Gambaran Konsep Diri Pekerja Seks Komersial di Kota Medan.

(1)

KONSEP DIRI WANITA PEKERJA SEKS KOMERSIAL

(Studi Kasus Pada Seorang PSK)

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

KRISTINA NOVA HARIANJA

041301065

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2009/2010


(2)

Abstrak Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Oktober 2009

Kristina N Harianja : 041301065

Konsep Diri Yang Positif Pada Wanita Pekerja Seks Komersial 77 halaman + 1 tabel + lampiran

Bibliografi: (1969-2008)

Pada umumnya masyarakat menganggap pekerjaan seks komersial sebagai hal yang buruk, menyalahi norma dan ajaran agama. Individu yang melakukan pekerjaan ini pun mendapat penilaian perlakuan yang buruk dari masyarakat. Mereka dianggap sebagai sampah masyarakat, biang penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial. Pandangan masyarakat seperti yang diberikan kepada pekerja seks komersial tersebut, merupakan salah satu bentuk pengaruh lingkungan dalam terbentuknya konsep diri para pekerja seks komersial. Konsep diri didefenisikan sebagai pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1990). D merupakan salah satu PSK yang mampu mengembangkan konsep diri yang positif mengenai dirinya. Sikap D dalam mengembangkan konsep diri positif tersebut merupakan hal yang jarang terjadi di antara para PSK, mengingat berbagai hal dan pandangan negatif yang dialami para PSK dan sudah sewajarnya bila para PSK tersebut mengembangkan konsep diri yang negatif. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana pembentukan konsep diri positif pada PSK.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengambilan sampel ekstrim atau menyimpang. Pendekatan ini berfokus pada kasus yang khusus agar dapat memahami individu yang dianggap menampilkan ciri-ciri ekstrim. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah wawancara secara mendalam. Penelitian ini melibatkan 1 (satu) orang wanita pekerja seks komersial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dapat membangun konsep dirinya yang positif melalui informasi-informasi positif mengenai dirinya yang diperolehnya dari hasil interaksinya dengan orang-orang di lingkungan sosialnya.

Implikasi penelitian ini berguna untuk memberikan gambaran tentang bagaimana seorang pekerja seks komersial dapat membentuk konsep diri yang positif.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Seminar dengan judul “Gambaran Konsep Diri Pekerja Seks Komersial di Kota Medan” tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Saya mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tugas ini. Terkhusus kepada orang tua saya yang selama ini mendukung baik melalui doa dan materi. Saya juga tidak lupa ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang membantu langkah penulis dalam menyelesaikan tugas ini:

1. Bapak Prof. Dr. Chaerul Yoel, Sp. A(K), selaku dekan fakultas Psikologi USU.

2. Dosen pembimbing Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog yang telah banyak memberi masukan dan membentuk saya untuk lebih memahami makna penelitian ini sehingga selesai pengerjaannya.

3. Dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji saya. Terima kasih atas bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama menguji saya. 4. Juliana I. Saragih S.Psi, dosen pembimbing akademik saya yang telah

menyemangati dan memberikan banyak arahan kepada saya selama mengikuti perkuliahan di kampus Psikologi USU.

5. Mbak D yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membagikan pengalaman hidupnya.


(4)

6. Bang Ardyansah, dan seluruh staf LSM H2O yang telah banyak membantu saya dalam proses pencarian responden untuk penelitian yang saya lakukan. 7. Bang Hengky dan teman-teman dari LSM Galatea atas bantuan dan saran yang

diberikan dalam proses pencarian responden untuk penelitian yang saya lakukan.

8. Teman-teman seperjuangan saya yang telah memberikan saya banyak bantuan informasi dan dukungan motivasi sehingga saya tetap bersemangat mengerjakan dan menyelesaikan tugas ini.

9. Seluruh keluarga besar Psikologi USU

10.Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Keluasan hijaunya padang rumput belum mampu saya tandingi. Saya sadari bahwa isi dari hasil penelitian saya ini belum sempurna adanya, maka dari itu saya memohon untuk selalu mendapatkan bimbingan agar lebih baik kedepannya. Kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pihak manapun akan sangat saya harapkan. Keterbatasan saya selaku manusia yang tidak lepas dari kesalahan sudi kiranya untuk dimaafkan.

Akhirnya, saya berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Medan, Oktober 2009 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C Tujuan Penelitian ... 9

D Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Konsep Diri ... 12

A.1. Pengertian Konsep Diri ... 12

A.2. Pembentukan Konsep Diri ... 14

A.3. Dimensi-Dimensi Konsep Diri ... 14

A.4. Sumber Informasi Untuk Konsep Diri ... 15

A.5. Jenis-Jenis Konsep Diri ... 16

B. Pekerja Seks Komersial ... 17

B.1. Pengertian Pekerja Seks Komersial ... 17

2. Latar Belakang Dan Motivsi Pekerja Seks Komersial ... 19


(6)

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

A. Metode Penelitian ... 23

B. Responden Penelitian ... 24

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 24

2. Jumlah Responden Penelitian ... 25

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian ... 25

C. Metode Pengumpulan Data ... 26

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 27

1. Alat Perekam... 27

2. Pedoman Wawancara ... 27

3. Catatan Lapangan... 28

E. Kredibilitas dan Dependabilitas Penelitian ... 28

1. Kredibilitas Penelitian ... 28

2. Dependabilitas Penelitian ... 30

F. Prosedur Penelitian ... 30

1. Tahap Pralapangan ... 30

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 31

3. Tahap Pencatatan Data ... 32

G. Metode Analisis Data ... 32

BAB IV HASIL ANALISIS DATA ... 36

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 36


(7)

C. Data Wawancara ... 45

D. Anlisis Data... 59

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Diskusi ... 71

C. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL


(9)

Abstrak Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Oktober 2009

Kristina N Harianja : 041301065

Konsep Diri Yang Positif Pada Wanita Pekerja Seks Komersial 77 halaman + 1 tabel + lampiran

Bibliografi: (1969-2008)

Pada umumnya masyarakat menganggap pekerjaan seks komersial sebagai hal yang buruk, menyalahi norma dan ajaran agama. Individu yang melakukan pekerjaan ini pun mendapat penilaian perlakuan yang buruk dari masyarakat. Mereka dianggap sebagai sampah masyarakat, biang penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial. Pandangan masyarakat seperti yang diberikan kepada pekerja seks komersial tersebut, merupakan salah satu bentuk pengaruh lingkungan dalam terbentuknya konsep diri para pekerja seks komersial. Konsep diri didefenisikan sebagai pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1990). D merupakan salah satu PSK yang mampu mengembangkan konsep diri yang positif mengenai dirinya. Sikap D dalam mengembangkan konsep diri positif tersebut merupakan hal yang jarang terjadi di antara para PSK, mengingat berbagai hal dan pandangan negatif yang dialami para PSK dan sudah sewajarnya bila para PSK tersebut mengembangkan konsep diri yang negatif. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana pembentukan konsep diri positif pada PSK.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengambilan sampel ekstrim atau menyimpang. Pendekatan ini berfokus pada kasus yang khusus agar dapat memahami individu yang dianggap menampilkan ciri-ciri ekstrim. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah wawancara secara mendalam. Penelitian ini melibatkan 1 (satu) orang wanita pekerja seks komersial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dapat membangun konsep dirinya yang positif melalui informasi-informasi positif mengenai dirinya yang diperolehnya dari hasil interaksinya dengan orang-orang di lingkungan sosialnya.

Implikasi penelitian ini berguna untuk memberikan gambaran tentang bagaimana seorang pekerja seks komersial dapat membentuk konsep diri yang positif.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam berinteraksi dengan lingkungannya individu memiliki suatu kerangka acuan (frame of reference) mengenai bagaimana individu tersebut harus berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkannya serta apa yang diharapkan orang lain dari dirinya. Fitts (dalam Agustiani, 2006), menjelaskan kerangka acuan (frame of reference) tersebut dengan konsep diri. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dia peroleh dari interaksi dengan lingkungan (Agustiani, 2006). Pengertian tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh pendapat Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1992), bahwa konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya.

Mead (Calhoun & Acocella, 1995) menjelaskan bahwa konsep diri berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang lain terhadap kita; kedua melalui internalisasi norma masyarakat. Dengan kata lain, konsep diri merupakan hasil belajar melalui hubungan individu dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan istilah “looking glass self” yang dikemukakan oleh Cooley (Baumeister, 1999), yaitu ketika individu memandang dirinya berdasarkan


(11)

interpretasi dari pandangan orang lain terhadap dirinya. Dalam hal ini interaksi yang terjadi antara individu dengan lingkungannya akan menjadi cermin bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan dirinya sendiri.

