1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai perempuan dalam kehidupan masyarakat tak akan lepas dari posisi perempuan yang lebih tertinggal dari pada laki-laki di sektor
publik. Posisi perempuan yang kebanyakan di dalam berbagai elemen masyarakat selalu dinomorduakan bahkan hanya sebagai pelengkap saja. Peristiwa ini di
dukung oleh budaya patriarkhi yang memposisikan kaum laki-laki sebagai pelaku utama dalam masyarakat yang memiliki kekuasaan. Menurut Murniati 2004: 80-
81, patriarkhi dapat didefinisikan suatu sistem yang bercirikan laki-laki ayah. Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan. Sistem ini dianggap
wajar sebab disejajarkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks. Laki-laki lah yang pantas menduduki posisi-posisi penting di publik. Hal ini menyebabkan
kaum perempuan mengalami subordinasi oleh laki-laki dan membuat perempuan tidak mandiri dalam melakukan sebuah pekerjaan yang hanya dipandang sebagai
pelengkap kaum laki-laki. Kegiatan yang dilakukan oleh perempuan hanya sebatas ruang domestik
dan laki-laki di ruang publik merupakan sebuah kontruksi yang dibuat oleh masyarakat. Perempuan dianggap pantas di domestik karena perempuan
mengalami proses alam yaitu mengandung anak, melahirkan anak dan menyusui
2
serta menjaga anak yang semuanya dilakukan di rumah domestik. Perempuan hanya dianggap mampu mengurusi rumah tangga namun tidak seperti laki-laki
yang mampu mencari nafkah publik dan bertanggungjawab atas segala urusan dalam keluarga bahkan dalam pengambilan keputusan. Realitas yang terjadi di
banyak kebudayaan membuat laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan secara struktural. Mitos yang diturunkan dari generasi ke generasi, bahwa laki-laki
itu agresif dan perempuan pasif, telah mendorong pemerkosaan dalam keluarga Muniarti, 2004:200. Hal ini membuktikan bahwa perempuan tidak dapat
mengembangkan dirinya seperti laki-laki dan menuntut adanya jenis kelamin yang lebih unggul. Kaum laki-laki sebagai penguasa terhadap perempuan yang lebih
memiliki peran penting dalam menangani urusan rumah tangga dan masyarakat. Kondisi yang terjadi menjadi suatu pandangan yang dilakukan terus
menerus oleh masyarakat terhadap peran perempuan dan laki-laki. Kemudian timbul prespektif terhadap perempuan mengenai peran, fungsi dan kedudukan
yang selalu dinomorduakan setelah laki-laki. Dan di dalam masyarakat pun timbul streotipe bahwa perempuan adalah kaum yang lemah dan laki-laki sebagai kaum
yang kuat karena mampu melakukan kegiatan di publik yaitu mencari nafkah dan memiliki kekuasaan untuk menentukan berbagai hal seperti reproduksi,
seksualitas, pembagian peran kerja serta perempuan masih menggantungkan hidupnya di tangan laki-laki. Muniarti 2004:200 juga mengatakan, suami yang
karena situasi tertentu terpaksa tidak mampu menghidupi keluarganya dan dalam kontruksi masyarakat laki-laki yang berumah tangga yang pengangguran dianggap
cacat, istrinya yang bekerja dan menjadi tiang keluarga, maka anak-anak tidak
3
cukup nyaman dengan situasi ini, bersama-sama ibunya memandang rendah ayahnya.
Permasalahan yang terjadi mengenai hubungan perempuan dan laki-laki tak lepas dari konsep gender yang mempengaruhinya. Sejarah perbedaan gender
gender difference antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun
negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap manjadi ketentutan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah
lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.
1
Konsep gender yang di implementasikan di masyarakat cenderung menghasilkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender
merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
2
Ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat berdampak negatif bagi laki-laki dan perempuan, namun yang lebih tidak diuntungkan ialah posisi
perempuan. Ketidakadilan gender dimana perempuan sebagai korban dari kontruksi sosial budaya masyarakat yaitu pertama, marginalisasi perempuan
dimana proses ini mengakibatkan kemiskinan. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota
1
Mansour Fakih, Analisis Gender Transformasi Sosial Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 9
2
Ibid., hal. 12
4
keluarga yang laki-laki dan perempuan.
3
Kedua, Subordinasi yang terjadi terhadap perempuan menjelaskan bahwa perempuan irrasional sehingga perempuan tidak bisa memimpin, dan
memposisikan perempuan ke dalam posisi yang tidak penting. Ketiga, streotipe Marginalisasi diperkuat oleh sistem adat
istiadat dan agama, misalnya perempuan tidak sama perolehan hak waris dibandingkan laki-laki.
