Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja Pensortiran Daun Tembakau Di PT. X Kabupaten Deli Serdang

(1)

PENGARUH PENGENDALIAN PAPARAN DEBU PADA

PEKERJA PENSORTIRAN DAUN TEMBAKAU DI PT. X

KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Oleh

NAIK SURYANTA

077010007/IKM

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PENGARUH PENGENDALIAN PAPARAN DEBU PADA

PEKERJA PENSORTIRAN DAUN TEMBAKAU DI PT. X

KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NAIK SURYANTA

077010007/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PENGARUH PENGENDALIAN PAPARAN DEBU PADA PEKERJA PENSORTIRAN DAUN TEMBAKAU DI PT. X KABUPATEN DELI SERDANG

Nama Mahasiswa : Naik Suryanta Nomor Pokok : 077010007

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan : Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri) Ketua

(Dr. Pantas Hasibuan, Sp.P(K)) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 25 Mei 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri Anggota : 1. Dr. Pantas Hasibuan, Sp.P(K)

2. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK 3. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH PENGENDALIAN PAPARAN DEBU PADA

PEKERJA PENSORTIRAN DAUN TEMBAKAU DI PT. X

KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

.

Medan, Mei 2009


(6)

ABSTRAK

Debu salah satu partikel melayang yang memiliki kemampuan untuk menurunkan fungsi paru pekerja pengsortiran daun tembakau. Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa dari 260 orang pekerja pengsortir daun tembakau maka sebanyak 40% menderita batuk kering tanpa demam.

Penelitian ini dilakukan pada pekerja di PT.X dengan jenis penelitian quasi eksperimen di mana desain yang digunakan adalah desain eksperimen pre-test and

post-test control group design. Intervensi berupa penggunaan masker dilakukan

selama 3 bulan berturut-turut terhadap kelompok perlakuan. Sesuai kriteria inklusi maka didapat jumlah sample sebanyak 68 orang. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan masker terhadap fungsi paru pekerja pengsortiran dan tembakau di PT. X Kabupaten Deli Serdang.

Pengukuran kadar debu dilakukan dengan alat Laser Dust Monitor, sedangkan pengukuran fungsi paru dilakukan dengan menggunakan alat Peak Flow Meter merk Oxis. Pengukuran fungsi paru sebelum dan setelah penggunaan masker dilakukan 3 kali pengulangan, nilai yang digunakan untuk mengetahui fungsi paru adalah nilai yang paling tinggi. Data-data yang diperoleh diuji menggunakan uji t dependent.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar debu untuk ruang sortasi dan ruang tumpuk daun tembakau memiliki kadar debu melebihi nilai ambang batas >150 µg/m3. Sedangkan nilai fungsi paru pekerja pengsortir daun tembakau yang menggunakan masker rata-rata lebih tinggi yaitu sebesar 361,91 ml, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menggunakan masker yaitu sebesar 342,35 ml. Hasil uji menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna penggunaan masker terhadap fungsi paru pekerja pensortir daun tembakau.


(7)

ABSTRACT

It’s acknowledged that ash is one of a floating particles with a highly potency to reduce the quality of lungs of those workers sorting the leaves on the tobacco house. According to the data available, noted that of 260 sorting workers out of 40% then suffered from a dried cough without any fever.

This study was conducted completely on PT. X company with an experiment queasy research which design in adopted a pre-test experiment and post-test control group design. There was an intervention, using a masker practiced for 3 months in succession to those treatment groups. Refers to its criterion inclusive then found total sample all 68 persons. The objective of this study is to know the influence of using the marker on the function of lungs of those workers sorting the tobacco leaves on PT. X company in Deli Serdang District.

To measure the ash rate, the writer used Laser Dust Monitor, while in measuring the quality of lungs was practiced and use a Peak Flow Meter of Oxis brand. It was conducted a 3 times repeatedly for measuring the function of lungs before and after using the masker, the rate used to know the quality of lungs such as the highest rate, the data(s) obtained later to test them using a t dependent test.

The result of study showed that the ash rate on the sorter house and on the stacks warehouse of tobacco leaves noted exceeding the threshold value >150 µg/m3, whereas the rate quality of lungs of those workers sorting the tobacco leaves using the masker is noted highly average of 361.91 ml compared to the control group using not any masker note of 342.35 ml. The result showed that hold a significant influence of using the masker to the quality of lungs of those workers of sorting the tobacco leaves.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat kemurahan-NYA memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh Pengendalian Paparan Debu pada Pekerja Pensortir Daun Tembakau di PT. X Kabupaten Deli Serdang” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi jenjang pendidikan Strata-2 pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, juga selaku Komisi Pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran ditengah-tengah kesibukannya.

4. Dr. Pantas Hasibuan, Sp.P(K), sebagai Pembimbing yang telah memberikan saran-saran dan masukan serta dorongan dalam penyelesaian tesis ini.

5. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku Komisi Pembanding yang banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

6. Pimpinan PT. X di Kabupaten Deli Serdang yang memberi izin penelitian atas informasi yang dibutuhkan untuk penyelesaian penulisan.


