Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Allah nama bagi pencipta alam semesta yang wajib ada-Nya yang
mempunyai semua sifat-sifat kesempurnaan, dan suci dari semua sifat- sifat kekurangan yang tidak sesuai dengan kesempurnaan
keuluhiyahan dan kerububiyahan-Nya. b. Manusia
Prof. Abbas Mahmud al-Aqqad dalam bukunya
Haqâiq al-Islam Wa Abâtilu Khusumihî
sebagaimana yang dikutip oleh Syahminan Zaini, mengatakan; al-Qur’an dan as-Sunah memberikan pengertian
tentang manusia sebagai berikut: Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat ketuhanan.
30
Pengertian tersebut mengandung tiga unsur pokok, yaitu: Manusia adalah makhluk Allah, manusia bertanggung jawab, dan
Manusia diciptakan dengan sifat-sifat Allah. c. Alam
Menurut Islam, segala sesuatu yang selain Allah dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah disebut alam. Dengan demikian,
sebenarnya manusia termasuk ke dalam sebahagian dari alam. Tetapi karena kedudukan dan martabat manusia yang istimewa, seperti telah
dikemukakan di atas maka pembahasan tentang manusia dipisahkan dari pembahasan alam.
Perbedaan terpenting di antara Allah dengan ciptaan-Nya adalah jika Allah tak terhingga dan mutlak, maka setiap sesuatu yang
diciptakan-Nya adalah terhingga. Setiap sesuatu memiliki potensi- potensi tertentu tetapi betapapun banyaknya potensi-potensi tersebut
tidak dapat membuat yang terhingga melampaui keterhinggaannya dan menjadi tidak terhingga. Inilah yang dimaksudkan al-Qur’an ketika
ia mengatakan bahwa setiap sesuatu selain daripada Allah “mempunyai ukurannya” dan oleh karena itu, tergantung kepada
Allah.
31
3. Kedudukan dan Fungsi Hadits Hadits Nabi saw merupakan penafsiran al-Qur’an dalam praktek
atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah merupakan perwujudan dari al-
30
Zaini, Isi Pokok Ajaran Al-Quran, h. 87.
31
Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, h. 97.
Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
32
Dalam beberapa tempat, penjelasan-penjelasan yang diisayaratkan oleh ayat-ayat al-Qur’an hanya bersifat umum
mujmal
atau
mutlak.
Misalnya tentang perintah shalat yang diungkapkan secara
mujmal,
tidak menerangkan bilangan rakaatnya, tidak menerangkan cara- caranya maupun syarat rukunnya.
Banyak hukum-hukum di dalam al-Qur’an yang di antaranya sulit dipahami atau dijalankan, bila tidak diperoleh keterangan dari hadits Nabi
saw. Oleh sebab itu, para sahabat yang tidak memahami al-Qur’an perlu kembali kepada rasulullah saw, untuk memperoleh penjelasan yang
diperlukan tentang ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, maka hadits nabi saw berkedudukan sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
و ا ﺎ
آﺎ ﺮ ا
ْﻮ ل
ﻓ ﺬ
ْو و
ﺎ ﻬ
آﺎ ْ
ْ ﻓ
ﺎْ ﻬ
ْﻮ ا
Artinya:
…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”
QS. Al-Hasyr: 7 Kedudukan hadits terhadap al-Qur’an, sedikitnya mempunyai tiga
fungsi pokok: 1. Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan
oleh al-Qur’an
sebgai Bayân Taqrîr,
Seperti:
روﺰ ا لْﻮ اﻮ ْﺟاو نﺎ ْوﺄْا ْﺟﺮ ا اﻮ ْﺟﺎﻓ
Artinya:
…maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta…”
QS. Al-Haj: 30 2. Memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih bersifat
mujmal dan bersifat mutlaq
Bayân Tafsîr.
Penjelasan Rasulullah terhadap ayat-ayat yang demikian dapat berupa:
a. Menafsilkan kemujmalannya, seperti perintah mengerjakan shalat, membayar zakat, dan menunaikan haji.
32
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h 18.
b. Memberikan persyaratan, misalnya ketentuan tentang anak- anak dapat memusakai harta orang tuanya dan keluarganya.
c. Memberi kekhususan