Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Karanganyar Membandingkan Antara Pola Kemitraan Dan Pola Mandiri

(1)

MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN

DAN POLA MANDIRI

LUSI DWI WINDARSARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS

PEDAGING DI KABUPATEN KARANGANYAR :

MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN

DAN POLA MANDIRI

LUSI DWI WINDARSARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

(4)

@

Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul:

KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI

KABUPATEN KARANGANYAR : MEMBANDINGKAN

ANTARA POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI

adalah karya saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis dari Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya

Bogor, 2007

Lusi Dwi Windarsari NRP. A545010261


(6)

ABSTRAK

LUSI DWI WINDARSARI. Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar: Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (ISANG GONARSYAH sebagai Ketua dan ASI H. NAPITUPULU

sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Usahaternak ayam ras pedaging domestik telah menjadi suatu industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, dimana nilai strategisnya tercipta dari besarnya tenaga kerja yang mampu diserapnya. Di Kabupaten Karanganyar, salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Jawa Tengah, terdapat dua pola pengusahaan usahaternak ayam ras pedaging, yaitu pola kemitraan dan pola mandiri, yang merupakan “jebolan” dari pola kemitraan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan, dan (2) membandingkan tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan dan pola mandiri.

Ditemukan bahwa kelembagaan kemitraan dilaksanakan dengan pola koordinasi vertikal oleh perusahaan inti, peternak hanya bersifat pasif (pelaksana kontrak), dan kontrak perjanjian dengan perusahaan inti masih belum jelas dan kurang terperinci. Usahaternak ayam ras pedaging pola mandiri lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahaternak pola kemitraan, namun modal awal dan resiko usaha yang relatif besar menyebabkan peternak di Kabupaten Karanganyar masih bertahan untuk berusahaternak dengan pola kemitraan.

Kata Kunci: Ayam Ras Pedaging, Pola Kemitraan dan Pola Mandiri, R/C Ratio, Efisiensi Pemasaran.


(7)

Nama Mahasiswa : Lusi Dwi Windarsari

NRP : A545010261

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah Ir. Asi H. Napitupulu, MSc. Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karanganyar Jawa Tengah pada tanggal 13 Agustus 1977, dari Ayahanda H. Suratno A.R. alm dan Ibunda Hj Saryanti, SE, MM. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.

Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Karanganyar pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan Program Magister, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.


(9)

Puji Syukur yang mendalam penulis panjatkan pada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar: Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola Mandiri” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir. Asi H. Napitupulu, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan.

Ucapan terima kasih terbanyak, penulis sampaikan kepada suamiku Mas Yanuar, dan anak-anakku (Via dan Aliska) atas segala kesabaran, doa, dukungan dan kasih sayangnya yang tidak terbayarkan. Terima kasih juga untuk Bapak (alm), Ibu, Mbah Sumi, Mba Hastuti, Haris dan Mas Wedi atas bantuan, doa dan dukungannya selama ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rya dan Mas Basith (you΄re my real best friend) atas waktu, tenaga dan pikiran sehingga penulis merasa terbantu dalam menyelesaikan studi. Terakhir, penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman EPN 2001 (Mba Yuli, Mba Erna, Besse, Yati, Dafina, Indra


(10)

Mas Agus, Wida dkk). Terima kasih juga untuk Mas Didin, Bu Atien, Mas Budi dan Itoh atas kesediaannya meluangkan waktu untuk mengajarkan kepada penulis dalam pengolahan data.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, namun penulis berharap tesis ini mampu memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007


(11)

i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN

...

1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Kemitraan ... 9

2.2. Pemasaran ... 11

2.3. Pendapatan Usahaternak ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 15

3.1. Kerangka Pemikiran ... 15

3.2. Konsep Kemitraan ... 16

3.3. Pendapatan Usahaternak ... 21

3.4. Pemasaran Usahaternak ... 25

3.5. Hipotesis ... 27

3.6. Metode Analisis Data ... 27

3.6.1. Analisis Deskriptif... ... 29

3.6.2. Analisis Kuantitatif ... 29

3.7. Metode Penelitian ... 35

3.7.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.7.2. Jenis dan Sumber Data ... 35

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 37

4.1. Keadaan Geografis Karanganyar ... 37

4.2. Keadaan Demografi dan Ketenagakerjaan ... 38


(12)

ii

4.4. Kondisi Sub Sektor Peternakan ... 43

4.5. Karakteristik Responden ... 44

V. KELEMBAGAN KEMITRAAN USAHATERNAK AYAM RASPEDAGING ... 47

5.1. Profil Perusahaan Mitra ... 47

5.2. Struktur Organisasi Pelaksana Kemitraan ... 48

5.3. Aturan Main Kerjasama Kemitraan ... 49

5.4. Peraturan Kemitraan dan Peran Pemerintah ... 51

5.5. Pelaksanaan Kerjasama dan Tanggapan Peserta Kemitraan . 53 5.6. Manfaat Kemitraan bagi Peternak ... 61

VI. ANALISIS EKONOMI USAHATERNAK ... 64

6.1. Analisis Pendapatan Usahaternak ... 64

6.2. Analisis Pemasaran Usahaternak ... 70

6.2.1. Saluran Pemasaran Ayam Ras Pedaging... 70

6.2.2. Analisis Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging ... 76

6.2.3. Analisis Keterpaduan Pasar... 87

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

7.1. Kesimpulan ... 91

7.2. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(13)

iii

Nomor Halaman

1. Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Tengah,Tahun 2000-2004 ... 2 2. Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Sektor

Pertanian Kabupaten Karanganyar, Tahun 2001-2005 ... 3 3. Perkembangan Populasi Ternak di Kabupaten Karanganyar, Tahun

2003-2004 ... 4 4. Persebaran Penggunaan Tanah di Kabupaten Karanganyar, Tahun

2004 ... 38 5. Persebaran Jumlah Keluarga dan Penduduk menurut Jenis Kelamin

dan Kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 ... 39 6. Persebaran Jumlah Penduduk menurut Usia Anak, Usia Produktif

dan Lanjut Usia di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 ... 40 7. Persebaran Jumlah Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut

Matapencaharian di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2002-2004 ... 40 8. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan

Usaha di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004-2005 ... 41 9. Populasi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada

Tahun 1998-2004 ... 43 10. Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut

Kelompok Umur ... 45 11. Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Tingkat

Pendidikan ... 45 12. Persepsi Responden Peternak Mitra terhadap Pelaksanaan

Kemitraan ... 56 13. Perbandingan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahaternak

Ayam Ras Pedaging antara Pola Mandiri dan Pola Kemitraan, Tahun 2003 ... 65 14. Marjin Pemasaran dan Proporsi Harga yang Diterima Peternak

Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada Usahaternak Pola Mandiri dan Pola Kemitraan ... 78 15. Distribusi Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri

dan Pola Kemitraan dari Berbagai Saluran Pemasaran ... 86 16. Hasil Estimasi Parameter Model Keterpaduan Ayam Ras Pedaging 87


(14)

iv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perbedaan Output dan Harga pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna ... 22 2. Perbedaan Profit Maximizing pada Pasar Monopsoni dan Pasar

Persaingan Sempurna ... 25 3. Kerangka Pemikiran ... 28 4. Struktur Organisasi Kelembagaan Kemitraan ... 50 5. Saluran Pemasaran Ayam Ras Pedaging di Kabupaten


(15)

v

Nomor Halaman

1. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Pertama ... 97 2. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran

Pemasaran Kedua ... 98 3. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran

Pemasaran Ketiga ... 99 4. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran

Pemasaran Pertama ... 100 5. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran

Pemasaran Kedua ... 101 6. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran

Pemasaran Ketiga ... 102 7. Hasil Olahan Minitab ... 103


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor peternakan terhadap sektor pertanian sebesar 11.57 persen, dan meningkat menjadi 11.80 persen pada tahun 2005. Rataan laju pertumbuhan selama periode 1998-2005 adalah sebesar 19.13 persen lebih besar dari laju pertumbuhan subsektor tanaman pangan (18.94 persen) (BPS, 2006).

Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat pendapatan yang disertai dengan adanya perubahan pola konsumsi dan selera masyarakat, tingkat konsumsi daging per kapita cenderung meningkat. Perkembangan konsumsi daging di Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein hewani, lebih banyak berasal dari Industri Unggas Nasional (IUN) (Purba, 1999). Konsumsi daging ayam ras pedaging pada tahun 1998 mencapai 1 239 ton, dan meningkat menjadi 1 624 ton pada tahun 2002. Meningkatnya permintaan daging ayam ras ini menyebabkan meningkatnya populasi ayam ras pedaging secara nasional yaitu dari 285 000 ribu ekor pada tahun 1998, menjadi 883 400 ribu ekor pada tahun 2005, atau mengalami peningkatan dengan laju sebesar 8.85 persen per tahun (Ditjen Peternakan, 2005).

Usaha perunggasan (ayam ras) domestik telah menjadi suatu industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, perkembangan usaha ini memberikan nilai strategis khususnya dalam penyediaan protein hewani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan peluang ekspor. Selain outputnya,


(17)

nilai strategis industri ini juga tercipta dari penyerapan tenaga kerja, dimana sekitar dua juta tenaga kerja dapat diserap oleh industri ini (Suryana, et al., 2005).

Daerah sentra utama produksi ayam ras pedaging di Indonesia adalah Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 39.61 persen, Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 21.13 persen dan Jawa Tengah dengan kontribusi sebesar 8.84 persen terhadap total populasi ayam ras pedaging nasional. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Indonesia mengalami perkembangan yang relatif baik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya laju peningkatan populasi ayam ras pedaging yang relatif besar. Selama empat periode waktu, yaitu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, rata-rata pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Jawa Tengah mencapai 6.60 persen dimana pada tahun 2004 populasi ayam ras pedaging mencapai 67 852 915 ekor (Ditjen Peternakan, 2005).

Tabel 1. Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2000-2004 Tahun Populasi (Ekor) Pertumbuhan (%)

2000 71 554 382

2001 53 879 257 -24.70

2002 97 485 267 80.93

2003 66 646 915 -31.63

2004 67 852 915 1.81

Sumber : Ditjen Peternakan, 2005

Perkembangan populasi ayam ras pedaging di Jawa Tengah pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa laju pertumbuhan populasi ayam ras pedaging tertinggi terjadi pada tahun 2002 yang mencapai 80.93 persen namun pada tahun 2003, populasi ayam ras pedaging mengalami kontraksi yang cukup besar, mencapai 31.63 persen.


(18)

3

Kontraksi ini disebabkan oleh mulai merebaknya isu flu burung (avian influenza) yang berakibat pada menurunnya permintaan akan daging ayam.

Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki potensi peternakan relatif besar adalah Kabupaten Karanganyar. Kontribusi sub sektor peternakan terhadap perekonomian Kabupaten Karanganyar selama periode tahun 2001-2005 berada pada kisaran 4.79-8.47 persen (Tabel 2). Sub sektor peternakan menduduki peringkat kedua setelah sub sektor tanaman bahan makanan sebagai penyumbang PDRB sektor pertanian Kabupaten Karanganyar. Relatif besarnya kontribusi sub sektor peternakan pada PDRB Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa sub sektor ini potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sektor unggulan pada perekonomian Kabupaten Karanganyar.

Tabel 2. Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Karanganyar, Tahun 2001-2005

(%) Sub Sektor 2001 2002 2003 2004 2005 Tanaman Bahan Makanan

Tanaman Perkebunan Rakyat Tanaman Perkebunan Besar

Peternakan Kehutanan Perikanan 13.23 1.52 0.22 6.83 0.21 0.13 12.42 1.75 0.22 8.47 0.19 0.13 11.86 1.89 0.21 8.45 0.18 0.12 13.69 1.24 0.15 5.40 0.12 0.12 13.09 1.36 0.23 4.79 0.10 0.10

Pertanian 22.14 23.18 22.7 20.17 19.68

Sumber: BPS Beberapa Tahun (diolah)

Kabupaten Karanganyar menghasilkan tiga belas jenis ternak yang dominan diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 3. Jika dilihat dari populasi ternak, ayam ras pedaging merupakan ternak yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat, setelah ayam ras petelur. Pada tahun 2004, populasi ayam ras pedaging mencapai 1 070 000 ekor sedangkan populasi ayam ras petelur mencapai 1 237 000 ekor. Sedangkan dari perkembangan populasi ternak dibandingkan


(19)

tahun 2003, terlihat bahwa populasi ayam ras pedaging merupakan salah satu ternak unggas yang masih mengalami pertumbuhan walaupun tengah merebak serangan virus flu burung (avian influenza). Pertumbuhan populasinya menduduki peringkat ketiga (0.80 persen) setelah sapi potong (2.20 persen) dan kambing (1.90). Hal ini menunjukkan bahwa peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar masih memiliki potensi untuk dikembangkan.

Tabel 3. Perkembangan Populasi Ternak Di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2003-2004

No Jenis Ternak 2003 (Ekor) 2004 (Ekor) Pertumbuhan (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kuda Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kambing Domba Babi Ayam Buras Ayam Ras Petelur

Ayam Ras Pedaging

Itik Kelinci Puyuh 364 46 758 301 1 397 21 599 114 952 54 132 841 182 1 237 000

1 061 500

69 789 10 901 229 850 360 47 794 299 1 388 22 024 115 366 54 233 841 790 1 237 000

1 070 000

69 789 10 901 229 850 -1.10 2.20 -0.60 -0.60 1.90 0.30 0.20 0.06 0.00 0.80 0.00 0.00 0.00

Sumber: Dinas Peternakan Karanganyar, 2005

1.2. Perumusan Masalah

Di Kabupaten Karanganyar sebagian besar usahaternak ayam ras pedaging merupakan usahaternak pola kemitraan. Usahaternak pola mandiri yang hanya sebagian kecil saja, kebanyakan dilaksanakan oleh ”jebolan-jebolan” usahaternak pola kemitraan. Pola kemitraan dilakukan peternak dengan cara menjalin kerjasama atau bermitra dengan perusahaan penyedia sarana produksi, dengan ketentuan peternak diharuskan menjual semua hasil produksinya kepada perusahaan inti sesuai dengan harga kesepakatan yang tertera dalam kontrak yang


(20)

5

telah disepakati bersama oleh peternak dan perusahaan yang bersangkutan. Dalam kerjasama ini, perusahaan berperan sebagai inti dan peternak berperan sebagai plasma. Sebagai inti, perusahaan menyediakan sarana produksi ternak seperti makanan, Day Old Chick (DOC), obat-obatan dan alat-alat perkandangan seperti tempat pakan, alat pemanas, dan alat lainnya. Pada awal kerjasama, inti akan menyediakan alat kandang, dan peternak wajib untuk mengembalikan biaya dengan cara mencicil setiap kali panen. Tetapi bila peternak mampu menyediakan alat kandang sendiri, maka sebagai plasma ia hanya membeli sarana produksi ternak dari inti seperti DOC, pakan dan vaksin serta pembayarannya dilakukan setelah hasil panen terjual ke inti.

Karena harga produksi ternak sudah disepakati sebelumnya, maka dapat terjadi perbedaan antara harga produk ternak yang diterima peternak kemitraan dengan harga produk ternak yang berlaku di pasar. Hal ini dapat menguntungkan peternak kemitraan bila harga di pasar ternyata lebih rendah daripada harga kesepakatan dan dapat merugikan bila harga di pasar ternyata lebih tinggi. Dalam prakteknya, pengamatan menunjukkan bahwa harga ayam ras pedaging di pasar seringkali lebih tinggi daripada harga kontrak. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kontrak kesepakatan inilah yang kemudian mendorong sebagian peternak kemitraan untuk keluar dari sistem kemitraan dan memilih untuk berusaha sendiri.

Sedangkan usahaternak pola mandiri dilakukan peternak dengan cara menyediakan semua sarana produksi secara swadaya dan peternak memiliki kebebasan untuk menjual hasil produknya. Walaupun dapat dengan bebas menentukan kepada siapa mereka menjual produknya, tetapi karena sebagian


(21)

besar peternak mempunyai lokasi usaha yang terpencar-pencar dan kurangnya informasi pasar menyebabkan peternak bergantung kepada pedagang perantara yang biasanya langsung mendatangi tempat usaha peternak. Hal ini cenderung menyebabkan harga produk lebih ditentukan oleh pedagang perantara, mengingat posisi tawar peternak umumnya rendah.

Beberapa kondisi produk yang dapat memperlemah posisi tawar peternak adalah: (1) karena umumnya berat hidup ayam pedaging yang disukai konsumen berkisar antara 1.19 sampai 1.9 kilogram per ekor, dan (2) sifat ayam ras pedaging yang tidak tahan lama jika telah keluar dari kandang (mudah mengalami kematian). Kondisi inilah yang menyebabkan kehadiran pedagang perantara masih sangat diperlukan oleh peternak, meski terkadang terasa merugikan bagi sebagian peternak.

Adanya perbedaan pola dalam pengusahaan ayam ras pedaging, menyebabkan perbedaan penerimaan dan biaya yang digunakan untuk memproduksi ayam ras pedaging. Selain itu, perbedaan pola pengusahaan juga akan menyebabkan perbedaan pola pemasaran hasil.

Melihat kondisi di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan?

2. Mana yang lebih menguntungkan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola mandiri?


(22)

7

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan. 2. Membandingkan tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging pola

kemitraan atau pola mandiri.

Sedangkan kegunaan yang diharapkan oleh peneliti adalah dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang pemasaran ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar sehingga dapat digunakan oleh peneliti lain dan sebagai masukan bagi pengambil keputusan dalam pengembangan ekonomi, khususnya pengembangan usaha peternakan di wilayahnya.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian dibatasi menjadi tiga wilayah kecamatan di Kabupaten Karanganyar yaitu Tasikmadu, Kebakkramat dan Mojogedang. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa dari seluruh kecamatan yang ada di Karanganyar, di tiga kecamatan tersebut dapat dijumpai peternak dengan pola pengusahaan mandiri dan kemitraan sehingga lebih memudahkan untuk membuat perbandingan atas kedua pola tersebut.

Untuk menganalisis saluran pemasaran ayam ras pedaging, lembaga pemasaran yang dipilih sebagai responden adalah lembaga pemasaran yang benar-benar terlibat secara langsung dalam penyaluran produk dari produsen ke konsumen dengan wilayah pemasaran dibatasi hanya sampai Wilayah Karesidenan Surakarta yaitu Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo dan Solo,


(23)

sehingga pemasaran di luar wilayah Surakarta tidak menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini.

Sedangkan untuk analisis pendapatan peternak, tidak dilakukan analisis berdasarkan skala usaha. Hal ini dilakukan karena pengusahaan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar memiliki skala usaha yang relatif sama yaitu di atas 5 000 ribu ekor DOC dan di bawah 20 000 ribu ekor DOC. Sedangkan dalam pengusahaan ayam ras pedaging, peternak di Kabupaten Karanganyar mengusahakan beberapa strainDay Old Chick (DOC). Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan pembedaan berdasarkan strain DOC tersebut.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan disajikan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan usahaternak ayam ras pedaging, biaya produksi dan penerimaan, pemasaran dan kemitraan. Aspek yang dibahas dalam bab ini meliputi metode analisis, hasil dan kesimpulan yang relevan dengan penelitian ini.

2.1. Kemitraan

Hasil analisis logit untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani melakukan kemitraan dengan perusahaan oleh Puspitawati (2004) menunjukkan bahwa peubah bebas harga benih, jumlah benih, total produksi, harga output dan curahan tenaga kerja luar keluarga mempengaruhi petani melakukan kemitraan. Sedangkan manfaat kemitraan yang diperoleh PT Pertani selaku perusahaan mitra adalah (1) adanya jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produk, (2) efisiensi, (3) produktivitas, (4) pengalihan resiko, (5) manfaat sosial, (6) katahanan ekonomi nasional dan (7) promosi dua arah.

Dari hasil melakukan penelitiannya mengenai analisis ekonomi ayam ras pasca deregulasi, Yusdja et al. (1997) menyimpulkan bahwa: (1) usaha ayam ras rakyat sulit berkembang karena peternak rakyat tidak mampu bersaing dengan peternak kemitraan baik dalam memperoleh harga input yang relatif murah maupun dalam menjual output, (2) kehadiran usahaternak kemitraan belum dikaitkan dengan perkembangan usaha rakyat, usaha peternakan rakyat semakin tersingkir dari wilayah-wilayah konsumsi dan tetap tergantung pada pola kemitraan yang tidak optimum, (3) pembatasan usaha sebesar 15 000 ekor per siklus secara ekonomi dapat dibenarkan karena terbukti skala usaha tidak mempengaruhi keuntungan per unit output dan (4) walaupun menghadapi situasi


(25)

yang sulit seperti turunnya harga ayam ras di pasar, peternak rakyat masih meraih keuntungan.

Kajian kelembagaan kemitraan perunggasan nasional melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan oleh Rusastra, Yusdja dan Sumaryanto (1990) dengan menggunakan analisis deskriptif, menghasilkan temuan bahwa kebijakan program PIR ternyata tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh faktor distorsi makro. Dalam pelaksanaannya program PIR menghadapi tiga masalah utama yang perlu penanganan secara tuntas, yaitu fluktuasi harga input, harga output dan kemandirian peternak plasma. Harga input khususnya harga pakan cenderung meningkat karena adanya ketergantungan bahan baku impor sementara pengadaan pakan domestik terkendala oleh rendahnya mutu pakan. Masalah harga output terkait dengan struktur industri yang dikuasai skala besar, lemahnya kemampuan antisipasi pasar, daya serap pasar domestik yang lemah dan belum berhasilnya diversifikasi pasar ekspor.

