1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2012. Pendidikan memiliki tahapan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan yang disebut dengan jenjang pendidikan.
Jenjang pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi UU RI No. 20 Tahun 2003. Pendidikan Tinggi merupakan
jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program
profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia UU RI No. 12 Tahun 2012.
Program Magister adalah program pendidikan jenjang strata dua S2 yang ditujukan untuk memperoleh gelar magister. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, program magister merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan
program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan danatau teknologi melalui penalaran dan
penelitian ilmiah. Program S2 tidak seperti perkuliahan pada program sarjana, yang mana pada program ini pelajaran yang disajikan lebih kompleks dan
menuntut perhatian khusus dalam pembelajarannya. Mahasiswa S2 harus menyelesaikan 39 sampai 50 sks selama kurun waktu empat sampai sepuluh
semester Webmaster Dikti, 2012. Program S2 adalah kelanjutan program S1, oleh karena itu mata kuliah di S2 lebih advance dan yang dipelajari adalah sub-
bidang yang lebih spesifik. Mahasiswa S1 mempelajari satu atau lebih metode, sedangkan mahasiswa S2 mengembangkan metode. Oleh karena itu, tugas akhir
mahasiswa S1 adalah mengaplikasikan suatu metode untuk menyelesaikan sebuah persoalan, sedangkan tesis S2 mengembangkan metode yang spesifik agar dapat
diaplikasikan untuk persoalan yang lebih luas Munir, 2013. Mahasiswa S2 dituntut untuk menghadiri jadwal perkuliahan yang padat,
mengerjakan tugas perkuliahan yang banyak dan kompleks. Hal ini sesuai yang dinyatakan salah seorang mahasiswi program magister USU:
“Program magister S2 memiliki jadwal perkuliahan setiap hari, bukan hanya itu walaupun kegiatan di dalam kelas tidak terlalu lama mereka
harus tetap pulang larut sore karena tugas perkuliahan yang banyak dan seperti tidak ada habisnya.”
komunikasi personal, 2014 Selain itu juga sejalan dengan pernyataan salah satu mahasiswa program
magister: “… model ujian pun beragam dari yang bisa dibawa sebagai oleh-oleh ke
rumah sampai ujian yang bisa membuat mengeluarkan keringat jagung atau geleng-geleng kepala hanya dengan membaca soalnya, ada juga ujian
yang akan membuat pergi ketukang urut setelah selesai mengerjakannya karena satu buku pindah semua ke kertas jawaban dalam waktu 100
menit. Mengenai tugas perkuliahan ada yang dikerjakan secara individu tak jarang pula secara berkelompok, dari paper 3 lembar tiap minggu dan
dilakukan selama 1 trimester sampai paper 40 lembar ditambah jilid
hardcopy juga ada. Kalau presentasi, mulai dari tidak ada presentasi sampai presentasi 4 kali untuk satu mata kuliah dan ada yang presentasi
berjam-jam
Ardka, 2012 Universitas Sumatera Utara USU merupakan salah satu universitas yang
memiliki program studi magister S2. USU merupakan sebuah universitas negeri yang terletak di Kota Medan, Indonesia. Universitas Sumatera Utara adalah salah
satu universitas terbaik di pulau Sumatera dan merupakan universitas negeri tertua di luar Jawa. USU memiliki 14 fakultas antara lain Kedokteran, Hukum,
Pertanian, Teknik, Kedokteran Gigi, Ekonomi, Sastra, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kesehatan Masyarakat,
Farmasi, Psikologi, Keperawatan dan Pascasarjana Bagian Akademik, Universitas Sumatera Utara, 2014.
