30 Uji organoleptik juga dilakukan pada produk beras terpilih perlakuan 3 dan beras
komersil brown rice Nuriz GABA Yasmin untuk melihat posisi penerimaan produk oleh konsumen. Data analisis sensori beras dan nasi ekstrusi dan beras cokelat dapat dilihat pada Tabel
12 dan Tabel 13. Berdasarkan hasil analisis, beras komersil lebih disukai daripada beras ekstrusi, namun tingkat kesukaan konsumen tidak jauh berbeda. Secara keseluruhan parameter bentuk
memiliki skor tertinggi dalam analisis sensori pada beras cokelat brown rice, kemudian parameter lain yang lebih disukai dari beras komersil tersebut adalah warna. Tetapi, pada beras
ekstrusi perlakuan penambahan ekstrak teh hijau sebelum penggilingan dan sebelum proses ekstrusi memiliki skor tertinggi secara keseluruhan.
Tabel 12 Hasil analisis sensori beras ekstrusi dan beras cokelat
Sampel Parameter
Warna Aroma
Bentuk Tekstur
Overall
Beras ekstrusi teh hijau 3.57
a
3.59
a
4.09
a
3.99
a
4.25
a
Beras cokelat Brown Rice 5.14
b
4.57
b
5.54
b
4.93
b
5.14
b
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 0.05 Namun, tingkat kesukaan yang diperoleh masih menunjukkan nilai agak tidak suka sampai
agak suka untuk keseluruhan produk yang diujikan. Hasil uji statistik Lampiran 17 menunjukkan bahwa pada setiap parameter produk warna, aroma, bentuk, tekstur, dan overall berbeda nyata
p0.05. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan penambahan ekstrak teh dan proses ekstrusi berpengaruh nyata terhadap tingkat penerimaan konsumen pada beras ekstrusi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa produk beras cokelat lebih disukai dari beras ekstrusi. Tabel 13 Hasil analisis sensori nasi dari beras ekstrusi dan beras cokelat
Sampel Parameter
Warna Aroma
Rasa Kelengketan
Overall
Nasi ekstrusi teh hijau 3.88
a
3.10
a
4.15
a
4.00
a
4.15
a
Nasi cokelat Brown rice 4.81
b
4.60
a
4.71
b
4.84
b
4.99
a
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 0.05 Secara keseluruhan tingkat kesukaan konsumen terhadap semua jenis nasi adalah sama. Hal
ini berarti bahwa nasi ekstrusi ini dan nasi komersil memiliki posisi tingkat kesukaan yang sama oleh konsumen. Data tersebut menunjukkan bahwa nasi ekstrusi perlakuan penambahan ekstrak
teh hijau sebelum penggilingan dan ekstrusi lebih disukai rasanya daripada warna, aroma, dan kelengketan, sementara nasi cokelat brown rice secara keseluruhan overall lebih disukai
daripada parameter lain. Hasil uji statistik Lampiran 18 menunjukkan bahwa pada setiap parameter produk warna
Lampiran 18a, rasa Lampiran 18c, kelengketan Lampiran 18d, dan overall Lampiran 18e berbeda nyata p0.05, sedangkan aroma Lampiran 18b tidak berbeda nyata p0.05. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan penambahan ekstrak teh dan proses ekstrusi berpengaruh nyata terhadap tingkat penerimaan konsumen pada nasi ekstrusi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa nasi cokelat lebih disukai dari nasi ekstrusi, namun tingkat kesukaan terhadap aroma adalah sama.
4.2.5. Kadar Total Fenol Produk Beras Ekstrusi
Analisis total fenol tidak hanya dilakukan pada bahan baku saja seperti ekstrak teh maupun dan tepung menir. Namun, dianalisis juga pada keempat produk beras ekstrusi. Penambahan
31 ekstrak teh hijau dengan beberapa perlakuan pada pengolahan beras ekstrusi diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai perlakuan terbaik yang dapat meningkatkan kadar senyawa fenolik pada beras sehingga berkorelasi terhadap nilai indeks glikemik.
Hal ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh proses ekstrusi serta penambahan ekstrak teh sebelum diekstrusi terhadap kandungan senyawa fenol pada produk tersebut. Tabel 8.
menampilkan data total fenol dari keempat produk beras ekstrusi. Kadar total fenol dapat dilihat pada Gambar 11. Menurut Estiasih dan Ahmadi 2011 kadar senyawa antigizi menurun selama
proses ekstrusi. Sedangkan adanya perlakuan penambahan ekstrak teh dapat meningkatkan kandungan fenol pada produk. Proses penambahan ekstrak teh hijau dapat mempengaruhi jumlah
fenol yang diserap.