(9)

7. Para Pimpinan di PT. X Deli Serdang yang telah memberikan izin penelitian pada perusahaan tersebut.

8. Seluruh Staf Dosen dan Administrasi Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi pengajaran, bimbingan dan arahan selama pendidikan.

9. Kepada seluruh Tenaga Kerja di PT. X, yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

10. Ayahanda R. Sinuraya dan Ibunda Ingan Malem Tarigan, isteri tercinta Eva Maria br Tarigan dan ananda tersayang Laura Natalia dan Jessica Miranda Sari yang senantiasa memberikan dukungan, semangat belajar dan inspirasi serta mendoakan selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesai pendidikan di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

11. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2007 dan teman lainnya yang telah banyak memberikan dukungan dan doa kepada penulis dan penelitian ini.

Penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, walaupun demikian penulis berharap dapat berguna dan bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Medan, Mei 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS

1. Nama : Naik Suryanta 2. Jenis Kelamin : Laki-Laki

3. Agama : Kristen Protestan

4. Tempat/Tgl lahir : Medan/28 Agustus 1965

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri Medan tahun 1972 - 1978

2. SMP Negeri 1 Medan tahun 1978 - 1981

3. SMA Negeri 1 Medan tahun 1981 - 1983

4. Fakultas Kedokteran USU tahun 1984 - 1990

5. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja

Sekolah Pascasarjana USU tahun 2007 - 2009

C. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Sebagai dokter PTT di Nias tahun 1991 - 1993 2. Sebagai dokter di Lapas Tanjung Gusta


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.4. Hipotesis... 4

1.5. Manfaat Penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Penyakit Saluran Pernafasan... 5

2.1.1. Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut... 5

2.1.2. Gejala Penyakit Pernafasan... 6

2.2. Pencemaran Udara... 8

2.2.1. Tipe Pencemaran Udara... 9

2.2.2. Bentuk Bahan Pencemaran Udara... 9

2.2.3. Pencemaran Udara oleh Partikulat (Debu)... 10

2.2.4. Partikulat Melayang (PM10)... 12

2.3. Mekanisme Masuknya Debu pada Saluran Pernafasan... 13


(12)

2.5. Partikulat dalam Sistem Saluran Pernafasan... 17

2.6. Pemajanan... 18

2.7. Faktor-Faktor Lingkungan Kerja yang Mempengaruhi Pemajanan Debu... 19

2.7.1. Ventilasi... 19

2.7.2. Suhu dan Kelembaban... 20

2.7.3. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)... 21

2.8. Landasan Teori... 21

2.9. Kerangka Konsep... 24

BAB 3 METODE PENELITIAN... 25

3.1. Desain penelitian... 25

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian... 25

3.3. Populasi dan Sampel... 25

3.4. Metode Pengumpulan Data... 26

3.4.1. Prosedur Pengukuran Kadar Debu Daun Tembakau (PM10)... 26

3.4.2. Alat Pengukuran Fungsi Paru... 29

3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 31

3.6. Metode Analisa Data... 32

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 34

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 34

4.2. Karakteristik Pekerja... 40

4.2.1. Umur Pekerja... 40

4.2.2. Masa Kerja... 41

4.2.3. Pendidikan... 42

4.3. Kadar Debu... 42


(13)

BAB 5 PEMBAHASAN... 46

5.1. Kadar Debu... 46

5.2. Pengaruh Penggunaan Masker dengan Fungsi Paru... 49

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 53

6.1. Kesimpulan... 53

6.2. Saran... 53


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 2.1. Kriteria Udara Bersih dan Udara Tercemar oleh WHO... 10

3.1. Definisi Operasional... 32 4.1. Rata-rata Nilai Fungsi Paru Pekerja Pensortir Daun


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Mekanisme Masuknya Debu pada Saluran Pernafasan... 14

2.2. Konsep Penelitian... 24

3.1.a. Alat Pengukur Kadar Debu... 27

3.1.b. Pengukuran Kadar Debu Pada Titik Sudut Ruang Sortasi... 28

3.2. Alat Pengukur Fungsi Paru... 29

3.3. Pengukuran Fungsi Paru Pekerja Pensortir Daun Tembakau.. 31

4.1. Proses Tembakau dari Pembibitan Sampai Ekspor... 39

4.2. Karakteristik Pekerja Berdasarkan Umur... 40

4.3. Karakteristik Pekerja Berdasarkan Masa Kerja... 41

4.4. Karakteristik Pekerja Berdasarkan Pendidikan... 42

4.5. Kadar Debu Berdasarkan Titik Pengukuran... 43


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat izin Penelitian ... 57

2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian... 58

3. Rekapitulasi Data Sampel pada Kelompok Kontrol... 59

4. Rekapitulasi Data Sampel pada Kelompok Perlakuan... 60

5. Pengukuran Kadar Debu Pada Ruang Sortasi... 61


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu bentuk dari pencemaran udara adalah pemajanan debu secara berlebihan dan berlangsung lama. Polutan debu masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem pernapasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan langsung terutama terjadi pada sistem saluran pernapasan. Faktor yang paling berpengaruh adalah ukuran partikel, karena ukuran ini menentukan seberapa jauh penerasi ke dalam sistem pernapasan (Fardiaz, 1992).

