21. Boru-Boru dongan saripe ni dongan Pangalangkup do goarniIstri
Teman
Tinjauan hukum Islam: Apabila status seorang wanita tersebut sebagai istri walaupun istri teman,
maka hukum Islam melarangnya untuk dinikahi. Dan aturan hukum adat Batak Toba ini sesuai dengan hukum Islam. Namun apabila status istri teman tadi
sudah sebagai mantan istri yang sudah selesai masa iddahnya, maka menurut aturan hukum Islam, wanita tersebut boleh dinikahi oleh seorang laki-laki. Dan
apabila status wanita tersebut sebagai istri dalam masa Iddah menurut hukum adat Batak Toba 9 bulan, maka terhitung setelah waktu yang ditentukan oleh hukum
Islam yaitu setelah melalui masa iddah 130 hari,
132
maka wanita tersebut boleh dinikahi.
22. Boru-boru Namandiori Parlindungan Ala marbadai Dohot Sinondukna
Wanita yang mencari perlindungan, karena cekcok dengan suaminya.
Tinjauan hukum Islam: Apabila status seorang wanita tersebut sebagai istri walaupun istri tersebut
yang lagi cekcok dengan suaminya, maka hukum Islam melarangnya untuk dinikahi. Larangan hukum adat Batak Toba ini sangat sesuai dengan aturan
hukum Islam. Selain dari aturan hukum yang sudah ditentukan oleh hukum Islam di
atas, maka hukum Islam membolehkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita.
132
Ibid,.
D. Analisis Penulis
Kalau kita tinjau dari aturan hukum Islam, hukum Islam membolehkan menikahi wanita di luar dari ketentuan Mahram yang sudah digariskan oleh
hukum Islam. Dan selayaknya orang Islam itu hanya diatur oleh aturan hukum Islam saja dan sanksi hukumnya juga hanya boleh dikenakan sesuai dengan aturan
hukum Islam. Karena aturan yang dibuat oleh hukum Islam di atas bersumber dari kitab suci Alquran
hukum syara’, dan Alquran tersebut bersumber dari wahyu Allah melalui seorang Nabi Muhammad SAW. Sumber tersebut di perkuat dan
ditetapkan oleh ulama fiqh sehingga tertuang dalam kitab-kitab fiqh dan juga Perundang-undangan di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam
“Pasal 4, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam”, dalam hukum
agama Islam sebagai syarat akan dilangsungkannya suatu pernikahan, termasuk harus telah terpenuhi syarat nikah tentang “al-muharramat”. Apabila syarat dan
rukun nikahnya telah terpenuhi, termasuk syarat al-muharramat, maka pernikahan tersebut dapat dinyatakan sah dan juga bersumber dari Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Setelah Undang-undang pernikahan
tersebut di atas diberlakukan, dalam pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa pernikahan dipandang sah apabila telah dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaannya. Bagi yang beragama Islam hukum pernikahan yang berlaku adalah Hukum Islam. Dan keabsahan hukum yang ditetapkan dalam aturan
hukum di atas, sangat diperhitungkan dalam negara kita. Sedangkan aturan hukum adat Batak Toba tersebut bersumber dari manusia, manusia itu ada sifat
lupa, khilaf dan tidak sanggup menjangkau apa hakekat dari aturan yang dibuat
oleh orang-orang dahulu yang pertama kali menerapkan aturan hukum adat Batak Toba terhadap larangan pernikahan adat. Dan juga keabsahan hukum yang
ditetapkan dalam hukum adat Batak Toba, kurang diperhitungkan dalam negara kita. Kekuatan hukum adat sangat lemah apabila dibandingkan dengan hukum
yang bersumber dari Tuhan dan juga diperkuat oleh Peraturan Perundang- undangan yaitu Kompilasi Hukum Islam.
Kalau kita hubungkan antara larangan pernikahan adat Batak Toba dengan larangan pernikahan menurut hukum Islam, dapat kita pahami bahwa, apa
yang dilarang oleh hukum adat Batak Toba, secara teks sebagian sesuai dengan apa yang dilarang oleh hukum agama Islam. Sebaliknya, apa yang dilarang oleh
hukum Islam, larangan tersebut sebagian juga sesuai dengan larangan hukum adat Batak Toba Desa Setia. Dan kalau kita perhatikan lebih seksama lagi, bahwa
semua kategori larangan pernikahan dalam adat Batak Toba ini sangat sesuai dengan aturan hukum Islam. Justru aturan hukum adat Batak Toba telah
mengembangkan dan memperluas aturan hukum Islam tentang wanita-wanita yang haram dinikahi. Hukum adat Batak Toba memandang lebih luas dari patokan
standar minimal yang ada dalam teks aturan hukum Islam, baik aturan hukum Islam dalam kategori hukum syara’, fiqh maupun Qanun Perundang-undangan.
Tapi yang menjadi masalah adalah karena adanya sanksi yang diterapkan bagi para pelanggar larangan hukum adat. Dan inilah jugalah yang membedakan dan
justru membuat aturan hukum adat Batak Toba ini jadi bertentangan dengan aturan hukum Islam.
Yang menjadi masalah bagi penulis, hampir semua tokoh adat di Desa Setia ini beragama Islam. Namun kenapa mereka harus tetap mempercayai hal
mitos tersebut? kecuali larangan menikah dengan wanita yang tergolong mahram dalam hukum Islam. Bukankah agama Islam tidak melarang menikahi
sebahagian orang wanita yang sudah ditentukan oleh hukum adat Batak Toba, khususnya yang semarga?. Manakah yang kita dahulukan antara urusan agama
Islam dengan urusan adat Batak Toba? Dan kenapa kita tidak mencoba menerobos larangan tersebut? Dan sampai kapankah kita harus percaya dengan
larangan tersebut?.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Aturan pernikahan Adat Batak Toba Desa Setia