Menurut Calhoun dan Accocella (1995), konsep diri terdiri dari tiga dimensi yaitu pengetahuan terhadap diri sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri dan penilaian tentang diri sendiri. Berdasarkan ketiga dimensi konsep diri tersebut, Calhoun dan Accocella (1995) membagi konsep diri menjadi dua jenis yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Individu dengan konsep diri positif menerima dirinya apa adanya, mereka mengetahui dan memahami diri mereka, mereka juga mampu membuat penilaian yang positif mengenai diri mereka serta membuat tujuan-tujuan hidup yang sesuai dengan realitas dan kemungkinan dapat dicapai. Sedangkan individu dengan konsep diri negatif terdiri dari dua tipe, yaitu individu yang benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya dan individu yang pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

Konsep diri berkembang sesuai dengan informasi yang diperoleh individu dari beberapa sumber. Beberapa hal yang menjadi sumber konsep diri seseorang antara lain adalah orang tua, teman sebaya, masyarakat serta proses pembelajaran (Calhoun dan Accocela, 1990). Informasi yang diperoleh individu dari sumber tersebut adalah berupa penilaian atas dirinya, baik penilaian positif maupun pernilaian negatif.


(12)

Masyarakat sebagai salah satu sumber pembentukan konsep diri, pada umumnya memberikan penilaian yang negatif terhadap individu atau hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan keyakinan yang dimilikinya. Oleh sebab itu masyarakat menganggap pekerjaan seks komersial sebagai hal yang buruk, menyalahi norma dan ajaran agama. Dalam pekerjaan ini, aktivitas seksual yang selayaknya dilakukan oleh pasangan yang terikat dalam hubungan pernikahan, menjadi suatu hal yang dapat diperjualbelikan seperti halnya sebuah komoditas perdagangan. Individu yang melakukan pekerjaan ini pun mendapat penilaian perlakuan yang buruk dari masyarakat. Mereka dianggap sebagai sampah masyarakat, biang penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial. (Rosenberg, 2008)

Pekerjaan seks komersial merupakan suatu pekerjaan dimana terjadi pertukaran layanan jasa seksual untuk memperoleh pembayaran atau material tertentu, sedangkan pelaku pekerjaan seks komersial ini disebut dengan Pekerja Seks Komersial (Lim, 1998). Budiyanto (2003) mendefenisikan Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagai seseorang yang memperjual-belikan tubuh, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan memperoleh imbalan pembayaran.

Banyak pandangan yang diberikan masyarakat terhadap para pekerja seks komersial. Sebagian besar merupakan pandangan yang negatif yang menolak keberadaan pekerja seks komersial dan berusaha untuk menghindari adanya fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung keberadaan mereka, seperti penolakan terhadap gagasan pendirian lokalisasi di beberapa tempat. Pihak yang menolak


(13)

keberadaan pekerja seks ini menganggap pekerjaan sebagai pekerja seks sebagai pekerjaan maksiat dan pekerjaan yang paling nista. Mereka memandang pekerja seks komersial sebagai biang dari penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial. Masyarakat cenderung menjauhi dan mengucilkan para PSK dari pergaulan di lingkungan mereka. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut:

“PSK? Kok bisa ,ya, mereka melakukan kerjaan kayak gitu? Kasian kali keluarganya yang dikasih makan pake uang dari situ.”

“Udah capek-capek orangtuanya nyekolahin dia tapi dia malah jadi pelacur!

Yang gimananya perasaannya itu? Kayak gak ada pekerjaan lain aja!”

“Pelacur ‘kan salah satu penyebar penyakit AIDS, kalo udah pernah jadi pelanggannya, bisa kena lho..”

“Jangan sampelah ada teman kita kayak gitu, malu-maluin aja!” (Komunikasi personal, Mei 2009)

Sementara itu, ada juga pihak yang membela para pekerja seks komersial. Menurut mereka, kehadiran pekerja seks komersial bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki) dan tanpa adanya penyaluran seperti itu, dikhawatirkan para pelanggannya akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik. Bagi pihak tersebut, pekerja seks komersial tidak berbeda dengan orang lain yang melakukan pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut:

“Sex work is acceptable, but only within the framework of economic need and only if there is ultimately the intention to stop.”


(14)

Terdapat beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai PSK, diantaranya karena motif ekonomi, penipuan dan kekerasan seksual (Vanwesenbeeck, 2001). Mereka yang melakukannya karena motif ekonomi umumnya adalah orang-orang yang berasal dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah, yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Sebagian lagi yang bekerja sebagai PSK karena korban penipuan, pada umumnya merupakan korban perdagangan manusia. Selain karena dua alasan di atas, terdapat juga orang yang memilih menjadi PSK karena kekerasan seksual yaitu menjadi korban kekerasan seksual terutama pada masa kanak-kanak. Namun faktor ini tidak terlalu banyak ditemukan di antara para pekerja seks komersial.

Berbagai alasan yang mendorong seseorang untuk bekerja sebagai PSK tidak dapat menjadi pembenaran bagi mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut. Mereka menyadari penilaian buruk yang diberikan masyarakat sehingga dalam interaksinya di lingkungan, mereka cenderung berusaha menutupi pekerjaannya sebagai PSK, terutama di lingkungan keluarga dan tempat tinggal, untuk menghindari keterasingan dari lingkungan tersebut (Iwansain, 2007).

Sikap menutupi pekerjaan tersebut juga dilakukan oleh D, yang telah delapan tahun melakukan pekerjaan sebagai seorang pekerja seksual komersil. D melakukan pekerjaan tersebut tanpa sepengetahuan keluarganya di kampung. D hanya memberitahu keluarganya bahwa dirinya bekerja sebagai pegawai hotel. D berusaha untuk menutupi pekerjaannya yang sebenarnya karena tidak ingin keluarganya marah dan sakit hati karena selama ini dia telah membantu


(15)

keluarganya itu dari uang haram. D tidak ingin keluarganya kecewa padanya, mengingat dulu D dianggap sebagai imam perempuan di keluarganya. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal pun tidak mengetahui pekerjaan D yang sebenarnya. Menurut D, dirinya bergaul dengan baik dengan masyarakat di tempat tinggalnya, bahkan D mengikuti kegiatan pengajian di lingkungannya yang diadakan dua kali dalam sebulan. D sadar jika masyarakat mengetahui pekerjaannya yang sebenarnya, dia akan mendapat cemoohan dan akan dikucilkan oleh masyarakat.

Sebelum melakukan pekerjaan tersebut D merupakan seorang wanita yang taat terhadap ajaran agamanya termasuk menjaga penampilannya dengan menggunakan kerudung. Namun masalah perceraiannya membuat D berubah 180 derajat dan untuk membiayai kebutuhannya D berganti-ganti pekerjaan hingga akhirnya terjerumus ke dalam dunia prostitusi dan menjadi seorang pekerja seks komersil. Menurutnya menjadi pekerja seks dapat memperoleh penghasilan besar dalam waktu yang singkat.

D sempat bekerja selama empat tahun sebagai penyanyi bar yang juga memberikan layanan seks kepada pelanggannya. Berbagai hal dialami D saat menjadi penyanyi bar, minuman keras dan obat-obat terlarang menjadi hal yang biasa baginya. D kemudian mencari pekerjaan baru yaitu menjadi sebagai pemijat di salah satu hotel yang juga memberikan layanan seks. D sempat mengikuti kursus singkat untuk mendapatkan sertifikat sebagai pemijat yang menjadi salah satu syarat untuk pekerjaan tersebut. Kontrak pekerjaan yang berakhir dalam waktu setahun membuat D berpindah-pindah hotel, bahkan D sempat bekerja di salah satu hotel di Pekan Baru. Selama bekerja sebagai pekerja seks D sempat


(16)

mendapat beberapa tawaran untuk membuka usaha prostitusinya sendiri. Meskipun D menyadari bahwa dengan membuka usaha prostitusi dia akan mendapatkan uang banyak dengan mudah namun D selalu menolak setiap tawaran tersebut dengan alasan tidak ingin terikat. D tetap lebih memilih untuk menjadi ‘pekerja’.

Sejak tahun 2007 lalu, D sering bergabung dengan LSM tertentu untuk memberikan penyuluhan mengenai HIV/AIDS kepada para pekerja seks. D memahami bahwa pekerjaan sebagai PSK sangat dekat dengan penyakit berbahaya tersebut oleh sebab itu D berbagi pengetahuan kepada teman-temannya tentang bahaya HIV/AIDS dan pencegahannya. D juga sering memberikan penyuluhan kepada temannya di luar kegiatan LSM serta mengajak teman-temannya memeriksakan diri ke puskesmas terdekat.

