95
dalam konfigurasi ketentuan-ketentuan hukum secara universal.
62
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa ada dua garis besar pemikiran mengenai
pembatasan terhadap
hak atas
kebebasan berekspresi, yakni pembatasan oleh karena standar
instrumen itu sendiri, dan pembatasan oleh karena keberadaan hak-hak lain yang diakui bersinggungan
dengan hak atas kebebasan berekspresi itu sendiri.
1. Ruang Lingkup
Pembatasan berdasar
Ketentuan Instrumen Keabsahan
Secara spesifik, kebebasan berekspresi dibatasi dengan peraturan perundang-undangan di suatu
negara dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi
perkembangan masyarakat
yang bersangkutan.
Prinsip pembatasan dapat dilihat dalam ketentuan Article 19 Section 3 ICCPR yang
menyatakan:
62
Dalam perkembangannya, ada beberapa prinsip hak asasi manusia yang dapat dijadikan acuan dalam memberikan pembatasan bagi implementasi kebebasan
berekspresi. Setidak-tidaknya ada tiga prinsip hak asasi yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, yakni: Siracusa Principles on the Limitation and
Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights Annex, UN Doc ECN.419844 1984; The Johannesburg Principles on
National Security, Freedom of Expression and Access To Information; dan The Camden Principles on Freedom of Expression and Equality. Ketiga prinsip ini
dipahami sebagai softlaw yang memberikan acuan moral mengenai batasan- batasan pelaksanaan kebebasan berekspresi. Sudah seharusnya ada kewajiban
moral bagi negara yang hendak melakukan pembatasan, mengindahkan atau mempertimbangkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang tidak hanya tunduk
pada hardlaw namun juga softlaw.
96
The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special
duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only
be such as are provided by law and are necessary:
a For respect of the righs or reputations of others;
b For the protection of national security or of public order ordre public, or public health or
moral.
Cara pengaturan dengan formula yang identik dengan yang diatur dalam ICCPR di atas, dapat
ditemukan dalam beberapa aturan-aturan hukum yang dibuat para hakim.
63
Bahwa dengan diatur demikian, maka pelaksanaan hak-hak untuk bebas
berekspresi pada dasarnya menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Dengan demikian perlu
dibatasi dengan maksud untuk menghormati hak atau nama baik orang lain serta memberikan
perlindungan akan keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Sementara itu The European Court of Human Rights ECHR, dalam rangka hal tersebut di atas
memberikan pernyataan sebagai berikut:
Freedom of expression… is subject to a number of exceptions which, however, must be narrowly
interpreted and the necessity for any restrictions must be convincingly established.
63
Pada umumnya yang digunakan oleh hakim dalam kerangkan judge made law, adalah konten dalam Article 19 ICCPR tersebut. Bahwa di negara-negara dengan
tradisi hukum common law, hakimlah yang memberikan acuan pembatasan kebebasan berekspresi.
97
Dengan melihat muatan-muatan di atas, maka dapat diketemukan bahwa UDHR, ICCPR dan
bahkan ECHR, memberikan pernyataan bahwa pembatasan atas kebebasan berekspresi kebebasan
menyatakan pendapat dapat dilakukan.
Negara-negara yang meratifikasi UDHR sebagai instrumen perlindungan hak asasi manusia,
diperbolehkan memberikan batasan atas kebebasan menyampaikan pendapat. Akan tetapi, pembatasan
itu harus memenuhi tiga syarat utama
64
: a.
pertama : bahwa suatu pembatasan harus diatur di dalam undang-undang provided by
laeprescribed by law; b.
kedua : suatu pembatasan harus memenuhi salah satu tujuan yang disebutkan secara
jelas dalam konvensi legitimate aim; c.
ketiga : harus ada pembuktian yang jelas bahwa
suatu pembatasan
diperlukan necessity.