Studi terhadap pelaksanaan kemitraan pada usahaternak ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo yang dilakukan oleh Sarwanto (2004), menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh peternak mitra adalah kemudahan penyediaan sapronak dan adanya pembinaan dari perusahaan mitra. Sedangkan peran pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kemitraan belum dilaksanakan dengan baik.

Hasil penelitian tentang analisis ekonomi kelembagaan kemitraan usahaternak domba di Provinsi Sumatera Utara yang dilakukan oleh Elieser (2000), menyimpulkan bahwa ujicoba PIR-nak domba mengalami kegagalan


(26)

11

karena faktor kelembagaan, yaitu pembinaan dan koordinasi antara inti dan plasma yang tidak berjalan dengan baik.

Aspek institusi dalam kemitraan karet rakyat di Kabupaten Musi Banyuasin berlangsung kondusif dan saling menguntungkan. Dari aspek representasi, kepentingan masing-masing pihak terwakili secara seimbang dan batas kewenangan termasuk penanggungan resiko antara keduanya diatur secara bijak dan tidak saling memberatkan (Alamsyah, 1997).

2.2. Pemasaran

Kajian terhadap efisiensi pemasaran ayam ras pedaging di Wilayah Jabotabek yang dilakukan oleh Winandi, Ratnawati dan Siregar (1994), menyimpulkan bahwa struktur pasar ayam ras pedaging tidak bersifat persaingan sempurna, dimana untuk pasar input yaitu DOC (Day Old Chick) dan pakan strukturnya adalah oligopoli diferensiasi yaitu terdiri dari beberapa penjual saja (perusahaan-perusahaan pakan yang merangkap penyedia DOC), sedangkan pasar output bersifat oligopsoni murni yaitu hanya terdiri dari beberapa pembeli saja. Hal ini berimplikasi bahwa pembelian ayam ras pedaging dan input hanya terkonsentrasi pada beberapa pembeli dan penjual saja. Dengan demikian tingkat harga yang terbentuk bukanlah merupakan produk dari mekanisme pasar (penawaran dan permintaan).

Dalam kaitannya dengan pembahasan marjin pemasaran, Winandi, Ratnawati dan Siregar (1994), mengemukakan bahwa rataan sebaran marjin pemasaran yang diterima oleh peternak adalah 63.11 persen, untuk biaya pemasaran 8.4 persen dan keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran 28.58 persen. Saluran pemasaran peternak mandiri cenderung lebih efisien


(27)

dibandingkan dengan peternak plasma yang melakukan kemitraan dengan perusahaan penyedia sarana berproduksi ternak.

Sedangkan studi Iskandar et al. (1993), dengan menggunakan analisis

farmers share menunjukkan bahwa sistem pemasaran ayam ras pedaging usahaternak kecil di Bogor, secara umum sudah dapat dikatakan cukup efisien karena farmers share yang diterima cukup tinggi yaitu 76.17 persen. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa biaya pemasaran yang harus ditanggung oleh masing-masing lembaga pemasaran berbeda, dan biaya terbesar ditanggung oleh pengusaha pemotong-pengecer.

Agustian dan Rachman (1994), melakukan kajian terhadap penyaluran sapronak dan pemasaran hasil peternakan melalui kerjasama PIR perunggasan di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis terhadap pemasaran ayam ras pedaging menunjukkan bahwa sebagian besar pemasaran ayam ras pedaging masih dalam bentuk ternak hidup. Kalupun berupa daging (karkas) pemasarannya langsung ke tangan konsumen tanpa melalui pengecer. Perusahaan inti sebagai tujuan utama pemasaran produk dan perolehan sapronak masih belum mampu menciptakan suatu sistem kerjasama pemasaran diantara sesama perusahaan inti dalam menghadapi gejala fluktuasi harga.

Alamsyah (1997), dengan menggunakan analisis farmers share, menunjukkan bahwa sistem pemasaran dalam kemitraan karet alam di Kabupaten Musi Banyuasin berlangsung efisien dan mutualistik. Hal ini dicirikan oleh tingginya farmers share petani bermitra jika dibandingkan dengan petani tidak bermitra.


(28)

13

2.3. Pendapatan Usahaternak

Hasil studi Saptana (1987), dengan menggunakan alat analisis Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) menunjukkan bahwa usahaternak ayam ras baik pedaging maupun petelur di Jawa dan Sumatera adalah efisien secara ekonomik, artinya upaya peningkatan produksi telur dan ayam ras dalam negeri sangat menguntungkan dan karenanya perlu didukung pemerintah.

Berdasarkan pendugaan fungsi keuntungan usahaternak ayam broiler di Bali, Kayana (1995) memperoleh kesimpulan bahwa peternak plasma telah memaksimasi keuntungan jangka pendek. Sedangkan usahaternak peternak non plasma sudah efisien secara teknis namun efisiensi harganya (efisiensi alokatif) belum tercapai.

Hasil kajian Rachman dan Agustian (1994), terhadap usaternak ayam ras pedaging dengan pola PIR di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan menghitung titik impas volume produksi dan tingkat harga layak usaha menunjukkan bahwa kerjasama peternak plasma dengan perusahaan inti (poultry shop) di Jawa Barat memberikan keuntungan atas biaya total sekitar 8.4 persen. Sedangkan di Jawa Timur, tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging nampak beragam antar wilayah kabupaten, dimana usahaternak di Kabupaten Gresik terkesan merugi sementara di Kabupaten Kediri cenderung menguntungkan. Variasi performa tersebut disebabkan oleh ratio harga pakan dan produksi yang relatif kurang berimbang.

Sedangkan Puspitawati (2004), menyatakan bahwa dengan analisis manfaat hubungan kemitraan, petani penangkar benih di Kabupaten Karawang yang melakukan kemitraan dengan PT Pertani lebih efisien dalam pengelolaan


(29)

usahataninya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C ratio petani mitra yang lebih tinggi dibanding petani non mitra.

Sarwanto (2004), melakukan studi tentang pengaruh kemitraan terhadap produksi dan pendapatan peternak ayam ras pedaging (peternakan rakyat) di Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo dengan menggunakan fungsi produksi Transedental dan Cobb Douglas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemitraan berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi ayam ras pedaging namun usaha kemitraan belum mampu meningkatkan pendapatan peternaknya.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat manfaat kemitraan usahaternak ayam ras pedaging secara lebih lengkap dan menyeluruh dengan membandingkan efisiensi usahaternak dan efisiensi pemasaran antara peternak mitra dengan peternak mandiri. Penelitian tentang kemitraan pada usahaternak ayam ras pedaging, khususnya yang dilakukan oleh Sarwanto (2004) di Kabupaten Karanganyar masih belum membahas aspek pemasaran, dimana pemasaran juga merupakan aspek yang mempengaruhi pendapatan peternak. Pada penelitian ini juga dibahas lebih rinci mengapa terjadi perbedaan pendapatan antara peternak mitra dan mandiri (non mitra) dengan menguraikan komponen biaya dan penerimaan dari masing-masing usahaternak. Aspek kelembagaan terhadap kerjasama kemitraan dilakukan dengan memperbandingkan isi perjanjian kontrak dan pelaksanaan kontrak di lapangan serta melihat persepsi dan partisipasi peternak mitra.


(30)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Di Kabupaten Karanganyar, usahaternak ayam ras pedaging dianggap memiliki keuntungan yang relatif besar sehingga banyak masyarakat yang tertarik untuk mengusahakannya. Namun untuk memulai usaha ini, sebagian besar masyarakat terkendala oleh besarnya modal awal yang harus disediakan oleh tiap peternak. Sebagai gambaran, modal awal untuk pembuatan kandang dan pembelian alat-alat kandang, pada skala usaha 5 000 ekor ayam dalam satu siklus produksi (± 35 hari) berkisar antara Rp 70 juta – Rp 95 juta (Cahyono, 2006). Besarnya modal awal untuk usahaternak ayam ras pedaging inilah yang mendorong para peternak untuk melakukan usaha kemitraan. Peternak yang melakukan usahaternak melalui pola kemitraan dengan perusahaan inti ditujukan untuk memperoleh tambahan modal usahaternak. Keuntungan-keuntungan yang didapatkan oleh peternak peserta kemitraan antara lain adalah tersedianya modal usahaternak (khususnya modal awal) dan serta adanya pembinaan dalam usahaternak ayam ras pedaging oleh perusahaan inti.

Melalui kemitraan diharapkan perusahaan inti dan peternak dapat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Perusahaan mitra yang memiliki beberapa keunggulan diantaranya teknologi budidaya ayam ras pedaging dapat melakukan transfer teknologi dan inovasi kepada peternak peserta kemitraan (Alamsyah, 1997). Dengan keunggulan-keunggulan yang diperoleh peternak dalam melakukan usaha kemitraan, maka akan meningkatkan efisiensi usahaternak yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan.


(31)

3.2. Konsep Kemitraan

Mitra, pada pokoknya sama dengan “teman” atau “kawan” yang dalam padanan bahasa Inggrisnya adalah “friendship” atau “partnership”. American Heritage Dictionary (1992) dalam Syahyuti (2006), mengartikan bahwa kemitraan merupakan suatu hubungan antar individu-individu atau antar kelompok-kelompok yang dicirikan oleh adanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual cooperation) dan tanggung jawab (responsibility) untuk mencapai suatu tujuan tertentu (achievement of specified goal). Istilah ini muncul pertama kali dalam hukum bisnis yang berkaitan dengan suatu kontrak berbagi yang adil dalam hal keuntungan maupun kerugian dalam kerjasama bisnis (joint business). Esensi kemitraan dalam ekonomi terletak pada kontribusi bersama, baik berupa tenaga kerja (labor) maupun benda (property), atau keduanya untuk tujuan-tujuan ekonomi. Pengendalian kegiatan juga dilakukan bersama, dimana pembagian keuntungan dan kerugian didistribusikan diantara pihak yang bermitra. Artinya, sumberdaya dan kompetensi masing-masing digabungkan untuk mencapai sinergi, menuju peningkatan volume maupun kualitas produk atau jasa yang dihasilkan (Syahyuti, 2006).

Ditinjau dari sudut paradigma ekonomi biaya transaksi, kemitraan merupakan salah satu alternatif modus transaksi yang merupakan kombinasi tak lengkap dari sistem pasar (spot) dan sistem organisasi integratif. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistem transaksi kemitraan terpisah dalam hal kepemilikan namun terpadu dalam hal keputusan manajerial. Transaksi dalam sistem kemitraan diatur dalam suatu kontrak kesepakatan yang menyatukan antara inti dan plasma sehingga terbentuk suatu kuasi organisasi (Simatupang, 1997).


