Asian Games dan Peranan Sri Paku Alam VIII

Executive President dalam The Organizing Committee , Ia didampingi oleh Brigadir Genderal Dr. Soemarno Sosroatmodjo sebagai wakil presiden . 40 40 Undang-undangan pengakatan Paku Alam VIII sebagai panitia Asian Games IV. dalam Amin Rahayu, “Pesta Olahraga Asia Asian Games IV Tahun 1962 DI Jakarta: Motivasi Dan Capaiannya ”, Tesis, Depok: Universitas Indonesia, 2012, hlm. 174. 70 BAB IV PERKEMBANGAN PERSATUAN PANAHAN SELURUH INDONESIA PERPANI TAHUN 1953-1977

A. Panahan Sebagai Olahraga Tradisional Di Yogyakarta

Panahan atau dalam bahasa Inggris disebut dengan archery adalah suatu kegiatan menggunakan busur panah untuk menembak anak panah. Olahraga panahan adalah suatu cabang olahraga yang menggunakan busur panah dan anak panah dalam pengaplikasiannya, anak panah dilepaskan melalui lintasan tertentu menuju sasaran pada jarak tertentu. 1 Orang-orang di setiap bagian dunia telah menggunakan busur untuk berburu dan perang. Panahan sendiri memiliki peran penting baik dalam sejarah maupun legenda. Arkeolog memperkirakan bahwa busur sudah digunakan sejak 50.000 tahun yang lalu. Sejarah mencatat bahwa orang Mesir, sekitar 5.000 SM menemukan jika panah lebih efektif dari pada katapel dan tombak untuk digunakan dalam peperangan. Pengetahuan ini memungkinkan bagi orang Mesir untuk terbebas dari dominasi Persia. Bahkan di negara Eropa seperti Inggris selama tiga ratus tahun yaitu abad ke 13 hingga abad ke 16, praktik memanah merupakan hal yang wajib. 2 Panahan diperkenalkan sebagai olahraga pada 1790, dan baru tahun 1844 kejuaraan pertama kali diselenggarakan oleh Grand National Archery Society GNAS salah satu klub yang terkenal di kepulauan Inggris. 3 Sejak saat itu 1 I Wayan Artanayasa, Panahan , Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014, hlm.1. 2 Jhon. H Show, Individual Sport For Men , Philadelpia, London: W.B. Sounders Company, 1950, hlm. 27. mulailah panahan dikenal dan mulai diperlombakan di beberapa wilayah bagian eropa maupun dunia. Kehadiran panah dan busur di Indonesia belum ada yang bisa memastikan namun di Jawa dua jenis alat ini sudah dikenal sejak leluhur terdahulu, seperti yang digambarkan dalam cerita-cerita pewayangan. Busur dan panah dalam cerita pewayangan berfungsi sebagai senjata dan pusaka. Sama halnya dengan keris, trisula dan tombak, panah dan busur merupakan senjata dari orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan sakti, misalnya saja Srikandi, Arjuna, dan beberapa tokoh pewayangan lainnya yang menjadikan busur dan panah sebagai pusakanya. Oleh karena itu, dua alat ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa. Selain sebagai pusaka arti dari sebuah busur dan panah sendiri merupakan olahraga yang digunakan bagi raja-raja untuk berburu dan melatih olah jiwa, sedangkan bagi masyarakat, panah dan busur digunakan sebagai alat pertahanan diri dari musuh. Olahraga tidak lepas dari kebutuhan jasmani dan rohani seorang manusia. Keterkaitan antara olahraga dan agama memiliki hubungan satu sama lain. Beberapa agama juga mengatur bagaimana hubungan antara ruhani dan jasmani. Hindu dan Budha mengenal apa yang dinamakan bertapa yang berfungsi untuk menyucikan diri. Agama islam yang masuk sesudahnya merupakan religi yang dianut oleh mayoritas masyarakat Jawa, Islam menganjurkan untuk melakukan tiga olahraga seperti panahan, berenang dan berkuda. Beberapa kerajaan Islam seperti Kasulatanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkuneragaan dan Kadipaten Pakualaman juga mengenal olahraga tersebut. Di Yogyakarta 3 Ibid. Terdapat olahraga panahan tradisional yang sering disebut dengan Jemparingan gaya mataraman. Jemparingan adalah sejenis latihan fisik yang menggunakan busur yang terbuat dari bambu dan senar khusus yang kuat, kemudian di bentangkan. Cara memainkannya yaitu dengan sikap bersila dan mengenakan pakaian tradisional Jawa . 