Negara-negara yang terikat dalam perjanjian- perjanjian hak asasi manusia diharuskan untuk
menerapkan ketiga syarat di atas. Hal ini dilakukan sebagai wujud pemerintah dalam memenuhi
kewajiban internasionalnya. Pelaksanaan ketiga
64
Lihat juga Article 19 ICCPR. Lihat pula ARTICLE 19 , Memorandum on The Indonesian Broadcasting Bill, 2002.Article 19; London, 2004. Hal. 9.
Tentang hal ini sering disebut sebagai “three past test” yakni bahwa pembatasan- pembatasan yang dilakukan dalam rangka menekan ruang kebebasan berekspresi
harus memenuhi tiga syarat utama dalam Article 19 Section 3 ICCPR.
98
syarat tersebut juga menjadi ukuran keabsahan pembatasan
pada kebebasan
menyampaikan pendapat.
Maksud dari suatu pembatasan diperkenankan namun harus diatur di dalam undang-undang, yakni
bahwa ada landasan hukum peraturan perundang- undangan yang dapat dijadikan acuan. Aturan itu
resmi dan dibuat oleh lembaga yang memiliki legitimasi untuk membuatnya, sekaligus juga
memenuhi standard dan hal-hal yang dilarang oleh konvensi. Batasan yang diperkenankan ini harus
diatur secara jelas dan cermat, sehingga masyarakat memahami konsekuensi pembatasan itu dalam
tingkah lakunya. Pembatasan berdasar undang- undang yang sah tersebut, kemudian harus berlaku
adil
bagi masyarakat,
sehingga mendorong
masyarakat untuk bertingkah laku yang sesuai. Di sisi lain, pembatasan larangan-larangan ditentukan
oleh lembagabadan yang memiliki kewenangan dan mewakili masyarakat.
65
Asumsi ini dipertimbangkan sebagai upaya untuk menghindari aturan hukum
yang kurang jelas atau samar-samar tentang bagaimana
pembatasan dilakukan,
sehingga akibatnya menimbulkan ketidakpastian.
Disamping itu, negara-negara hukum modern di dunia pada umumnya hanya memperkenankan
pembatasan terhadap kemerdekaan berekspresi
65
Article 19, Central Asian Pocketbook on Freedom of Expression. op. cit. Hal. 40-41.
99
melalui undang-undang. Implikasi dari ketentuan ini tidak hanya dilakukan oleh undang-undang tapi juga
undang-undang yang terkait dengan pembatasan ini harus memiliki standar tinggi, yaitu standar
kejelasan dan aksesibilitas, yang sekali lagi bertujuan
untuk menghindari
‘ketidakjelasan rumusan’.
66
Prasyarat ini memberikan tuntutan lain kepada
pembentuk undang-undang
untuk memperjelas
kebutuhan pembatasan
akan kebebasan berekspresi sebagai hak dengan cara yang
tepat dan sesuai. Standar pembatasan juga berpengaruh pada kualitas perumusan undang-
undang yang sesuai substansi hukum internasional.
Deklarasi universal mengatur bahwa suatu pembatasan dapat dilakukan dengan tujuan untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan yang layak terhadap kepentingan yang diuraikan dalam
perjanjian dalam masyarakat demokratis.
67
Hal ini sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada ECHR menggabungkan konsep “diperlukan” dan
“masyarakat demokratis”,
yang berarti
pembatasan diperlukan
dalam masyarakat
demokratis. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi
66
Anggara, Supriyadi dan Ririn Sjafriani, op.cit. Hal. 18.
67
ICCPR dan ACHR mengatur bahwa pembatasan harus “diperlukan” untuk melindungi kepentingan yang terdaftar; dan ECHR menggabungkan konsep
“diperlukan” dan “masyarakat demokratis” untuk mengatur secara jelas bahwa suatu pembatasan “harus diperlukan dalam masyarakat demokratis”. Di sisi lain
Pengadilan Antar-Amerika memutuskan bahwa suatu pembatasan harus memenuhi persyaratan yang diuraikan oleh pengadilan Eropa Konvensi Amerika
tidak mengatur bahwa pembatasan harus diperlukan dalam masyarakat yang demokratis.