Program magister biasanya dipenuhi oleh mahasiswa yang rata-rata usianya di atas 20 tahun. Hal ini terlihat pada data wisuda mahasiswa Universitas
Sumatera Utara periode IV tahun akademik 20112012 dan periode I tahun akademik 20122013 yangmana menunjukkan usia mahasiswa S2 termuda yang
lulus pada periode tersebut adalah mahasiswa kelahiran tahun 1989 dengan usia sekitar 23 tahun Biro Akademik, 2012. Menurut data wisuda mahasiswa S2
Universitas Sumatera Utara periode III tahun akademik 20132014 menunjukkan usia mahasiswa termuda yang lulus pada periode tersebut adalah mahasiswa
kelahiran tahun 1990 dengan usia sekitar 24 tahun Biro Akademik, 2014. Menurut Papalia, Old, dan Feldman 2008 usia antara 20 hingga 40 tahun
merupakan usia dewasa awal. Havighurst dalam Hurlock, 1999 mengatakan bahwa masa ini merupakan masa memilih pasangan, mulai membina keluarga,
mengelola rumah tangga, mengasuh anak, serta mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Dalam hal ini berarti tidak menutup kemungkinannya bahwa
mahasiswa yang mengikuti program studi magister telah menikah atau menikah pada masa studi S2 nya.
Mahasiswa yang mengikuti studi S2 tidak hanya dijalani oleh mahasiswa laki-laki saja mengingat tujuannya untuk keperluan kerja. Mahasiswa perempuan
mahasiswi pun ada yang melanjutkan masa studi S2. Karena selain membutuhkan kepuasan dalam hubungan interpersonal dengan keluarga, wanita
juga memiliki kebutuhan untuk berprestasi di dunia luar. Dasar dan tingkat dari pendidikan yang didapat sangatlah berkaitan dengan prestasi kerja di masa datang.
Sehingga wanita pun berusaha untuk meningkatkan level pendidikannya Warel Goodheart, 2006. Hal ini sejalan dengan pendapat Thabrany 1994 yang
mengatakan bahwa pendidikan tinggi akan sejalan dengan pendapatan tinggi dan belanjut dengan kelas sosial yang tinggi pula.
Mahasiswi magister USU yang telah menikah berjumlah sekitar 1521 orang yang merupakan 33,37 dari jumlah keseluruhan mahasiswi USU, akan
tetapi mahasiswi yang aktif kuliah berjumlah 341 yaitu sekitar 22,42 dari mahasiswi menikah yang aktif kuliah Bagian Akademik, 2013. Mahasiswi S2
yang telah menikah, harus menjalani dua peran sekaligus yaitu sebagai mahasiwa dan sebagai istri. Kedua peran ini mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-
masing. Sebagai mahasiswa dituntut untuk mencapai hasil belajar yang optimal ditambah menjadi seorang istri dituntut mampu mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, mengurus suami, menyesuaikan diri satu sama lain, memahami pasangan
hidup baru, serta bagaimana mendidik anak Hurlock, 1999. Selain itu juga sebagai ibu memiliki peran pengasuhan dan pendidikan anak, pelindung dan
sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai
pencari nafkah tambahan dalam keluarganya Effendi, 1998. Hal ini tentu berbeda dengan mahasiswi yang belum menikah.
Mahasiswa perempuan mahasiswi tidak berbeda dengan mahasiswa laki- laki, mereka sama-sama dituntut untuk memberikan hasil yang baik dalam proses
pembelajarannya. Mahasiswi yang mengambil keputusan, tetap kuliah dengan memikul status seorang istri tidak terlepas dari permasalahan yang harus mereka
hadapi. Berdasarkan survey yang dilakukan peneliti pada sampel 22 subjek mahasiswi program magister pada beberapa fakultas di Universitas Sumatera
Utara diperoleh data terdapat kendala yang dihadapi mahasiswi ketika kuliah dengan tanggung jawab seorang istri, hal ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kendala Yang Dihadapi Mahasiswi Program Magister yang Telah Menikah
No. Kendala
Jumlah Orang 1.
Kesulitan membagi waktu kuliah dengan keluarga 10
2. Masalah dalam mengurus keluarga pengasuhan anak,
pengurusan rumah tangga, ketidak setujuan keluarga 9
3. Konsentrasi fokus menjadi terganggu
4 4.
