Peristiwa yang terjadi selama proses kalsinasi antara lain: a. Pelepasan air bebas H
2
O dan terikat O-H berlangsung sekitar suhu 100 hingga 300
o
C. b. Pelepasan gas-gas, seperti: CO
2
berlangsung sekitar suhu 600
o
C dan pada tahap ini disertai terjadinya pengurangan berat yang cukup berarti.
c. Pada suhu lebih tinggi, sekitar 800
o
C struktur kristalnya sudah terbentuk, dimana pada kondisi ini ikatan diantara partikel serbuk
belum kuat dan mudah lepas [Dewi, 2015].
Sebagai contoh proses kalsinasi pada pembentukan magnet permanen Barium ferit, BaFe
12
O
19
ditandai dengan terjadinya kristalisasi yang dipengaruhi oleh suhu pada proses kalsinasi. Barium ferit nano partikel akan membentuk
struktur kristal heksagonal pada suhu minimal 600
o
C. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa pembentukan magnet permanen Barium ferit semakin
baik dengan meningkatnya suhu kalsinasi 1000
o
C. Karakteristik magnet terbaik yang didapat ialah nilai Br = 1,19 kG, Hc = 5,54 kOe, BHmax = 0,33MGOe pada
suhu kalsinasi 1000ºC [Sudrajat, 2007].
2.9. Karakterisasi Sifat Fisis
Karakterisasi sifat fisis pada bahan serbuk yang dilakukan meliputi: pengukuran true density dan differential thermal analysis DTA.
2.9.1. True Density
True density merupakan ukuran kepadatan dari suatu material berbentuk
serbuk powder. Pengukuran densitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah true density. True density
merupakan densitas nyata dari partikel atau kepadatan sebenarnya dari partikel padat atau serbuk powder. Pada pengujian true density
menggunakan piknometer dan nilai true density dapat diperoleh dengan
persamaan [Silitonga, 2016]:
Universitas Sumatera Utara
= x
2.4 dimana:
ρ
s
= densitas serbuk dari bahan sampel yang diukur kgm
3
m
1
= massa piknometer kosong kg m
2
= massa piknometer berisi aquades kg m
3
= massa piknometer berisi serbuk sampel kg m
4
= massa piknometer berisi serbuk dan aquades kg ρ
air
= massa jenis air, bergantung pada suhu air kgm
3
Secara teoritis, nilai true density merupakan gabungan dari densitas bahan baku yang digunakan dan dapat dihitung menggunakan persamaan 2.5:
ρ
teori
= ρ
t-a
wt
a
+ ρ
t-b
wt
b
+ ρ
t-c
wt
c
100 2.5 dimana:
ρ
t-a
= massa jenis teoritis bahan A kgm
3
wt
a
= persen berat bahan A berat
ρ
t-b
= massa jenis teoritis bahan B kgm
3
wt
b
= persen berat bahan B berat
2.8.2. DTATGA
Differential Thermal Analysis DTA, prinsipnya adalah mengukur perbedaan temperatur antara sampel dan materi pembanding inert acuan sebagai
fungsi temperatur, jika kedua temperaturnya dinaikkan dengan kecepatan sama dan konstan. Proses yang terjadi dalam sampel adalah eksoterm dan endoterm,
yang ditampilkan dalam bentuk termogram differensial. Sedangkan pada analisis termogravimetri, perubahan berat sampel diamati sebagai fungsi temperatur.
Informasi yang diperoleh dari metode termografimetri terbatas pada dekomposisi, reaksi oksidasi dan beberapa proses fisik seperti penguapan, sublimasi dan
desorbsi [Safarina, 2011]
Prinsip dasar DTA adalah apabila dua buah krusibel dimasukkan ke dalam tungku DTA secara bersamaan, krusibel yang berisi sampel ditempatkan disebelah
kiri dan krusibel sampel acuan pembanding disebelah kanan. Kemudian kedua krusibel tersebut dipanaskan dengan aliran panas yang sama besar dan akan terjadi
penyerapan panas yang berbeda oleh kedua sampel tersebut. Besarnya perbedaan
Universitas Sumatera Utara
penyerapan panas yang terjadi disebabkan oleh perbedaan temperatur yang menyebabkan terjadinya suatu reaksi perubahan fisika atau kimia. Perubahan
temperatur tersebut dicirikan oleh pembentukan puncak eksotermik atau endotermik. Sedangkan prinsip dasar TG adalah perubahan temperatur yang
menyebabkan terjadinya perubahan berat. Apabila temperatur sampel Ts lebih besar dari temperatur pembanding Tr yang terjadi adalah reaksi pertambahan
berat +TG. Apabila temperatur sample Ts lebih kecil dari pada temperatur pembanding Tr maka yang terjadi adalah reaksi pengurangan berat -TG
[Sariyanto, 2010].
Salah satu contoh hasil pengujian DTATGA untuk sintesis barium heksaferit pada temperatur 20 - 125ºC mengalami penurunan massa mass loss
sebesar 6,42. Hal ini disebabkan terjadinya evaporasi yang mengakibatkan hilangnya kandungan air dan pelarut yang terjebak dalam prekursor. Pada
temperatur 125 - 225ºC tejadi penurunan massa sebesar 18,14. Pada temperatur 150ºC, masih mengalami penurunan massa dan mulai terdapat kenaikan energi
pada sampel. Kemudian pada temperatur 255 - 375ºC terjadi penurunan massa sebesar 20,72. Puncak eksotermis muncul pada temperatur 280ºC yang disertai
dengan penurunan massa. Hal ini menunjukkan terjadinya dekomposisi fasa dan transformasi fasa Barium Haksaferit. Pada temperatur 560
– 1100ºC terjadi perubahan fasa yang stabil dengan disertai puncak eksotermis yang tinggi yaitu
pada temperatur 825ºC dan puncak eksotermis yang kecil pada temperatur 1040ºC. Puncak endotermis yang kecil dapat dijumpai pada temperatur 975ºC.
Berdasarkan penelitian juga didapatkan hasil pada material Barium M- Heksaferit yang didoping ion Zn dengan variasi temperatur rendah telah
mengindikasikan terjadinya transformasi fase Barium M-Heksaferit BaFe
12- x
Zn
x
O
19
pada temperatur kalsinasi 150ºC selama 4 jam. Melalui hasil penelitiannya, presentase fase BaM sebanyak 74,54 telah berhasil dilakukan
dengan metode kopresipitasi. Berdasarkan hasil DSCTGA mengindikasikan pada temperatur 150ºC terjadi penurunan massa yang tajam pada kurva TGA dengan
puncak eksotermis yang rendah. Hal ini disebabkan terjadi peristiwa transformasi
fasa dan dekomposisi fasa pada suhu tersebut [Rahmawatus, 2012].
Universitas Sumatera Utara
2.10. Karakterisasi Mikrostruktur