Awalnya D bekerja seperti itu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, namun D mulai menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu keluarganya di kampung. D juga membawa adiknya ke kota untuk kuliah di sebuah universitas negeri di kota Medan. Saat ini D bekerja keras untuk membiayai kuliah adiknya itu serta menabung untuk masa depannya sendiri bersama dengan ibunya yang juga akan tinggal bersamanya. D sedang mempersiapkan diri untuk meninggalkan dunia prostitusi yang saat ini digelutinya. D bercita-cita untuk membuka usaha grosir dengan modal yang sedang dikumpulkannya saat ini.

Meski menjadi seorang PSK, D mampu mengembangkan konsep diri yang positif. Hal ini terlihat dari bagaimana D memahami dan menerima kondisinya sebagai PSK yangcenderung dinilai buruk oleh masyarakat, selain itu D juga


(17)

mampu membentuk penilain yang positif mengenai dirinya sebagai seorang PSK. Bahkan di tengah kehidupannya yang bisa dikatakan sulit, D tidak putus asa dan dia tetap memiliki harapan serta keyakinan bahwa dirinya mampu mencapai harapan tersebut. Hal ini dapat diperoleh dari beberapa kutipan wawancara berikut ini:

“Yah, kakak sadar ini salah tapi kakak ngga nyesal udah masuk di dunia prostitusi. Apalagi setelah bergabung dengan orang-orang P3MN.. kakak jadi bisa membantu sesama PSK dalam hal menjaga kesehatan.”

(w1b0621-0626)

“Tapi kakak gak mau sombong..kakak tau itu semua uang haram. Makanya sebisa mungkin kakak tutupin keadaan kakak yang sebenarnya.”

(w1b0574-0578)

“Kakak mau suatu saat kakak berhenti dan menikah lagi sama orang yang baik dan bisa menerima kakak apa adanya, punya anak dan kerja yang lain. Kakak itu berencana nanti kalo udah berhenti kakak akan buka toko grosir. Makanya sekarang penghasilan yang kakak terima meskipun gak banyak tapi kakak selalu berusaha menyisihkan sedikit untuk modal kakak kalo udah berhenti nanti.”

(w1b0753-0763)

“Saya mengerti kalo orang sering mencibir pekerja seperti saya ini, apalagi

kalo sampe ada yang nganggap sebagai sampah masyarakat.. pekerjaan seperti

ini kalo bisa dibilang ya dek, melanggar norma, apalagi kalo ngomong soal agama ya, dek, agama mana yang mengijinkan umatnya kerja seperti ini.” (w1b0373-0380)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bagaimana D menerima dirinya apa adanya dan mampu membuat penilaian yang positif mengenai dirinya serta membuat tujuan-tujuan hidupnya yang sesuai dengan realitas dengan melakukan persiapan untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Sesuai dengan pendapat Calhoun dan Accocella (1995) sebelumnya, apa yang dilakukan D tersebut merupakan ciri bahwa D mengembangkan konsep diri yang positif mengenai dirinya.


(18)

Sikap D dalam mengembangkan konsep diri positif tersebut merupakan hal yang jarang terjadi di antara para PSK, mengingat berbagai hal dan pandangan negatif yang dialami para PSK dan sudah sewajarnya bila para PSK tersebut mengembangkan konsep diri yang negatif.

B. Perumusan Permasalahan

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana pembentukan konsep diri positif pada PSK. Adapun permasalahan dalam penelitian ini dirangkum dalam pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Mengapa dia memiliki konsep diri yang positif?

2. Apa yang menjadi faktor pendorong responden dalam memilih “pekerjaan” sebagai PSK?

3. Bagaimana hubungan responden dengan lingkungan sosialnya? 4. Bagaimana reaksi masyarakat terhadap statusnya sebagai PSK? 5. Bagaimana ia menghadapi reaksi masyarakat?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai pembentukan konsep diri positif pada PSK.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam bidang Psikologi Sosial dan bermanfaat menjadi salah satu sumber informasi bagi


(19)

peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan konsep diri pada PSK.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak berikut ini:

a. Pengamat Sosial

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat kepada para pengamat sosial agar lebih mengetahui pemahaman mengenai konsep diri PSK agar lebih dapat menghargai keberadaan PSK.

b. Dinas Sosial

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Dinas Sosial untuk dapat lebih memahami bagaimana konsep diri PSK sehingga Dinas Sosial dapat menciptakan program-program penyuluhan yang tepat bagi para PSK

c. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Lembaga Sosial Masyarakat untuk dapat lebih memahami gambaran konsep diri PSK sehingga pihak Lembaga Sosial Masyarakat dapat menciptakan program-program penyuluhan yang tepat bagi para PSK.

d. PSK

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para PSK untuk dapat lebih memahami konsep diri mereka sehingga mereka dapat melakukan perubahan yang positif untuk diri mereka sendiri.


(20)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang konsep diri dan PSK.

Bab III Metode penelitian

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, responden penelitian, prosedur penelitian dan metode analisa data.

BabIV Hasil Analisis Data

Bab ini memuat deskripsi data, rekonstruksi data, analisis data dan hasil analisis data.

Bab V Kesimpulan, Saran dan Diskusi

Pada bab ini akan dijelaskan keismpulan dari penelitian, diskusi tentang temuan selama proses penelitian dan saran yang diajukan berkaitan dengan penelitian.


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai konsep diri. Fitts (dalam Agustiani, 2006), mengemukakan bahwa konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Agustiani (2006) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dia peroleh dari interaksi dengan lingkungan. Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat Stuart dan Sundeen(dalam Keliat, 1992), bahwa konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Dengan kata lain, konsep diri didefenisikan sebagai pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1990).

Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Sejalan dengan defenisi tersebut Kobal dan Musek (2002)


(22)

mendefenisikan konsep diri sebagai suatu kesatuan psikologis yang meliputi perasaan-perasaan, evaluasi-evaluasi, dan sikap-sikap kita yang dapat mendeskripsikan diri kita. Demikian juga Paik dan Micheal (2002) menjelaskan konsep diri sebagai sekumpulan keyakinan-keyakinan yang kita miliki mengenai diri kita sendiri dan hubungannya dengan perilaku dalam situasi-situasi tertentu.

Konsep diri juga dapat diartikan sebagai penilaian keseluruhan terhadap penampilan, perilaku, perasaan, sikap-sikap, kemampuan serta sumber daya yang dimiliki seseorang (Labenne dan Greene, 1969). Konsep diri sebagai suatu penilaian terhadap diri juga dijelaskan dalam defenisi konsep diri yang dikemukakan oleh Partosuwido, dkk (1985) yaitu bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini, dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal, dan sosial.

Pengertian konsep diri yang digunakan dalam penelitian adalah defenisi konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella (1990), yaitu bahwa konsep diri adalah pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri.

2. Pembentukan Konsep Diri

Perkembangan konsep diri merupakan suatu proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Symonds (dalam Agustiani, 2006) menyatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat individu dilahirkan, melainkan berkembang secara bertahap seiring dengan munculnya kemampuan


(23)

perseptif. Selama periode awal kehidupan, perkembangan konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi mengenai diri sendiri. Lalu seiring dengan bertambahnya usia, pandangan mengenai diri sendiri ini mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Taylor dalam Agustiani, 2006).

Mead (dalam Calhoun & Acocella, 1995) menjelaskan bahwa konsep diri berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang lain terhadap kita; kedua melalui internalisasi norma masyarakat. Dengan kata lain, konsep diri merupakan hasil belajar melalui hubungan individu dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan istilah istilah “looking glass self” yang dikemukakan oleh Cooley (dalam Baumeister, 1999), yaitu ketika individu memandang dirinya berdasarkan interpretasi dari pandangan orang lain terhadap dirinya.

3. Dimensi-Dimensi Konsep Diri

Calhoun dan Acocella menjelaskan bahwa konsep diri terdiri atas tiga dimensi yang meliputi:

1. Pengetahuan terhadap diri sendiri yaitu seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku pekerjaan dan lain-lain, yang kemudian menjadi daftar julukan yang menempatkan seseorang ke dalam kelompok sosial, kelompok umur, kelompok suku bangsa maupun kelompok-kelompok tertentu lainnya.


(24)

2. Pengharapan mengenai diri sendiri yaitu pandangan tentang kemungkinan yang diinginkan terjadi pada diri seseorang di masa depan. Pengharapan ini merupakan diri ideal

3. Penilaian tentang diri sendiri yaitu penilaian antara pengharapan mengenai diri seseorang dengan standar dirinya yang akan menghasilkan rasa harga diri yang dapat berarti seberapa besar seseorang menyukai dirinya sendiri.