100
pembatasan yang digunakan oleh Inter-American Court of Human Rights, yakni memberikan batasan
dalam syarat yang identik.
Pembatasan juga harus dirumuskan secara ketat dan untuk kepentingan hak yang dilindungi
tersebut. Hal ini berkaitan dengan keharusan tanpa adanya
tindakan sewenang-wenang,
harus dirumuskan secara jelas, serta dapat diakses oleh
setiap orang. Pembatasan juga harus mampu menyediakan pengaman beserta ganti ruginya
terhadap dampak dan penerapan pembatasan yang cenderung
disalahgunakan.
68
Ketidak jelasan
rumusan pengertian yang meluas di dalam undang- undang
akan berdampak
pada potensi
penyalahgunaan wewenang oleh institusi yang berwenang. Keadaan tersebut menyebabkan adanya
penyimpangan dari tujuan-tujuan moral dari pembentukan
undang-undang yang
hendak memberikan perlindungan terhadap kebebasan
berekspresi.
68
Di Indonesia, kejelasan rumusan dikenal sebagai lex certa dan lex stricta, yang prinsip ini diakui di sebuah negara hukum. Implementasinya adalah dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana pada undang-undang tersebut diakui
bahwa suatu ketentuan undang-undang harus dibentuk dengan berasaskan asas kejelasan rumusan yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminology serta bahasan hukumnya jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Prinsip ini bahkan tetap dipertahankan sebagai prinsip pembentukan undang-
undang ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lihat Pasal 5 dan penjelasannya,
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
101
ECHR juga
menyatakan bahwa
suatu pembatasan dapat dianggap mempunyai tujuan yang
sah, harus melanjutkan dan benar-benar bertujuan untuk melindungi salah satu alasan yang
diperkenankan dalam Article 10 Section 2, yakni:
The exercise of these freedoms, since it carries with it duties and responsibilities, may be subject
to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are
necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public
safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the
protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received
in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.
Agar suatu pembatasan dapat dianggap perlu, maka pada dasarnya tidak harus esensial, akan
tetapi harus lebih dari layak untuk dibatasi, atau diharapkan. Di samping itu harus menunjukkan
adanya keperluan yang sangat mendesak, dan sebanding dengan tujuan yang sah yang sejalan
dengan pembatasan yang relevan dan memadai.
Demikian sehingga, pembatasan kebebasan berekspresi dilakukan dengan tujuan yang jelas dan
sah legitimate aim sebagaimana ditentukan dalam Article 19 Section 3 ICCPR. Bahwa pembatasan
dapat dilakukan dengan tujuan untuk menghormati hak dan kehormatan orang lain, perlindungan atas
keamanan nasional, serta demi kepentingan umum dan moralitas. Akan tetapi yang perlu ditekankan
102
bahwa tujuan yang jelas dan sah ini tidak berlaku bagi
upaya kritik
dan koreksi
terhadap penyelenggara
negara, sehingga
mengeliminir kebebasan berekspresi masyarakat.
69
Untuk menilai bahwa suatu pembatasan kebebasan berekspresi tersebut benar-benar dibuat
untuk tujuan yang sah, maka penilaian harus dilaksanakan dalam tujuan dari dibentuknya
undang-undang atau penerapan suatu undang- undang. Adapun tujuan yang sah tersebut adalah
selain sebagaimana disebutkan dalam Article 19 section 3 ICCPR, dan juga dibuat dengan adanya
standar yang tinggi sehingga suatu negara dapat melegitimasi kebijakan pembatasan yang diambil
negara tersebut. Dengan demikian, bilamana negara memerlukan pembatasan, maka dapat dilakukan
dengan empat syarat: bahwa ICCPR membolehkan adanya pembatasan, kebutuhan dari masyarakat,
untuk menjamin tujuan yang sah, dan pembatasan tersebut proporsional untuk mencapai tujuan
tersebut.
