karakteristik petani Indonesia dan nilai strategis beras dalam perekonomian Indonesia yang masih memerlukan perlindungan. Hal inilah yang menjadi dilema
utama bagi Perum BULOG dalam upaya memperkuat ketahanan pangan.
156
A. Pengamanan HPP saat Kebijakan Bebas Import Beras
al-hal ini dapat mengancam ketahanan pangan Indonesia yang berkelanjutan.
157
Sejak awal tahun 1970, telah terjadi pergeseran paradigma, sektor pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi
dijadikan sebagai penyangga industrialisasi. Akibatnya berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah diarahkan bagaimana memajukan sektor industri. Hal ini
berdampak pada semakin lambannya produksi pertanian berbanding pertumbuhan penduduk. Berbagai kebijakan dibuat pemerintah untuk mewujudkan ketahanan
pangan di Indonesia. Pemerintah melakukan kebijakan impor, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Sementara Indonesia sendiri adalah
negara produksi pangan. Pangan yang diserap oleh pemerintah hanya 5-7 dari produksi nasional, yang di simpan pemerintah dalam bentuk stok cadangan
pangan pemerintah yang dilakukan oleh BULOG. Akibatnya produk dalam negeri menjadi terancam, kesejahteraan petani sebagai produsen pun menurun. Selain itu
ditambah pula daya akses masyarakat Indonesia terhadap pangan yang lemah baik disebabkan karena kemiskinan maupun karena faktor lain. H
156
Mustafa Abubakar, “ Kebijakan Pangan, Peran Perum BULOG dan Kesejahteraan Petani”. Disampaikan sebagai Orasi Ilmiah dalam Dies Natalis ke-44 Bogor : Institut Pertanian 2007.
157
Ridhiyati, “Ketahanan Pangan Indonesia dari Perspektif Ekonomi Islam”. http:ridhiyati.multiply.com. Diakses tanggal 06 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 198485 seiring dengan jatuhnya harga minyak di pasar dunia. Pendapatan pemerintah dari ekspor dan pajak minyak bumi jauh berkurang.
Untuk itu kemudian dilakukan berbagai penghematan belanja negara, yang berimbas pada transfer dan subsidi pemerintah pada sektor pertanian. Di saat yang
sama juga pemerintah mengintensifkan berbagai deregulasi dan liberalisasi di bidang perdagangan dan investasi serta keuangan dan perbankan. Dampak dari
jauh berkurangnya transfer ini adalah menyusutnya produksi beras nasional. Mulai dari tahun 1984 sampai dengan 1993, Indonesia mengimpor rata-rata 160
ribu ton beras per tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton pertahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah
ini meningkat lagi menjadi 4.65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan, sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas dua juta ton
pertahunnya, yang membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras.
158
BULOG dan pihak swasta pada saat itu berlomba untuk mendatangkan beras dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras
impor yang masuk ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal produksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton,
sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton. Karena jeritan para
petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor dinaikkan menjadi
158
M. Ikhsan Modjo, “Dilema Kebijakan Perberasan dan Masalah Impor”, Makalah Pemantik Diskusi Pada Kajian Monash Indonesian Islamic Student Westall 04February2006.
http:mimodjo.blogspot.com Diakses pada tanggal 02 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
30, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukan penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan
Australia dengan tetap meraih untung. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret 2000, ternyata belum dapat mengangkat
harga gabah di tingkat petani. Beras impor terus saja masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi lokal terus merosot tajam. Inilah awal
dimulainya tragedi kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada langkah-langkah protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami
kebangkrutan dan akan menyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi pertanian ini, maka akan habislah petani
Indonesia dilibas oleh importir besar.
159
Instrumen tarif tampaknya belumlah cukup ampuh untuk melindungi petani dari perdagangan yang tidak adil, walaupun diakui instrument ini lebih
transparan dan sesuai dengan kaidah perdagangan multilateral. Salah satu alasannya karena lemah dalam implementasi dan buruknya infrastruktur di border,
disamping para pelaksana di lapangan yang belum jujur, sehingga penyelundupan sulit diberantas. Solusi yang terbaik adalah tetap perlu instrumen non-tariff
barrier seperti
quantitative restriction dengan tetap memperhatikan keharmonisannya dengan ketentuan perdagangan internasional
untuk
159
MEFP, 11 September 1998; Bisnis Indonesia, 13 April 2000, 2 Oktober 2000; Suara Pembaruan, 18 Maret 2000
Universitas Sumatera Utara
mengefektifkan perlindungan, setidaknya dalam jangka menengah, sambil membenahi efektivitas perlindungan melalui instrumen tarif.
160
Pada periode 1998-99 dan 2000 sampai 2003, jumlah beras impor yang masuk dalam periode itu mecapai masing-masing 79 persen dan 77 persen. Ini
mendorong secara langsung atau tidak langsung terhadap kekacauan pergerakan harga antar musim. Harga gabah pada musim paceklik menjadi lebih rendah dari
harga gabah di musim panen raya atau panen gadu. Ini juga mendorong terjadi dan meluasnya kasus kejatuhan harga tingkat petani di bawah harga dasar yang
ditetapkan pemerintah. Ketidakmampuan pengelolaan impor beras mengakibatkan perdagangan antar pulau menjadi lesu, beras dari daerah produsen tidak mengalir
ke wilayah konsumen di kota. Akibatnya adalah harga beras ditingkat petani tertekan rendah. Ini telah berdampak buruk terhadap petani miskinsempit serta
lesunya aktivitas perdagangan yang umumnya dikuasai oleh UKM. Itu juga telah memperburuk distribusi pendapatan dan membuat pembangunan perdesaan
menjadi lesu. Berbagai kesulitan dan salah urus tentang efektifitas penerapan tarif, mendorong petani dan parlemen untuk meminta pemerintah untuk melarang
impor beras. Pada Januari 2004, impor beras dilarang sesuai dengan SK Menperindag No. 9MPPKep12004.
Permasalahan yang timbul dari impor beras ini adalah terdapatnya ketergantungan bangsa ini terhadap beras dari negara lain. Karena bantuan pangan
160
M. Husein Sawit, “Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia Kebijakan yang Keliru”, http:pse.litbang.deptan.go.id, Diakses pada tanggal 29 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
sering kali dijadikan sebagai alat penekanan politik dan ekonomi oleh negara pengekspor kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan pangan. Dengan
kondisi demikian dimana disatu sisi impor beras memberikan manfaat disaat kita kekuarangan stok beras sehingga harga beras dapat stabil dan banyak juga
menyebabkan dampak negatif dengan segala intrik politiknya telah mengisyaratkan kepada kita bahwa betapa pentingnya suatu kedaulatan pangan.
Jika kedaulatan pangan dapat di peroleh, kebutuhan pangan tercukupi sebenarnya kita tidak perlu melakukan impor pangan yang justru menimbulkan konflik di
masyarakat. Pemerintah serta masyarakat mesti kembali melihat siapa sebenarmya jati diri kita. Negara yang luas dengan kesuburan tanah yang tidak
diragukan seharusnya mengingatkan kepada kita bahwa kita sekali-kali tidak boleh melupakan pertanian kita.
161
B. Pendanaan PSO Melalui Kredit Komersil