Ketidaklangsungan Ekspresi Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

75 3. i. Jadam dan obat setiap malam, j. Tidur pun tidak dapat di tilam, k. Seketika lalai setengah malam, l. Sakit memang ku di dalam kelam.

5.3 Analisis Semiotik

Ketiga bait teks Dendang Siti Fatimah di atas memiliki makna-makna yang tersembuyi implisit dan juga terang eksplisit. Makna-makna ini hanya dapat dikaji melalui latar belakang budaya Melayu di Batang Kuis. Makna tersebut dapat ditafsir atau diinterpretasikan. Dalam konteks ini, sesuai saran teori semiotik ada 4 tahapan: a. Ketidaklangsungan ekspresi, b. Pembacaan heuristik unsur dalam teks nyanyian, dan hermeneutik unsur luar yang berkaitan dengan teks nyanyian, c. Matriks dan model, berupa abtraksi dari struktur nyanyian tersebut, dan d. Prinsip intertekstual.

5.3.1 Ketidaklangsungan Ekspresi

Teks Dendang Siti Fatimah tersebut memiliki ekspresi tidak langsung, seperti frase kata kur semangat. Kata-kata ini merupakan sugesti kepada sang bayi agar selalu semangat dalam melaksanakan hidup ini. Begitu juga dengan kata-kata jangan tergantung dalam buaian, adalah makna konotatif yang bebarti walaupun enak di buaian itu, jangan lupa nanti menjalani kehidupan di dunia yang keras ini. Maksudnya bukan awas tergantung mungkin sampai meninggal di buaian, tetapi lebih bersifat ekspresi tidak langsung. Universitas Sumatera Utara 76 Demikian pula frase kata-kata jadam dan obat setiap malam. Maksudnya kedua orang tua bukan meminum jadam dan obat agar orang tua tersebut sehat selalu. Jadam dan obat di sini maksudnya adalah kewajiban orang tua seperti orang sakit meminum obat, agar kemudian sehat. Orang tua terutama pada malam hari bersusah-payah menjaga anaknya. Tidur pun tidak dapat lagi di tilam, maknanya tidak dapat tidur nyenyak menjaga si buah hati. Demikian kira-kira tafsiran penulis terhadap teks Dendang Siti fatimah di atas yang memiliki bagian- bagian ekspresi tidak langsung.