(32)

17

Pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistem perekonomian gotong royong antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama petani golongan lemah dan miskin yang tidak berpengalaman untuk mampu meningkatkan produktifitas dan usahanya atas dasar kepentingan bersama (Elieser, 2000; Syahyuti, 2006). Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan (maximum social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional jangka panjang (Anwar, 1992 dalam Elieser, 2000).

Kemitraan merupakan kerjasama antara perusahaan mitra dengan peternak tanpa menciptakan bentuk hubungan majikan dengan buruh. Selain tercipta saling ketergantungan (saling memerlukan), kemitraan juga harus memperhatikan prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan. Prinsip ”saling memperkuat” terealisasi jika peserta mitra dan perusahaan mitra sama-sama memperhatikan moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya. Sedangkan prinsip ” saling menguntungkan” tercapai ketika kedua pihak memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha (Syahyuti, 2006).

Dalam kegiatan produksi di bidang pertanian, seringkali terdengar adanya kesenjangan antara produktivitas yang seharusnya bisa dicapai dengan produktivitas riil yang dilakukan oleh petani. Dalam mempelajari produktivitas tersebut, Soekartawi (2003), menyatakan peranan hubungan input (faktor produksi atau korbanan produksi) dan output (hasil produksi) mendapat perhatian utama. Peranan input bukan hanya dilihat dari segi macamnya atau tersedianya dalam


(33)

waktu yang tepat, tetapi dapat juga ditinjau dari segi efisiensi penggunaan faktor produksi tersebut.

Efisiensi ekonomi dalam berproduksi dapat dicapai melalui kemitraan karena masing pihak yang bermitra menawarkan sisi keunggulan masing-masing. Lebih jauh Sumardjo, Jaka dan Wahyu (2004), menyatakan bahwa kemitraan bisnis memang bermanfaat dalam meningkatkan akses usaha kecil ke pasar, modal dan teknologi serta mencegah terjadinya diseconomies of scale sehingga mutu juga menjadi terjaga. Hal seperti ini dapat terjadi karena adanya komitmen kedua belah pihak untuk bermitra. Pengusaha menengah sampai dengan skala besar memiliki komitmen atau tanggung jawab moral dalam membimbing dan mengembangkan pengusaha kecil supaya dapat mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk meraih keuntungan bersama. Mereka yang bermitra perlu mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk saling mengisi, saling melengkapi, saling memperkuat serta tidak saling mengeksploitasi. Dalam kondisi ini akan tercipta rasa saling percaya antar kedua belah pihak sehingga usahanya akan semakin berkembang (Novian, 2006).

Pada dasarnya pembangunan peternakan dengan model kemitraan memiliki tujuan yang diantaranya adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak, meningkatkan produksi serta mempercepat alih teknologi budidaya manajemen peternakan dari inti ke plasma. Menurut Said (2001) dalam Novian (2006) ada beberapa sisi positif yang dapat diperoleh dari kemitraan yaitu:

1. Kemitraan dibentuk atas dasar saling membutuhkan. Industri membutuhkan


(34)

19

petani membutuhkan jaminan pemasaran hasil produksinya. Dengan demikian, kedua belah pihak memiliki ikatan yang kuat atas dasar saling membutuhkan.

2. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip saling menguntungkan,

yakni perusahaan memiliki komitmen untuk membeli hasil produksi petani sesuai dengan harga pasar dan dibayar dengan tunai. Dilain pihak petani memiliki komitmen untuk memasok hasil dan mengatur siklus produksinya, sehingga pasokan ke perusahaan dapat berkesinambungan.

3. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip tumbuh dan berkembang

bersama, sehingga industri menyediakan kredit kepada petani tanpa bunga dan tanpa agunan dengan masa tenggang selama satu tahun.

4. Kemitraan yang dibentuk pada prinsip saling percaya, yakni ketika petani

memasok produksinya, langsung dibayar tunai oleh perusahaan tanpa memotong sisa hutangnya. Dilain pihak, para petani membayar hutangnya pada saat jatuh tempo dan dapat meminjam kembali.

Dasar pemikiran kemitraan adalah setiap pelaku usaha mempunyai potensi, kemampuan dan keistimewaan masing-masing dengan perbedaan ukuran, jenis, sifat, dan tempat usahanya. Dari pelaku usaha yang mempunyai kelebihan dan kekurangan diharapkan dapat saling menutupi kekurangan masing-masing dengan kondisi yang demikian akan timbul satu kebutuhan untuk bekerjasama dan menjalin hubungan kerjasama model kemitraan.

Simatupang (1997), menyatakan bahwa eksistensi suatu kemitraan ditentukan oleh biaya transaksi relatifnya. Artinya selama biaya transaksi sistem kemitraan lebih rendah dibandingkan biaya transaksi sistem pasar (spot) maupun sistem organisasi integratif, maka sistem transaksi kemitraan akan ada (exist).


(35)

Sedangkan biaya transaksi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tiga dimensi transaksi, yaitu: (1) kekhususan dari asset (asset specificity), (2) ketidakpastian/kerumitan transaksi, dan (3) frekuensi transaksi (Williamson, 1985, 1986; Douma and Schreuder, 1991 dalam Simatupang, 1997). Suatu asset dikatakan bersifat spesifik transaksi bila penggunaannya tidak dapat diubah tanpa pengurangan nyata terhadap nilainya sehingga jika suatu transaksi didukung oleh asset spesifik yang relatif mahal dan penuh resiko maka kedua belah pihak pelaku transaksi harus membuat kesepakatan jangka panjang serta masing-masing pihak harus saling mematuhi kesepakatan tersebut. Oleh karena itu, Simatupang (1997), menyimpulkan bahwa faktor kunci bagi kelayakan kemitraan adalah kepatuhan akan janji (credible commitment) atau kepercayaan (trust) dari para pelakunya.

Pengembangan kemitraan industri perunggasan masa depan dilakukan dengan mentransformasikan ekonomi pedesaan yang tradisional ke arah ekonomi pasar modern, sehingga menjadi pembentuk struktur ekonomi pasar. Bentuk akhir dari kemitraan masa depan tersebut dicirikan oleh: (1) peternak produsen haruslah menjadi pemilik saham keseluruhan jaringan agribisnis, (2) keorganisasian peternak tidak terbatas pada kegiatan produksi bahan baku, namun pada keseluruhan jaringan tubuh agribisnis, (3) output yang dihasilkan merupakan produk akhir yang telah memperoleh sentuhan iptek dan bernilai tambah tinggi, berciri spesifik, berstandar mutu tinggi, dan (4) hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis harus dimuati rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja secara organik, asas keterbukaan dan demokrasi diterapkan dalam sistem pengambilan keputusan melalui musyawarah (Saptana, Sayuti dan Noekman, 2002).


(36)

21

3.3. Pendapatan Usahaternak

Perusahaan adalah suatu unit teknis dimana output dihasilkan, karena itu perusahaan adalah suatu bentuk kelembagaan bisa perorangan atau dalam bentuk sekumpulan orang sebagai pemiliknya (Henderson and Quandt, 1980). Perusahaan melakukan proses produksi, yakni melakukan pengaturan penggunaan input dalam rangka menghasilkan output. Pengelolaan perusahaan membuat keputusan tentang berapa seharusnya dan bagaimana output dihasilkan sehubungan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Dalam hal ini, peternak ayam ras pedaging merupakan perusahaan yang menghasilkan output berupa ayam ras pedaging. Analisis perusahaan tidak lain adalah analisis terhadap produksi dan keuntungan. Analisis keuntungan menyangkut analisis penerimaan, biaya dan selisih antara penerimaan dan biaya yang disebut keuntungan atau pendapatan (Henderson and Quandt, 1980).

Adanya perbedaan pola pengusahaan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar yaitu pengusahaan pola mandiri dan pola kemitraan menimbulkan perbedaan besarnya biaya-biaya yang digunakan untuk berusahaternak dan penerimaan yang diterima oleh peternak. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan harga input, harga output dan cara memasarkan ayam ras pedaging diantara kedua pola tersebut.

Implikasi yang paling menonjol dalam kerjasama kemitraan adalah peternak diharuskan untuk membeli sarana produksi (input) dan menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra. Kondisi pada pasar input menunjukkan bahwa terdapat satu penjual (perusahaan mitra) dengan banyak pembeli (peternak) sehingga pasar input tersebut dapat digolongkan pada pasar monopoli (Henderson and Quandt,


(37)

1980). Pada pasar monopoli, untuk mencapai keuntungan maksimum, perusahaan akan menetapkan harga lebih tinggi dibandingkan pasar persaingan sempurna (Hyman, 1997).

Sumber : Hyman, 1999

Gambar 1. Perbedaan Output dan Harga pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna

Gambar 1 menyajikan harga dan output yang dihasilkan pada pasar persaingan sempurna dan pasar monopoli. Dengan asumsi kurva marginal cost (MC) berbentuk horizontal, pasar persaingan sempurna mencapai keuntungan

maksimum pada saat marginal revenue (MRp) berpotongan dengan MC, dimana

MR sama dengan harga sehingga akan dihasilkan output pada Q2 pada harga P1.

Pada pasar monopoli, keuntungan maksimum diperoleh pada saat MRm

berpotongan dengan kurva MC sehingga perusahaan monopoli akan memproduksi

output sebesar Q1 dengan harga P2 (Hyman, 1997). Terkait dengan kondisi

kemitraan bahwa peternak sebagai penerima harga input dari perusahaan inti yang memonopoli penjualan sarana produksi ternak (input), khususnya berupa DOC, pakan ternak, serta obat dan vaksin maka peternak peserta kemitraan akan

P1

P2

P

MC = MRp

Q

0 Q1

D Q2

a


(38)

23

menerima harga input lebih tinggi dibandingkan harga pada pasar persaingan sempurna.

Dalam kerjasama kemitraan, peternak juga melakukan kontrak penjualan output kepada perusahaan inti. Pada kondisi ini, perusahaan inti bertindak sebagai pembeli tunggal bagi hasil ternak ayam ras pedaging dari peternak mitra, sehingga pada pasar output terdapat banyak penjual dengan pembeli tunggal. Menurut Henderson and Poole (1991), kondisi pasar dengan pembeli tunggal dan banyak penjual digolongkan dalam pasar monopsoni. Hyman (1997), menyatakan bahwa karena posisi pembeli tunggal maka perusahaan monopsoni (monopsonist) mempunyai kemampuan menentukan harga dari barang atau jasa yang akan dibeli. Jika diasumsikan bahwa produk yang dijual peternak merupakan faktor produksi dari perusahaan monopsoni (perusahaan inti) maka perusahaan tidak dapat membeli diantara faktor input secara bebas (unlimited) pada harga umum, yaitu harga dimana perusahaan harus membayar jumlah pembelian input yang ditentukan melalui pasar penawaran input. Harga yang harus dibayarkan untuk tiap satuan barang yang dibeli ditentukan oleh kurva penawaran input. Karena kurva penawaran input memiliki slope positif (upward sloping), maka harga yang harus dibayar perusahaan monopsoni merupakan kenaikan dari fungsi jumlah yang dibeli (Hyman, 1997).

