2.2.3 Zona Transformasi
Zona transformasi
adalah area
datar antara original
sambungan skuamokolumnar dengan sambungan skuamokolumnar yang baru. Zona transformasi
yang sudah matang, tidak bisa digambarkan atau dibedakan dengan sambungan skuamokolumnar original. Proses perubahan terjadi karena pengaruh hormonal tetapi
pada akhirnya menghasilkan suatu epitel dewasa yaitu epitel skuamosa yang terglikogenasiPutra, 2006.
Kalposkopi dapat mendiskripsikan dengan baik keadaan prakanker jika keseluruhan sambungan skuamokolumnar yang baru dapat terlihat. Kolposkopi
dianggap tida adekuat jika keseluruhan sambungan skuamokolumnar tidak dapat terlihat. Zona transformasi juga dapat menggambarkan batas distal dari neoplasia
intraepital glandular dengan lesi tinggi yang menjadi prekursor ke arah adenokarsinoma serviks Putra, 2006.
2.2.4 Batas Atas Metaplasia Skuamosa
Sambungan skuamokolumnar yang baru merupakan daerah yang tidak stabil. Penilaian
kolposkopi serviks
secara serial
memperlihatkan sambungan
skuamokolumnar baru bergerak ke arah cephal. Studi histologi dari spesimen biopsi kolposkopi secara langsung memperlihatkan adanya sel hiperplasia dan metaplasia
skuamosa imatur awal yang terjadi di sepanjang epitel. Metaplasia skuamosa imatur tahap awal dapat meluas sejauh 10 mm di atas sambungan skuamokolumnar yang
baru. Putra, 2006. Metaplastik epithelium imatur pada sambungan skuamokolumnar baru tidak
termasuk dalam pengertian zona transformasi tetapi adanya epitel tersebut memberikan risiko terbesar dalam transformasi neoplastik pada masa yang akan
datang. Selama fase dinamis metaplasia, terutama masa pubertas dan kehamilan pertama, sel-sel imatur secara aktif akan difagositosis Putra, 2006.
Usia koitus pertama merupakan variabel epidemiologi penting dalam menentukan risiko terjadinya neoplasia serviks. Risiko terkena kanker serviks akan meningkat 26
kali jika usia awal hubungan antara setahun menstrual pertama dan berbeda pada usia 23 tahun atau yang lebih tua Putra, 2006.
2.2.5 Patogenesis Lesi Prakanker
Cow dan Cox, dkk dalam Syahbani 2007 faktor risiko displasia sesuai dengan kanker serviks, karena kanker serviks merupakan perkembangan lanjutan dari
displasia. Sekita 15 displasia ringan menjadi displasia sedang, 30 displasia sedang menjadi displasia berat, 45 displasia berat menjadi kanker serviks insitu,
dan selanjutnya 90 kanker serviks insitu menjadi kanker serviks invasif. Sebaliknya, 20 displasia berat menjadi displasia sedang, 40 displasia sedang
menjadi displasia ringan, dan 75 displasia ringan mejadi metaplasia-normal.
2.2.6 Klasifikasi Lesi Prakanker
Pada tahun 1980, British Society of Clinical Cytology BSCC membuat pembagian berdasarkan korelasi antara sitologik dengan histopatologik diskariosis
ringan, sedang dan berat dimana dipakai istilah CIN. Tetapi displasia berat dan kanker serviks insitu susah dibedakan. Istilah CIN ini juga belum mendapat
kesepakatan dikarenakan tidak seluruh neoplasia berkembang menjadi kanker seviks. Pada tahun 1980-an, secara patologi ditemukan sel koilositik atau condylomatous
atypia yang dihubungkan dengan infeksi HPV. Koilosit adalah suatu sel atipik di ruang perinuklear atau gambaran pada sitplasma,perubahan sitologi pada sel ini
merupakan petanda adanya infeksi HPV. Dengan adanya petanda tersebut disederhanakan pembagian lesi prakanker menjadi dua grup secara histologi yaitu :
1. Low-grade CIN yang meliputi sel-sel koilosit atipik dan CINI
2. High-grade CIN yang meliputi CIN 2dan CIN 3