Kerangka Pemikiran Operasional KERANGKA PEMIKIRAN

Menurut Ohkawa 1983, suatu fase pertumbuhan adalah suatu segmen waktu tertentu yang lain dari yang lain dalam pertumbuhan jangka panjang, yang ciri-ciri uniknya dapat ditunjukkan dengan indikator-indikator tertentu. Definisi pertumbuhan ekonomi economic growth suatu negara menurut Prof. Simon Kuznets dalam Solihin 2005 adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusional kelembagaan, dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Menurut Solihin 2005, terdapat tiga faktor utama pertumbuhan ekonomi, yaitu : 1. akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia; 2. pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja; serta 3. kemajuan teknologi. Berdasarkan informasi yang didapat dari id.wikipedia.org, keberhasilan pertumbuhan ekonomi lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan.

3.3. Kerangka Pemikiran Operasional

Pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal dengan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi. Ketidakseimbangan proses interaksi antara perdesaan dengan kota menyebabkan keadaan yang saling memperlemah antara kedua wilayah tersebut. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor pertanian mengalami permasalahan produktivitas yang stagnan, rendah dan nilai tukar produk menurun akibat beberapa permasalahan, disisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih over urbanization sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial konflik, kriminal, dan penyakit dan lingkungan pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman. Munculnya permasalahan antara wilayah perdesaan dengan perkotaan tersebut pada intinya adalah tingginya tekanan pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan tenaga kerja relatif terhadap modal dan lahan. Dua sektor yang dianggap mampu menampung perluasan lapangan kerja tersebut adalah sektor pertanian dan industri-industri kecil dan menengah serta pengelolaan sektor jasa lingkungan di wilayah perdesaan. Wilayah perdesaan masih mempunyai banyak potensi yang perlu dikembangkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pembangunan tersebut. Salah satu ide pendekatan pengembangan perdesaan adalah mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan Rustiadi dan Pranoto, 2007. Konsep agropolitan merupakan salah satu konsep pembangunan wilayah yang dikembangkan oleh John Friedman dan Mike Douglass tahun 1975 yang menyarankan suatu bentuk pendekatan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50 ribu sampai 150 ribu orang. Sesuai dengan kondisi geografi, aktifitas penduduk dan lingkungannya, Kabupaten Magelang menetapkan sektor pertanian, industri berbasis pertanian, dan pariwisata sebagai tiga sektor unggulan yang disinergikan. Sinergi ketiga sektor tersebut kemudian melahirkan kegiatan ekonomi berbasis pertanian menuju agroindustri yang maju, agrowisata yang menarik dan industri wisata yang melibatkan banyak pelaku. Gabungan ketiga sektor tersebut menjadi dasar gerakan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Magelang. Penerapan konsep agropolitan di Kabupaten Magelang mulai dilaksanakan tahun 2003. Pelaksanaan konsep agropolitan di Kabupaten Magelang dibagi kedalam empat fase. Fase pertama adalah kawasan agropolitan Merapi-Merbabu tahun 2003-2023, fase kedua adalah kawasan agropolitan Borobudur tahun 2008-2028, fase ketiga adalah kawasan agropolitan Sumbing tahun 2011-2031 dan fase terakhir merupakan fase gabungan dari semua kawasan tahun 2014. Tujuan pelaksanaan agropolitan seperti yang disebutkan dalam masterplan agropolitan Kabupaten Magelang adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah; mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi; peningkatan kemandirian kawasan sehingga tidak bergantung pada wilayah pusat pertumbuhan Setelah pelaksanaan konsep agropolitan di Kabupaten Magelang dari tahun 2003 sampai tahun 2008, penelitian ini akan mendeskripsikan pelaksanaan konsep agropolitan di masing-masing wilayah agropolitan. Deskripsi tersebut didasarkan pada sektor agribisnis, sektor agroindustri dan sektor agrowisata pada masing-masing wilayah. Wilayah