Debu adalah salah satu partikel yang berbahaya bagi manusia karena mempunyai kemampuan untuk merusak paru-paru. Menurut Price dan Wilson (1995) partikel debu dapat atau tidak menimbulkan penyakit tergantung ukuran partikel (yang berbahaya yaitu 1-5 mikron), kadar dan lamanya pajanan, serta sifat debu. Gangguan saluran nafas akibat inhalasi debu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran partikel, bentuk, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama pajanan, dan faktor individu sendiri yaitu berupa mekanisme pertahanan tubuh.

Debu yang berdiameter antara 0,5 sampai 2,5 mikron disebut dengan debu respirabel yang dapat mengendap di bronkiolus dan alveoli, serta dapat mengakibatkan pneumokonois (Faridawati, 1995). Berdasarkan hal tersebut Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Edaran tentang Nilai Ambang Batas (NAB) kadar


(18)

debu di udara dengan nomor SE 01/MEN/1997, bahwa NAB kadar debu di udara tidak boleh melebihi 3,0 mg/m3.

Partikel Debu Melayang (Suspended Particulate Metter) adalah suatu kumpulan senyawa dalam bentuk padatan maupun cair yang tersebar di udara dengan diameter yang sangat kecil, dengan ukuran dari satu mikron sampai maksimal 500 mikron. Ukuran partikel debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang, dan dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan (Depkes RI, 1988).

Debu yang mencapai paru, adalah debu yang berukuran 0,5 mikron oleh sebab itu walaupun konsentrasi debu di lingkungan kerja melebihi Nilai Ambang Batas (NAB), tidaklah berbahaya bagi paru jika ukurannya lebih dari 0,5 mikron (Perkins, 1974). NAB ini ditetapkan berdasarkan pada keadaan di mana tenaga kerja berada dalam batas keamanan untuk bekerja selama 8 jam/hari atau 40 jam/minggu.

Salah satu area yang terpapar debu adalah gudang tempat pensortiran daun tembakau. Daun tembakau yang sudah kering dibawa dari bangsal ke gudang tembakau, kemudian daun tembakau disortir (sortir I) oleh para pekerja untuk mendapatkan daun tembakau yang baik (kualitas nomor satu). Daun tembakau yang tersisa disortir lagi untuk mendapatkan daun tembakau yang agak baik (kualitas nomor dua).


(19)

Sewaktu pensortiran kedua, para pekerja kembali terpapar dengan debu yang melekat pada daun tembakau, sehingga para pekerja akan mengalami keterpaparan debu selama dua kali proses pensortiran.

Sewaktu melaksanakan pensortiran daun tembakau sampai beberapa kali ini, para pekerja belum pernah memakai Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, sehingga mereka terpapar debu langsung terpajan oleh para pekerja pensortiran daun tembakau tersebut, sedangkan masa pensortiran daun tembakau berlangsung selama

± 3 – 4 bulan.

Selama berlangsungnya masa pensortiran daun tembakau, jumlah para pekerja rata-rata 260 orang, dari jumlah seluruh pekerja pensortiran tersebut diketahui bahwa rata-rata 40% dari mereka menderita penyakit batuk kering tanpa demam, 5% menderita penyakit demam tanpa batuk, dan 2% menderita penyakit alergi. Data ini diperoleh dari data para pekerja yang berobat ke Poliklinik PTPN II Klambir V pada saat pensortiran daun tembakau.

Berdasarkan data di atas maka penulis tertarik untuk meneliti, adakah pengaruh penggunaan APD dalam mencegah terjadinya gangguan pada fungsi paru pekerja pensortiran daun tembakau.

1.2. Permasalahan

Bagaimana pengaruh penggunaan APD terhadap fungsi paru pekerja pensortiran daun tembakau.


(20)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan hubungan pengendalian paparan debu pada pekerja.

2. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan APD (masker) terhadap fungsi paru pekerja pensortiran daun tembakau.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh penggunaan APD terhadap fungsi paru pekerja pensortiran daun tembakau.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan kepada para pekerja pensortiran daun tembakau Deli PTPN II Klambir V Kab. Deli Serdang tentang manfaat APD (masker) terhadap paparan debu.

2. Membandingkan efek dari paparan debu terhadap para pekerja yang memakai APD (masker) dengan yang tidak memakai APD ditinjau dari segi kesehatan. 3. Dengan memakai APD (masker) maka akan meminimalisasi pengaruh

paparan debu bagi para pekerja pensortiran daun tembakau Deli terhadap kesehatan khususnya penyakit saluran pernafasan.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Saluran Pernafasan

Penyakit saluran pernafasan mempunyai beberapa gejala yang berbeda, yang pada dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transparan, sekresi lender yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan.

2.1.1. Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau sering disebut dengan ISPA adalah penyakit saluran pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah, dan adneksanya yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura.

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan (Depkes, 2000).


