Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam berinteraksi dengan lingkungannya individu memiliki suatu kerangka acuan frame of reference mengenai bagaimana individu tersebut harus berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkannya serta apa yang diharapkan orang lain dari dirinya. Fitts dalam Agustiani, 2006, menjelaskan kerangka acuan frame of reference tersebut dengan konsep diri. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dia peroleh dari interaksi dengan lingkungan Agustiani, 2006. Pengertian tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh pendapat Stuart dan Sundeen dalam Keliat, 1992, bahwa konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Mead Calhoun Acocella, 1995 menjelaskan bahwa konsep diri berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang lain terhadap kita; kedua melalui internalisasi norma masyarakat. Dengan kata lain, konsep diri merupakan hasil belajar melalui hubungan individu dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan istilah “looking glass self” yang dikemukakan oleh Cooley Baumeister, 1999, yaitu ketika individu memandang dirinya berdasarkan Universitas Sumatera Utara interpretasi dari pandangan orang lain terhadap dirinya. Dalam hal ini interaksi yang terjadi antara individu dengan lingkungannya akan menjadi cermin bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan dirinya sendiri. Menurut Calhoun dan Accocella 1995, konsep diri terdiri dari tiga dimensi yaitu pengetahuan terhadap diri sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri dan penilaian tentang diri sendiri. Berdasarkan ketiga dimensi konsep diri tersebut, Calhoun dan Accocella 1995 membagi konsep diri menjadi dua jenis yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Individu dengan konsep diri positif menerima dirinya apa adanya, mereka mengetahui dan memahami diri mereka, mereka juga mampu membuat penilaian yang positif mengenai diri mereka serta membuat tujuan-tujuan hidup yang sesuai dengan realitas dan kemungkinan dapat dicapai. Sedangkan individu dengan konsep diri negatif terdiri dari dua tipe, yaitu individu yang benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya dan individu yang pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat. Konsep diri berkembang sesuai dengan informasi yang diperoleh individu dari beberapa sumber. Beberapa hal yang menjadi sumber konsep diri seseorang antara lain adalah orang tua, teman sebaya, masyarakat serta proses pembelajaran Calhoun dan Accocela, 1990. Informasi yang diperoleh individu dari sumber tersebut adalah berupa penilaian atas dirinya, baik penilaian positif maupun pernilaian negatif. Universitas Sumatera Utara Masyarakat sebagai salah satu sumber pembentukan konsep diri, pada umumnya memberikan penilaian yang negatif terhadap individu atau hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan keyakinan yang dimilikinya. Oleh sebab itu masyarakat menganggap pekerjaan seks komersial sebagai hal yang buruk, menyalahi norma dan ajaran agama. Dalam pekerjaan ini, aktivitas seksual yang selayaknya dilakukan oleh pasangan yang terikat dalam hubungan pernikahan, menjadi suatu hal yang dapat diperjualbelikan seperti halnya sebuah komoditas perdagangan. Individu yang melakukan pekerjaan ini pun mendapat penilaian perlakuan yang buruk dari masyarakat. Mereka dianggap sebagai sampah masyarakat, biang penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial. Rosenberg, 2008 Pekerjaan seks komersial merupakan suatu pekerjaan dimana terjadi pertukaran layanan jasa seksual untuk memperoleh pembayaran atau material tertentu, sedangkan pelaku pekerjaan seks komersial ini disebut dengan Pekerja Seks Komersial Lim, 1998. Budiyanto 2003 mendefenisikan Pekerja Seks Komersial PSK sebagai seseorang yang memperjual-belikan tubuh, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan memperoleh imbalan pembayaran. Banyak pandangan yang diberikan masyarakat terhadap para pekerja seks komersial. Sebagian besar merupakan pandangan yang negatif yang menolak keberadaan pekerja seks komersial dan berusaha untuk menghindari adanya fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung keberadaan mereka, seperti penolakan terhadap gagasan pendirian lokalisasi di beberapa tempat. Pihak yang menolak Universitas Sumatera Utara keberadaan pekerja seks ini menganggap pekerjaan sebagai pekerja seks sebagai pekerjaan maksiat dan pekerjaan yang paling nista. Mereka memandang pekerja seks komersial sebagai biang dari penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial. Masyarakat cenderung menjauhi dan mengucilkan para PSK dari pergaulan di lingkungan mereka. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut: “PSK? Kok bisa ,ya, mereka melakukan kerjaan kayak gitu? Kasian kali keluarganya yang dikasih makan pake uang dari situ.” “Udah capek-capek orangtuanya nyekolahin dia tapi dia malah jadi pelacur Yang gimananya perasaannya itu? Kayak gak ada pekerjaan lain aja” “Pelacur ‘kan salah satu penyebar penyakit AIDS, kalo udah pernah jadi pelanggannya, bisa kena lho..” “Jangan sampelah ada teman kita kayak gitu, malu-maluin aja” Komunikasi personal, Mei 2009 Sementara itu, ada juga pihak yang membela para pekerja seks komersial. Menurut mereka, kehadiran pekerja seks komersial bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya biasanya kaum laki-laki dan tanpa adanya penyaluran seperti itu, dikhawatirkan para pelanggannya akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik. Bagi pihak tersebut, pekerja seks komersial tidak berbeda dengan orang lain yang melakukan pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut: “Sex work is acceptable, but only within the framework of economic need and only if there is ultimately the intention to stop.” Rosenberg, 2008 Universitas Sumatera Utara Terdapat beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai PSK, diantaranya karena motif ekonomi, penipuan dan kekerasan seksual Vanwesenbeeck, 2001. Mereka yang melakukannya karena motif ekonomi umumnya adalah orang-orang yang berasal dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah, yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Sebagian lagi yang bekerja sebagai PSK karena korban penipuan, pada umumnya merupakan korban perdagangan manusia. Selain karena dua alasan di atas, terdapat juga orang yang memilih menjadi PSK karena kekerasan seksual yaitu menjadi korban kekerasan seksual terutama pada masa kanak-kanak. Namun faktor ini tidak terlalu banyak ditemukan di antara para pekerja seks komersial. Berbagai alasan yang mendorong seseorang untuk bekerja sebagai PSK tidak dapat menjadi pembenaran bagi mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut. Mereka menyadari penilaian buruk yang diberikan masyarakat sehingga dalam interaksinya di lingkungan, mereka cenderung berusaha menutupi pekerjaannya sebagai PSK, terutama di lingkungan keluarga dan tempat tinggal, untuk menghindari keterasingan dari lingkungan tersebut Iwansain, 2007. Sikap menutupi pekerjaan tersebut juga dilakukan oleh D, yang telah delapan tahun melakukan pekerjaan sebagai seorang pekerja seksual komersil. D melakukan pekerjaan tersebut tanpa sepengetahuan keluarganya di kampung. D hanya memberitahu keluarganya bahwa dirinya bekerja sebagai pegawai hotel. D berusaha untuk menutupi pekerjaannya yang sebenarnya karena tidak ingin keluarganya marah dan sakit hati karena selama ini dia telah membantu Universitas Sumatera Utara keluarganya itu dari uang haram. D tidak ingin keluarganya kecewa padanya, mengingat dulu D dianggap sebagai imam perempuan di keluarganya. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal pun tidak mengetahui pekerjaan D yang sebenarnya. Menurut D, dirinya bergaul dengan baik dengan masyarakat di tempat tinggalnya, bahkan D mengikuti kegiatan pengajian di lingkungannya yang diadakan dua kali dalam sebulan. D sadar jika masyarakat mengetahui pekerjaannya yang sebenarnya, dia akan mendapat cemoohan dan akan dikucilkan oleh masyarakat. Sebelum melakukan pekerjaan tersebut D merupakan seorang wanita yang taat terhadap ajaran agamanya termasuk menjaga penampilannya dengan menggunakan kerudung. Namun masalah perceraiannya membuat D berubah 180 derajat dan untuk membiayai kebutuhannya D berganti-ganti pekerjaan hingga akhirnya terjerumus ke dalam dunia prostitusi dan menjadi seorang pekerja seks komersil. Menurutnya menjadi pekerja seks dapat memperoleh penghasilan besar dalam waktu yang singkat. D sempat bekerja selama empat tahun sebagai penyanyi bar yang juga memberikan layanan seks kepada pelanggannya. Berbagai hal dialami D saat menjadi penyanyi bar, minuman