4. Sumber Informasi Untuk Konsep Diri

Calhoun dan Acocella (1990) mengungkapkan ada beberapa sumber informasi untuk konsep diri seseorang, yaitu:

1. Orang tua

Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal kita alami dan yang paling berpengaruh. Orang tua sangat penting bagi seorang anak, sehingga apa yang mereka komunikasikan akan lebih berpengaruh daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya. Orang tua memberikan arus informasi yang konstan mengenai diri anak. Orang tua juga membantu dalam menetapkan pengharapan serta mengajarkan anak bagaimana menilai dirinya sendiri. Pengharapan dan penilaian tersebut akan terus terbawa sampai anak menjadi dewasa.

2. Teman sebaya

Setelah orang tua, kelompok teman sebaya juga cukup mempengaruhi konsep diri individu. Penerimaan maupun penolakan kelompok teman sebaya terhadap seorang anak akan berpengaruh pada konsep diri anak tersebut. Peran yang diukir anak dalam kelompok teman sebayanya dapat memberi pengaruh yang dalam


(25)

pada pandangannya tentang dirinya sendiri dan peranan ini, bersama dengan penilaian diri yang dimilikinya akan cenderung terus berlangsung dalam hubungan sosial ketika ia dewasa.

3. Masyarakat

Sama seperti orang tua dan teman sebaya, masyarakat juga memberitahu individu bagaimana mendefenisikan diri sendiri. Penilaian dan pengharapan masyarakat terhadap individu dapat masuk ke dalam konsep diri individu dan individu akan berperilaku sesuai dengan pengharapan tersebut.

4. Belajar

Konsep diri merupakan hasil belajar. Belajar dapat didefenisikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam diri seseorang sebagai akibat dari pengalaman. Dalam memperlajari konsep diri, terdapat tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan, yaitu: asosiasi, ganjaran dan motivasi.

5. Jenis-Jenis Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

1. Konsep Diri Positif

Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi


(26)

terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya.

Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.

2. Konsep diri negatif

Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu:

a. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan, kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya.

b. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

B. Pekerja Seks Komersial

1. Pengertian Pekerja Seks Komersial

Pekerjaan seks komersial adalah suatu ketetapan atau ketentuan dimana terjadi penukaran layanan jasa seksual untuk memperoleh pembayaran atau untuk


(27)

memperoleh material. Pekerja seks komersial merupakan istilah baru yang digunakan untuk menggantikan istilah sebelumnya yaitu wanita tunasusila atau pekerja seks komersial (Wijaya, 2003). Pekerja seks komersial adalah wanita yang kelakuannya tidak pantas dan bisa mendatangkan mala/celaka dan penyakit, baik kepada diri sendiri ataupun orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada dirinya sendiri. Pekerja seks komersial merupakan profesi yang berupa tingkah laku bebas lepas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan (Kartono, 2005).

Dalam bukunya, Patologi Sosial, Kartono (2005) menuliskan bahwa pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Kartono juga menyebutkan bahwa pekerja seks komersial ialah perbuatan perempuan ataupun laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual yang mendapatkan upah. Defenisi tersebut sejalan dengan Subadra (2007) yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi. Subadra (2007) juga menjelaskan terdapat dua pelaku pekerja seks komersial yaitu; laki-laki yang sering disebut sebagai gigolo dan perempuan yang sering disebut wanita tuna susila (WTS).

Pengertian pekerja seks komersial yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian pekerja seks komersial perempuan yang dikemukakan oleh Subadra


(28)

(2007) yaitu bahwa pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi, dalam hal ini seorang perempuan.

2. Latar Belakang dan Motivasi Pekerja Seks Komersial

Vansenbeeck (2001) menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi motivasi maupun latar belakang seseorang bekerja sebagai pekerja seks komersial, antara lain:

1. Faktor ekonomi, yaitu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya maupun keluarganya. Beberapa faktor yang juga termasuk di dalamnya yaitu: kurangnya keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan, faktor migrasi, faktor gaya hidup, dan lain-lain.

2. Faktor penipuan, yaitu menjadi korban penipuan oleh pihak-pihak tertentu yang menawarkan pekerjaan lain kepada mereka namun pada akhirnya dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial. Beberapa faktor yang juga termasuk di dalamnya yaitu: keluarga bermasalah, rasa ingin tahu, dan lain-lain.

3. Faktor kekerasan seksual, yaitu menjadi korban kekerasan seksual terutama pada masa kanak-kanak. Namun faktor ini tidak terlalu banyak ditemukan di antara para pekerja seks komersial.


(29)

C. Konsep Diri Pekerja Seks komersial

Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi (Subadra, 2007). Para pekerja seks komersial, dalam menjalani pekerjaannya, dianggap telah melanggar norma dan moralitas, namun sebagai individu, para pekerja seks komersial tersebut tidak terlepas dari lingkungan sosialnya (Iwansain, 2007). Masyarakat memandang pekerja seks komersial sebagai hal yang negatif. Hampir setiap masyarakat yang berada di sekitar para pekerja seks komersial merasa terganggu dengan keberadaan pekerja seks komersial tersebut (Astri, dkk, 2006).

Berbagai pandangan masyarakat seperti yang diberikan kepada pekerja seks komersial tersebut, merupakan salah satu bentuk pengaruh lingkungan dalam terbentuknya konsep diri para pekerja seks komersial. Konsep diri merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan (Fitts dalam Agustiani, 2006). Menurut Berzonsky (1981), konsep diri adalah gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Terbentuknya konsep diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor usia, faktor tingkat pendidikan, dan faktor lingkungan (Berzonsky, 1981). Konsep diri berkembang melalui dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang lain terhadap individu; kedua melalui internalisasi norma masyarakat (Mead dalam Calhoun dan Acocella, 1995).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita lihat bagaimana sikap masyarakat terhadap para pekerja seks komersial yang dapat berpengaruh terhadap konsep diri


(30)

para pekerja seks komersial tersebut. Ketika masyarakat memberikan pandangan yang negatif kepada para pekerja seks komersial, para pekerja seks komersial tersebut dapat menginternalisasi pandangan masyarakat tersebut ke dalam dirinya. Pandangan negatif yang diinternalisasi tersebut akan menjadi cermin bagi para pekerja seks komersial untuk memandang diri mereka sendiri, baik secara fisik, moral, sosial dan psikis mereka. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap konsep diri mereka. Demikian juga sebaliknya, jika masyarakat memberikan pandangan yang positif kepada para pekerja seks komesial, pandangan tersebut juga akan berpengaruh kepada konsep diri para pekerja seks komersial tersebut.


(31)

Paradigma

PSK

Perilaku seks bebas

Bertentangan dengan norma dan ajaran agama

Penilaian dan perlakuan negatif dari lingkungan/masyarakat

Konsep Diri

Konsep diri positif

Konsep diri negatif

Sumber pembentukan konsep diri: - Orang tua - Teman - Masyarakat - Belajar

Alasan:

- masalah ekonomi - korban penipuan - kekerasan seksual

- penolakan masyarakat - dijauhi dan dikucilkan dari

lingkungan

- dipandang sebagai biang penyakit

Dimensi konsep diri: - pengetahuan - pengharapan - penilaian


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006), metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subyek penelitian beserta konteksnya.

Dengan melihat masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana pembentukan konsep diri pekerja seks komersial. Konsep diri merupakan suatu hal yang terus berkembang dalam hidup, yang dalam pembentukannya dipengaruhi oleh berbagai faktor dari dalam maupun dari luar diri seseorang termasuk di dalamnya pengaruh lingkungan sebagai interaksi kontinu antara diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia di luar individu. Konsep diri pada pekerja seks komersial merupakan hal yang unik dimana para pekerja seks komersial telah melakukan pekerjaan yang menurut masyarakat sebagai hal yang negatif karena bertentangan dengan nilai moral yang berlaku namun tetap tidak meninggalkan pekerjaannya tersebut. Dengan melakukan penelitian kualitatif, dapat dilihat kesubyektifitasan pekerja seks komersial dan membedakannya dengan individu lainnya. Hal ini sejalan dengan yang


(33)

dikemukakan oleh Poerwandari (2001) bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.

Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi subyek penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti. Dan sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how

much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

B. D. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah a) Individu berjenis kelamin perempuan

Hal ini disesuaikan dengan hasil pengamatan peneliti bahwa pekerja seks komersial yang lebih mudah ditemukan di Kota Medan adalah pekerja seks komersial perempuan.

b) Melakukan pekerjaan sebagai pekerja seks komersial secara sadar tanpa paksaan


(34)

Penentuan usia ini dilakukan sesuai dengan pendapat Grinder(1978) bahwa konsep diri akan mengalami peninjauan kembali ketika seseorang memasuki usia dewasa.

d) Pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Pertama

Hal ini dilakukan karena diperlukan adanya suatu proses belajar atau adanya suatu mekanisme pendidikan tertentu untuk mendapatkan pengetahuan yang baik mengenai diri.