4
terhadap perempuan yang menjelaskan bahwa perempuan istri hidup bertugas menjadi pelayan bagi laki-laki, maka yang dipahami dalam masyarakat
pendidikan bagi kaum perempuan dinomorduakan. Keempat, kekerasan terhadap perempuan berbagai macam terjadi salah satunya ialah pemerkosaan.
Pemerkosaan yang terjadi bukan semata-mata laki-laki yang salah, namun presepsi yang terjadi peristiwa ini muncul dikarenakan perempuan yang membuat
laki-laki tergoda untuk melakukan tindakan tersebut. Menurut berita online RRI.co.id pada tanggal 10 Desember 2014
5
3
Ibid., hal. 15
4
Pelabelan atau penandaan terhadap suau kelompok tertentu yang biasanya menimbulkan ketidakadilan terhadap kelompok tersebut.
, setiap hari terjadi 35 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang artinya perempuan Indonesia masih
mengalami tindak kekerasan. Kelima, beban kerja terhadap perempuan tejadi di kalangan perempuan
miskin. Perempuan miskin harus menghidupkan keluarganya dengan bekerja dan juga harus berkegiatan di domestik.
5
RRI.co.id, “Setiap Hari Terjadi 35 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di Indonesia”, http:www.rri.co.idpostberita125342ruang_publiksetiap_hari_terjadi_35_kasus_kekerasan_ter
hadap_perempuan_di_indonesia.html akses 21 April 2015
5
Ketika ketidakadilan gender terjadi, khususnya kaum perempuan membuat suatu gerakan yang disebut dengan Feminisme. Gerakan-gerakan yang
memperjuangkan hak-hak perempuan ini mucul dalam perjalanan yang panjang. Feminisme lahir dimulai dari pemaparan tentang bagaimana masyarakat
memandang tentang perempuan hingga muunculnya kesadaran dari sekelompok orang mengenai ketidakadilan terhadap perempuan di dalam cara pandang
masyarakat tersebut Awalnya, gerakan ini membahas mengenai pola relasi antara laki-laki dengan perempuan dalam masyarakat, bagaimana status, hak dan
kedudukan perempuan dalam sektor domestik dan publik. Dalam perkembangannya, feminisme tidak memiliki standarisasi mengenai aplikasi
gagasannya, karena perbedaan sosio-kultural dalam tingkat kesadaran, presepsi dan tindakan oleh feminis itu sendiri. Namun, harus ada definisi yang jelas untuk
pemahaman mengenai gerakan ini. Definisi yang luas itu menurut Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, dua feminis Asia Selatan Muslikhati, 2004:18, yaitu
suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga serta tindakan
sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Feminisme menyuarakan bahwa hak dan kedudukan laki-laki dan
perempuan seimbang dimana peran laki-laki dan perempuan dapat dipertukarkan satu sama lain. Hal ini yang mendorong kaum perempuan untuk ikut dalam
pembangunan di dalam masyarakat dengan mengeluarkan potensi diri yang dimiliki. Kaum perempuan tidak hanya melakukan kegiatan di domestik namun
perempuan dapat dan mampu bersaing dengan kaum laki-laki di publik dengan
6
kemampuan perempuan itu sendiri. Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan dasawarsa I untuk perempuan pada tahun 1975-
1985 Muslikhati, 2004: 42. Dengan berjalannya waktu yang panjang, feminisme memberikan hal yang positif terhadap perempuan dan ketika perempuan paham
akan kondisi yang melanda perempuan, perempuan tersebut sadar dan bangkit untuk keluar dari kondisi yang menjerat perempuan.
Perempuan mulai masuk ke dunia publik, meskipun kuantitasnya tidak sebanding dengan laki-laki. Perempuan mulai memberikan perubahan yang jelas
untuk masyarakat bahkan untuk kaumnya sendiri. Di Indonesia telah diatur undang-undang yang melindungi perempuan bahkan untuk memberikan
kontribusinya untuk masyarakat, setiap partai politik harus memiliki 30 keterwakilan perempuan di ranah legislatif meskipun masih belum maksimal
dalam penerapannya, hal ini diterangkan dalam berita online beritasatu.com pada tanggal 16 September 2014
6
Kegiatan publik yang dilakukan di masyarakat lainnya ialah organisasi. Pada hakikatnya manusia membutuhkan manusia lain untuk mempermudah
memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan bersama dengan membentuk sebuah kelompok yang dinamakan organisasi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
organisasi adalah wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang tentang kuota 30 keterwakilan perempuan di
perlmen gagal tercapai. Namun, hal ini merukan satu langkah untuk memajukan kaum perempuan di Indonesia.