keras dan obat-obat terlarang menjadi hal yang biasa baginya. D kemudian mencari pekerjaan baru yaitu menjadi sebagai pemijat di salah satu hotel yang juga memberikan layanan seks. D sempat mengikuti kursus singkat untuk mendapatkan sertifikat sebagai pemijat yang menjadi salah satu syarat untuk pekerjaan tersebut. Kontrak pekerjaan yang berakhir dalam waktu setahun membuat D berpindah-pindah hotel, bahkan D sempat bekerja di salah satu hotel di Pekan Baru. Selama bekerja sebagai pekerja seks D sempat Universitas Sumatera Utara mendapat beberapa tawaran untuk membuka usaha prostitusinya sendiri. Meskipun D menyadari bahwa dengan membuka usaha prostitusi dia akan mendapatkan uang banyak dengan mudah namun D selalu menolak setiap tawaran tersebut dengan alasan tidak ingin terikat. D tetap lebih memilih untuk menjadi ‘pekerja’. Sejak tahun 2007 lalu, D sering bergabung dengan LSM tertentu untuk memberikan penyuluhan mengenai HIVAIDS kepada para pekerja seks. D memahami bahwa pekerjaan sebagai PSK sangat dekat dengan penyakit berbahaya tersebut oleh sebab itu D berbagi pengetahuan kepada teman-temannya tentang bahaya HIVAIDS dan pencegahannya. D juga sering memberikan penyuluhan kepada teman-temannya di luar kegiatan LSM serta mengajak teman- temannya memeriksakan diri ke puskesmas terdekat. Awalnya D bekerja seperti itu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, namun D mulai menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu keluarganya di kampung. D juga membawa adiknya ke kota untuk kuliah di sebuah universitas negeri di kota Medan. Saat ini D bekerja keras untuk membiayai kuliah adiknya itu serta menabung untuk masa depannya sendiri bersama dengan ibunya yang juga akan tinggal bersamanya. D sedang mempersiapkan diri untuk meninggalkan dunia prostitusi yang saat ini digelutinya. D bercita-cita untuk membuka usaha grosir dengan modal yang sedang dikumpulkannya saat ini. Meski menjadi seorang PSK, D mampu mengembangkan konsep diri yang positif. Hal ini terlihat dari bagaimana D memahami dan menerima kondisinya sebagai PSK yangcenderung dinilai buruk oleh masyarakat, selain itu D juga Universitas Sumatera Utara mampu membentuk penilain yang positif mengenai dirinya sebagai seorang PSK. Bahkan di tengah kehidupannya yang bisa dikatakan sulit, D tidak putus asa dan dia tetap memiliki harapan serta keyakinan bahwa dirinya mampu mencapai harapan tersebut. Hal ini dapat diperoleh dari beberapa kutipan wawancara berikut ini: “Yah, kakak sadar ini salah tapi kakak ngga nyesal udah masuk di dunia prostitusi. Apalagi setelah bergabung dengan orang-orang P3MN.. kakak jadi bisa membantu sesama PSK dalam hal menjaga kesehatan.” w1b0621-0626 “Tapi kakak gak mau sombong..kakak tau itu semua uang haram. Makanya sebisa mungkin kakak tutupin keadaan kakak yang sebenarnya.” w1b0574-0578 “Kakak mau suatu saat kakak berhenti dan menikah lagi sama orang yang baik dan bisa menerima kakak apa adanya, punya anak dan kerja yang lain. Kakak itu berencana nanti kalo udah berhenti kakak akan buka toko grosir. Makanya sekarang penghasilan yang kakak terima meskipun gak banyak tapi kakak selalu berusaha menyisihkan sedikit untuk modal kakak kalo udah berhenti nanti.” w1b0753-0763 “Saya mengerti kalo orang sering mencibir pekerja seperti saya ini, apalagi kalo sampe ada yang nganggap sebagai sampah masyarakat.. pekerjaan seperti ini kalo bisa dibilang ya dek, melanggar norma, apalagi kalo ngomong soal agama ya, dek, agama mana yang mengijinkan umatnya kerja seperti ini.” w1b0373-0380 Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bagaimana D menerima dirinya apa adanya dan mampu membuat penilaian yang positif mengenai dirinya serta membuat tujuan-tujuan hidupnya yang sesuai dengan realitas dengan melakukan persiapan untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Sesuai dengan pendapat Calhoun dan Accocella 1995 sebelumnya, apa yang dilakukan D tersebut merupakan ciri bahwa D mengembangkan konsep diri yang positif mengenai dirinya. Universitas Sumatera Utara Sikap D dalam mengembangkan konsep diri positif tersebut merupakan hal yang jarang terjadi di antara para PSK, mengingat berbagai hal dan pandangan negatif yang dialami para PSK dan sudah sewajarnya bila para PSK tersebut mengembangkan konsep diri yang negatif.

B. Perumusan Permasalahan