Lokasi diadakannya penelitian adalah di kota Medan dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena kota Medan merupakan domisili peneliti sehingga akan lebih memudahkan dalam hal pengumpulan data, mengingat pendekatan kualitatif yang akan memerlukan lebih dari satu kali pertemuan dan wawancara.

2. Jumlah Responden Penelitian

Penelitian kualitatif ini mengambil sampel seorang wanita pekerja seks komersial. Alasan pengambilan sampel ini yaitu karena penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, sehingga perlu pendekatan yang mendalam terhadap subyek. Pendekatan yang maksimal dapat dilakukan dengan subyek yang tidak terlalu besar.

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian

Prosedur pengambilan responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel ekstrim atau menyimpang. Pendekatan ini berfokus pada kasus yang khusus dan tidak biasa karena dianggap menampilkan ciri-ciri ekstrim (Poerwandari, 2001).


(35)

C. Metode Pengumpulan Data

Poerwandari (2001) menyatakan ada beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Metode-metode ini dapat dikombinasikan satu sama lain, bahkan juga dapat dikombinasikan dengan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.

1. Wawancara

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan responden penelitian, maka metode yang tepat digunakan adalah wawancara. Wawancara adalah proses komunikasi antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Hal ini sesuai dengan Banister (dalam Poerwandari, 2001) yang menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur (dalam Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori konsep diri yang mencakup aspek-aspek konsep diri dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses konsep diri yang dikemukakan oleh Berzonsky.

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana


(36)

pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2001) yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara, dan catatan lapangan.

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subyek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).


(37)

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

3. Catatan Lapangan

Observasi dilakukan bersamaan dengan proses wawancara. Hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya penelitian dicatat dalam catatan lapangan. Catatan observasi ini akan memudahkan peneliti dalam mendapatkan dan mengingat garis besar yang terjadi selama proses wawancara serta memperkuat makna.

Catatan lapangan berisi deskripsi tentang hal-hal yang diamati dan harus deskriptif, diberi tanggal dan waktu, dan dicatat dengan menyertakan informasi-informasi dasar seperti tanggal dan waktu dan dicatat dengan menyertakan informasi dasar seperti dimana observasi dilakukan, siapa yang hadir di sana, bagaimana setting fisik lingkungan, interaksi sosial, dan aktivitas apa yang berlangsung.

E. Kredibilitas dan Dependabilitas Penelitian 1. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan validitas penelitian kualitatif, yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2001). Ada beberapa cara yang


(38)

digunakan peneliti untuk meningkatkan kredibilitas penelitian ini sesuai dengan pendapat Patton (dalam Poerwandari, 2001), yaitu:

i. Mencatat hal-hal yang penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap pemilihan responden penelitian, responden atau hal-hal yang terkait serta menyediakan catatqan khusu yang memungkinkan menuliskan berbagai alternatif konsep maupun skema yang terkait dengan data.

ii. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data, dan strategi analisisnya.

iii. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan trerhadap penelitiannya dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitiannya sendiri.

iv. Menyertakan rekan yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang akan dilakukan peneliti.

v. Melakukan pengecekan kembali data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda, peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan tentang data.


(39)

Sesuai dengan penjelasan Lincoln dan Guba (dalam Poerwandari, 2001) istilah dependabilitas mengacu pada reliabilitas dalam penelitian kualitatif. Menurut Sarantoks (dalam Poerwandari, 2001), hal-hal yang dianggap dapat meningkatkan reliabilitas penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:

a. koherensi, yaitu bahwa metode yang dipilih memang dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Keterbukaan, yaitu sejauh mana peneliti membuka diri dengan memanfaatkan metode-metode yang berbeda untuk mencapai tujuan. c. Diskursus, yaitu sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan

penemuannya dan analisisnya dengan orang lain.

Melalui hal ini peneliti dapat memperhitungkan perubahan yang terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2006). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut:


(40)

a. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan keadaan pekerja seks komersial, baik yang berasal dari teori maupun dari literatur lepas seperti artikel.

b. Menyusun pedoman wawancara.

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

c. Persiapan untuk pengumpulan data.

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (informed consent) untuk menjadi responden dan mengumpulkan informasi tentang calon responden tersebut.

d. Membangun rapport.

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah peneliti dan responden penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan, maka peneliti mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya peneliti membina rapport agar responden penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing. Wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung.


(41)

3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut.

G. Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2001), yaitu :

1. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2001).

2. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :


(42)

a. memperoleh data yang baik,

b. mendokumentasikan analisis yang dilakukan,

c. menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

3. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

4. Tahapan Interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2001), yaitu : pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self


(43)

understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk

yang lebih padat (condensed) apa yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subyek penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian subyek penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (criticial commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subyek penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subyek, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan subyek, baik dengan memfokuskan pada ‘isi’ pernyataan maupun pada subyek yang membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap dapat ditempatkan dalam konteks penalaran umum: peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subyek penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subyek ataupun penalaran umum.

5. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul


(44)

dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.


(45)

BAB IV

HASIL ANALISA DATA

Bagian ini akan menguraikan analisa hasil wawancara dengan subjek penelitian. Pada bab ini dikemukakan data subjek, data observasi, data wawancara dan interpretasi data.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Nama : D (bukan nama sebenarnya)

Usia : 32 tahun

Usia saat pertama kali menjadi PSK : 24 tahun

Pendidikan terakhir : S1

Status : Janda

Lama bekerja sebagai PSK : 8 tahun

Agama : Islam

D dibesarkan dalam keluarga yang sangat mengutamakan agama karena ayahnya merupakan seorang yang sangat keras dalam hal beragama. Sejak kecil D yang sangat taat dalam beribadah. Dia bahkan menjalani pendidikan di Pesantren selama beberapa tahun. D juga dianggap sebagai seorang imam perempuan di keluarganya. Dibandingkan dengan abangnya, pengetahuan agama yang dimiliki D jauh lebih berkembang (W1b0606-0618).


(46)

Semasa kecilnya di Kalimantan, D merupakan anak yang sangat dekat dengan ayahnya. Menurutnya, dia adalah anak kesayangan ayahnya itu, ayahnya sering mengajaknya kemanapun ayahnya pergi. Ayah D meninggal akibat stroke saat dia berusia sekitar 12 tahun. Hal itu membuat D merasa sangat kehilangan. Ibu D kemudian menggantikan ayahnya bekerja di perusahaan sebagai karyawan honor yang gajinya pas-pasan. Hidup mereka cukup susah karena dengan gaji ibunya yang pas-pasan sulit untuk bisa membiayai sekolahnya dan ketiga saudaranya yang lain. Akhirnya D berusaha membantu meringankan beban ibunya dengan mengajar mengaji di lingkungan tempat tinggalnya, dengan gaji yang sedikit itu dia bisa membiayai ongkosnya ke sekolah (W30037-0096).

D termasuk siswa yang aktif, di SMP dia mengikuti beberapa kegiatan ekstrakurikuler yaitu pramuka dan marching band. Keaktifan D di Pramuka didukung oleh orangtuanya yang dulu pernah aktif di kegiatan tersebut. Melalui kegiatan Pramuka tersebut D memperoleh pengalaman yang sangat banyak. D bisa pergi ke berbagai kota di Indonesia dan terpilih sebagai salah satu wakil Indonesia untuk mengikuti jambore internasional di Negara Belanda. Selain prestasinya di kegiatan Pramuka, D juga berprestasi di bidang lain seperti di bidang baca puisi. Atas prestasi-prestasi yang diraihnya itu, perusahaan tempat ibunya bekerja memberikan beasiswa pendidikan kepadanya sehingga dia dapat menyelesaikan pendidikan sekolahnya (W3b0111-0199).

Setelah lulus SMA, D mengikuti jejak abangnya untuk meneruskan kuliah di kota Medan. Biaya kuliah D masih ditanggung oleh abangnya yang kuliah sambil bekerja. Kemudian D juga mulai bekerja paruh waktu sebagai SPG salah satu


(47)

produk kosmetik Selama kuliah D tetap meneruskan kegiatan Pramukanya dengan menjadi penegak di salah satu SMA dan menjadi pengajar di salah satu Perguruan tinggi swasta di kota Medan. Dari pekerjaan tersebut D akhirnya mampu membiayai kuliahnya sendiri. (W1b0129-0131; W3b0265-0276)

Selama kuliah D menjalin hubungan asmara dengan seorang Angkatan Laut yang sedang menempuh pendidikan di universitas yang sama dengannya. Setelah tiga tahun menjalin hubungan dan D lulus kuliah, akhirnya dia menikah dengan pria itu. Setelah menikah, D ikut suaminya pindah ke Jakarta. Kehidupan rumah tangganya tidak sebaik yang diharapkan, D jarang bertemu suaminya karena pekerjaan yang mengharuskan suaminya untuk tinggal berhari-hari di kapal dan di barak. Selain itu D juga hanya tinggal bersama beberapa pembantunya di rumah dan tidak diijinkan suaminya untuk bekerja (W1b0174-0189).

