Simbol Wilayah Patani LANDASAN TEORI

menyembunyikan identitas asli mereka dan menunjukkan apa adanya tetapi tidak juga merasa bahwa budaya mereka lebih unggul.

1. Pengungkapan identitas budaya dari segi percakapan bahasa

Pertama dalam segi bahasa, penggunaan bahasa yang mahasiswa Patani gunakan ketika berkomunikasi dengan teman-teman diluar Patani dengan bahasa Indonesia yang sangat kental berlogat melayu, dan ketika berkomunikasi dengan sesama teman Patani bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah Patani yaitu bahasa melayu Patani. Bahasa melayu Patani adalah bahasa melayu yang hampir sama dengan bahasa Indonesia sendiri yang apabila saya perhatikan ketika mereka berbicara ada banyak kata-kata yang sama dengan bahasa Indonesia dengan perbedaan pada ujung- ujung kata, misalnya “saya” menjadi “sayo”. Dengan demikian bahwa mereka berkomunikasi atau berbicara dengan membawa identitas diri mereka atau pengungkapan diri self dissclouser dilakukan secara leluasa . Ketika seseorang melakukan pengungkapan diri terhadap orang lain, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga orang tersebut merasa nyaman dan leluasa dalam berkomunikasi terhadap apa yang ingin mereka ungkapkan. Salah satu dari pengungkapan diri adalah keberanian seseorang dalam mengomunikasikan identitas kultural. Ada rasa kebanggaan tersendiri sebagai para pendatang yang dapat menggunakan bahasa atau sekedar aksen asalnya saat berinteraksi di tempat ia merantau. 62 62 Hanum Salsabila, Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antar Budaya Kasus Perantau yang Berasal dari Daerah Banyumasan dalam Mengomunikasikan Identitas Kultural, skripsi Universitas Pengungkapan diri yang mahasiswa Patani ini lakukan tidak karena adanya yang disebut dengan setting of communication yaitu seseorang mengungkapkan identitas budayanya berdasarkan pada situasi tertentu karena adanya persepsi-persepsi negatif, rasa malu atau merasa terdiskriminasi terhadap budaya aslinya sehingga mereka perlu mengatur dari cara mereka berbicara atau penggunaan dialek bahasa aslinya yang hanya digunakan pada orang-orang tertentu. Semua informan dalam penelitian ini tidak melakukan setting of communication, mereka dengan leluasa menggunakan bahasa Indonesia yang berlogat khas melayu Patani dengan tidak adanya rasa malu atau minder ketika berbicara dengan logat asli daerah. Begitu pula mereka menggunakan bahasa daerah mereka walaupun itu di depan orang-orang luar Patani, seperti pada forum diskusi yang tidak hanya diikuti oleh mahasiswa Patani saja. Dan mengapa pengungkapan diri itu mereka lakukan dengan leluasa tanpa adanya setting of communication, karena menurut pengungkapan informan bahwa mereka menganggap itu wajar karena mereka adalah orang asing yang memang penguasaan dalam bahasa Indonesia sendiri masih kurang walaupun bahasa Patani dengan Indonesia itu agak mirip tetapi kalau diminta untuk mengungkapkan pendapat susah jadi mereka menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan logat khas mereka. Diponegoro,Semarang,2011,http:eprints.undip.ac.id290211SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsa bila.pdf, diakses pada tanggal 26 Juni 2014 jam 14:20. Dari pengamatan penulis selama penelitian bahwa ketika mahasiswa- mahasiswa Patani berbicara dalam segi bahasa khususnya yang sudah tinggal lebih dari satu tahun memang untuk bahasa percakapan bisa dikatakan 90 sudah memahami hanya bahasa-bahasa yang jarang mereka dengar masih belum mengerti apa artinya, misal kalimat “tidak punya uang” yang biasa dalam bahasa percakapan sehari- hari dipakai dengan kata “kere” terutama di Jakarta, kata-kata seperti itu yang membuat mereka bingung. Ada lagi pengungkapan dari informan bahwa terkadang mereka terkejut dengan penggunaan bahasa yang kalau diartikan itu mempunyai arti yang kasar tetapi sudah lumrah digunakan dalam bahasa pergaulan khususnya di Jakarta, misalnya kata “bodoh amat” yang secara arti memang berarti kasar yaitu pengungkapan seseorang yang sedang emosi padahal dalam bahasa pergaulan artinya “ terserah”. Persepsi mereka adalah bahwa yang mengucapkan kata “bodoh amat” itu sedang marah dengan teman sebelahnya. Tetapi yang penulis lihat bahwa kesulitan mahasiswa Patani dalam memahami dan mengungkapkan kalimat-kalimat bahasa Indonesia adalah ketika kata-kata yang sudah diberi imbuhan, awalan, akhiran. Misalnya ketika saya mengucapkan kata “penyesuaian” mereka tidak memahami apa artinya dan barulah saya menjelaskan dengan rinci maknanya. Ini memang menurut penulis sangat wajar mereka tidak memahaminya karena memang kata-kata seperti itu harus dipelajari dalam struktur bahasa Indonesia. Salah satu kegiatan dari anggota HIPPI ini adalah diskusi rutin yang dilakukan satu minggu sekali. Dari hasil pengamatan penulis yang sempat mengikuti