6
Beritasatu.com, “ Kuota 30 Keterwakilan Perempuan Di Parlemen Gagal Tercapai”, http:www.beritasatu.compolitik210327-kuota-30-keterwakilan-perempuan-di-parlemen-gagal-
tercapai.html akses 21 April 2015
7
sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sediri-sendiri.
7
Keterlibatan perempuan dalam organisasi kian hari kian meningkat intensitasnya. Organisasi yang bersifat formal muncul pada tahun 1912 yang
bernama Poetri Mardika di Jakarta yang sebelumnya merupakan divisi perempuan dari organisasi Boedi Oetomo. Organisasi ini berdiri untuk memperjuangkan
pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan agar tampil di depan umum, membuang rasa takut dan mengangkat perempuan ke kedudukan yang sama
seperti laki-laki. Di Indonesia,
organisasi menjadi alat perjuangan sebelum kemerdekaan dilihat dari dibentuknya organisasi Boedi Oetomo yang berisikan pelajar dan mahasiswa untuk
memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah. Setelah itu, banyak bermunculan organisasi-organisasi yang memiliki landasan yang berbeda-beda, bahkan
bermunculan organisasi perempuan yang ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan.
8
7
Veithzal Rivai, Deddy Mulyadi, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi Jakarta: Rajawali Press, 2013, hal. 169-170
Organisasi ini berdiri membuktikan bahwa perempuan telah masuk ke dalam dunia organisasi. Namun, masuknya perempuan di dalamnya
tidak jauh berbeda dengan kondisi perempuan di dalam masyarakat. Perempuan dalam organisasi masih tidak mendapatkan posisi penting dengan kata lain posisi
sebagai ketua dalam organisasi, perempuan hanya di tempatkan pada bagian yang berhubungan kembali dengan rumah tangga yakni permasalahan administrasi dan
keuangan.
8
Dra Mazdalifah, M.Si., “Perempuan Dan Organisasi”, http:mazdalifahjalil.wordpress.com20111204perempuan-dan-organisasi akses 18 Agustus
2014
8
Perempuan dalam organisasi masih sering dianggap sebagai pelengkap, yang tanpa disadari hal ini terjadi dan dibentuk oleh perempuan itu sendiri yang
masih menganggap dirinya tidak mampu bersaing dengan laki-laki dan hanya mengambil posisi yang sama seperti di dalam rumah tangga. Perempuan yang ikut
berorganisasi sadar akan perlunya perempuan mengembangkan potensi diri di ruang publik bahkan dalam pembangunan. Dalam organisasi, dominasi laki-laki
terlihat jelas dari hal struktural, hal ini membuat berbagai organisasi membentuk lembaga otonom yang menaungi perempuan dalam wadah yang khusus. Salah
satu organisasi yang memiliki lembaga otonom tersebut ialah Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat Islam yang didirikan oleh
Muhammad Darwis dan kemudian dikenal oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Gerakan Muhammadiyah
berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran islam bukan sekadar agama yang bersifat
pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspek.
9
Lembaga otonom yang dimiliki Muhammadiyah untuk menaungi kegiatan perempuan ialah Aisyiyah. Aisyiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 19 Mei
1917 oleh K.H Ahmad Dahlan. Gerakan pemberantasan kebodohan yang menjadi salah satu pilar perjuangan Aisyiyah dicanangkan dengan mengadakan
pemberantasan buta huruf pertama kali, baik buta huruf arab maupun latin pada tahun 1923. Dalam kegiatan ini para peserta yang terdiri dari para gadis dan ibu-
9
“Muhammadiyah”, id.m.wikipedia.orgwikiMuhahmmadiyah akses 04 September 2014
9
ibu rumah tangga belajar bersama dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia publik
10
Islam yang berkemajuan sebagaimana terlihat dari penafsiran Muhammadiyah-Aisyiyah terhadap ayat Al-Qur’an yang tidak membedakan jenis
kelamin dalam hal berdakwah, menjadi karakter gerakan Muhammadiyah- Aisyiyah
. Dalam Aisyiyah, perempuan diberdayakan untuk kemajuan potensi diri perempuan itu sendiri, dan
juga perempuan memilki peran dalam pembangunan di Indonesia. Aisyiyah memiliki usaha-usaha amal untuk kemajuan masyarakat luas dengan memberikan
wadah bagi perempuan untuk berkegiatan dalam dunia publik.