Untuk mencapai kondisi keseimbangan perusahaan monopsoni akan menerapkan harga faktor produksi lebih kecil dari biaya marjinal. Nicholson (1999), menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi kurva penawaran positif, maka biaya marjinal lebih besar dari harga pasar faktor yang bersangkutan. Henderson and Quandt (1980) menjelaskan bahwa keuntungan


(39)

maksimum pada perusahaan monopsoni dicapai apabila nilai produk marjinal

(

dx dq

P ) sama dengan biaya marjinal (

dx dC

). Kondisi tersebut diilustrasikan pada

Gambar 2 bahwa keuntungan maksimum dari perusahaan monopsoni berada pada x0 unit dengan harga input sebesar r0 rupiah. Sedangkan perusahaan pada pasar persaingan sempurna, keuntungan maksimumnya akan tercapai pada saat biaya input rata-rata atau penawaran input berpotongan dengan nilai produk marjinal sehingga pada pasar persaingan sempurna, jumlah input yang digunakan adalah pada x1 unit dengan harga r1 rupiah.

Perusahaan monopsoni dapat meningkatkan keuntungannya dengan mengurangi jumlah input yang digunakan pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai produk marjinalnya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, perusahaan inti sebagai pembeli tunggal produk ayam ras pedaging yang dihasilkan peternak mitra maka perusahaan inti memiliki kekuatan monopsoni (monopsony power) sehingga perusahaan inti memiliki kekuatan untuk menetapkan harga ayam ras pedaging (per unit) yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan harga pada pasar persaingan sempurna. Dengan demikian peternak peserta kemitraan akan menerima harga relatif lebih rendah dibandingkan dengan peternak mandiri.

Untuk mengetahui pendapatan yang diterima peternak pola kemitraan dan mandiri, maka digunakaan pendekatan pendapatan peternak dengan analisis R/C ratio.


(40)

25

Sumber : Henderson and Quandt, 1980

Gambar 2. Perbedaan Profit Maximizing pada Pasar Monopsoni dan Pasar Persaingan Sempurna

3.4. Pemasaran Usahaternak

Upaya peningkatan pendapatan peternak tidaklah cukup dengan upaya peningkatan produksi, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan jaminan hasil produksinya akan selalu dapat diserap oleh pasar dengan harga yang baik. Pemasaran (tataniaga) yang efektif dan efisien merupakan kunci dari keberhasilan upaya tersebut. Dalam aktivitas usaha pemasaran ini, peternak sebagai produsen akan melibatkan lembaga pemasaran, karena sebagian besar produsen tidak

dx dC

dx dq P g(x) = S

r1

r0

x1 x0

0 x


(41)

menjual secara langsung kepada konsumen akhir (Sahari dan Musyafak, 2002). Lembaga pemasaran berfungsi sebagai sumber informasi bergeraknya suatu barang atau jasa, serta melakukan pengolahan hasil-hasil pertanian baik itu pengolahan tingkat pertama maupun pengolahan tingkat lanjut. Selain itu lembaga pemasaran juga melakukan fungsi-fungsi pemasaran, yaitu: fungsi fisik, fungsi pertukaran dan fasilitas (Limbong dan Sitorus, 1988). Fungsi dari masing-masing lembaga pemasaran, berbeda satu dengan yang lain tergantung dari aktivitas yang dilakukan maupun skala usaha masing-masing (Soekartawi, 1989).

Efisiensi pemasaran dapat dibedakan atas efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis berarti pengendalian fisik dari produk yang mencakup hal-hal seperti prosedur teknis dan besarnya skala produksi dengan tujuan penghematan biaya pemasaran, seperti mengurangi kerusakan, mencegah merosotnya mutu barang dan menghemat tenaga kerja. Efisiensi ekonomis berarti bagaimana perubahan harga yang terjadi di satu rantai pemasaran dapat ditransmisikan dengan baik ke rantai pemasaran yang lain.

Terkait dengan penelitian ini, adanya ”kontrak kerjasama” dalam usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan dengan perusahaan inti, selain mempermudah peternak memperoleh input faktor yang diperlukan juga menimbulkan ketergantungan dalam pemasaran hasil. Perbedaan harga produk dan bertambah panjangnya saluran pemasaran ayam ras pedaging dapat terjadi. Harga produk yang lebih tinggi dan relatif panjangnya saluran pemasaran pada peternakan pola kemitraan menyebabkan marjin pemasaran pola ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan marjin pemasaran pola mandiri. Semakin besar ratio marjin pemasaran terhadap harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir


(42)

27

berarti bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer’s share) akan makin kecil.

Untuk melihat pemasaran ayam ras pedaging pola kemitraan dan pola mandiri maka digunakan analisis saluran pemasaran, analisis marjin pemasaran khususnya untuk melihat proporsi keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran serta analisis keterpaduan pasar untuk melihat efisiensi harganya. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 3.

3.5. Hipotesis

Berdasarkan uraian pada kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

1. Pendapatan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan lebih rendah

daripada pendapatan usahaternak ayam ras pedaging pola mandiri.

2. Bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer’s share) pola kemitraan

lebih kecil dibandingkan dengan pola mandiri.

3.6. Metode Analisis Data

Untuk menjawab tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui struktur kelembagaan usahaternak kemitraan digunakan analisis deskriptif. Sedangkan untuk tujuan penelitian yang kedua yaitu mengetahui mana yang lebih menguntungkan dari usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola mandiri yakni dilihat dari besarnya pendapatan peternak, efisiensi usahaternak dan efisiensi pemasaran digunakan analisis kuantitatif yaitu analisis pendapatan, R/C ratio, analisis saluran pemasaran (deskriptif), marjin pemasaran dan analisis keterpaduan pasar.


(43)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Peternak Pola Kemitraan

Perusahaan Mitra

Lembaga Pemasaran

Pasar Sapronak

Peternak Pola Mandiri

Pasar Konsumen Harga Output

(Penerimaan) Harga Input

(Biaya Produksi)

Analisis Kelembagaan:

Struktur Organisasi Kemitraan Perjanjian Kerjasama Kemitraan Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan

Persepsi dan Partisipasi Peserta Efisiensi Usahaternak:

R/C Ratio

Efisiensi Pemasaran:

Ratio Keuntungan/BiayaPemasaran Keterpaduan Pasar (IMC)


(44)

29

3.6.1. Analisis Deskriptif

Struktur kelembagaan ayam ras pedaging pola kemitraan dianalisis secara deskriptif. Hal-hal yang diuraikan untuk menjawab tujuan tersebut adalah (1) profil perusahaan mitra, (2) struktur organisasi pelaksana kemitraan, (3) aturan main kerjasama kemitraan, (4) peraturan kemitraan dan peran pemerintah, (5) pelaksanaan kerjasama dan tanggapan peserta kemitraan dan (7) manfaat kemitraan.

Selain digunakan untuk menganalisis struktur kelembagaan ayam ras pedaging pola kemitraan, analisis deskriptif juga digunakan untuk membandingkan kondisi saluran pemasaran ayam ras pedaging, antara pola mandiri dengan pola kemitraan (tujuan 2). Saluran pemasaran ayam ras pedaging merupakan jalur yang digunakan dalam proses penyampaian ayam ras pedaging dari peternak sampai ke konsumen akhir. Analisis terhadap pola saluran pemasaran digunakan untuk melihat jumlah dan perilaku pelaku pemasaran yang terlibat dalam proses penyampaian ayam ras pedaging. Pada umumnya panjang-pendeknya saluran pemasaran akan mempengaruhi harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir.

3.6.2. Analisis Kuantitatif

Untuk melihat mana yang lebih menguntungkan dari dua pola pengusahaan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar dilakukan dengan cara membandingkan pendapatan dan efisiensi biaya produksi terhadap penerimaannya antara pola mandiri dan pola kemitraan. Selain itu, pelaksanaan kemitraan juga memberikan pengaruh terhadap distribusi produk (pemasaran ayam ras pedaging) sehingga untuk melengkapi perbandingan dari sisi produksi juga dilakukan


(45)

perbandingan pemasaran ayam ras pedaging dari kedua pola pengusahaan. Analisis pemasaran yang dilakukan meliputi analisis terhadap saluran pemasaran (deskriptif) analisis marjin pemasaran dan analisis keterpaduan pasar.

1. Analisis Pendapatan Usahaternak

Analisis pendapatan usahaternak memerlukan dua keterangan pokok yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran (biaya-biaya) selama usahaternak dijalankan dalam satu siklus produksi, yakni 35 hari. Penerimaan usahaternak merupakan nilai produksi yang diperoleh dari produk total dikalikan dengan harga jual di tingkat peternak. Sedangkan biaya atau pengeluaran adalah total nilai penggunaaan sarana produksi peternakan, baik yang diperoleh dengan cara membeli tunai, sewa atau kredit selama proses produksi ayam ras pedaging berlangsung.

TR = Pa Qa ... (1)

dimana:

TR : Total penerimaan dari usahaternak ayam ras pedaging (Rp) Pa : Harga ayam ras pedaging (Rp/ekor)

Qa : Total produksi (ekor)

TC = FC + VC ... (2) FC = PsQs + PtpQtp + PtmQtm + PapQap ... (3)

VC = PbQb + PpQp + PovQov + PskmQskm + PgmQgm + PkdQkd + PgQg +

PlQl + PtkQtk ... (4)

dimana:

TC : Total biaya usahaternak ayam ras pedaging (Rp) FC : Total biaya tetap usahaternak ayam ras pedaging (Rp) VC : Total biaya variabel usahaternak ayam ras pedaging (Rp) Ps : Harga sewa kandang (Rp/buah/periode)


(46)

31

Qs : Total kandang (buah)

Ptp : Nilai depresiasi tempat pakan (Rp)

Qtp : Total tempat pakan (buah)

Ptm : Nilai depresiasi tempat minum (Rp)

Qtm : Total tempat minum (buah)

Pap : Nilai depresiasi alat pemanas (Rp)

Qap : Total alat pemanas (buah)

Pb : Harga DOC (Rp)

Qb : Total DOC (ekor)

Pp : Harga pakan (Rp)

Qp : Total pakan yang dipakai (kg)

Pov : Harga obat dan vaksin (Rp)

Qov : Total obat dan vaksin yang dihabiskan (ml)

Pskm : Harga sekam (Rp)

Qskm : Total sekam yang digunakan (kg)

Pgm : Harga gula merah (Rp)

Qgm : Total gula merah (kg)

Pkd : Harga kunyit dan daun pepaya (Rp)

Qkd : Total kunyit dan daun pepaya yang digunakan (kg)

Pg : Harga gas (Rp)

Qg : Total gas yang digunakan (tabung)

Pl : Harga listrik (Rp/kwh)

Ql : Total penggunaan listrik (kwh)

Ptk : Upah tenaga kerja (Rp)

Qtk : Total tenaga kerja (orang)

π

= TR - TC ... (5) dimana:

π

: Total pendapatan usahaternak ayam ras pedaging (Rp)

Untuk memudahkan analisis perbandingan penerimaan, biaya dan pendapatan usahaternak ayam ras pedaging antara pola mandiri dan pola


(47)

kemitraan maka semua penerimaan, biaya dan pendapatan dihitung per ekor ayam ras pedaging. Perhitungan biaya diasumsikan bahwa peternak membeli secara tunai.

