Sambungan Skuamokolumnar Baru Prakanker Serviks

Usia koitus pertama merupakan variabel epidemiologi penting dalam menentukan risiko terjadinya neoplasia serviks. Risiko terkena kanker serviks akan meningkat 26 kali jika usia awal hubungan antara setahun menstrual pertama dan berbeda pada usia 23 tahun atau yang lebih tua Putra, 2006.

2.2.5 Patogenesis Lesi Prakanker

Cow dan Cox, dkk dalam Syahbani 2007 faktor risiko displasia sesuai dengan kanker serviks, karena kanker serviks merupakan perkembangan lanjutan dari displasia. Sekita 15 displasia ringan menjadi displasia sedang, 30 displasia sedang menjadi displasia berat, 45 displasia berat menjadi kanker serviks insitu, dan selanjutnya 90 kanker serviks insitu menjadi kanker serviks invasif. Sebaliknya, 20 displasia berat menjadi displasia sedang, 40 displasia sedang menjadi displasia ringan, dan 75 displasia ringan mejadi metaplasia-normal.

2.2.6 Klasifikasi Lesi Prakanker

Pada tahun 1980, British Society of Clinical Cytology BSCC membuat pembagian berdasarkan korelasi antara sitologik dengan histopatologik diskariosis ringan, sedang dan berat dimana dipakai istilah CIN. Tetapi displasia berat dan kanker serviks insitu susah dibedakan. Istilah CIN ini juga belum mendapat kesepakatan dikarenakan tidak seluruh neoplasia berkembang menjadi kanker seviks. Pada tahun 1980-an, secara patologi ditemukan sel koilositik atau condylomatous atypia yang dihubungkan dengan infeksi HPV. Koilosit adalah suatu sel atipik di ruang perinuklear atau gambaran pada sitplasma,perubahan sitologi pada sel ini merupakan petanda adanya infeksi HPV. Dengan adanya petanda tersebut disederhanakan pembagian lesi prakanker menjadi dua grup secara histologi yaitu : 1. Low-grade CIN yang meliputi sel-sel koilosit atipik dan CINI 2. High-grade CIN yang meliputi CIN 2dan CIN 3 Gambar 2.3 CIN 1 – Low-grade Squamouse Intraepithelial Lesion Gambar 2.4 CIN 2 – High-grade Squamous Intraepithelial Lesion HSIL Gambar 2.5 CIN 3 – HSIL