70
Pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi memiliki dua sisi yang sangat berkaitan satu dengan
yang lainnya. Bahwa kebebasan berekspresi yang tercantum dalam berbagai instrumen hak asasi
manusia mengandung satu pemikiran besar, yakni
69
Article 19, Central Asian Pocketbook on Freedom of Expression. op. cit. Hal. 42.
70
Anggara, Supriyadi dan Ririn Sjafriani, op.cit. Hal. 19-20.
103
tindakan-tindakan yang dilindungi.
71
Secara teoritis, kemudian kebebasan berekspresi, eksistensinya
dapat nampak pada berbagai doktrin yang memunculkannya, baik yang rasional maupun yang
irasional.
Tindakan-tindakan yang pada kenyataannya hendak mewujudkan ekspresi, menjadi tindakan-
tindakan bisa saja menimbulkan kerugian atau akibat negatif pada pihak lainnya. Kerugian atau
akibat negatif ini dapat dialami oleh seseorang, organlembaga tertentu, pemerintah atau bahkan
negara lain yang bersinggungan. Inilah kemudian yang ditekankan oleh Thomas Scanlon, bahwa
tindakan atau perilaku subyek demi kepentingan perwujudan
kebebasan berekspresi
dapat menimbulkan dampak pada pihak lain sehingga
perlu dibatasi dengan syarat adanya keadilan sebagai perlindungannya. Thomas Scanlon menyatakan
pembatasan dapat dilakukan dengan alasan
72
:
a Like other acts, acts of expression can bring injury or damage as a direct physical
consequence. b It is typical of the harms just considered that
their production is in general quite independent
71
Thomas Scanlon menyatakan sebagai “protected acts” sebagai sebuah pemikiran akan upaya perlindungan sekaligus pembatasan atas pelaksanaan hak
kebebasan berekspresi. Akan tetapi, yang perlu dijelaskan bahwa Thomas Scanlon memberikan penjelasan bahwa efek dari suatu tindakan yang mewujudkan
kebebasan berekspresi bisa menyebabkan akibat negatif pada pihak lain acts of expression can bring damage.
72
Thomas Scanlon, A Theory of Freedom of Expression. Philosophy and Public Affairs Vol. 1, No. 2. Princeton University; 1972. Hal. 210-211.
104
of the view which the given act of expression is intended to communicate.
c Another way in which an act expression can harm a person is by causing others to forms an
adverse opinion of him or by making him an object of public ridicule.
d As Justice Holmes said, “the most stringent protection of free speech would not protect a
man in falsely shouting fire in a theater and causing a panic.”
e One person may through an act of expression contribute to the production of a harmful act by
someone else, and at least in some cases the harmful consequences of the latter act may
justify making the former a crime as well. f Suppose some misanthropic inventor were to
discover a simple method whereby anyone could make nerve gas in his kitchen out of
gasoline, tablet salt, and urine.
Artinya bahwa kebebasan berekspresi melalui tindakan atau perilaku yang hendak mewujudkan
kebebasan berekspresi tersebut, pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk menyinggung atau
mengakibatkan efek negatif, sehingga dalam pelaksanaannya harus dapat diberikan batasan-
batasan yang tepat dan dapat melindungi keberadaan pihak lain. Tindakan-tindakan yang
melukai pihak lain dalam pelaksanaan kebebasan berekspresi diantaranya adalah melukai secara
psikis, yang bahkan seseorang yang diserang dapat menjadi obyek yang terancam oleh masyarakat
secara kolektif. Tindakan yang diluar batas tersebut dapat menyebabkan konsekuensi pada orang lain,
yakni dianggap melakukan tindakan kriminal tertentu.
105
2. Ruang Lingkup Pembatasan oleh karena Keberadaan Hak Lain dalam Instrumen