Gambar 11 Kadar total fenol produk akhir beras ekstrusi Keterangan gambar:
K = kontrol P1 = perendaman dengan ekstrak teh hijau sebelum penggilingan
P2 = penambahan ekstrak teh hijau sebelum akan diekstrusi P3 = perndaman dengan sekstrak teh sebelum penggilingan dan penambahan ekstrak teh sebelum
diekstrusi Data tersebut menunjukkan bahwa pada beras esktrusi kontrol mengandung total fenol
paling kecil yaitu 0.76 ± 0.00 mg GAEg sampel bk dibandingkan produk beras ekstrusi lain dengan penambahan ekstrak teh. Kemungkinan fenol tersebut berasal dari sekam. Total fenol
tertinggi diperoleh pada beras ekstrusi perlakuan 3 dimana ekstrak teh hijau ditambahkan dua kali, pada saat perendaman beras serta sebelum diekstrusi, yaitu sebesar 1.31± 0.00 mg GAEg bk,
kemudian beras ekstrusi pelakuan 1 dimana ekstrak teh hijau ditambahkan pada saat perendaman saja, yaitu 1.17 ± 0.00 mg GAEg bk, dan terakhir beras ekstrusi perlakuan 2 dengan
penambahan ekstrak teh hijau sebelum ekstrusi yaitu 0.99 ± 0.00 mg GAEg bk. Hasil uji statisik dengan ANOVA terhadap kadar total fenol beras ekstrusi Lampiran 20
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata p0.05 antar beras menir dengan beras ekstrusi kontrol dan berbagai perlakuan penambahan ekstrak teh hijau. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
proses ekstrusi serta perlakuan perendaman danatau penambahan ekstrak teh berpengaruh terhadap kadar total fenol pada beras ekstrusi.
0.4 0.8
1.2 1.6
K P1
P2 P3
K a
da r
to ta
l feno
l m
g G
AE g
bk
Produk beras ekstrusi
1.1688
c
0.9895
b
1.3162
d
0.7596
a
32 Beras ekstrusi perlakuan 1, proses perendaman beras menir sebanyak 1 kg dalam 1 liter
ekstrak teh dilakukan selama 1 jam sehingga penetrasi senyawa fenol lebih lama dan dalam jumlah yang banyak. Bila dibandingkan dengan beras ekstrusi P2, penambahan ekstrak teh sebanyak
140.91 ml dilakukan tepat sebelum ekstrusi untuk menaikkan kadar air menjadi sekitar 45 sehingga penetrasi senyawa fenol hanya berlangsung sesaat dan dalam jumlah sedikit meskipun
ukuran bahan yang diberi perlakuan berbentuk tepung. Pada beras ekstrusi P3, perlakuan penambahan ekstrak teh hijau 4 tersebut dilakukan dua kali, yaitu perendaman sebelum
penggilingan dan penambahan sebelum ekstrusi. Sehingga penetrasi senyawa fenol berlangsung lebih lama dengan jumlah yang banyak. Dengan demikian, intensitas senyawa fenol pun
meningkat, lebih banyak senyawa fenol yang diserap dibanding kedua perlakuan penambahan ekstrak teh lainnya.
4.2.6.
Daya Cerna Pati In Vitro
Daya cerna pati menunjukkan kemampuan pati untuk dicerna oleh enzim penghidrolisis pati yaitu amilase dan diserap oleh tubuh. Pencernaan pati berawal dari mulut, yaitu air liur yang
mengandung α-amilase menghidrolisis pati menjadi maltosa dan maltotriosa yang kemudian berlanjut di dalam perut. Pencernaan kembali terjadi di dalam usus halus oleh α-amilase pankreas
yang dibantu oleh glukoamilase, meghidrolisis maltosa menjadi glukosa. Glukosa diserap ke
dalam aliran darah dan digunakan sebagai sumber energi atau disimpan sebagai glikogen Haryadi 2008.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis secara in vitro. Gambar 12. menampilkan hasil analisis daya cerna pati pada beras menir utuh tanpa perlakuan serta keempat produk beras
ekstrusi.