Selama enam tahun pernikahan D tidak dikarunai seorang anak pun. Hal itu menimbulkan masalah dalam rumah tangganya. suaminya mulai memperlakukannya dengan kurang baik. D dan suaminya menjadi sering bertengkar dan setiap masalah yang terjadi selalu dibawa hingga ke tempat tidur. D merasa tidak senang dengan perlakuan suaminya itu namun tidak ingin memberitahukannya kepada keluarganya yang ada di kampung. Mertua D yang mengetahui perbuatan suaminya juga tidak berbuat apa-apa, justru membela suaminya itu dan menjelek-jelekkan dirinya di hadapan suaminya (W1b0191-0205).

Meski sering mengalami masalah dalam rumah tangganya, D berusaha untuk tetap bertahan. Namun suatu hari suaminya membawa-bawa keluarganya dalam


(48)

masalah rumah tangga mereka. Hal tersebut membuat D kesal dan tidak terima karena menurutnya keluarganya tidak tahu apa-apa tentang masalah mereka. D akhirnya tidak tahan lagi dan menuntut cerai suaminya. Setelah menuntut cerai, D lari dari rumahnya dan pergi ke tempat keluarganya di kampung. Selama di kampung abang D berusaha turut campur untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya itu, hal itu membuat D marah dan menolak (W3b0470-0506).

Setelah itu D kembali ke rumahnya dan meneruskan proses perceraian. Namun karena tidak sanggup menghadapi suaminya selama proses perceraian, D mengalami depresi dan akhirnya D dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa dan mendapat perawatan selama beberapa bulan. Selama D dirawat di RSJ, keluarganya yang melanjutkan proses persidangan. Beberapa guru D di pesantren dulu, diundang keluarganya untuk menjenguk D di RSJ. Guru-gurunya tersebut memberikan banyak wejangan dan mengajaknya berdoa bersama. Hal tersebut membuat D merasa tersentuh (W3b0508-0557).

Setelah D mulai pulih dia diberitahu bahwa suami maupun keluarga dari pihak suami D tidak pernah mengunjunginya selama berada di RSJ. Hal itu membuatnya sedih. Kemudian ketika keluarga dan pengacaranya membacakan keputusan sidang, D menolak keputusan tersebut dan ingin naik banding serta mengubah sanksi terhadap suaminya itu, yaitu agar suaminya itu dipecat dari pekerjaannya (W3b0564-0598).

Setelah resmi bercerai, D memulai kehidupannya sendiri dengan sebuah masalah yang menurutnya cukup besar, yaitu dia kesulitan mencari pekerjaan. Beberapa perusahaan yang dimasukinya mengharuskannya membayarkan


(49)

sejumlah uang agar dia diterima bekerja di sana namun setelah dia membayar uang tersebut ternyata dia tidak diterima. Akhirnya D diterima bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan dengan gaji yang kecil. Hal itu membuatnya frustrasi, dia merasa cobaan yang dihadapinya begitu berat dan tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya sebagai seorang yang taat beragama. D pun akhirnya mengungkapkan kekesalannya dengan mulai melepasan jilbab yang selalu dikenakannya sejak kecil, dia juga mulai merokok. Hal itu dilakukannya untuk menunjukkan kemarahannya pada Tuhan yang menurutnya telah berbuat tidak adil padanya (W3b0601-0611; W3b0436-0442; W1b0225-0234).

Di masa sulitnya itu, D bertemu dengan seorang teman kuliahnya dulu dan mengajaknya kembali ke Medan. Selama beberapa bulan sejak pertama kali kembali ke Medan, tinggal di rumah temannya itu tanpa melakukan apapun. D tidak memiliki pekerjaan dan hal itu membuatnya malu. Kebetulan saat itu temannya tersebut bergabung dengan sebuah kelompok band yang sering tampil di beberapa cafe. D minta bantuan kepada temannya itu untuk bisa bergabung di dalam kelompok bandnya dan belajar bernyanyi bersama mereka. Akhirnya D diterima dan mulai bekerja sebagai penyanyi cafe bersama kelompok band tersebut. Selama bekerja sebagai penyanyi seperti itulah D pertama kali berhadapan dengan pelanggan cafe yang memintanya untuk berhubungan seksual dengan sejumlah bayaran. D tidak dapat menolak permintaan tersebut. Akhirnya D mulai sering memberikan layanan seks kepada pelanggan cafe. Meskipun demikian, D mengaku tidak selalu memenuhi semua permintaan tersebut, dia termasuk orang yang suka memilih-milih pelanggan yang menurutnya bersih.


(50)

Selama menjalani kehidupan sebagai penyanyi cafe D juga tidak lepas dari minuman keras dan obat-obatan terlarang. D sering memperoleh barang tersebut dari para pelanggannya. Namun D mengaku jarang menggunakannya, kebanyakan barang tersebut dijualnya kembali kepada orang lain. Setelah beberapa tahun, kelompok band tempat D bergabung memutuskan untuk berpisah dan D mulai mencari pekerjaan lain. D kemudian diterima menjadi penyanyi karaoke di sebuah bar. Kehidupan D sebagai penyanyi di bar tidak jauh berbeda dengan pekerjaan sebelumnya, bahkan dia mendapat lebih banyak permintaan layanan seks (W1b0267-0328).

D sadar dengan pekerjaan yang dilakukannya saat itu dia bisa mendapatkan uang banyak dengan cepat. Meski demikian D tidak ingin menikmati hidup dengan berfoya-foya, uang yang diperolehnya ditabungnya dan sebagian dikirimnya kepada keluarganya di kampung. D berusaha membantu keluarganya yang ada di kampung dengan uang yang diperolehnya tersebut (W1b0530-0583).

Pekerjaan D sebagai penyanyi karaoke tidak bertahan lama karena seorang temannya mengajaknya untuk bekerja sebagai tukang pijat di sebuah hotel. D pun menerima ajakan temannya itu dan meninggalkan pekerjaannya sebagai penyanyi. Untuk bisa bekerja sebagai tukang pijat di hotel ternyata harus memiliki sertifikat kursus. D pun mengikuti kursus memijat di salah satu tempat kursus selama dua bulan. Setelah itu dia melamar di salah satu hotel dan diterima bekerja di sana. Selama bekerja sebagai tukang pijat, D sudah beberapa kali pindah tempat kerja. Pekerjaan sebagai tukang pijat ternyata hanya berlaku selama satu tahun karena


(51)

adanya ikatan kontrak. Terkahir D bekerja sebagai seorang tukang pijat di salah satu hotel di Pekan Baru (W1b0331-0357; W1b0053-0089).

Ketika dia bekerja di Pekan Baru beberapa tamu menawarkannya untuk membuka usaha prostitusi sendiri, bahkan ada yang bersedia memberikan modal padanya namun D menolak tawaran-tawaran tersebut dan memilih untuk tetap bekerja sebagai tukang pijat di hotel. Menurut D, alasannya menolak tawaran tersebut adalah karena dia tidak ingin terikat selamanya dengan dunia prostitusi. D berpikir untuk berhenti suatu saat nanti, itu juga yang membuat D tidak ingin bekerja dengan seorang mucikari (W1b0099-0112).

D tidak pernah memberitahu keluarganya tentang pekerjaan yang dilakukannya itu. D hanya mengaku bahwa dirinya bekerja sebagai pegawai hotel di bagian fitness center. Dia tidak ingin dan sangat berharap keluarganya tidak pernah tahu pekerjaannya tersebut. Menurutnya keluarganya akan sangat marah jika mengetahui status pekerjaannya. D telah membanti ibunya mambiayai kuliah adiknya yang paling kecil, D juga beberapa kali membantu keluarga pamannya dengan uang yang diperolehnya dari pekerjaannya. Oleh karena itu dia tidak ingin keluarga yang telah ditolongnya itu merasa kecewa padanya (W1b0584-0618).

Meskipun bekerja sebagai tukang pijat sekaligus pekerja seks, D tidak ragu untuk bergabung dengan sebuah LSM di kota Medan dalam sosialisasi pencegahan dan penanganan HIV/AIDS dan aktif mengikuti beberapa kegiatan yang diadakan LSM tersebut. Di luar kegiatan LSM tersebut, D juga aktif melakukan penyuluhan kepada teman-temannya mengenai HIV/AIDS sesuai dengan apa yang diperolehnya dari pihak LSM. D sering diajak sebagai


(52)

narasumber dalam acara penyuluhan yang diadakan LSM tersebut (W1b0399-0422).