2. R/C Ratio

Untuk mengukur efisiensi masing-masing usahaternak terhadap setiap penggunaan satu unit input maka digunakan nilai ratio antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya yang secara sederhana dapat diturunkan dari rumus:

TC TR Ratio

R/C = ... (6)

3. Analisis Marjin Pemasaran

Besarnya marjin pemasaran ayam ras pedaging dalam satu pola rantai pemasaran (saluran pemasaran) dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

=

=

+

= i n

1 i

i

i kp )

(bp

M ... (7)

dimana :

M : Marjin total dari satu saluran pemasaran lembaga pemasaran (Rp) bpi : Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran ke-i

(Rp)

kpi : Keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-i (Rp)

n : Jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu pola saluran pemasaran

Untuk mengetahui distribusi marjin pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu pola saluran pemasaran maka perlu dihitung proporsi biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran terhadap total marjin pemasaran dengan persamaan sebagai berikut:

% 100 x M bp

Sbp i


(48)

33

% 100 x M kp

Skp i

i = ... (9)

dimana :

Sbpi : Share biaya pemasaran yang dikeluarkan lembaga pemasaran ke-i

Skpi : Share keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-i

Sedangkan untuk melihat tingkat efisiensi biaya pemasaran yang dikeluarkan terhadap keuntungan pemasaran tiap-tiap lembaga pemasaran maka dalam analisis ini juga dihitung ratio keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran.

i i bp kp

kp/bpratio= ... (10)

Semua hasil perhitungan kemudian dibahas dengan cara membandingkan marjin pemasaran ayam ras pedaging pola mandiri dengan pola kemitraan.

4. Analisis Indeks Keterpaduan Pasar

Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga pemasaran tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Pada penelitian ini, analisis keterpaduan pasar berfungsi untuk mengetahui transmisi harga ayam ras pedaging dari tingkat pasar retail terhadap harga yang berlaku di tingkat peternak. Keterpaduan pasar dapat diduga dengan menggunakan model keterpaduan pasar autoregresi yang dikembangkan oleh Timmer (1987) dalam (Hoesin, 1994). Model ini dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar produsen dipengaruhi oleh harga di pasar acuan (retail) dengan mempertimbangkan harga di masa lalu dan harga saat ini. Model keterpaduan pasar autoregresi adalah sebagai berikut :


(49)

dimana :

Pft = Harga di pasar produsen(peternak) pada periode ke- t (Rp/kg)

Pft-1 = Lag harga di pasar produsen (peternak) pada periode ke- t-1

(Rp/kg)

Prt = Harga di pasar acuan (retail) pada periode ke- t (Rp/kg)

Prt-1 = Lag harga di pasar acuan (retail) pada periode ke- t-1 (Rp/kg)

Xt = Dummy kemitraan (1=peserta kemitraan, 0=mandiri)

et = Galat baku

Persamaan 11 diestimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan menggunakan program Minitab 13. Koefisien parameter yang diperoleh dari hasil estimasi digunakan untuk menghitung IMC (index market connection) yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

) d (d

) d (1 IMC

1 3

1

− +

= ... (12) Index market connection (IMC) adalah keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar konsumen dan nilai ini akan menunjukkan keefisienan (efisiensi harga) sistem suatu pasar. Jika IMC lebih kecil dari satu, menunjukkan bahwa integrasi pasar produsen dan pasar konsumen akan makin erat. Hal ini menunjukkan sistem pemasaran yang ada makin efisien karena informasi perubahan harga yang ada di pasar konsumen segera ditransmisikan ke pasar produsen. Sebaliknya Jika IMC > 1, menunjukkan tidak adanya keterkaitan (integrasi pasar) antara pasar konsumen dengan pasar produsen, dimana hal ini dicerminkan dari perubahan harga di pasar konsumen ditransmisikan terhadap harga di pasar produsen.

Koefisien d2 menunjukkan seberapa jauh perubahan harga di pasar


(50)

35

pasar jangka panjang dapat dicapai jika koefisien d2 ≤1. Perubahan harga yang

terjadi bersifat netral dalam proporsional persentase jika koefisien d2 = 1.

3.7. Metode Penelitian

3.7.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu bulan November sampai Desember 2003. Lokasi penelitian di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah ditentukan secara purposive yaitu di Kecamatan Tasikmadu, Kecamatan Kebakkramat dan Kecamatan Mojogedang dengan pertimbangan bahwa ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah potensial dengan perkembangan ternak ayam ras pedaging yang relatif besar di Kabupaten Karanganyar. Pertimbangan lainnya adalah di ketiga kecamatan tersebut terdapat dua pola pengusahaan ayam ras pedaging yang berbeda yaitu pola kemitraan dan pola mandiri sehingga lebih realistis untuk dilakukan analisis perbandingan terhadap kedua pola pengusahaan.

3.7.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh malalui wawancara langsung dengan responden (peternak, pedagang perantara dan karyawan perusahaan inti baik yang di lapangan maupun di kantor). Berdasarkan hasil survey awal di kecamatan lokasi penelitian (Kecamatan Tasikmadu, Kecamatan Kebakkramat dan Kecamatan Mojogedang), jumlah peternak pola mandiri sebanyak 6 orang sedangkan jumlah peternak pola kemitraan 16 orang. Untuk keperluan penelitian ini, seluruh peternak diambil sebagai responden (sensus). Pengambilan sampel pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer dilakukan secara purposive dengan pertimbangan


(51)

pedagang yang hanya melakukan transaksi secara langsung baik dengan peternak maupun pedagang perantara lain (snowball sampling).

Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan Jawa Tengah, Dinas Peternakan Kabupaten Karanganyar, Badan Pusat Statistik dan publikasi dari instansi terkait lainnya.


(52)

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Keadaan Geografis Karanganyar

Karanganyar merupakan salah satu kabupaten bagian selatan Provinsi Jawa Tengah, yang termasuk dalam wilayah Pembantu Gubernur Wilayah Surakarta. Kabupaten Karanganyar memiliki wilayah yang sangat beragam mulai dari perkotaan dengan segala kondisinya hingga kawasan pedesaan yang terpencil. Kabupaten Karanganyar terletak antara 1100 40’ – 1100 70’ Bujur Timur dan 70 28’ -70 46’ Lintang Selatan. Kabupaten Karanganyar memiliki luas 77 378.6374 ha. Letak geografis kabupaten ini di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Sukoharjo, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sragen, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali.

Kondisi geografis wilayah Kabupaten Karanganyar umumnya berbukit-bukit dengan ketinggian rata-rata 511 m di atas permukaan laut, beriklim tropis dengan temperatur 22oC - 31oC. Rata-rata curah hujan mencapai 1 855 mm dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari dan terendah pada bulan Juli dan Agustus.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Karanganyar adalah lahan pertanian, baik lahan kering maupun tanah persawahan. Rincian penggunaan tanah di Kabupaten Karanganyar secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Sebagian besar penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Karanganyar digunakan sebagai lahan sawah yaitu 22 856.33 ha atau mencapai 29.54 persen dari total wilayah sedangkan tanah yang digunakan sebagai bangunan dan pekarangan meliputi 26.76 persen dari total wilayah (20 704.95 ha). Penggunaan tanah untuk tegalan


(53)

dan kebun mencapai 17 952.44 ha (23.20 persen), 12 981.00 ha (16.78 persen)

digunakan untuk hutan negara dan perkebunan sedangkan sisanya, yaitu 2 762.35 ha (3.73 persen) digunakan untuk padang gembala, tambak, kolam dan

lain-lain.

Tabel 4. Persebaran Penggunaan Tanah di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 Kecamatan Tanah Sawah (Ha) Pekarangan/ Bangunan (Ha) Tegalan/ Kebun (Ha) Hutan Negara/ Perkebunan (Ha) Lain-lain (Ha) Jatipuro Jatiyoso Jumapolo Jumantono Matesih Tawangmangu Ngargoyoso Karangpandan Karanganyar Tasikmadu Jaten Colomadu Gondangrejo Kebakkramat Mojogedang Kerjo Jenawi 1 461.79 1 316.02 1 841.59 1 579.26 1 292.96 711.83 689.61 1 551.87 1 780.95 1 509.24 1 267.50 748.39 1 134.06 2 283.49 2 022.11 1 127.05 538.96 1 427.07 1 241.91 2 016.24 1 731.04 872 .91 624.83 838.07 1 151.16 1 504.73 833.02 1 075.65 676.37 1 696.02 1 009.86 2 048.25 1 212.28 746.57 978.86 2 913.05 1 595.91 1 881.43 223.79 1 325.18 1 271.23 542.93 572.21 80.04 44.79 62.75 2 677.54 231.31 851.98 708.26 1 991.18 49.51 1 025.00 0.00 0.00 91.00 4 225.48 3 560.66 40.61 122.00 0.64 0.00 4.60 0.00 0.00 254.32 1 395.30 2 211.89

120.66 222.87 113.44 163.83 146.10 115.88 174.42 124.54 325.11 338.65 166.93 72.07 172.48 121.11 23.63 240.94 119.74

Total 22 856.33

(29.54) 20 704.95 (26.76) 17.952.44 (23.20) 12 981.00 (16.78) 2 762.35 (3.73)

Sumber : BPS, 2005 (diolah)

Keterangan : Angka dalam kurung merupakan persentase dari total luas wilayah

4.2. Keadaan Demografi dan Ketenagakerjaan

Jumlah penduduk Kabupaten Karanganyar pada tahun 2004 menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 5. Jumlah penduduk Kabupaten Karanganyar pada akhir tahun 2004 sebanyak 830 640 jiwa yang terdiri dari 410 985 jiwa laki-laki dan 419 655 jiwa perempuan yang terhimpun dalam 202 884 rumah tangga. Kepadatan penduduk di Kabupaten Karanganyar pada akhir tahun 2004 mencapai 1 073 jiwa / km2.