(22)

ISPA disebabkan oleh beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di negara berkembang ISPA bawah, terutama pnumonia disebabkan oleh bakteri dari genus streptokokus, Haemofilus, Pnemokokus, Bordetella dan korinebakterium, sedang di negara maju ISPA bawah disebabkan oleh Virus, Miksovirus, Adenivirus, Koronavirus, Pikornavirus dan Harpesvirus (Parker, 1985).

Penyakit saluran pernafasan akut ada dalam 10 besar penyakit yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun, bahkan menduduki peringkat atas (Denny & Loda, 1986).

2.1.2. Gejala Penyakit Pernafasan

Penyakit pada saluran pernafasan tampil dalam bentuk gejala yang berbeda yang pada dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak semua penelitian dan kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga dengan atau tanpa disertai demam. Penelitian Robertson, (1984) dalam

Purwana, (1999) tentang efek pencemaran terhadap saluran pernafasan memakai gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis, bunyi mengi dan sesak nafas.


(23)

Dalam hal efek partikulat terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar PM10 berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk. Di dalam saluran pernafasan, partikulat yang mengendap menyebabkan oedema mukosa dinding saluran pernafasan sehingga terjadi penyempitan saluran. Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit pernafasan:

1. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat dalah jika terjadi rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas.

2. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel goblet oleh danya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang berdegenerasi.

3. Sesak nafas

Sesak nafas atau kesulitan bernafas merupakan penyakit aliran udara dalam saluran pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi


(24)

karena saluran pernafasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara. Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam semenit.

4. Bunyi mengi

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.

2.2. Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrak fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang dan mineral dikarenakan oleh kontaminan alami dan buatan ke dalam atmosfer (Aditama, 1992).

Klasifikasi bahan pencemaran udara dapat dibagi menjadi dua bagian (Kusnoputranto, 1995):

1. Pencemar primer, adalah suatu bahan kimia yang ditambahkan langsung ke udara yang menyebabkan konsentrasinya meningkat dan membahayakan. Bahan kimia dapat berupa komponen udara alamiah, seperti karbondioksida, yang meningkat di atas konsentrasi normal atau sesuatu yang tidak biasanya terdapat di udara, seperti senyawa timbal.

2. Pencemar sekunder, adalah senyawa kimia berbahaya yang terbentuk di atmosfer melalui reaksi kimia diantaranya berbagai komponen udara. Pencemaran udara


(25)

yang serius biasanya terjadi di suatu kota atau daerah lainnya yang mengeluarkan kadar pencemar yang tinggi.

2.2.1. Tipe Pencemaran Udara

Tipe pencemaran udara dibagi menjdai 9 bagian (Kusnoputranto, 1995) yaitu: a. Karbondioksida, yaitu CO2.

b. Sulfur oksida, yaitu SO2. c. Nitrogen oksida.

d. Hidrokarbon, yaitu senyawa organik yang mengandung karbon dan hydrogen seperti metana, butane, benzene.

e. Oksidan fotokimia, yaitu ozon, PAN dan beberapa senyawa aldehid.

f. Partikel (padat atau cair di udara), asap, debu, asbestos, partikel logam, minyak, garam-garam sulfur.

g. Senyawa anorganik (mengandung kerbon), estisida, herbisida berbagai jenis alcohol, asam dan zat kimia lainnya.

h. Zat radioaktif tritium, radon, enzim dan pembangkit tenaga. 2.2.2. Bentuk Bahan Pencemaran Udara

Menurut Aditama, (1992), bentuk bahan pencemar yang sering ditemukan antara lain:

a. Gas, yaitu uap yang dihasilkan dari zat padat atau zat cair, karena dipanasi atau karena menguap sendiri contohnya SO2, CO dan NO.

b. Aerosol, yaitu suspensi udara yang bersifat padat (detex) atau cair (kabut, asap, uap) yang berukuran kurang dari 1 mikron.


(26)

Masalah pencemaran udara bukanlah masalah ringan karena dampak yang ditimbulkan sangat luas dan merugikan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak negatif secara langsung dialami manusia adalah pada aspek kesehatan, kenyamanan hidup, dan keselamatan. Sedangkan dampak negatif tidak langsung yaitu berupa penyakit pada lingkungan hidup, perekonomian, estetika dan tumbuhan (Aditama, 1992).

Berdasarkan buletin WHO yang dikutip Holzworth dan Cormick (1986), penentuan udara tercemar atau tidaknya udara suatu daerah kriterianya, yaitu:

Tabel 2.1. Kriteria Udara Bersih dan Udara Tercemar oleh WHO Parameter Udara Bersih Udara Tercemar

Bahan partikel 0,01 – 0,02 mg/m3 0,07 – 0,7 mg/m3

SO2 0,003 – 0,02 ppm 0,02 – 2 ppm

CO <1 ppm 5 – 200 ppm

NO2 0,003 – 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm

CO2 310 – 330 ppm 350 – 700 ppm

Hidrokarbon <1 ppm 1 – 2 ppm

Sumber: WHO, 2000

2.2.3. Pencemaran Udara oleh Partikulat (Debu)

Partikel menurut WHO seperti yang dikutip oleh Purwana (1999) adalah sejumlah benda padat atau cair dalam bermacam-macam ukuran, jenis dan bentuk yang tersebar dari sumber-sumber antropogenik dan sumber alam.

