2002.

2.5 TEH DAN POLIFENOL