Masalah biaya 5
Berdasarkan tabel 1, 10 respon mahasiswi yang mengatakan memiliki kesulitan dalam membagi waktu antara urusan kuliah dengan urusan keluarga,
sekitar 9 respon mahasiswi yang menyatakan urusan keluarga seperti pengasuhan anak, pengurusan rumah tangga, dan ketidaksetujuan pihak keluarga juga
merupakan kendala yang mereka hadapi. Sekitar 4 mahasiwi mengaku bahwa
konsentrasinya fokusnya menjadi terganggu dan sekitar 4 respon mahasiswi yang menyatakan adanya masalah biaya yang ditimbulkan dari kuliah tersebut,
karena harus menambah anggaran keluarga. Permasalahan yang timbul karena status pernikahan seseorang ketika
kuliah dapat berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Berdasarkan data survey yang diperoleh di lapangan menyatakan ada yang menunda masa studinya hal ini
terlihat dari hanya 22, 42 mahasiswi menikah yang masih aktif kuliah, ada yang indeks prestasinya menurun, ada juga yang sulit konsentrasi belajar, dan ada juga
yang merasa tidak mempengaruhi nilainya di perkuliahan. Berdasarkan data wisuda mahasiswa Universitas Sumatera Utara terdapat
hampir 50 mahasiswi S2 yang telah menikah menyelesaikan masa studinya lebih dari masa yang seharusnya ia tempuh dalam perkuliahan. Data wisuda
mahasiswa periode IV tahun akademik 20112012 Biro Akademik, 2012 menunjukkan sekitar 46, periode I tahun akademik 20122013 menunjukkan
angka 32 serta data wisuda periode III tahun akademik 20132014 menunjukkan angka 37 Biro Akademik, 2014.
Berdasarkan survey yang dilakukan peneliti pada sampel 22 subjek mahasiswi program magister pada beberapa fakultas di Universitas Sumatera
Utara diperoleh bahwa penyelesaian yang mereka lakukan atas kendala yang dihadapi ketika kuliah dengan status telah menikah adalah dengan mengatur
waktu dengan baik, menentukan prioritas mana yang lebih penting, melakukan diskusi dengan suami, mengulang pelajaran di rumah, membuat schedule belajar.
Dalam hal ini berarti ada mahasiswi yang melakukan pengaturan diri dalam
belajar dengan baik. Pengaturan diri dalam belajar untuk mencapai hasil belajar yang optimal disebut dengan self regulated learning.
Menjadi mahasiswa juga diharuskan mampu mengikuti kuliah dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan untuk mencapai prestasi yang optimal.
Mahasiswa program magister S2 memiliki tanggung jawab yang lebih dari program sarjana. Karena tujuan program magister sendiri adalah menyiapkan
mahasiswa menjadi intelektual danatau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki danatau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan
diri menjadi profesional UU RI No. 12 Tahun 2012. Sudah sewajarnya mereka melakukan self regulated learning SRL yang lebih konsisten.
Menurut Boekaerts dalam Susanto, 2006, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan mahasiswa untuk mencapai prestasi yang optimal,
antara lain adalah inteligensi, kepribadian, lingkungan kampus, dan lingkungan rumah. Selain itu juga self regulation turut mempengaruhi keberhasilan siswa
dalam mencapai prestasi yang optimal. Meskipun seorang pelajar memiliki tingkat inteligensi yang baik, kepribadian, lingkungan rumah, dan lingkungan sekolah
yang mendukungnya, namun tanpa ditunjang oleh kemampuan self regulation maka pelajar tersebut tetap tidak akan mampu mencapai prestasi yang optimal.