(54)

39

Tabel 5. Persebaran Jumlah Keluarga dan Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004

No Kecamatan Jumlah Keluarga (KK) Penduduk Laki-laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Jumlah (Jiwa) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jatipuro Jatiyoso Jumapolo Jumantono Matesih Tawangmangu Ngargoyoso Karangpandan Karanganyar Tasikmadu Jaten Colomadu Gondangrejo Kebakkramat Mojogedang Kerjo Jenawi 10 295 8 192 13 094 12 540 9 412 10 420 7 898 8 209 18 645 13 404 13 113 14 520 13 168 14 453 14 340 7 736 6 445 18 772 20 154 23 076 23 441 22 168 21 791 17 095 20 367 34 918 26 905 31 556 28 761 31 537 28 215 31 016 17 871 13 342 18 781 19 718 23 182 23 874 22 312 22 591 17 389 21 176 37 194 27 396 34 544 27 036 32 047 28 743 31 228 18 788 13 658 37 553 39 872 46 258 47 315 44 480 44 382 34 484 41 543 72 112 54 301 68 100 53 797 63 584 56 958 62 242 36 659 27 000 Total 202 884 410 985 419 655 830 640

Sumber : BPS, 2005 (diolah)

Kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Karanganyar yaitu 72 112 jiwa (8.68 persen), kemudian Kecamatan Jaten sejumlah 68 100 jiwa (8.20 persen) dan Kecamatan Gondangrejo sebanyak 63 584 jiwa (7.65 persen). Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Jenawi yaitu 27 000 jiwa (3.25 persen), kemudian Kecamatan Ngargoyoso sejumlah 34 484 jiwa (4.15 persen), dan Kecamatan Kerjo yaitu 36 659 jiwa (4.41 persen).

Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa penduduk Kabupaten Karanganyar paling banyak berada pada usia produktif yaitu usia 15 tahun sampai 64 tahun. Jumlah penduduk usia produktif mencapai 67.25 persen dari jumlah penduduk atau sebanyak 558 587 jiwa. Usia produktif yang relatif besar ini merupakan


(55)

sumber tenaga kerja bagi sektor-sektor perekonomian sekaligus membawa konsekeuensi bagi Pemerintah Daerah dalam penyediaan lapangan kerja.

Tabel 6. Persebaran Jumlah Penduduk menurut Usia Anak, Usia Produktif dan Lanjut Usia di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004

No Kecamatan Penduduk Anak

(0 – 14 th)

Usia Produktif (15 - 64 th)

Lansia (64 th ke atas)

L P L P L P

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jatipuro Jatiyoso Jumapolo Jumantono Matesih Tawangmangu Ngargoyoso Karangpandan Karanganyar Tasikmadu Jaten Colomadu Gondangrejo Kebakkramat Mojogedang Kerjo Jenawi 4 558 4 956 5 770 6 188 5 731 5 861 4 445 5 117 9 168 7 202 8 875 7 561 9 119 7 574 8 545 4 746 3 594 4 528 4 843 5 620 6 052 5 523 6 721 4 385 5 056 9 744 6 960 8 879 7 413 9 016 7 453 8 475 4 647 3 544 12 665 13 568 15 471 15 661 14 948 14 438 11 485 13 868 23 939 18 288 23 053 17 790 20 669 19 061 20 579 11 711 8 760 12 675 13 208 15 662 15 898 15 168 14 347 11 788 14 526 25 481 18 096 23 869 18 096 23 139 18 610 20 754 12 534 9 078 1 549 1 630 1 835 1 592 1 489 1 492 1 155 1 382 1 811 1 415 1 628 1 410 1 749 1 580 1 892 1 414 988 1 578 1 667 1 900 1 926 1 621 1 523 1 216 1 594 1 969 1 634 1 796 1 497 1 892 1 680 1 997 1 607 1 036

Total 109 020 108 889 275 954 282 633 26 011 28 133

Sumber : BPS, 2005 (diolah)

Tabel 7. Persebaran Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut Matapencaharian di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2002-2004

Tahun Petani (jiwa) Buruh Tani (jiwa) Buruh Industri (jiwa) Buruh Bangunan (jiwa) Pedagang (jiwa) Lain-lain (jiwa) 2002 2003 2004 126.002 126.853 132.709 101.659 94.794 89.289 90.412 93.577 93.501 46.575 45.904 45.667 35.471 36.368 37.723 269.806 284.707 289.792

Sumber : BPS, 2005 (diolah)

Penggolongan tenaga kerja di Kabupaten Karanganyar pada Tahun 2004 disajikan pada Tabel 7. Sebagian besar penduduk Kabupaten Karanganyar bekerja di sektor pertanian yaitu sebagai petani dan buruh tani. Pada tahun 2002 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 227 661 jiwa (33.98 persen), tahun 2003 mengalami penurunan menjadi 221 647 jiwa (32.49 persen), tahun 2004 juga mengalami penurunan menjadi 221 998 jiwa (32.19 persen). Buruh


(56)

41

industri pada tahun 2002 sejumlah 90 412 jiwa (13.50 persen), tahun 2003 sejumlah 93 577 jiwa (13.72 persen), tahun 2004 sejumlah 93 501 jiwa (13.56 persen). Sedangkan buruh bangunan pada tahun 2002 tercatat sebanyak 46 575 jiwa (6.95 persen), tahun 2003 sebanyak 45 577 jiwa (6.73 persen dan tahun 2004 sebanyak 46 575 jiwa (6.75 persen). Selebihnya adalah pedagang, pengusaha, pekerja di sektor pengangkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan dan lain-lain.

4.3. Kondisi Perekonomian Wilayah

Kondisi perekonomian wilayah di Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk masing-masing sektor. Pertumbuhan PDRB dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004-2005

Lapangan Usaha

PDRB (juta Rp) Kontribusi

2005 (%) Pertumbuhan (%) 2004 2005 Pertanian

1.1 Tanaman Pangan 1.2 Tanaman Perkbn Rakyat 1.3 Tanaman Perkbn Besar 1.4 Peternakan

1.5 Kehutanan 1.6 Perikanan

Pertamb. dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bangunan

Perdagangan

Angkutan dan Perhubungan Lembaga Keuangan, Sewa Bangunan dan Jasa Persewaan Jasa-jasa 781 354.14 521 243.40 52 817.91 8 262.33 190 639.43 4 207.14 4 183.92 34 522.62 2 065 453.01 54 407.48 96 938.80 416 747.71 116 591.45 84 475.90 319 787.82 824 366.11 548 139.56 57 142.43 9 556.20 200 769.60 4 363.14 4 395.17 36 011.64 2 201 053.32 57 717.54 101 794.26 432 760.22 120 994.51 89 626.25 324 006.65 19.68 13.09 1.36 0.23 4.79 0.10 0.10 0.86 52.55 1.38 2.43 10.33 2.89 2.14 7.74 5.50 5.16 8.19 15.66 5.31 3.71 5.05 4.31 6.57 6.08 5.01 3.84 3.78 6.10 1.32 PDRB 3 970 278.92 4 188 330.50 100.00 5.49

Sumber : BPS, 2006 (diolah)

Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karanganyar pada tahun 2005 mencapai Rp 4 188 300.50 juta atau mengalami pertumbuhan sebesar 5.49 persen


(57)

dibandingkan tahun 2004, dimana pada tahun tersebut PDRB Karanganyar hanya Rp 3 970 278.92 juta. Jika dilihat dari kontribusi sektoral terhadap PDRB Kabupaten Karanganyar, sektor industri pengolahan merupakan kontributor utama dalam perekonomian daerah Kabupaten Karanganyar dengan pangsa sebesar 52.55 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian daerah sebagian besar dihasilkan oleh sektor industri pengolahan.

Sektor-sektor lain yang merupakan kontributor terbesar pada perekonomian daerah Karanganyar adalah sektor pertanian dan sektor perdagangan dengan pangsa masing-masing sebesar 19.68 persen dan 10.33 persen. Masih tingginya kontribusi sektor pertanian pada PDRB Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa pengembangan pada sektor pertanian masih memiliki peranan penting untuk menyokong perekonomian daerah. Kontribusi sektor-sektor yang lain mempunyai pangsa kurang dari 5 persen.

Diantara sub sektor-sub sektor dalam sektor pertanian, kontribusi sub sektor peternakan berada pada rangking kedua setelah tanaman pangan, yakni sebesar 4.79 persen. Dilihat dari laju pertumbuhannya, sub sektor peternakan juga memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sub sektor tanaman pangan, yakni dengan laju pertumbuhan 5.31 persen. Relatif besarnya kontribusi sub sektor peternakan terhadap perekonomian daerah dan tingginya laju pertumbuhan sub sektor ini, menunjukkan bahwa sub sektor peternakan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penghela perekonomian daerah.


(58)

43

4.4. Kondisi Sub Sektor Peternakan

Ternak yang banyak diusahakan di Kabupaten Karanganyar adalah sapi, kuda, kerbau, domba, kambing, ayam buras, ayam pedaging, babi, burung puyuh, itik dan kelinci. Dalam berusahaternak, sebagian penduduk hanya mengusahakannya secara sambilan untuk memanfaatkan waktu luang selain bertani. Tetapi, ada juga yang diusahakan secara intensif yaitu sebagai mata pencaharian pokok. Ternak yang diusahakan secara intensif biasanya ternak yang dapat berproduksi dengan cepat.

Salah satu jenis ternak yang diusahakan secara intensif di Kabupaten Karanganyar adalah ayam ras pedaging, dimana ayam ras pedaging ini dapat dipanen pada umur 28-40 hari. Perkembangan populasi ternak ayam ras pedaging dari tahun ke tahun disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Populasi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada Tahun 1998 - 2004

Tahun Populasi Ayam Ras Pedaging (Ekor)

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

802 705 1 177 035 1 532 816 1 874 150 1 874 000 1 875 210 1 070 000

Sumber : BPS berbagai terbitan

Rata-rata laju pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar selama kurun waktu 1998-2004 mencapai 9.37 persen. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1999 yakni 46.63 persen sedangkan laju pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu 42.94 persen. Penurunan populasi ayam ras pedaging yang relatif besar ini terjadi diduga karena adanya isu


(59)

flu burung yang sedang melanda Indonesia pada tahun 2004 sehingga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan daging ayam yang cukup besar.

4.5. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah peternak ayam ras pedaging dengan pola pengusahaan secara mandiri dan pola kemitraan. Pembahasan terhadap karakteristik responden meliputi umur dan tingkat pendidikan masing-masing responden. Hasil penelitian karakteristik responden dimaksudkan untuk melihat perbedaan responden pada masing-masing pola yang tersaji dalam uraian berikut ini.

Kelompok umur peternak pola mandiri memperlihatkan bahwa peternak terbanyak dijumpai pada kelompok umur antara 31 tahun sampai dengan 50 tahun (66.66 persen). Pada pola kemitraan, kelompok umur peternak lebih bervariasi walaupun pada dasarnya sama dengan pola mandiri, sebagian besar peternak berada pada kelompok umur 41-50 tahun (37.50 persen). Hal ini berarti sebagian besar peternak di Kabupaten Karanganyar (Baik pada pola mandiri maupun kemitraan) termasuk dalam kelompok produktif dan mempunyai kemauan yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan lebih mudah untuk menerima inovasi dan teknologi baru yang disampaikan kepada mereka. Untuk lebih jelasnya kelompok umur peternak disajikan pada Tabel 10.