Partikulat menyebar di atmosfer akibat dari berbagai proses alami seperti letusan vulkano, hembusan debu serta tanah oleh angin. Aktivitas manusia juga berperan dalam penyebaran partikel, misal dalam bentuk partikel debu dan asbes dari bahan bangunan, abu terbang dari proses peleburan baja dan asap dari proses


(27)

pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu arang. Sumber partikel yang utama adalah pembakaran dari bahan bakar sumbernya diikuti proses-proses industri.

Partikel di atmosfer dalam bentuk suspensi, yang terdiri atas partikel-partikel padat dan cair. Ukuran partikel dari 100 mikron hingga kurang dari 0,01 mikron. Terdapat hubungan antara partikel polutan dengan sumbernya (Fardiaz 1992)

Dampak kesehatan utama dari pemajanan debu adalah penyakit asma dan penyakit saluran pernafasan lainnya, batuk dan naiknya mortalitas tergantung kepada konsentrasi dari sifat fisik partikel debu itu sendiri. Polutan debu masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem pernafasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan langsung terutama terjadi pada sistem saluran pernafasan. Faktor yang paling berpengaruh adalah ukuran partikel, karena ukuran ini menentukan seberapa jauh penerasi ke dalam sistem pernafasan (Fardiaz, 1992).

Partikel-partikel yang masuk dan tertinggal di dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi ksehatan karena tiga hal penting yaitu: partikel tersebut mungkin beracun karena sifat kimia dan fisiknya, partikel tersebut mungkin inert tetapi mengganggu pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya dan partikel tersebut mungkin dapat membawa gas-gas berbahaya.

Mekanisme yang mungkin dapat menerangkan mengapa debu dapat menyebabkan penyakit saluran pernafasan adalah dengan makin banyaknya pemajanan debu maka cilia akan terus menerus mengeluarkan debu tersebut sehingga lama kelamaan cilia teriritasi dan tidak peka lagi, sehingga debu akan lebih mudah masuk. Selain itu yang terpenting orang tersebut akan rentan terhadap infeksi saluran


(28)

pernafasan lainnya. Kasus penyakit yang banyak dilaporkan dan berhubungan dengan debu adalah bronchitis kronis dan emphysema.

2.2.4. Partikulat Melayang (PM10)

Partikel debu yang dapat masuk ke dalam pernafasan manusia adalah yang berukuran 0,1 µg sampai 10 µg dan berada di udara sebagai suspenden particulate matter (partikulat melayang dengan ukuran ≤10 µg juga dikenal juga dengan PM10). Ukuran partikel debu yang lebih besar dari 10 µg akan lebih cepat mengendap ke permukaan, sehingga kesempatan terjadinya pemajanan pada manusia menjadi kecil dan jika terjadi pemajanan partikulat akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas (Wark, 1981).

Debu yang dapat dihirup manusia disebut debu inhable dengan diameter 10 µg dan berbahaya bagi saluran pernafasan karena mempunyai kemampuan merusak paru-paru. Sebagian debu yang masuk ke saluran pernafasan berukuran 5 µg akan sampai ke alveoli. Di dalam alveoli ini sebenarnya terjadi pertukaran O2 dengan CO2 sehingga keberadaan debu inhable dapat mengganggu proses tersebut (WHO, 2000). Kerusakan yang terjadi pada paru sangat tergantung pada ukuran debu, seperti yang disebutkan oleh Waldboth (1973) yaitu:

ukuran 5 – 10 µm : akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas ukuran 3 – 5 µm : akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian tengah ukuran 1 – 3 µm : di permukaan alveoli


(29)

ukuran < 0,5 µm : akan hinggap di permukaan alveoli atau selaput lender karena Gerak brown, sehingga menyebabkan fibrosi paru.

Koren (1995) dalam artikelnya tentang PM10 menyebutkan bahwa dari beberapa penelitiannya di Philadelphia dan Colorado, terdapat hubungan yang kuat antara pajanan pertikulat PM10 dengan penderita Cardiopulmonary disease dan asma yang ditunjukkan dengan tingginya mortality dan morbidity kasus penyakit saluran pernafasan dan kasus cardiovascular.

2.3. Mekanisme Masuknya Debu pada Saluran Pernafasan

Brown, (1976) dalam Sintorini, (1998) menemukan bahwa 55% debu yang terhisap melalui udara pernafasan mempunyai ukuran antara 0,25µm sampai dengan 6 µm. Dan jumlah debu yang terhisap tersebut 15 – 95% dapat mengalami retensi. Proporsi retensi tersebut mempunyai hubungan langsung dengan sifat-sifat fisik debu. Didasarkan atas sifat-sifat fisik suspensi debu yang terdapat dalam udara dan anatomi sistem pernafasan maka dapat dikatakan bahwa partikel debu yang mempunyai ukuran lebih besar dari 10 µm dapat dikeluarkan secara komplit melalui saluran pernafasan bagian atas (hidung), seperti Gambar 2.1 berikut:


(30)

Gambar 2.1. Mekanisme Masuknya Debu pada Saluran Pernafasan

Partikel debu yang berukuran 5 µm sampai dengan 10 µm tertahan terutama pada saluran perafasan bagian atas. Debu yang memiliki ukuran 5 µm sampai dengan 10 µm akan ikut jatuh sejalan dengan percepatan gravitasi dan bila terhirup melalui pernafasan biasanya akan jatuh pada alat pernafasan bagian atas dan menimbulkan banyak penyakit berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakit pharingitis.