Setelah kontrak bekerja di Pekan Baru selesai, D kembali ke kota Medan dan bekerja di sebuah oukup. D juga kembali bergabung dengan LSM tempat dia pernah aktif sebelumnya. D mengaku merasa senang saat sedang bersama dengan aktivis di LSM tersebut. D merasa mereka semua menghargai dirinya dan tidak memandangnya rendah seperti yang dilakukan masyarakat kebanyakan kepada para pekerja seks seperti dirinya. Kepada aktivis LSM tersebut, D merasa leluasa menyampaikan isi hatinya, termasuk keinginannya untuk suatu saat berhenti dari pekerjaannya sebagai pekerja seks dan berharap dan bergabung menjadi aktivis di LSM tersebut (W1b0424-00468).

Saat ini D bekerja untuk membiayai kuliah adiknya dan sedang mengumpulkan modal untuk usahanya setelah dia berhenti menjadi pekerja seks. Oleh karena itu setelah adiknya lulus kuliah dan modal yang dikumpulkannya cukup untuk membuka usaha, D akan segera berhenti. D juga masih ingin membangun rumah tangga baru lagi dan sangat ingin memiliki anak. Dia ingin memperbaiki kesalahan yang terjadi pada kehidupan rumah tangganya yang dulu. D juga berharap suatu saat dia dapat melanjutkan kembali aktivitasnya di kepramukaan karena dia sangat menyukai kegiatan di organisasi seperti itu (W1b0748-00792; W3b0701-0735).

Selama menjalani pekerjaannya sebagai pekerja seks, D mengaku sangat kehilangan saat-saat dia beribadah kepada Tuhan mengingat sebelumnya dia adalah orang yang sangat taat beribadah. D menyadari bahwa apa yang


(53)

dilakukannya merupakan hal yang salah di dalam agama. Namun dia meyakini bahwa Tuhan mengerti kondisi yang sedang dihadapinya dan dia berharap akan memperoleh pengampunan karena dia melakukan pekerjaan seperti itu demi keluarganya, tidak semata-mata karena dirinya sendiri (W3b0411-0427; W1b0794-0799).

B. Data Observasi Responden Penelitian

D adalah seorang wanita berusia 36 tahun dengan postur tubuh gemuk dengan tinggi sekitar 160-an cm. Bentuk wajahnya bulat dengan warna kulit agak kecokelatan. Rambutnya lurus dengan panjang sebatas bahu. D menggunakan kacamata dengan lensa yang agak tebal dan bergagang oval. Meski bakerja sebagai PSK, D menggunakan pakaian yang cukup sopan, seperti kemeja dengan celana jeans panjang.

D adalah seorang yang cukup tegas dan berhati-hati dalam berbicara. Di awal pertemuan untuk meminta kesediaanya untuk menjadi responden dalam penelitian ini, D membaca dan memahami surat pernyataan kesediaan menjadi responden dengan baik sebelum menandatanganinya.

D merupakan seseorang yang cukup kooperatif selama menjadi responden penelitian. Sejak awal wawancara, D tidak sedikit pun memperlihatkan sikap canggung. D menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan padanya dengan suara yang jelas dan tegas, jawaban yang diberikan juga cukup lengkap dan jelas. Dalam menjawab pertanyaan D berusaha menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Selama menjawab pertanyaan, D berusaha untuk selalu menatap mata


(54)

peneliti. Meski pada beberapa bagian tertentu D sering menundukkan kepala dan berbicara dengan suara yang lebih pelan dan nada yang sedih, seperti saat ditanya mengenai masalah perceraiannya. D memilih kata-kata yang halus saat bercerita mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya, misalnya untuk menyebutkan pekerjaannya dia memilih menggunakan “pekerjaan kek gini”, atau “pekerjaan ini”.

C. Data Wawancara

1. Faktor Yang Mendorong Responden Memilih Untuk Menjadi Psk

a. Setelah bercerai dari suaminya responden tidak memiliki penghasilan sama sekali untuk membiayai hidupnya di kota besar karena selama menikah responden sepenuhnya menggantungkan hidup dari penghasilan suaminya. Oleh karena itu responden berusaha mencari pekerjaan dengan penghasilan yang cukup untuk bisa membiayai kebutuhannya. Responden juga ingin membantu kebutuhan orangtuanya di kampung serta membiayai perkuliahan adiknya yang tinggal bersamanya, oleh karena itu biaya yang dibutuhkan responden cukup besar sehingga responden juga harus memiliki penghasilan yang cukup besar agar dapat membiayai semua kebutuhan tersebut. Responden sempat berganti-ganti pekerjaan karena penghasilan yang diperolehnya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Setelah mencoba beberapa pekerjaan, responden akhirnya lebih memilih menjadi tukang pijat yang juga PSK. Menurut responden menjadi PSK dapat menghasilkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat, tidak


(55)

seperti pekerjaan lain yang harus menunggu tanggal tertentu agar bisa memperoleh gaji, itu sebabnya responden tetap bertahan menjadi PSK. Hal itu dapat diketahui dari kutipan wawancara berikut ini:

“Yah, karena kakak nggak punya pekerjaan lain dek. Cuma dari sini kakak dapat duit. Bukannya kakak gak mau cari kerja yang lain. Yah, sebelumnya pernah sih kakak sampe kerja di rumah makan, sambil curi-curi ilmu memasak juga, tapi ya itu, kerjanya capek, gak ada waktu libur, gajinya juga kecil. Kalo dulu karena cuma untuk membiayai hidup kakak sendiri, nggak apalah kakak terima gaji segitu. Tapi sejak ada adek kakak, apalagi dia minta lanjut sekolah. Kalo cuma dari kerja di rumah makan itu, gak cukup lah dek, sedangkan untuk kakak sendiri aja pas-pasan. Tapi kalo kerja kek gini, bukan mo bilang apa ya dek, tapi istilah kasarnya, tinggal buka celana bida dapat duit. Yah gitu lah dek...” (w2b0131-0149)

b. Perceraian yang dialami responden merupakan suatu hal yang sulit diterima responden. Bagi responden hal itu merupakan cobaan dari Tuhan yang sangat berat dalam hidupnya sementara menurut responden selama hidupnya dia selalu taat beribadah pada Tuhan dan tidak seharusnya dia mendapat cobaan seberat itu. Hal tersebut membuat responden kecewa pada Tuhan dan mulai berpaling dari Tuhan. Responden meninggalkan kebiasaannya sebagai seorang yang taat beribadah, responden juga mulai mengubah penampilannya yang tertutup serta melakukan hal-hal yang dilarang dalam ajaran agama. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

“selama ini kakak udah baik, rajin ibadah, gak pernah cari masalah, tapi kok sampe mendapat cobaan seberat itu. Kakak sampe marah sama Tuhan, dek. Kakak yang sebelumnya selalu pake jilbab, sampe melepaskan jilbab. Yang nggak pernah merokok, jadi merokok. Kakak stres, dek..” (w1b0227-0234)

“....Begitu saya cerai sama suami, Tuhan itu nggak berhenti memberi cobaan sama saya...” (w3b0435-0442)


(56)

“...jadi akhirnya kakak menentang prinsip kakak sendiri dengan membuat pemikiran untuk melakukan pekerjaan yang kakak jalani sekarang..” (w3b0608-0609)

c. Responden pertama kali menjadi PSK setelah menerima ajakan dari seorang temannya untuk bergabung dalam sebuah grup musik dan menjadi penyanyi di café. Selama menjadi penyanyi di band tersebut, D pernah menerima tawaran untuk melayani tamu secara seksual dengan mendapat bayaran sejumlah uang. Responden tidak dapat menolak tawaran tersebut dan sering semakin sering memberi layanan seks kepada pengunjung café. Hal tersebut sesuai dengan kutipan wawancara di bawah ini:

“awalnya kakak bekerja sebagai penyanyi di cafe, dulu kakak diajak teman untuk nyanyi di band-nya, manggungnya di cafe-cafe hotel. yah.. waktu itu kakak menganggap pekerjaan kakak adalah penyanyi cafe, itu adalah yang utama tapi memang gak bisa dipungkiri ya, dek, kalo kadang-kadang ada tawaran untuk melayani tamu..” (w1b0055-0063)

2. Hubungan responden dengan lingkungan sosialnya:

a. Hubungan responden dengan orang tuanya

Responden tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat mengutamakan kehidupan beragama. Sejak kecil orang tuanya cukup keras dalam mendidik responden dalam hal beragama. Orang tua responden mengharapkan agar responden tumbuh menjadi seorang anak yang taat beribadah. Dalam mendidik anak-anaknya, orang tua responden tidak melakukan tindakan yang kasar seperti memukul mereka. Hal ini bisa dilihat pada kutipan berikut ini:

“kami sekeluaga ini orangnya yang dididik beragama dek, yang tidak lepas dari pendidikan agama Islam” (w3b0670-0673)