Tingkat pendidikan responden turut menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menerima pengetehuan, dalam hal ini adopsi teknologi baru yang bermanfaat bagi perbaikan kegiatan usahaternak mereka. Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditempuh peternak responden pola mandiri sebagian besar adalah SMA atau sederajat (50.00 persen) sedangkan untuk pola


(60)

45

kemitraan, proporsi terbesar dari responden adalah yang menamatkan pendidikan setingkat SMA atau sederajat dan sarjana dengan proporsi yang imbang yaitu (31.25 persen). Jika dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh responden peternak dari kedua pola pengusahaan (mandiri dan kemitraan) maka responden peternak peserta kemitraan memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi, karena proporsi responden peternak kemitraan yang menamatkan pendidikan di perguruan tinggi (sarjana dan pascasarjana) mencapai 43.75 persen sementara untuk peternak pola mandiri hanya 33.33 persen.

Tabel 10. Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Kelompok Umur

Kelompok Umur (Tahun)

Pola Mandiri Pola Kemitraan Jumlah Peternak

(Orang) (%)

Jumlah Peternak

(Orang) (%) 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 - 2 2 1 1 0.00 33.33 33.33 16.67 16.67 2 3 6 4 1 12.50 18.75 37.50 25.00 6.25

Jumlah 6 100.00 16 100.00

Sumber : Data Primer, 2003 (diolah)

Tabel 11. Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan

Pola Mandiri Pola Kemitraan Jumlah Peternak

(Orang) (%)

Jumlah Peternak

(Orang) (%) SD atau sederajat

SMP atau sederajat SMA atau sederajat Sarjana Pascasarjana - 1 3 2 - 0.00 16.67 50.00 33.33 0.00 2 2 5 5 2 12.50 12.50 31.25 31.25 12.50

Jumlah 6 100.00 16 100.00

Sumber : Data Primer, 2003 (diolah)

Secara umum dari tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh peternak, baik pola mandiri maupun pola kemitraan, menunjukkan bahwa kemampuan peternak


(61)

untuk melakukan alih teknologi dan pengembangan usahaternak ayam ras pedaging di daerah penelitian relatif dapat diandalkan.


(62)

V. KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHATERNAK

AYAM RAS PEDAGING

5.1. Profil Perusahaan Inti

Perusahaan inti yang beroperasi di Kabupaten Karanganyar terdiri dari empat perusahaan yaitu Gema Usaha Ternak (anak cabang dari PT. Charoen Pokphand Indonesia), Bengawan (anak cabang dari PT. Japfa Comfeed Indonesia), Wonokoyo (anak cabang dari PT. Wonokoyo Jaya Corp) dan Anwar Sierad (anak cabang dari PT. Sierad Produce Tbk). Semua perusahaan inti ini merupakan perusahaan swasta.

Integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan induk dalam industri ayam ras pedaging ini disebabkan oleh adanya karakteristik dasar dari bisnis ayam ras pedaging yang berimplikasi pada pengelolaan bisnis secara terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Hal ini dilakukan perusahaan peternakan untuk menghindari resiko ekonomi dari proses produksi mulai pembibitan, industri pakan, budidaya, hingga pada industri hilirnya (pemotongan, pengolahan dan pemasaran) harus berada pada satu komando keputusan manajemen. Menurut Saptana, Sayuti dan Noekman (2002), selain terjadinya integrasi vertikal, ada indikasi bahwa perusahaan-perusahaan dalam industri perunggasan (PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Wonokoyo Jaya Corp dan PT. Sierad Produce Tbk.) membentuk kartel. Dalam kerjasama antar perusahaan yang tergabung dalam kartel akan diadakan kesepakatan-kesepakatan (kolusi) baik dalam penetapan harga, besarnya output, membagi pasar dan keputusan bisnis lainnya untuk menghindarkan terjadinya perang harga sehingga kesinambungan usaha mereka terjamin.


(1)

1 7100 11500 1

2 7100 11000 1

3 6900 11000 1

4 6600 10500 1

5 6600 10500 1

6 6500 10000 1

7 6500 10000 1

8 6800 11000 1

9 6900 11500 1

10 6900 11500 1

11 7300 13000 1

12 7100 12000 1

1 7000 11000 1

2 7000 11000 1

3 6800 10500 1

4 6500 10000 1

5 6600 10500 1

6 6500 10000 1

7 6500 10000 1

8 6800 11000 1

9 6800 11500 1

10 6700 11500 1

11 7200 12500 1

12 7000 11500 1

1 6900 11000 1

2 6900 10500 1

3 6700 10500 1

4 6300 10000 1

5 6600 10500 1

6 6500 10000 1

7 6500 10000 1

8 6700 10500 1

9 6700 11000 1

10 6700 11000 1

11 7200 12500 1

12 7000 11500 1

1 7000 11000 1

2 7000 11000 1

3 6900 11000 1

4 6500 10000 1

5 6700 10500 1

6 6600 10000 1

7 6600 10000 1

8 6700 10500 1

9 6700 11000 1

10 6700 11000 1

11 7300 13000 1


(2)

Lampiran 7. Lanjutan

Bulan HP HR Dummy

1 6900 11000 1

2 6900 10500 1

3 6700 10500 1

4 6300 10000 1

5 6500 10500 1

6 6400 10000 1

7 6400 10000 1

8 6600 10500 1

9 6700 11000 1

10 6800 11000 1

11 7300 13000 1

12 7100 11500 1

1 7000 11000 1

2 7100 11000 1

3 6800 10500 1

4 6500 10000 1

5 6700 10500 1

6 6500 10000 1

7 6500 10000 1

8 6700 11000 1

9 6800 11500 1

10 6900 11500 1

11 7300 13000 1

12 7100 12000 1

1 7000 11000 1

2 7000 10500 1

3 6800 10500 1

4 6500 10000 1

5 6700 10500 1

6 6500 10000 1

7 6500 10000 1

8 6800 11000 1

9 6900 11500 1

10 6900 11500 1

11 7400 13000 1

12 7200 12000 1

1 6900 11000 1

2 7000 10500 1

3 6700 10500 1

4 6300 10000 1

5 6500 10500 1

6 6300 10000 1

7 6300 10000 1

8 6800 11000 1

9 6800 11500 1

10 6800 11500 1

11 7300 13000 1


(3)

1 7100 11500 1

2 7000 10500 1

3 6800 10500 1

4 6500 10000 1

5 6800 11000 1

6 6600 10500 1

7 6600 10500 1

8 6900 11000 1

9 6900 11500 1

10 6900 11500 1

11 7400 13000 1

12 7200 12000 1

1 7000 11000 1

2 7000 10500 1

3 6800 10500 1

4 6600 10500 1

5 6800 11000 1

6 6600 10500 1

7 6600 10500 1

8 6900 11000 1

9 6900 11500 1

10 6900 11500 1

11 7400 13000 1

12 7200 12000 1

1 7000 11000 1

2 7000 10500 1

3 6800 10500 1

4 6600 10500 1

5 6800 11000 1

6 6600 10500 1

7 6600 10500 1

8 6900 11000 1

9 6900 11500 1

10 6900 11500 1

11 7400 13000 1

12 7200 12000 1

1 7000 11000 1

2 7000 10500 1

3 6800 10500 1

4 6600 10500 1

5 6800 11000 1

6 6500 10500 1

7 6500 10000 1

8 6900 11000 1

9 6900 11500 1

10 6900 11500 1

11 7300 13000 1


(4)

Lampiran 7. Lanjutan

Bulan HP HR Dummy

1 7300 11000 0

2 7200 10500 0

3 7100 10000 0

4 7000 10000 0

5 7000 10500 0

6 6000 10000 0

7 6000 10000 0

8 6500 10500 0

9 7200 11500 0

10 7100 11500 0

11 8000 13000 0

12 7500 12000 0

1 7200 11000 0

2 7100 11000 0

3 7000 10500 0

4 6800 10000 0

5 6800 10000 0

6 6000 10000 0

7 6000 10000 0

8 6500 11000 0

9 7000 11000 0

10 7000 11000 0

11 7500 12500 0

12 7500 12000 0

1 7200 11500 0

2 7100 11000 0

3 7000 10500 0

4 6800 10000 0

5 6800 10000 0

6 6000 10000 0

7 6000 10000 0

8 6500 11000 0

9 7100 11500 0

10 7100 11500 0

11 8000 13000 0

12 8000 12500 0

1 7100 11000 0

2 7000 10500 0

3 7000 10000 0

4 6800 10000 0

5 6800 10500 0

6 6000 10000 0

7 6000 10000 0

8 6500 11000 0

9 7100 11500 0

10 7100 11500 0

11 8000 13000 0


(5)

1 7000 11000 0

2 7000 10500 0

3 7000 10000 0

4 7000 10500 0

5 7000 11500 0

6 6000 10000 0

7 6000 10000 0

8 6000 10500 0

9 7000 11000 0

10 7000 11000 0

11 7500 12500 0

12 7500 12000 0

1 7200 11500 0

2 7000 10500 0

3 7000 10000 0

4 6800 10000 0

5 6800 10500 0

6 6000 10000 0

7 6000 10000 0

8 6000 10500 0

9 7000 11000 0

10 7000 11000 0

11 7500 12500 0

12 7500 12000 0

Keterangan :

Dummy Mandiri

: 0

Dummy Kemitraan

: 1

HP

: Harga Peternak


(6)

Lampiran 8.

Hasil Estimasi Model Keterpaduan Pasar Ayam Ras Pedaging

Minitab Project Report

Regression Analysis: PF-Lag PF versus Lag PF-Lag PR, PR-Lag PR, Dummy

The regression equation is

PF-Lag PF = 2503 - 0.701 Lag PF-Lag PR + 0.408 PR-Lag PR - 0.488 Lag PR - 82.5 Dummy

Predictor Coef SE Coef T P Constant 2502.7 217.6 11.50 0.000 Lag PF-L -0.70143 0.05070 -13.84 0.000 PR-Lag P 0.40828 0.01925 21.21 0.000 Lag PR -0.48763 0.03468 -14.06 0.000 Dummy -82.49 29.05 -2.84 0.005 S = 207.7 R-Sq = 98.9% R-Sq(adj) = 98.9% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 4 1007277685 251819421 5839.36 0.000 Residual Error 259 11169247 43125

Total 263 1018446932 Source DF Seq SS Lag PF-L 1 784729174 PR-Lag P 1 213950547 Lag PR 1 8250206 Dummy 1 347757

Keterangan :

Pft = Harga di pasar produsen (peternak) pada periode ke- t

(Rp/kg)

Pft-1 = Lag harga di pasar produsen (peternak) pada periode

ke- t-1 (Rp/kg)

Prt = Harga di pasar konsumen (retail) pada periode ke- t

(Rp/kg)

Prt-1 = Lag harga di pasar konsumen (retail) pada periode ke-

t-1 (Rp/kg)