Panahan Sebagai Olahraga Tradisional Di Yogyakarta

Sebagai seorang yang tinggal di lingkungan Kadipaten Pakualaman, budaya- budaya jawa sedikit banyak merasuk dalam dirinya. Seperti yang sudah dijelaskan diatas Paku Alam VIII menyukai panahan sejak masih kecil. Kecintaannya terhadap panahan tradisional akhirnya menuntun Paku Alam VIII untuk mendirikan perkumpulan panahan di Puro Pakualaman dengan nama Mardisoro. Mardisoro diambil dari bahasa jawa yang berasal dari kata Mardi dan Soro , Mardi yang berarti mendidik sedangkan Soro artinya panah 9 . Sama seperti organisasi pada umumnya, organisasi ini juga memiliki struktur keoraganisasian. Sri Paku Alam VIII membentuk sebuah pengurus yang membantunya dalam menjalankan dan mengembangkan perkumpulan Panahan tradisional Mardisoro tahun 1953. Sri Paku Alam VIII memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan panahan, mulai dari pendanaan, penyedia alat alat, pelatihan dan menyelenggarakan perlombaan serta latihan bersama anggota-anggota Mardisoro secara langsung. Keterlibatan Paku Alam VIII merupakan upaya untuk mengembangkan panahan sehingga memberi semangat bagi para anggota Mardisoro. Pada perkembangannya, jemparingan gaya mataraman yang selama ini hanya sebatas hobi atau untuk melestarikan budaya, mulai dimainkan di kalangan masyarakat secara luas. Jemparingan memiliki peraturan yang berbeda dengan perlombaan panahan dalam Ronde Tradisional dalam PON. Jemparingan ini menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari bambu, senar yang kuat dan anak panah yang terbuat dari kayu berujung besi, dan untuk penyeimbang biasanya digunakan bulu ayam 9 Rimawan Sestrodirjo, loc.cit. atau mentok, namun pada perkembangnnya anak panah terbuat dari fiber dan penyeimbang dari bulu sintetis. Perlombaan Jemparingan memiliki trofi bergilir yang diberi nama trofi Bramastro. Trofi ini konon hanya diberikan kepada para pemanah sejati yang mampu menembak 4 anak panah menancap pada sasaran dalam satu seri satu rambahan, fenomena ini disebut sandang 4. Selama kurun waktu 40 Tahun 10 belum ada yang mampu melakukan 4 sandang ini kembali. PON pertama kali diselenggarakan di Surakarta tahun 1948. Sebanyak 9 cabang olahraga yang berasal dari 8 komisaris olahraga yaitu sepak bola, basketball berenang, atletik, bola keranjang, panahan, tenis, bulu tangkis, pencaksilat, dan gerak jalan diperlombakan dalam PON I di Surakarta. Olahraga panahan sudah diperlombakan namun masih terbatas permainan tradisional atau dengan peralatan sederhana dan sebatas ekshebisi . 11 Meskipun saat itu belum lahir himpunan olahraga panahan di Indonesia, namun cikal bakal organisasi tersebut mulai muncul setelah pelaksanaan PON yang ke II. Sri Paku Alam VIII memberikan posisi tawarnya dalam mengembangkan Panahan di Yogyakarta, Ia sangat gemar dengan panahan hingga kecintaannya dalam panahan membawanya menjadi pendiri organisasi panahan nasional.berawal ketika dalam perjalanan dinasnya Ia menyempatkan untuk menanyakan apakah ada club panahan diwilayah yang ia kunjungi. Dalam 10 Tolok ukur hitungan 40 tahun yaitu terhitung sejak wawancara dilakukan yaitu tertanggal 27 Agustus 2015, jadi kira-kira terakhir kali orang yang bisa melakukan sandang 4 di tahun 1970-an. Dimasa-masa terakhir Sri Paku Alam VIII menjadi ketua Perpani. 11 C. J. Stolk, Indonesia Langkah Pertama Ke Olympiade XV Helsinki 1952, Bandung: Badan Penerbitan G.Kolff Co.,1952, hlm. 103. perjalanan Ia mengunjungi klub-klub panahan , nyatanya di setiap daerah memiliki gaya dan cara memanah sendiri-sendiri, misal gaya memanah tradisional yang ditemui diwilayah Sumbawa. Para koboi menunggang kuda dan membawa anak panah dan menembak sasaran dengan posisi diatas kuda yang berlari. Gaya permainan tersebut sangat berbeda dengan apa yang ada di mataraman atau di bagian Indonesia lainnya. Melihat fenomena tersebut akhirnya Paku Alam VIII memunculkan ide untuk membuka panahan ronde tradisonal. Maka tidak heran jika perlombaan Panahan Tradisonal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya lomba panahan yang terdapat dalam PON. Pada perkembangannya Jemparingan di Yogyakarta dijadikan salah satu tradisi yang diselenggarakan dan diperlombakan sebagai peringatan hari lahir raja- raja Wiyosan di Yogyakarta. Saat ini perlombaan Jemparingan dilakukan setiap Sabtu Pahingan untuk memeriahkan wiyosan , merupakan hari lahir dari Sri Paku Alam IX.