11
Dalam hal pergerakan kebangsaan, Aisyiyah turut memperkrasai terbentuknya organisasi wanita pada tahun 1928. Badan Federasi ini diberi nama
Kongres Perempuan Indonesia yang sekarang menjadi KOWANI Kongres Wanita Indonesia.
. Muhammadiyah menyuarakan pendidikan melalui Aisyiyah dalam melakukan gerakan-gerakan pembaharuan untuk kemajuan khususnya para
perempuan Indonesia. Gerakan organisasi Aisyiyah terlihat jelas berkembang dan memberikan manfaat di masyarakat dari waktu ke waktu bagi peningkatan dan
kemajuan perempuan. Aisyiyah memiliki amal usaha yang bergerak diberbagai bidang yaitu pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan
pemberdayaan masyarakat.
12
10
Aisyiyah dan organisasi perempuan lainnya bekerjasama
http:gugunenglis.blogspot.com akses 01 Oktober 2014
11
http:aisyiyahsumut.comsejarah-aisyiyah akses 01 Oktober 2014
12
“Aisyiyah”, id.m.wikipedia.orgwiki’Aisyiyah akses 05 September 2014
10
membebaskan masyarakat Indonesia khususnya perempuan dari penjajahan dan kebodohan.
Aisyiyah memiliki susunan organisasi yang terdiri dari Ranting, Cabang, Daerah, Wilayah dan Pusat yang tertuang dalam Anggaran Dasar Aisyiyah pasal
10 ayat 1 satu. Susunan organisasi ini untuk mempermudah pergerakan Aisyiyah kepada masyarakat dan sebagai bentuk tertib administrasi organisatoris. Ranting
ialah kesatuan anggota dalam satu tempat atau kawasan. Cabang ialah kesatuan Ranting dalam satu tempat. Daerah ialah kesatuan cabang dalam satu Kota atau
Kabupaten. Wilayah ialah kesatuan Daerah dalam satu Propinsi. Pusat ialah kesatuan Wilayah dalam Negara.
13
Di Wilayah Sumatera Utara sendiri memiliki 23 daerah yang salah satunya daerah Kota Medan. Aisyiyah daerah Kota Medan memiliki 28 cabang yang di
dalamnya terdapat 119 ranting. Struktur Pimpinan Organisasi Aisyiyah yang dijelaskan pada Anggaran Dasar Aisyiyah pasal 12 ialah Pimpinan Pusat,
Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting. Pimpinan Pusat adalah pimpinan tertinggi Organisasi yang memimpin organisasi
secara keseluruhan. Untuk melihat pergerakan perempuan di Aisyiyah, penulis memilih Aisyiyah di Kota Medan untuk memperjelas penelitian yang akan
dilakukan. Banyak organisasi perempuan yang telah muncul di Indonesia bahkan masih kokoh berdiri di Indonesia, organisasi perempuan diantaranya merupakan
organisasi otonom yang dimiliki organisasi induknya, penulis tertarik dengan Aisyiyah karena organisasi otonom yang dimiliki Muhammadiyah merupakan
13
Anggaran Dasar Aisyiyah pasal 10 ayat 2,3,4,5 dan 6
11
organisasi perempuan yang berlandaskan suatu agama yakni Islam. Dalam perkembangannya, isu perempuan masih menjadi topik yang hangat untuk dibahas
dalam masyarakat termasuk dibahas melalui perspektif agama. Hal inilah yang menjadi sebuah ketertarikan penulis terhadap organisasi perempuan yang bergerak
melalui persepktif agama dan Aisyiyah dalam perkembangannya memiliki peranan penting tehadap kemajuan perempuan Indonesia dari sebelum
kemerdekaan dan sampai hari kini. Penulis ingin melihat peran perempuan dalam organisasi perempuan dan
organisasi perempuan ini sebagai dapur untuk mengembangkan potensi diri bahwa perempuan yang tergabung di dalamnya dapat tumbuh dan mampu
bersaing kemampuan dengan laki-laki di bidang publik yang lebih luas. Kesadaran perempuan atas kondisi yang terjadi terhadap perempuan menjadi
pondasi awal perempuan untuk melakukan perubahan. Organisasi perempuan menjadi sarana perempuan melakukan pematangan potensi diri dan nantinya
melakukan gerakan-gerakan perubahan. Proses yang dilakukan oleh organisasi perempuan ini dikenal dengan proses pemberdayaan.
1.2 Tinjauan Pustaka