Partikel debu dengan ukuran 3 µm sampai dengan 5 µm akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian tengah. Partikel debu tersebut jatuhnya lebih ke dalam yaitu pada saluran pernafasan (bronchus/broncheolus). Hanya bedanya di sini lebih banyak memiliki aspek fisiologis/psikologis yaitu menimbulkan bronchitis, alergis


(31)

atau asthma, lebih mudah terkena pada orang yang semula sudah memiliki kepekaan berdasarkan keadaan seperti itu. Partikel debu yang berukuran1 µm sampai dengan 3 µm dapat mencapai bagian yang lebih dalam dan mengendap pada alveoli karena adanya gravitasi dan difusi. Partikel debu bergerak sejalan dengan suatu kecepatan yang konstan untuk jenis-jenis debu tertentu. Debu-debu tersebut menghambat fungsi alveoli sebagai media pertukaran gas asam arang, sehingga dengan melekatnya debu ukuran ini akan mengganggu kemampuan proses pertukaran gas yang lebih kecil ukurannya dan lebih perlahan jatuhnya.

Partikel yang berukuran 0.1 µm sampai dengan 1 µm melayang-layang dipermukaan alveoli. Dengan ukuran yang sedemikian kecil dan memiliki berat, debu ukuran ini tidak menempel pada permukaan alveoli tetapi mengikuti gerak brown dan berada dalam bentuk suspensi. Partikel yang berukuran 0.5 µm hinggap dipermukaan alveoli atau selaput lendir karena gerak bown yang terjadi maka akan menyebabkan fibrosis paru. Partikel debu yang berukuran kurang dari 0.1 µm dapat keluar bersama-sama udara pada saat mengeluarkan nafas sebagaimana halnya gas yang tidak larut (Clayton, 1976, dalam Sintorini, 1998).

Ada tiga mekanisme masuknya debu ke dalam saluran pernafasan (Ryadi, 1982) yaitu:

a. Inersia, debu akan menimbulkan kelembaban pada debu itu dan terjadi pergerakan karena dorongan aliran udara serta akan melalui saluran yang berbelok-belok. Pada sepanjang jalan pernafasan yang lurus tersebut debu akan langsung ikut dengan aliran, masuk ke dalam pernafasan yang lebih


(32)

dalam, sedangkan partikel-partikel yang besar akan mencari tempat yang lebih ideal untuk menempel/mengendap seperti pada tempat-tempat yang berlekuk di selaput lendir pernafasan.

b. Sedimentasi, sedimentasi terjadi pada saluran pernafasan di mana kecepatan arus udara kurang dari 1 cm/detik, sehingga memungkinkan partikel debu tersebut melalui gaya berat dan akan mengendap. Debu dengan ukuran 3-5 mikron akan mengendap dan menempel pada mukosa bronkioli, sedangkan yang berukuran 1-3 mikron akan langsung ke permukaan alveoli paru. Mekanisme ini terjadi karena kecepatan aliran udara sangat berkurang pada satuan nafas tegak.

c. Gerak brown, gerak ini terjadi pada debu-debu yang mempunyai ukuran kurang dari 0,1 µm di mana melalui gerakan udara, debu akan sampai pada permukaan alveoli dan mengendap disitu. Debu yang mempunyai ukuran 0,1-0,5 mikron dengan gerak brown keluar masuk lewat alveoli, membentur dinding alveoli sehingga akan tertimbun disitu. Apabila udara lingkungan kotor sehingga melampaui kemampuan mekanisme pembersih saluran nafas, maka saluran nafas tidak sepenuhnya terlindungi. Akibat reaksi saluran nafas yang berlebihan seperti terjadi obstruksi dan bila peningkatan reaksi dan obstruksi terjadi berulang-ulang, maka akan terjadi perubahan struktur dan penurunan fungsi saluran nafas yang permanen sehingga menimbulkan obstruksi saluran nafas yang kronik (Wijaya, 1992).


(33)

2.4. Penyakit Kesehatan Akibat Partikulat

Efek kesehatan pada saluran pernafasan dapat dinilai melalui gejala penyakit pernafasan. Gejala penyakit pernafasan banyak dipakai dalam penelitian efek kesehatan oleh partikulat. Gejala penyakit pernafasan merupakan gambaran respon langsung atau efek jangka pendek saluran pernafasan terhadap partikulat. Gejala penyakit pernafasan yang sering dipakai dalam penelitian adalah batuk, sakit kerongkongan, bronki, bunyi mengi, dan sesak nafas (Robertson, 1984, dalam

Purwana, 1999). Gejala penyakit pernafasan sebagai penentu efek kesehatan akibat partikulat banyak dipakai dalam penelitian, karena cara ini dinilai paling praktis dan tidak memerlukan biaya besar.