Gambar 12 Nilai daya cerna pati beras menir dan produk beras ekstrusi Keterangan gambar:
M = Menir K = kontrol
P1 = perendaman dengan ekstrak teh hijau sebelum penggilingan P2 = penambahan ekstrak teh hijau sebelum akan diekstrusi
P3 = perndaman dengan sekstrak teh sebelum penggilingan dan penambahan ekstrak teh sebelum diekstrusi
40 60
80
M K
P1 P2
P3
Nila i da
y a
ce rna
pa ti
Produk beras
75.52
d
49.80
b
59.34
c
47.31
a
86.27
e
33 Dengan menggunakan persamaan kurva standar maltosa Lampiran 22, diketahui kadar
maltosa yang dikandung oleh sampel kadar maltosa awal dan kadar maltosa sampel setelah reaksi hidrolisis enzim sehingga daya cerna pati pada sampel dapat ditentukan. Data menunjukkan
terdapat penurunan daya cerna pati dari ketiga produk dengan penambahan ekstrak teh hijau dibandingkan dengan beras menir dan beras ekstrusi kontrol. Terlihat bahwa beras menir utuh
tanpa perlakuan memiliki nilai daya cerna pati lebih tinggi sebesar 86.27±0.38 sedangkan beras kontrol sebesar 75.52±0.38.
Proses ekstrusi diketahui dapat mempengaruhi struktur fisik granula pati mentah melalui proses gelatinisasi. Semakin besar derajat gelatinisasi suatu produk maka akan semakin tinggi pula
daya cerna patinya. Panlasigui et al. 1992 pada penelitiannya menyatakan beras yang diekstrusi secara signifikan menurunkan daya cerna pati sebanyak 15 dan indeks glikemik pada
sukarelawan yang sehat sebesar 36. Pengaruh ekstrusi berhubungan dengan gelatinisasi pati dan retrogradasi yang terjadi selama pengolahan yang diindikasikan dengan viskositas yang lebih
rendah dan konsistensi gel yang lembut dari produk mie dari beras. Beberapa hasil penelitian in vitro maupun in vivo mengungkapkan bahwa tidak semua pati
yang dikonsumsi dapat dicerna dengan sempurna. Hal ini ditandai dengan penemuan sisa pati pada sisa makanan di usus besar. Menurut Marsono 1993 dalam Haryadi 2008, fraksi pati ini disebut
pati tahan cerna atau RS Resistant Starch. Keberadaan RS dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengolahan pemanasan dan pendinginan, jenis pati perbandingan kandungan
amilosa dan amilopektin, keadaan fisik pati tingkat hidrasi, ukuran partikel, dan keberadaan komponen lain, misalnya lipid Lyon et al. dalam Haryadi 2008.
Pengolahan bahan berpati dapat mengubah kuantitas RS. Umumnya makanan mengandung banyak pati diolah dengan pemanasan, dengan atau tanpa penambahan air, sebelum dikonsumsi.
Pemanasan pati dengan keberadaan air berlebih mengakibatkan terjadinya gelatinisasi pati, yaitu proses yang meliputi hidrasi dan kemudian pelarutan pati. Pendinginan pati yang telah mengalami
gelatinisasi tersebut dapat mengubah struktur pati yang mengarah ke pembentukan struktur kristalin baru yang tidak larut, atau retrogradasi. Retrogradasi mengakibatkan penurunan daya
cerna pati dalam usus halus manusia yang mengkonsumsinya Marsono 1993 dalam Haryadi 2008.
Pengolahan pati dengan proses ekstrusi dengan perlakuan suhu, kadar air, dan kecepatan mesin pengepres dapat menghasilkan pati resisten tipe 3. Pati resisten tipe 3 RS3 terbentuk
karena proses pengolahan dan pendinginan, seperti pada roti, emping jagung, dan kentang yang dimasak atau didinginkan, atau retrogradasi amilosa Herawati 2010. RS3 adalah pati resisten
yang merupakan fraksi pati dan umumnya sebagai retrogradasi amilosa selama proses pendinginan pada gelatinisasi pati. Hal ini sejalan dengan produk beras ekstrusi yang diproses dengan
ekstruder, pati mengalami gelatinisasi terlebih dahulu selama proses ekstrusi. Pati pun akan mengalami retrogradasi saat produk dikeringkan dan didinginkan untuk mengurangi kadar air demi
memperoleh tekstur beras yang baik. Selain proses, adanya penambahan ekstrak teh sebagai zat antinutrisi menyebabkan
penurunan nilai daya cerna pati dikarenakan ekstrak teh memiliki komponen aktif, yaitu polifenol. Seiring dengan meningkatnya kadar fenol terjadi penurunan daya cerna pati. Menurut Thompson
et.al. 1984 polifenol atau tanin menghambat aktivitas enzim pencernaan, terutama tripsin dan amilase. Penurunan aktivitas enzim amilase tersebut akan berdampak pada penurunan daya cerna
pati. Adanya polifenol menyebabkan karbohidrat dicerna lebih lambat sehingga daya cerna pati menurun. Sifat ini diharapkan terjadi dalam pembuatan beras ekstrusi rendah indeks glikemik.