Penelitian yang dilakukan Azlina 2007 mengenai self regulated learning dan pencapaian akademik pada mahasiswa Malaysia mengatakan bahwa self regulated
learning adalah prediktor signifikan pada pencapaian akademik. Hal ini sejalan dengan pendapat Cobb 2003 yang menemukan hubungan signifikan antara
perilaku self regulated learning dengan prestasi akademik. Chen 2002 juga
menemukan hubungan yang signifikan antara strategi self regulated learning dengan prestasi akademik. Sukadji 2001 menambahkan bahwa agar sukses
dalam pendidikan dan berhasil menerapkan ilmu yang diperolehnya, mahasiswa harus menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya serta mengatur strategi
belajar yang baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu akan memperoleh hasil yang baik, jika memiliki self regulated learning yang baik.
Zimmerman 1989 mendefinisikan self regulated learning sebagai proses belajar dimana peserta didik menggunakan strategi personal untuk mengatur
perilaku dan lingkungan belajar secara langsung. Menurut Santrock 2008 self regulated learning adalah kemampuan untuk memunculkan dan memonitor
sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk tercapainya suatu tujuan. Wolters juga medefinisikan bahwa self regulated learning adalah kemampuan seseorang
untuk mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri dalam berbagai cara sehingga mencapai hasil yang optimal dalam Deasmayanti Armeini, 2007.
Mahasiswa yang memiliki tingkat inteligensi yang baik, kepribadian, lingkungan kampus dan rumah yang mendukung, perlu ditunjang dengan
kemampuan regulasi diri untuk mencapai prestasi optimal. Berbagai hasil penelitian menggambarkan pentingnya keterampilan regulasi diri dalam belajar
dimiliki oleh mahasiswa karena berkorelasi dengan usaha belajar yang efektif dan efisien. Pengaruh positif lain yang diperoleh dari keterampilan regulasi diri dalam
belajar adalah membentuk karakter yang memiliki motivasi untuk belajar sepanjang hayat life long learning dan juga menjadi mandiri dalam berbagai
konteks kehidupan lainnya Santrock, 2008.
Menurut Bandura, Zimmerman, dan Martinez-Pons dalam Papalia, Old, dan Feldman, 2008 individu yang mengatur dirinya dalam belajar dan meyakini
bahwa ia mampu mengatasi bahan-bahan akademik akan memiliki kesuksesan dan prestasi belajar yang tinggi dibandingkan dengan yang tidak menyakini
kemampuan dirinya. Usaha individu untuk mencapai tujuan belajar dengan mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, emosi dan perilaku disebut regulasi
diri dalam belajar self regulated learning. Strategi dalam pendekatan belajar dapat membantu peserta didik
membentuk kebiasaan belajar yang lebih baik dan memperkuat kemampuan mereka dalam belajar, menerapkan strategi belajar untuk meningkatkan hasil
akademik, memilih atau mengatur lingkungan fisik untuk mendukung belajar dan mengatur waktu mereka secara efektif Zimmerman, dalam Maharani, 2009.
Kategori strategi self regulated learning yaitu evaluasi terhadap kemajuan tugas self evaluating, mengatur materi pelajaran organizing dan transforming,
membuat rencana dan tujuan belajar goal setting and planning, mencari informasi seeking information, mencatat hal penting keeping record and
monitoring, mengatur lingkungan belajar environmental structuring, konsekuensi setelah mengerjakan tugas self consequences, mengulang dan
mengingat rehearsing and memorizing, meminta bantuan teman sebaya seeking assistancefrom peers, meminta bantuan guru seeking assistance from teacher,
meninjau kembali buku teks reviewing the textbook, meninjau kembali catatan reviewing the notes, meninjau kembali tes sebelumnya dan menyiapkan tes
reviewing the previous tests and assignment in preparation for a test Zimmerman Martinez-Pons, 1986.