2.5. Partikulat dalam Sistem Saluran Pernafasan

Morfologi sistem saluran pernafasan amat mempengaruhi karakteristik udara yang diinhalasi dan diekshalasi ke dalam paru-paru. Morfologi ini mempengaruhi pola aliran udara dengan cara mengubah-ubah tekanan, laju arus, arah aliran dan kelembaban udara sehingga tempat pengendapan partikel dalam saluran pernafasan juga turut mempengaruhi. Sebagai akibatnya respon saluran pernafasan terhadap partikulat tampil dalam berbagai bentuk yang berbeda. Tidak semua partikulat akan mengganggu saluran pernafasan. Partikulat yang berukuran lebih besar dari 10 mikron dan kurang dari 0,5 mikron disingkirkan dari daerah hidung, karena derasnya aliran udara, penampang saluran yang sempit dan turbulensi aliran udara sebagai akibat banyaknya kelokan tajam serta bulu hidung. Partikel lain yang berukuran


(34)

kurang dari 10 mikron akan mengendap mulai dari rongga hidung sampai kebagian-bagian yang lebih dalam di wilayah torakal (Schlesinger, 1988, dalam Purwana, 1999).

2.6. Pemajanan

Menurut US NCR, 1991, EHC 214, 2000, dalam Sintorini, (1998) mendefinisikan; pemajanan adalah lamanya kontak antara seseorang dengan satu atau lebih agen biologi, kimia atau fisika pada waktu dan tempat yang bersamaan. Pada pemajanan terjadi hubungan antara faktor lingkungan dengan efek kesehatan pada individu. Hubungan antar unsur-unsur terkait tersebut terjadi pada waktu dan tempat yang bersamaan, yang menyebabkan zat pencemar dapat masuk ke dalam tubuh seseorang. Masuknya zat pencemar ke dalam tubuh manusia adalah melalui absorbsi kulit, inhalasi atau ditelan. Penentuan jalur dan pengukuran pemajanan merupakan aspek yang tidak mudah dilakukan. Namun keduanya merupakan bagian penting untuk menentukan efek kesehatan akibat pencemaran lingkungan termasuk pencemaran udara.

Faktor-faktor penting dalam penilaian pemajanan meliputi penentuan siapa yang terpajan, penentuan terhadap zat pencemar mana pemajanan itu terjadi, dan bagaimana frekuensi serta lamanya pemajanan, serta terpajan pada kadar berapa zat pencemar itu. Hal lain yang tidak dapat dilupakan adalah zat pencemar di udara tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan campuran beberapa zat pencemar. Titik pemajanan udara melibatkan pencemar yang mudah menguap atau teradsorbsi oleh


(35)

partikel airborne dan bisa terjadi secara indoor dan outdoor. Struktur bangunan yang ada di sekeliling suatu lokasi bisa menjadi titik pemajanan pencemar airborne indoor darri migrasi ga-gas dari tanah.

Dalam pemajanan pencemar udara kontak terjadi antara pencemar udara dengan permukaan tubuh manusia. Dibagian luar, permukaan tubuh dimaksud adalah kulit, sedangkan di bagian dalam salah satunya adalah lapisan epitel saluran pernafasan. Kontribusi terbesar dari seluruh pemajanan seseorang dalam rumah adalah kontribusi dari pemajanan respirable particles yaitu sebesar 11,25 µg/m3 atau 47%. Berkaitan dengan pemajanan ada dua hal yang perlu dibedakan yaitu konsentrasi zat pencemar dan dosis zat pencemar. Konsentrasi zat pencemar merupakan karakteristik fisik yang terukur secara kualitatif pada waktu dan tempat tertentu, sedangkan dosis zat pencemar merupakan jumlah zat pencemar yang sesungguhnya masuk ke dalam tubuh manusia dan mencapai sasaran jaringan tubuh. Dosis zat pencemar yang diterima oleh dua orang berada dalam ruang yang sama dengan konsentrasi zat pencemar trtentu menjadi berbeda karena perbedaan cara bernafas pada kedua orang itu.

2.7. Faktor-faktor Lingkungan Kerja yang Mempengaruhi Pemajanan Debu 2.7.1. Ventilasi

Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan ventilasi atau penghawaan minimal 10% dari luas lantai. Dalam lingkungan industri, sistem ventilasi atau penghawaan dibangun berdasarkan kepentingan ruang yaitu sebagai


(36)

ruang produksi atau administrasi. Sebagai ruang produksi, sistem ventilasi umumnya terbuka atau setengah terbuka, dan banyak dilengkapi dengan exhauster yang berfungsi sebagai penyedot udara sehingga pergantian udara menjadi lebih lancar (Suma’mur, 1995).

Menurut Anders (2002), ketersediaan exhauster di ruang produksi yang menghasilkan debu, dapat mengurangi risiko pemajanan debu kepada pekerja.

