Absolutist theory Ad hoc balancing theory

38

1. Absolutist theory

Teori ini dikenalkan dalam First Amendments Theories sebagai teori yang menyatakan “no law” dalam berpendapat dan kebebasan pers. “No law” berarti no law dalam artian yang sesungguhnya atau tidak ada hukum untuk itu. 30 Pers dan pendapat tidak dapat dibatasi atau dilindungi dari intervensi pemerintah. Dengan demikian pers dan pendapat yang disampaikan tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Akan tetapi teori ini mendapatkan kritikan atas prinsip-prinsip yang dianutnya. Kata kunci yang utama dalam kritikan adalah “freedom of speech and press” kebebasan berpendapat dan pers, yakni bahwa ada beberapa batasan yang dapat diterimadipahami secara bersama oleh masyarakat. Beberapa hal penting di dalam teori ini adalah bahwa selain kebebasan berbicara dan pers dilindungi dari intervensi pemerintah, juga bahwa kebebasan berbicara merupakan perwujudan dari hak-hak lain yang penting. Di sisi lain dalam mewujudkan hal tersebut, maka reputasi dan peradilan menjadi sesuatu hal yang sama pentingnya dengan kebebasan berbicara itu sendiri. Absolutist Theory 30 Don R. Pember, Mass Media Law. The McGraw-Hill Companies, Inc; New York, 2001. Hal. 43. 39 memberikan penekanan bahwa no law without exceptions. 31

2. Ad hoc balancing theory

Kebebasan berpendapat dan kebebasan pers adalah dua dari beberapa hak asasi manusia yang penting dan diakui sebagai nilai-nilai hak asasi manusia. Kedua hak ini selalu rentan dengan konflik, atau berbenturan antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika terjadi benturan, maka peradilan-lah yang berperan untuk memberikan keseimbangan atas kebebasan berekspresi dengan nilai-nilai yang lainnya. Ad hoc balancing theory cakupannya dilandasi oleh peristiwa-peristiwa, yakni bahwa pengertian kebebasan berekspresi tergantung pada peristiwa-peristiwa yang dialami. Pada dasarnya diyakini bahwa teori ini bukan sebagai teori, namun lebih kepada suatu strategi. Sebagai suatu strategi, maka membangun definisi mengenai kebebasan berekspresi dengan didasarkan pada peristiwa-peristiwa terntentu yang dialami, menyebabkan munculnya ketidakpastian uncertainty. Ada kecenderungan untuk menggunakan hak atas kebebasan berekspresi secara diam-diam dan mencari aman, dikarenakan warga negara belum tentu dapat 31 Don R. Pember, op. cit. 40 mengetahui beragam wujud dari ekspresi yang dilindungi atau dilarang. 32 Hal inilah yang kemudian menjadi batasan atas kebebasan berekspresi itu sendiri. Di samping itu teori ini juga mengandalkan peradilan untuk memberikan keputusan mengenai kebebasan berekspresi itu berdasarkan kasusperistiwa yang sedang dihadapi. Ad Hoc Balancing Theory mengakui bahwa berbicara dan kebebasan pers merupakan hak yang sangat penting. Akan tetapi, dalam kerangka interaksi hak, yakni kebebasan berbicara dan pers harus diseimbangkan dengan wujud dari hak-hak asasi lainnya. Artinya bahwa pengadilan harus berperan untuk menciptakan keseimbangan hak-hak tersebut. Inilah kemudian yang menjadi persoalan tersendiri, dimana setiap muncul peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan hak-hak ini, selalu ada upaya menyeimbangkan hak oleh pengadilan. Dengan demikian akan menimbulkan ketidakpastian, dimana pengadilan tidak pernah bisa menggunakan referensi yang tetap. Hal ini berarti bahwa melalui teori ini, ada terdapat konflik antar hak, sehingga keseimbangan antar hak diperoleh atau dipertimbangkan dari masing-masing kasus yang muncul. Inilah yang memunculkan pemikiran 32 Don R. Pember, op. cit. 41 bahwa ad hoc balancing theory hanyalah sebuah strategi bukan teori yang sebenarnya, serta menimbulkan masalah tentang apa yang dimaksud oleh First Amandments dalam teori ini.

3. Preferred position balancing theory