34 Selain itu, dampak adanya polifenol adalah terbentuknya senyawa kompleks dengan protein
yang bersifat tidak larut juga cenderung menurunkan daya cerna dan mutu protein maupun pati Griffiths dan Moseley 1980. Ukuran molekul dan fleksibilitas konfirmasi berperan dalam
pembentukan ikatan polifenol-polisakarida serta dipengaruhi oleh pH. Bentuk kompleks tersebut mengubah sedikit sisi bagian pati yang normal dihidrolisis oleh enzim pencernaan tidak dikenali.
Semakin banyak sisi-sisi yang tidak dapat dikenali oleh enzim pencernaan, sehingga kemampuan hidrolisis daya cerna pati menurun.
Nilai daya cerna pati terendah terdapat pada beras ekstrusi P3 yaitu beras ekstrusi dengan perlakuan perendaman ekstrak teh sebelum penggilingan dan penambahan ekstrak teh sebelum
ekstrusi sebesar 47.31 ± 0.00, kemudian diikuti dengan beras ekstrusi P1 dengan perendaman ekstrak teh sebelum penggilingan 49.80 ± 0.00, dan terakhir daya cerna pati tertinggi terdapat
pada beras ekstrusi P2 yaitu dengan penambahan ekstrak teh sebelum ekstrusi sebesar 59.34 ± 0.00. Hasil uji ANOVA terhadap nilai daya cerna pati Lampiran 24 menunjukkan adanya
perbedaan nyata p0.05 antarproduk beras ekstrusi. Hal ini membuktikan bahwa proses ekstrusi serta perendaman danatau penambahan ekstrak teh hijau berpengaruh nyata terhadap nilai daya
cerna pati pada keempat produk ekstrusi. Pada perlakuan penambahan ekstrak teh sebelum penggilingan beras ekstrusi P1 terdapat
proses perendaman ekstrak teh ke dalam menir sehingga struktur ikatan kompleks antara senyawa fenol dan komponen pada beras terjadi lebih lama dan kuat. Sedangkan pada perlakuan
penambahan ekstrak teh sebelum ekstrusi beras ekstrusi P2, penambahan ekstrak teh dilakukan tepat sebelum ekstrusi untuk menaikkan kadar air menjadi sekitar 45 sehingga ikatan antara
senyawa fenol dan komponen pada beras belum terbentuk dengan kuat serta langsung melalui proses pemanasan dan gelatinisasi saat ekstrusi sehingga menyebabkan daya hambat terhadap
enzim alfa amilase pada pati masih rendah. Pada beras ekstrusi P3, rendahnya nilai daya cerna pati dikarenakan pada perlakuan tersebut
terdapat dua proses penambahan ekstrak teh, yaitu perendaman sebelum penggilingan dan penambahan sebelum ekstrusi. Sehingga ikatan antara senyawa fenol dan komponen beras
terbentuk lebih kuat dibanding kedua perlakuan penambahan ekstrak teh lainnya. Hal inilah yang dapat mempengaruhi daya cerna pati, semakin tinggi kadar fenol yang berikatan dengan komponen
beras maka semakin kuat penghambatan enzim alfa amilase pemecah pati, sehingga semakin menurunkan daya cerna pati. Senyawa polifenolik sering disebut sebagai tanin. Zat antigizi ini
dapat menurunkan daya cerna protein maupun pati sehingga respon glikemiknya menurun Griffiths dan Moseley 1980.
Nilai indeks glikemik suatu bahan pangan tidak hanya ditentukan oleh satu faktor tetapi beberapa faktor yang saling mempengaruhi. Pada penelitian ini digunakan dua faktor utama: 1
proses pengolahan pangan yaitu dengan proses ekstrusi dan 2 penambahan zat antigizi pangan yaitu ekstrak teh hijau. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mekanisme adanya hubungan
negatif antara asupan polifenol dengan indeks glikemik masih belum jelas. Diduga hal ini berhubungan langsung dengan interaksi antara pati dan polifenol yang belum dapat digambarkan
secara rinci. Sehingga data daya cerna pati merupakan parameter penting pada penelitian ini. Data daya cerna tersebut dipilih satu sampel yang memiliki nilai terendah untuk dianalisis nilai indeks
glikemik dan analisis fisiko-biokimia secara keseluruhan. Produk terpilih adalah beras ekstrusi dengan perlakuan 3. Diasumsikan bahwa daya cerna pati memiliki korelasi positif terhadap nilai
indeks glikemik.
35
4.2.7. Karakteristik Beras Menir dan Produk Terpilih