lebih mahal dari longkap nomor dua, karena longkap nomor satu sewaktu dijual tidak dicampur dengan jenis getah lainnya. Sedang longkap nomor dua sudah dicampur dengan
jenis getah lainnya seperti julur. Ciri-ciri longkap adalah tebal, berwarna putih dan lebih besar dari getah lainnya. Getah longkap termasuk jenis getah dalam.
2. Parung
Parung adalah jenis getah kemenyan yang diperoleh dari luar kulit kemenyan getah teruh yang tertusuk atau dari luar kulit longkap. Getah longkap dan parung ini diambil
pada waktu bersamaan, getah kemenyan yang terlebih dahulu diambil adalah julur. Parung berada disekitar kulit longkap. Ciri-ciri parung adalah berwarna merah kekuning-
kuningan, agak bulat dan lengket pada batang, serta bentuknya ada yang tipis dan tebal. Parung inilah yang sering dicampur dengan longkap bila petani hendak menjual
kemenyan. 3.
Pengenderen Pangandaran adalah jenis getah kemenyan yang diperoleh pada saat melakukan pekerjaan
manugi. Pangandaran sering digabung dengan longkap apabila melakukan penjualan. Apalagi kalau longkap lebih banyak dari pangandaran, maka harga yang diperoleha
adalah harga longakap. Dan sebaliknya jika jenis pangandaran lebih banyak dari jenis longkap, maka dalam melakukan penjualan lebih baik keduanya dipisahkan. Pangandaran
ini termasuk getah luar. Pangandaran juga bisa didapat dari dalam kulit atau longakap. Haraga pangandaran ini lebih mahal dari pangandaran yang didapat dari luar kulit, warna
pangandaran ini putih dan ada yang kuning.
3.2. Pengelohan Hutan Kemenyan
3.2.1. Kepemilikan Lahan.
Universitas Sumatera Utara
Hutan bagi masyarakat Kecamatan Si Empat Rube memiliki makna tertentu. Bagi mereka hutan adalah sumber kehidupan dan penopang ekonomi, selain dari pertanian yang
mereka kelola secara pribadi. Adapun pendapatan utama sebagian besar masyarakat tersebut adalah dari bertani kopi, jagung dan palawija lainnya, seperti yang telah dijelaskan pada BAB
II Lokasi Penelitian. Pada dasarnya peduduk yang mendiami Kecamatan Si Empat Rube tidak banyak
warganya bermata pencaharian sebagai petani kemenyan. Hal ini disebabkan oleh penduduk banyak yang tidak tahu cara bertani kemenyan. Memang tidak rumit, tapi memiliki resiko
yang cukup tinggi dan sepinya penghuni hutan mempengaruhi keberanian seseorang. Karena tidak ada orang lain di sekitar untuk diajak bercanda atau setidaknya diajak untuk bertukar
cerita terutama pada malam hari. Walaupun mempunyai nilai ekonomis yang relativ tinggi. Di Pakpak Barat Kemenyan di kelola oleh masyarakat Pakpak yang mendiami kaki
gunung. Penanaman atau pengusahaan kemenyan di kelola atau dihasilkan dari tanah ulayat, yang masyarakatnya hanya bisa mengelola tanah tersebut dan tidak bisa untuk memiliki.
Namun, ada juga masyarakat yang mananami dan mengelola di lahan perkebunan atau ladang sendiri.
Bagi sebagian masyarakat pengelola pohon kemenyan yang mengusahakan memakai tanah ulayat, tentu mempunyai aturan agar tanah ulayat tersebut dapat dikelola sebagai
pemenuhan ekonomi dengan syarat meminta izin kepada tokoh masyarakat. Namun yang jelas, masyarakat tidak bisa lepas dari budaya dan istiadat daerah yang mereka tempatidiami.
Terutama tata cara untuk menggunakan dan mengelolah tanah ulayat. Masyarakat yang menggunakan tanah ulayat tersebut hanya bisa di kelola dan diambil hasilnya saja.
Saat masyarakat akan memakai dan menggunakan serta mengelola tanah ulayat sebagai bagian dari pemenuhan ekonomi, suatu keluarga harus meminta izin kepada tokoh
Universitas Sumatera Utara
adatKepala DesaPemerintah berwenang di tingkat desa atau kuta, mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si keluarga yang akan menggunakan tanah ulayat tersebut.
Setelah masyarakat mendapat izin dari pihak adat yang berwenang, maka pemberian izin tersebut juga harus diberitahukan kepada masyarakat adat yang ada. Bahwa tanah ulayat
telah atau ada masyarakat yang mengusahakan. Hal ini untuk menghindari adanya pengelolaan atau pengusahaan akan tanah adat secara ganda. Agar masyarakat tahu bahwa
satu keluarga atau seseorang telah menggunakan tanah ulayat tersebut diharuskan memberi makan pada masyarakat atau sejenis jamuan masyarakat.
Selanjutnnya masalah batas tanah di tentukan berdasarkan kondisi tanah yang akan dikelola. Adapun bentuk batasnya diharapkan adanya batas yang ditandai oleh alam. Seperti
sungai, bukit dan lembah. Namun, terkadang jika tidak bisa semua batas ditandai dengan bentang alam, maka akan dibuat sendiri berdasarkan kesepakatan bersama antara tokoh adat,
orang yang akan mengelola dan anggota masyarakat. Adapun jika telah ada seperti sungai dan bukit atau lembah di sisi lain, maka akan ditambahkan tanaman bambu dan pembuatan
parit di sisi batas lain. Sebagai contoh; jika satu keluarga dapat tanah yang luas dan datar, maka itulah jadi lahan untuk dikelola serta juga berdasarkan permintaan si pengelola dan di
setujui oleh tokoh adat. Namun yang perlu diingat bahwa tanah adat tersebut hanya bisa diolah dan diambil
hasilnya saja atau hak guna usaha HGU. Tanah ulayat tersebut tidak bisa dipindah- tangankan seperti tanah pribadi jika tak terpakai lagi. Jika tanah ulayat tersebut tidak terpakai
atau tidak diusahakan lagi pengelolaannya, maka tanah tersebut dikembalikan pada adat agar dapat digunakan oleh masyarakat lainnya.
3.2.2. Pengolahan Lahan