5.3.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Selanjutnya dalam membaca heuristik struktur bagian dalam tiga teks tersebut adalah terdiri dari tiga bait, dua belas baris larik, dan kesemuanya terdiri dari 51 kata termasuk partikel. Keberadaan teksnya juga memiliki kesan dan hubungan dengan teks-teks sejenis. Dalam satu bait umumnya terdiri dari empat kata, namun bisa dikurangi atau ditambahkan. Demikian pula dalam satu baris bisa terdiri dari beberapa suku kata umumnya sembilan sampai lima belas. Garapan teks lagu ini mendasarkan pada apa yang disebut persamaan bunyi persajakan atau rima di ujung setiap barisnya. Ketiga bait Dednag Siti Fatimah itu adalah bersajak rata a-a-a-a. Secara lebih terinci, bait pertama menggunakan persajakan fonem n dalam kata-kata tuan, buaian, kawan, dan ayunkan. Sementara itu pada baik kedua digunakan persajakan fonem a yang menggunakan diksi kata diperanakkannya, dipeliharakannya, sentosanya, dan tubuhnya. Di sisi lain, pada bait ketiga persajakn menggunakan fonem m yang Universitas Sumatera Utara 77 diwakili kata-kata malam, tilam, malam, dan kelam; ada dua kali perulangan kata malam. Bagian dalam teks Dendang Siti Fatimah ini, terdiri dari kata-kata dasar: berimbuhan, kata depan, kata kerja, kata sifat, partikel, dan lain-lainnya. Kesemua unsur internal ini menyatu dari satu bagian ke bagian lain, dan sambung- menyambung maknanya. Kemudia secara hermeneutik, maka teks ini memiliki makna yang mencerminkan kebudayaan Melayu. Dalam bait pertama yaitu: 1. a. Kur semangat putramu tuan, b. Jangan tergantung dalam buaian, c. Kami dipanggil berkawan-kawan, d. Ibu bapamu minta ayunkan Bait kur semangat putramu tuan, memiliki arti yang luas. Dalam kebudayaan Melayu kata kur semangat memiliki makna agar semua orang di dunia ini memiliki semangat untuk hidup. Dalam diri setiap makhluk pun sebenarnya ada semangat yang dapat diartikan sebagai roh. Roh ini melekat dalam tubuh seseorang yang masih hidup, termasuk bayi yang diayunkan. Kemudian sesudah manusia tersebut meninggal, jasad dan semangatnya akan berpisah. Bait jangan tergantung dlaam buaian, memiliki makna sambil bersenda gurau. Tidaklah biasa bayi tergantung dalam buaian, atau sebagai indeks bunuh diri di ayunan. Arti baris ini adalah jangan lena di dalam ayunan, nanti hadapilah hidup yang penuh dengan tantangan. Baris kata kami dipanggil berkawan-kawan secara hermeneutik artinya adalah para pendendang dipanggil secara berkelompok Universitas Sumatera Utara 78 oleh pihak orang tua si bayi untuk menyajikan Dendang Siti fatimah di depan si bayi. Mereka ini para pendendang dipanggil oleh ayah si bayi sekali gus untuk mengadakan upacara mengayunkan bayi. Makna ini adalah eksplisit, jelas, dan tegas. Selanjutnya pada bait kedua, secara hermeneutik juga mengandung makna-makna kebudayaan. Selengkapnya bait kedua ini adalah sebagai berikut. 1. e. Tatkala sudah diperanakkannya, f. Sakit dan demam dipeliharakannya, g. Tidur duduk tak sentosanya, h. Selagi belum besar tubuhnya Maksud dari tatkala sudah diperanakkannya, maknanya adalah ketika bayi tersebut lahir dan disambut dengan suka cita oleh ayah dan ibunya, maka inilah yang dimaksud dengan diperanakkannya. Anak ini dalam budaya Melayu adalah titipan Tuhan di dunia. Ia dapat menjadikan ayah dan ibunya menuju surga atau sebaliknya. Diperanakkannya juga dapat bermaksud bayi tersebut dipanggil anak oleh ayah dan ibunya. Kemudian kata sakit dan demam dipeliharakannya. Artinya ketika anak tersebut sakit, maka ibu dan ayahnya akan menjaga, mengobati, dan mengasuhnya sampai bayi tersebut sehat kembali, dan disiapkan untuk menghadapi hidupnya di dunia ini. Kata-kata todur duduk tak sentosanya, artinya adalah keadaan ayah dan ibu si bayi ketika menjaga dan mengasuh si anak, apalagi anak yang sakit pastilah tidak bisa tidur nyenyak dan duduk santai. Ia akan penuh perhatian menjaga anak tersebut agar tidak terjadi apa-apa dengannya. Universitas Sumatera Utara 79 Selanjutnya kata selagi belum besar tubuhnya, artinya ketika anak masih bayi, segala waktu, perhatian, bimbingan, dan lainnya penuh ditumpahkan unk si bayi oleh kedua orang tuanya. Keduanya wajib menjaga apapun yang dapat menghambat pertumbuhan mental dan spiritual bayi yang akan menuju menjadi rermaja, dan dewasa kelak. Bait ketiga, juga masih mendeskripsikan mengenai kedua orang tua si bayi yang sepenuh perhatiannya dicurahkan semata-mata untuk si bayi seorang. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut. 4. i. Jadam dan obat setiap malam, j. Tidur pun tidak dapat di tilam, k. Seketika lalai setengah malam, l. Sakit memang ku di dalam kelam. Pada larik jadam dan obat setiap malam, ini bukanlah berarti bahwa kedua orang tua bayi meminum jadam obat yang pahit rasanya dan obat setiap malam. Tetapi itu adalah indeks dari kedua orang tua si bayi sudah merasakan menjaganya seperti meminum obat. Artinya penjagaan dan pengasuhan bayi ini adalah kewajiban kedua orang tuanya. Dalam budaya Melayu yang paling baik adalah bayi dijaga oleh kedua orang tuanya, bukan oleh pembantu. Kemudian baris tidur pun tidak dapat ditilam, berarti kedua orang tua si bayi tidak dapat tidur dengan nyenyak, keduanya selalu menjaga si bayi. Kadang keduanya lalai di tengah malam. Kata-kata sakit memang ku di dalam kelam, bermakna kedua orang tua si bayi adalah bersakit-sakit menjaga buah hatinya di tengah malam yang kelam, ketika sebagaian besar orang lagi tidur dengan Universitas Sumatera Utara 80 pulasnya. Demikian kira-kira tafsiran penulis secara hermeneutik semiotik terhadap karya ketiga bait Dendang Siti Fatimah ini.

5.3.3 Matriks dan Model