yang menjadi cakupan penelitian adalah pada tujuh kecamatan agropolitan yaitu Kecamatan Grabak, Pakis, Ngablak, Tegalrejo, Candimulyo, Sawangan dan Dukun. Menurut Kepala Bidang Usahatani Dinas Pertanian Kabupaten Magelang Soekam, Desember 2007, selama tiga tahun berjalan, gerakan pengembangan kawasan agropolitan Merapi-Merbabu telah menunjukkan kinerja yang baik. Tetapi hal tersebut hanyalah tahap inisiasi dari sebuah wujud berjalannya sistem agribisnis. Untuk mewujudkan masyarakat tani kawasan yang benar-benar mampu melakukan agribisnis, dalam kawasan yang agropolis dibutuhkan waktu sekitar 15 tahun, untuk itu gerakan agropolitan harus diteruskan. Melihat keberhasilan pelaksanaan gerakan agropolitan Merapi-Merbabu, dalam penelitian ini akan menganalisis seberapa besar pengaruh pelaksanaan konsep agropolitan sampai tahun 2006 terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah di tujuh kawasan agropolitan Merapi-Merbabu. Analisis tersebut akan dilakukan dengan model pendekatan shift share. Variable yang digunakan dalam analisis shift share adalah PDRB semua kecamatan Kabupaten Magelang sebelum agropolitan dilaksanakan dan periode pada saat agropolitan dilaksanakan. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis penyebaran fasilitas publik di tujuh kawasan agropolitan Merapi-Merbabu setelah pelaksanaan agropolitan. Metode analisis yang digunakan adalah model analisis skalogram. Pada tahun 2008, pemerintah Kabupaten Magelang mulai menyusun masterplan pelaksanaan gerakan agropolitan fase 2 yaitu kawasan agropolitan Borobudur tahun 2008-2028. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis untuk menilai prioritas strategi pengembangan agropolitan di kawasan agropolitan Borobudur. Penilaian prioritas strategi untuk diterapkan di kawasan agropolitan Borobudur melibatkan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang yang berkompeten dalam masalah perencanaan konsep agropolitan. Analisis tersebut dilakukan dengan pendekatan Analytic Hierarchy Process AHP. Keterangan : Ruang lingkup penelitian Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional Permasalahan perdesaan Permasalahan perkotaan Ketimpangan desa-kota Agropolitan sebagai strategi pengembangan wilayah Pelaksanaan konsep agropolitan di Kabupaten Magelang Fase 1 : Kawasan agropolitan Merapi- Merbabu tahun 2003-2023 Fase 2 : Kawasan agropolitan Borobudur tahun 2008-2028 Fase 3 : Kawasan agropolitan Sumbing tahun 2011-2031 Fase 4 : Gabungan semua kawasan mulai tahun 2014 Pengaruh pelaksanaan konsep agropolitan terhadap pertumbuhan ekonomi Prioritas strategi pengembangan agropolitan kawasan agropolitan Borobudur Sektor agribisnis Sektor agroindustri Sektor agrowisata Deskripsi pelaksanaan agropolitan Kabupaten Magelang sampai tahun 2008 Ketersediaan fasilitas publik setelah pelaksanaan agropolitan Analisis shift share Skalogram Analitical Hierarchy Process 26

BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Magelang. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Magelang merupakan salah satu wilayah agropolitan. Agropolitan di Kabupaten Magelang mulai dikembangkan pada tahun 2003, karena Kabupaten Magelang mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi wilayah agropolitan.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan informan kunci di lapangan melalui penyebaran kuisioner dan wawancara. Wawancara yang dilakukan mencakup respon responden mengenai gambaran pelaksanaan agropolitan di tujuh kawasan agropolitan Kabupaten Magelang. Respon yang dimaksud mencakup pada sektor agribisnis, agroindustri dan agrowisata. Strategi pemerintah daerah untuk mengembangkan agropolitan kawasan Borobudur diperoleh dengan data primer melalui kuisioner. Kuisioner yang digunakan adalah pertanyaan terstruktur yaitu pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa sehingga responden dibatasi dalam memberi jawaban kepada beberapa alternatif saja ataupun kepada satu jawaban saja. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik BPS tingkat nasional dan daerah Kabupaten Magelang, Badan Perencanaan Daerah Bappeda Kabupaten Magelang, pustaka serta instansi terkait yang sesuai dengan penelitian.