Ketertarikan Sri Paku Alam VIII Pada Dunia Olahraga

rakyatnya, serta keinginan menjadikan kota Solo sebagai kota yang bertaraf nasional. Maka tidak heran jika kecintaan Paku Buwono X akan olahraga menurun pada cucunya.

C. Peran Dalam Keolahragaan di Indonesia

Kehidupan politik dan ekonomi Indonesia masih megalami fluktuatif dan tidak stabil pascamerdeka. Organisasi-organisasi ataupun perkumpulan olahraga yang sudah ada sejak zaman penjajahan belanda. Mereka mulai melakukan aktivitasnya kembali setelah mengalami intimidasi dan pembatasan berorganisasi masa pendudukan Jepang. Organisasi-organisasi keolahrgaan mulai muncul ketika belanda masih memegang kekuasaan di Hindia Belanda. Organiasi persatuan olahraga bangsa Indonesia bergabung menjadi satu federasi yang dinamakan Ikata n Sport Indonesia ISI yang diketuai oleh Sutardjo Kartohadikusumo. 25 ISI merupakan satu-satunya perserikatan olahraga yang aktif membimbing menghimpun persatuan-persatuan olahraga Indonesia dan bersifat nasional. ISI yang membawahi beberapa cabor seperti PSSI, IPSI, dan cabang olahraga lainnya, organisasi-organisasi olahraga ini di batasi ruang gerak bahkan tidak sempat berkembang masa pendudukan Jepang karena kekurangan biaya dan waktu, mengingat penduduk dipaksa untuk latihan militer, baris-berbaris dan rodi. Belum lagi kewajiban untuk menyerahkan bahan makanan untuk dikumpulkan dan disetorkan guna memenuhi kebutuhan militer saat itu dalam menghadapi perang 25 C. J. Stolk., op.cit., hlm. 96 dunia II. Organisasi olahraga yang sudah muncul di masa Jepang sempat mati dan tidak bisa mengembangankan diri, baru setelah Indonesia merdeka organisasi- organisasi keolahraaan kembali muncul. Organisasi-organisasi mulai bermunculan dan mulai berkembang lagi setelah Indonesia merdeka. Kondisi perpolitikan dan ekonomi saat itu belum stabil, namun olahraga pada saat itu mendapat perhatian dari peresiden Soekarno. Tahun 1948, pada saat itu muncul inisiatif untuk membuat ajang olahraga di Indonesia kemudian dikenal dengan Pekan Olahraga NasionalPON yang bertujuan untuk menyatukan bangsa Indonesia. Ditahun yang sama Sultan Hamengku Buwono IX menjadi menteri pertahanan di dalam pemerintahan Soekarno, sehingga perhatiannya terpusat pada lingkup nasional maupun internasional, namun disisi lain Ia juga merupakan Kepala Daerah Yogyakarta. Aktivitasnya yang sangat padat di pemerintahan pusat, sehingga kondisi Yogyakarta diserahkan kepada wakilnya sekaligus Pamannya yaitu Paku Alam VIII. Selama Paku Alam VIII mengurus keperluan rumah tangga Yogyakarta, Ia berkoordinasi dalam masalah pemerintahan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII juga aktif dalam berbagai bidang olahraga. Hamengku Buwono IX sejak muda hobi bermain sepakbola, maka Sri Paku Alam VIII banyak berperan dalam pembangunan olahraga panahan di Indonesia.

1. Lahirnya PON.

Pekan Olahraga Nasional pertama kali diadakan dikota Surakarta yang dilaksanakan tanggal 8-12 September 1948. Hampir seluruh perlombaan dari semua cabang olahraga atletik, sepakbola, tenis, demonstrasi, pencak, dll dipertandingkan dalam pekan olahraga tersebut. Sebelumnya Indonesia juga pernah menyelenggarakan kongres olahraga yang menghasilkan keputusan antara lain: membentuk satu-satunya badan yang akan dimintakan peresmiannya dari pemerintah untuk mengatur dan memusatkan seluruh urusan olahraga dari seluruh Indonesia. Muncul tiga usulan nama saat pembentukan badan olahraga tersebut yaitu Gelanggang Olahraga Gelora, Ikatan Sport Indonesia ISI dan Persatuan Olahraga Republik Indonesia PORI, dan berdasarkan undian kongres, nama PORI dipilih sebagai nama badan olahraga Indonesia. Pada waktu malam reuni yang dilangsungkan di Pendopo Karesidanan Surakarta dalam Kepatihan juga diresmikan bahwa PORI yang baru terbentuk adalah satu-satunya badan yang meliputi semua bagian-bagian olahraga. Dilantik pula P.J.M. Presiden suatu panitia bernama KORI Komite Olympiade Republik Indonesia yang berkewajiban mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan olympiade diluar dan didalam negeri, panitia tersebut diketuai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX . 26 Tujuan dibentuknya KOI yaitu untuk mempersatukan seluruh gerakan cabang olahraga didalam satu pertemuan besar yang diadakan setiap dua tahun sekali. Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional juga dimaksudkan sebagai suatu latihan untuk menyelenggarakan olympiade apabila Indonesia pada suatu waktu mendapatkan giliran untuk menjadi tuan rumah olympiade. Setelah mengadakan kongres, maka Indonesia berniat untuk mengikuti olympiade XIV di London. 26 Ibid., hlm. 96-97. Akan tetapi, Indonesia harus menggagalkan niatnya terebut karena Indonesia tidak memenuhi persyaratan, rasa kecewa tersebut justru muncul inisiatif untuk menyelenggarakan perlombaan olahraga sendiri. Maka lahirlah Pekan Olahraga Nasional di Solo pada September 1948 yang mendapat sambutan luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat. Tidak kurang dari 600 orang pengikut dan officialnya pengurus dan sebagainya datang di Solo, hampir seluruh Kabinet di Yogyakarta presiden dan wakil presiden hadir pada upacara pembukaan, PON juga dihadiri oleh beberapa wakil dari luar negeri, di antaranya W.Cochran Amerika, Chitcley Australia dan P.Bihin Belgia yang waktu itu menjabat anggota Komisi Tiga Negara KTN, dari PBB di Indonesia. Penyelenggaraan PON I tersebut menghabiskan dana sebesar Rp. 1.500.000, biaya ditanggung penuh oleh pemerintah RI Kementrian Pembangunan dan Pemuda. Tidak kurang pula dari 40.000 penonton tiap hari yang mengunjungi perlombaan sepak bola, dan atletik. Kesuksesan penyelenggaraan PON I ini memberikan harapan bagi pencinta olahraga terhadap penyelenggaraan PON berikutnya, dan berharap agar dikemudian hari akan mendapat kedudukan yang semestinya didalam masyarakat Indonesia. 27 Pada Desember 1948 pecah agresi militer belanda, sehingga rencana menyelenggarakan PON II dalam tahun 1950 tidak dapat diselenggarakan meskipun gencatan senjata telah tercapai di tahun 1949. Pascaagresi tersebut para penggagas dan top organisasi Olahraga berusaha memulihkan kembali kondisi kelahragaan pada saat itu hingga diselenggarakan Kongres PORI di Yogyakarta 27 Ibid., hlm, 98