(57)

Responden merupakan salah satu anak kesayangan ayahnya. Dibanding saudara-saudaranya yang lain, responden mendapatkan perhatian yang lebih besar dari ayahnya. Ayahnya juga mendidik responden lebih keras dibanding saudara-saudaranya, khususnya dalam hal beribadah. Hal ini seperti yang dituturkan dalam kutipan wawancara di bawah ini:

“Nah di antara empat bersaudara, kakak yang jadi kesayangan bapak.. dari kecil udah diajari sholat, kemana-mana selalu diajak, bahkan kalo sholat Jumat yang sebenarnya untuk laki-laki, kak juga diajak tapi gak ikut sholat, cuma tidur di masjid.. nah dari segi sakit, kalo kakak sakit, bapak yang paling gigih, paling rajin bawa kakak berobat.. bapak juga yang merawat kakak...” (w3b0041-0050)

Orang tua resonden selalu mendukung setiap kegiatan yang dilakukan responden di sekolahnya meski terkadang orangtuanya itu menganggapnya kurang memahami keadaan ekonomi keluarganya.karena sering mengikuti kegiatan yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Orang tuanya juga menanamkan bakat berorganisasi kepada responden dan saudara-saudaranya yang lain. Orang tuanya selalu bangga dengan prestasi yang diraih anak-anaknya, termasuk saat mengetahui responden bekerja di hotel. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kutipan wawancara di bawah ini:

“Kami semua itu anaknya ikut pramuka lho, dari mulai kakak, abang, saya bahkan adik saya yang paling kecil juga nyusul. Kami semua untuk pramuka itu berjiwa besi lho, karena apa? Karena dulu orang tua kita juga pandu, mamak kita pandu. Dulu pada saat tahun 60-an itu namanya Pandu tapi sekarang namanya Pramuka. Nah waktu itu masih jaman-jamannya ke sekolah di kawal sama tentara sama polisi, karena waktu itu mau sekolah ya, dulu namanya STR, nah pada saat itu di sekolah mamak juga ada pandu dan mamak ikut sekolah pandu. Nah jadi bibit itu ada sama kita, jadi dari pramuka itu terkenal keluarga alm. Saiban mengharumkan nama kampung.” (w3b0139-0152)

“Apalagi mamak kakak bangga waktu kakak bilang kakak kerja di hotel. Jujur, dek, kakak sedih kali kalo liat mamak kayak gitu...” (w1b0602-0603)


(58)

Sejak masih sekolah responden sudah menyadari kondisi keuangan keluarganya yang tergolong pas-pasan bahkan tidak mencukupi untuk membiayai keperluan ekstrakurikulernya. Oleh karena itu responden merasa perlu membantu orang tuanya meringankan beban keuangan keluarganya. Responden pun menjadi seorang guru mengaji dan menjadi pembina ekstrakurikuler, selain itu responden selalu berprestasi di sekolah sehingga dia mendapatkan beasiswa. Setelah kuliah responden juga bekerja agar dapat membiayai kuliahnya. Pekerjaannya yang dilakukan saat ini pun demi membantu keluarganya. Responden merupakan tulang punggung bagi ibu dan adiknya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

“iya, dibiayai perkebunan. Kenapa kakak sampe dibiayai perkebunan, disamping kakak anak yatim, kakak termasuk anak karyawan yang berprestasi di bidang pramuka. Jadi tahun 1991 itu kakak pertama kali menginjak jambore nasional di Jakarta mewakili daerah Kalimantan beserta dengan abang saya. Jadi waktu itu kakak dapat penghargaan dari perkebunan. Waktu itu kakak masih SMP dan sudah dapat beasiswa dari perkebunan.” (w3b0098-0108)

“Dari hasil ngajar itulah kakak bantu orang tua untuk membiayai ongkos ke sekolah. dan gaji kakak ngajar itu sekitar Rp.100 untuk dua minggu, sebulan bisa dibilang Rp.300, perkepala. Jadi itu untuk membantu biaya sekolah kakak.” (w3b0054-0060)

“Kakak selalu kasih tau, kakak ngajar pramuka di sini, bang, sebulannya digaji Rp. 100.000, dulu masih sempat Rp. 50.000.. latihan itu setiap hari jumat dan sabtu, kalo hari minggu nanti lain tempat.. dan dari situlah kakak mengumpulkan uang untuk biaya kuliah...” (w3b0270-0276)


(1)

Faktor yang mendorong responden memilih untuk menjadi PSK

Hubungan responden dengan orang tuanya

perceraian

Masalah ekonomi Kecewa pada Tuhan

Krisis kepercayaan

Menentang prinsip agama Tidak memiliki

penghasilan

Sulit membiayai hidup Harus membantu keluarga

Mengikuti ajakan teman

Orang tua

terampil berorganisasi Kesulitan ekonomi Mengutamakan agama

Memberikan pendidikan agama sejak dini

Taat dalam beribadah

Responden sebagai imam perempuan dalam keluarga

Mendukung responden dalam kegiatan organisasi

Berprestasi dalam kegiatan organisasi

Dibanggakan oleh keluarga

Sulit membiayai kebutuhan sekolah

Responden berusaha membantu meringankan

beban keluarga

Menjadi tulang punggung keluarga


(2)

Hubungan responden dengan teman-temannya

Hubungan responden dengan masyarakat

teman

Peduli terhadap teman Latar belakang pendidikan yang baik

Aktivitas di LSM

Responden dinilai sok hebat

Responden dinilai sebagai orang yang

intelek

Responden dianggap sebagai aktivis

Masyarakat

LSM Masyarakat di

lingkungan tempat tinggal

Mayoritas Muslim

Masyarakat di lingkungan kerja

Peduli terhadap PSK Terbiasa dengan keberadaan PSK

Tidak mengetahui pekerjaan responden

Menghargai responden Berharap responden bersikap sopan di

tempat umum

Responden diterima bergaul di lingkungan

masyarakat

Responden diajak bergabung di LSM

Responden menerima sikap yang positif


(3)

Reaksi masyarakat atas status responden sebagai PSK

Tanggapan responden terhadap reaksi masyarakat

Reaksi masyarakat

Reaksi positif Reaksi negatif

Menerima kehadiran responden

Menganggap responden sebagai

sampah masyarakat Menghargai

responden sebagai orang berpendidikan

Menolak keberadaan

responden Menghargai

responden yang aktif di LSM

Tanggapan responden

Mengakui telah berbuat salah

Menerima perlakuan negatif dari masyarakat

Sadar pekerjaannya tidak layak

Sadar telah melanggar ajaran agama

Memahami masyarakat memiliki moral

Memahami masyarakat memiliki keyakinan

Menerima cibiran dari masyarakat

Merasa wajar disalahkan atas

pekerjaannya Masih meyakini ajaran


(4)

Konsep diri responden

Pengetahuan

Mengetahui diri dengan baik

Pernah menjalani kehidupan sebagai seorang yang taat

beragama

Memiliki prinsip hidup yang kuat untuk menjalankan perintah

agama

Pernah meraih berbagai prestasi di sekolah maupun di

organisasi

Dihormati dan dibanggakan oleh orang lain

Melanggar prinsipnya sendiri Keadaan saat ini berbanding terbalik dengan yang

sebelumnya

Merasa bersalah Merasa malu

Tidak menyombongkan penghasilannya

Tidak menyesali kesalahan yang dilakukannya Menjadi seorang PSK untuk

memperoleh penghasilan

Bisa membantu membiayai kebutuhan keluarga

Merasa keadaan saat ini adalah yang terbaik


(5)

Pengharapan

Memiliki harapan yang realistis

Menyadari telah melakukan kesalahan dengan menjadi PSK

Berharap dan berencana akan meninggalkan pekerjaan saat

ini

Melakukan beberapa usaha untuk mewujudkan harapannya

Mengumpulkan modal usaha

Berkonsultasi dengan pihak LSM

Pernah memiliki pengalaman buruk dalam hal berumah tangga

Berharap dapat membangun rumah tangga yang baru Tidak takut untuk mencoba

berumah tangga lagi

Belajar dari kesalahan pada rumah tangga sebelumnya

Tidak pernah pasrah pada nasib

Tidak mudah putus asa

Yakin Tuhan memiliki rencana yang baik baginya


(6)

Penilaian

Pernah disegani oleh orang lain

Selalu ingin menjadi yang terbaik

Merasa mampu untuk memiliki kehidupan yang baik

Merasa bahwa nasib tidak berpihak padanya Harus tunduk pada orang lain

Tetap yakin dirinya dapat melakukan sesuatu yang baik

bagi orang lain Mencari penghasilan sebagai

PSK

Bergabung dengan salah satu LSM

Mampu memberi penilaian positif pada dirinya Mampu menghargai dan menghormati dirinya sendiri