B. Berdirinya Perpani

Kondisi sosial dan politik yang berkecamuk setelah Indonesia merdeka hal ini akibat adanya agresi militer Belanda dan beberapa pemberontakan yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia sangat menyita perhatian pemerintah dan masyarakat pada saat itu. Belum lagi ditambah dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, membuat masyarakat lebih mementingkan perihal pokok hidup dari pada permasalahan yang bersifat sekunder atau tersier seperti olahraga. Peminat olahraga di masyarakat saat itu masih sedikit mengingat peralatan olahraga yang mahal dan harus diimpor dari luar negeri untuk medapatkannya. Akan tetapi, lambat laun olahraga mulai memberikan peranannya terhadap bangsa Indonesia. Terutama dalam hal membangun character building bangsa Indonesia yang saat itu baru saja merdeka. Top organisasi olahraga di Indonesia berusaha sekuat tenaga agar mampu bersaing dan memperbaiki kondisi Indonesia melalui prestasi olahraga, meskipun pada kenyataannya organisasi olahraga saat itu juga mengalami keterbatasan dana. Sri Paduka Paku Alam VIII yang berada dalam struktur keorganisasian PORI yaitu komisaris bidang panahan, berusaha membuka jalan yang lebih lebar untuk mengembangkan olahraga panahan. Maka Sri Paduka Paku Alam VIII, pada tanggal 12 Juli 1953 mendirikan persatuan olahraga panahan dengan nama Persatuan Panahan Seluruh Indonesia Perpani di Yogyakarta, 12 tidak lama setelah lahirnya perkumpulan panahan tradisional Mardisoro. Pembentukan Perpani juga berperan sebagai penyatu seluruh jenis panahan tradisional yang ada di Indonesia. Diawal pembentukannya, Perpani hanya memiliki lima anggota yaitu hanya beranggotakan dari wilayah Surabaya, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Madiun. Pada tahun yang sama ketika agenda PON III akan dilaksanakan yaitu pada 19 Juli 1953, ada surat permohonan dari perkumpulan panahan dari Yogyakarta atas keterlambatan pengiriman bambang . Beberapa perkumpulan panahan di Yogyakarta saat itu sudah lahir diantaranya yaitu seperti Mardisoro P.P Puro Pakualaman, P.P Judhobargo Judhonegaran, P.P Palguno Kota 12 I Wayan Artanayasa, op.cit ., hlm.2 Gede, P.P Nawunghargo Pawirotaman, dan P.P Sorotomo Wates. Perwakilan- perwakilan tersebut untuk menghadiri acara ceramah yang diselenggarakan oleh panitia PON III untuk wilayah daerah Yogyakarta. 13 Seperti yang sudah dijelaskan diatas, pengajuan nama-nama bambang sering menggunakan nama busur dan panah dari masing-masing bambang yang biasanya diambil dari nama bunga, atau nama gending jawa seperti koncar , kondang 14 . Seperti dalam surat undangan ceramah tersebut, penulisan nama perwakilan dari masing-masing P.P di Yogyakarta tertulis pula nama panggilan saat dilapangan misal perwakilan dari P.P Mawunghargo Pawirotaman 3 bambang yang mewakilinya yaitu, Sdr. Dirdjosudigdo Tjunduk, Sdr. Suhardi Rimong, dan Sdr. Prawirohardjono Candi. 15 Sebagai seorang yang berpengaruh di Yogyakarta selain Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Paduka Paku Alam VIII sering berperan sebagai guru sekaligus menularkan hobi panahan kepada bawahannya. Perkembangan olahraga panahan juga terjadi dikalangan guru-guru sekolah, gerakan dilakukan melalui guru-guru terutama dikota madya di Yogyakarta. Paku Alam VIII selalu membuat perlombaan yang dilaksanakan bagi sekolah-sekolah yang berada di lima Kabupaten di Yogyakarta secara bergiliran. P.A VIII turun langsung untuk dankoordinasi pejabat setempat untuk memastikan jalannya acara tersebut . Cara Sri Paduka Paku Alam VIII mengembangkan panahan mula- mula dilaksanakan 13 Arsip Puro Pakualaman, Nomor Arsip 625 tentang delegasi mengikuti ceramah PON III. 14 Soekarto, loc.cit. 15 Arsip Puro Pakualaman Nomor 625, op.cit. di Puro Pakualaman selanjutnya diadakan di daerah tingakat II dalam daerah tingkat II ini dilimpahkan kepada Bupati yang kemudian dilanjutkan kepada dinas PK yang mengajarkan kepada peserta yang mayoritas adalah guru-guru sekolah. 16 Selain munculkan sebuah tradisi baru serta peraturan yang tidak tertulis bagi pegawai kantor pemerintahan. Jika setiap kepala bidang setidaknya menjadi ayah asuh dari beberapa bidang olahraga, pemilihan ini juga disesuaikan dengan ketertarikan dan juga kemampuan setiap orang. Misalnya saja Darmodipuro yang merupakan kepala Bidang Dinas Sarana Lalulintas Jalan RayaDSLJR wilayah Yogyakarta, Ia diminta untuk menjadi ayah asuh olahraga panahan. Bahkan hingga tahun1970-an hanya sedikit orang-orang yang tertarik olahraga hal ini karena mahalnya peralatan olahraga dan minimnya kesejahteraan masyarakat Indonesia saat itu. Tidak hanya panahan namun peralatan olahraga lain seperti menembak, namun cabang olahraga lainnya pun terbilang mahal, 17 sehingga kehidupan olahraga pada masa Sri Paku Alam VIII mampu berjalan dan terorganisir dan dapat dipantau oleh ayah asuh masing-masing bidang olahraga. Darah atlet Sri Paku alam VIII menurun kepada putera dan puterinya. Beberapa puteranya juga tertarik dengan olahraga diantaranya, Anglingkusumo, Retno Rukmini, dan Indrokusumo yang tertaik dengan olahraga panahan dan menembak. Hobi Paku Alam VIII juga ditularkan kepada karyawan dan pejabat 16 Soekarto, Loc.cit. 17 Darmodipuro, wawancara di Kediaman Bapak Darmodipuro, 16 Juni 2015.