4 Pemanah disebut sebagai bambang sedangkan orang yang mengambil anak panah disebut dengan cucuk. Para bambang 5 ini duduk bersila menghadap sasaran yang serupa orang-orangan dengan jarak 30-35 M. Objek bidikan yang berbentuk orang-orangan terbuat dari jerami yang diikat dan dibalut dengan kain kemudian diberi warna merah untuk kepala, dan putih untuk badan. Bidikan ini panjangnya sekitar 15 cm 6 . Jika anak panah mengenai sasaran tepat di kepala, maka mendapat poin 3 sedangkan jika mengenai badan yang berwarna putih, maka mendapat poin 1. 7 Jemparingan atau olahraga panahan tradisional sering dimainkan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII, bahkan Ia terkenal mahir membidik, biasanya ia memanah dengan kerabat-kerabat dan abdi dalem puro Pakualaman. 8 4 Rimawan Sestrodirjo, wawancara bertempat di Puro Pakualaman, Yogyakarta, 25 Agustus 2015. 5 Bambang dalam bahasa Jawa berarti kesatria, atau pribadi yang memiliki budi pekerti luhur , welas asih dan suka menolong. Bambang merupakan sebuatan bagi pemanah dalam olahraga panahan tradisional. Nama bambang juga disebutkan bagi para atlet pemanah. Lihat lampiran 2. Tentang peraturan pertandingan panahan tahun 1953. hlm. 100 6 Lihat lampiran 5, wong-wongan sasaran panahan Jemparingan, hlm. 7 Rimawan Sestrodirjo, loc.cit. 8 Soekarto, wawancara bertempat di Perumahan RSUD Yogyakarta, 24 Juni 2015. Sebagai seorang yang tinggal di lingkungan Kadipaten Pakualaman, budaya- budaya jawa sedikit banyak merasuk dalam dirinya. Seperti yang sudah dijelaskan diatas Paku Alam VIII menyukai panahan sejak masih kecil. Kecintaannya terhadap panahan tradisional akhirnya menuntun Paku Alam VIII untuk mendirikan perkumpulan panahan di Puro Pakualaman dengan nama Mardisoro. Mardisoro diambil dari bahasa jawa yang berasal dari kata Mardi dan Soro , Mardi yang berarti mendidik sedangkan Soro artinya panah 9 . Sama seperti organisasi pada umumnya, organisasi ini juga memiliki struktur keoraganisasian. Sri Paku Alam VIII membentuk sebuah pengurus yang membantunya dalam menjalankan dan mengembangkan perkumpulan Panahan tradisional Mardisoro tahun 1953. Sri Paku Alam VIII memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan panahan, mulai dari pendanaan, penyedia alat alat, pelatihan dan menyelenggarakan perlombaan serta latihan bersama anggota-anggota Mardisoro secara langsung. Keterlibatan Paku Alam VIII merupakan upaya untuk mengembangkan panahan sehingga memberi semangat bagi para anggota Mardisoro. Pada perkembangannya, jemparingan gaya mataraman yang selama ini hanya sebatas hobi atau untuk melestarikan budaya, mulai dimainkan di kalangan masyarakat secara luas. Jemparingan memiliki peraturan yang berbeda dengan perlombaan panahan dalam Ronde Tradisional dalam PON. Jemparingan ini menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari bambu, senar yang kuat dan anak panah yang terbuat dari kayu berujung besi, dan untuk penyeimbang biasanya digunakan bulu ayam 9 Rimawan Sestrodirjo, loc.cit.