Menurut Zimmerman 1990, dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal yang mempengaruhi seseorang melakukan self regulated learning yaitu individu,
perilaku, dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap self regulated learning dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, baik
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan dan lain sebagainya. Keluarga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan individu dalam
hal belajar Dalyono, 2007. Menurut Bandura dalam Alwisol, 2007 salah satu faktor yang
mempengaruhi self regulation yaitu dalam bentuk reinforcement. Individu membutuhkan suatu penguatan reinforcement agar tingkah laku tertentu menjadi
pilihan untuk dilakukan lagi atau tidak. Ketika seorang individu melakukan strategi-strategi pengaturan diri dalam belajar mereka tak luput dari pengaruh
lingkungan yaitu keluarga. Penguatan yang dibutuhkan pun dapat diberikan oleh pihak keluarga. Keluarga adalah pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak
Houton, Hunt, 1987. Dengan kata lain hubungan perkawinan yang terdiri dari suami dan istri dapat dikatakan sebuah keluarga. Salah satu bentuk penguatan
tersebut berupa dukungan penghargaan. Dukungan penghargaan merupakan dukungan sosial yang terjadi apabila terdapat ekspresi penilaian positif terhadap
individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat, perbandingan yang positif dengan individu lain. Manusia adalah makhluk sosial, yaitu membutuhkan
orang lain untuk memenuhi kebutuhannya Gerungan, 2009. Hal ini berarti
bahwa manusia bagaimanapun juga tidak dapat terlepas dari individu yang lain Sardiman, 2009.
Dukungan sosial menurut Sarafino 2006 adalah berbagai macam dukungan yang diterima oleh seseorang dari orang lain, dapat berupa dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi. Chalhoun dan Acocella 1990 mengatakan bahwa orang mempunyai kekuatan
untuk memberikan rasa sakit dan senang kepada kita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat membantu individu untuk beradaptasi
dengan segala situasi dan peristiwa yang tidak diinginkan baik berkaitan dengan kondisi fisik maupun psikologis Ambarwati, 2008. Sebuah studi yang dilakukan
Wentzel dalam Safree, Adawiah, 2010 menemukan bahwa dukungan sosial memberikan pengaruh dalam hal motivasi pada performance pelajar. Penelitian
Quomma Geenberg 1994 menemukan bahwa dukungan sosial yang rendah akan meramalkan pada kegagalan. Menurut Baron dan Byrne 2006 dukungan
sosial merupakan kenyamanan fisik psikologis yang diberikan oleh temananggota keluarga.
Dalam penelitian ini dukungan sosial keluarga yang dimiliki mahasiswi magister yang telah menikah adalah suami. Menurut teori socio-emotional
selective, dewasa yang lebih tua melaporkan lebih banyak dukungan sosial dan lebih sedikit ketegangan antara keluarga dan teman daripada dewasa muda dan
dewasa madya Carstensen, dalam Walen Lachman 2000. Berdasarkan survey awal yang dilakukan pada beberapa fakultas di Universitas Sumatera Utara di
Medan, diperoleh bahwa mahasiswi tersebut ada yang didukung penuh oleh
keluarga dan ada juga yang kurang didukung penuh oleh keluarganya. Hal ini terlihat dari pernyataan mereka yang menyatakan bahwa terkadang mereka masih
diprotes suami ketika mengerjakan tugas kuliah di rumah, ada anak yang selalu ingin ditemani dalam bermain, serta adanya berbagai tuntuntan dari suami.
Cobb dalam Ambarwati, 2008 mengatakan bahwa dukungan sosial yang dialami tidak melalui apa yang dilakukan, akan tetapi dari bagaimana cara
dukungan itu diinterpretasikan. Penginterpretasian dari dukungan sosial dapat terjadi karena adanya proses persepsi. Contohnya, terkadang individu percaya
bahwa ia membuat sesuatu pernyataan yang mendukung, tetapi penerima mempersepsikan pernyataan tersebut sebagai suatu kritikan atau tuntutan. Para
peniliti telah mencapai kesepakatan mengenai dukungan sosial yang menyatakan perkataan dan perbuatan tidak dapat ditentukan oleh orang luar sebagai suatu
dukungan, tetapi sebagaimana hal tersebut dipersepsikan oleh penerima Abbey, dkk dalam Ambarwati, 2008.
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan antara persepsi dukungan
sosial keluarga dengan self regulated learning pada mahasiswi magister USU yang telah menikah.
B. PERUMUSAN MASALAH