2.7.2. Suhu dan Kelembaban

Suhu yang nyaman di tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 24 0C sampai 26 0C. Suhu udara di tempat kerja tidak dapat dilepaskan dari keadaan iklim kerja. Iklim kerja merupakan keadaan udara di tempat kerja yang merupakan intraksi dari suhu udara, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan suhu radiasi (Suma‘mur, 1995).

Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah. Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 40% - 60%. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan suhu dan keduanya merupakan pemicu pertumbuhan jamur dan bakteri. Pada umumnya konsidi optimal perkembangbiakan mikroorganisme adalah pada kondisi kelembaban tinggi. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang


(37)

tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan (Suma’mur, 1995).

Menurut Heryuni (1993) dalam Naiem, (1992) berdasarkan surat edaran Menteri Tenaga Kerja No SE-01/Men/1978 mengenai Nilai Ambang Batas yang berlaku untuk lingkungan kerja industri adalah kelembaban 65-90% dengan kisaran suhu 26-30 0C. Sedangkan menurut Kepmenkes No 261/Menkes/SK/II/1998 untuk kelembaban adalah 60%.

2.7.3. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Perlindungan tenaga kerja yang utama melalui upaya teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja. Penggunaan alat pelindung diri merupakan upaya terakhir dalam usaha perlindungan tenaga kerja. Oleh karena itu alat pelindung diri harus memenuhi persyaratan antara lain: enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya yang ada.

Menurut Pery dalam Sudiman (2005), dikatakan bahwa perilaku pemakaian alat pelindung diri dipengaruhi oleh sikap dari pekerjaannya dan sikap pekerja tersebut akan dipengaruhi oleh pengetahuannya.

2.8. Landasan Teori

Berbagai studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara pajanan debu (PM10) terhadap gangguan pernafasan (gejala penyakit saluran pernafasan) telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:


(38)

1. Braun-Fahrlander, et.al (1997) studi anak sekolah di Swiss, usia 6 sampai dengan 16 tahun. Hasil studi menunjukkan adanya hubungan antara batuk kronis dan bronkhitis dengan konsentrasi PM10 di udara ambien. Peningkatan PM10 sebesar 50 µg/m3 berhubungan dengan batuk kronis dengan OR (11,4 (95%CI : 2,8-45,5). 2. Holmess, et.al (1989) dalam Wright (1991), studi terhadap 50 pekerja furniture, ditemukan konsentrasi PM10 109 µg/m3 menyebabkan terjadinya faal paru pekerja sebanyak 31%. Variabel yang dikontrol dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin dan ventilasi.

3. Shamssain, et.al (1992) yang melakukan penelitian terhadap pekerja kayu, menemukan konsentrasi debu 229 µg/m3 menyebabkan terjadinya penurunan faal paru sebanyak 31% tenaga kerja dengan umur antara 20 sampai 45 tahun.

4. Penelitian Godsmith (1997) terhadap tenaga furniture menemukan konsentrasi debu 300 µg/m3 belum menyebabkan terjadinya penurunan faal paru. Rentang konsentrasi debu antara 137 s/d 450 µg/m3. Analisa dengan menggunakan regresi logistik, sedangkan variabel confounding dalam penelitian adalah umur, riwayat penyakit dan ventilasi tempat kerja.

5. Penelitian Douwes (2006), bahwa umur mempengaruhi hubungan pemajanan PM10 dengan terjadinya gejala asma, dengan OR : 2,10 (95% CI : 1,0 – 4,4) dengan variabel penelitian confounding adalah umur, dan kebiasaan merokok. 6. Penelitian Huda (2004), bahwa kerentanan terhadap efek yang berhubungan


(39)

berhubungan dengan debu kayu dibandingkan kelompok pekerja yang tidak berhubungan dengan debu.

7. Penelitian Zulfia (2003) bahwa kelembaban mempengaruhi proses pajanan debu, di mana debu yang terdispersi pada ruang yang lebih lembab akan bergerak secara terbatas karena terabsorbsi oleh uap air yang ada di udara sehingga berat molekulnya bertambah.

8. Robert et.al (1998) dalam Environment Health Project (EHP) terhadap pekerja batu bara, di mana ruangan yang luas dan terbuka dapat tidak menyebabkan terjadinya gangguan fungsi paru sebanyak 34%.


(40)

2.9. Kerangka Konsep

Dari berbagai tinjauan teori di atas, penulis melakukan modifikasi dengan menggabungkan beberapa teori untuk membentuk kerangka konsep dalam penelitian ini, yaitu:

Pekerja Pensortiran Daun Tembakau (Menggunakan APD/Masker)

Pekerja Pensortiran Daun Tembakau (Tidak Menggunakan APD)

Fungsi Paru

- Kelembaban - Suhu

- Umur Konsentrasi Debu

Keterangan :

= Variabel yang diteliti (variabel independen dan dependen) = Variabel yang tidak diteliti (variabel pengganggu)


(41)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian berupa penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi

Eksperimen pre test and post test control group design yaitu kelompok perlakuan

(penggunaan masker) dan kelompok kontrol tanpa perlakuan.

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Gudang Tembakau Deli PTPN II Klambir V Kabupaten Deli Serdang. Penelitian dilakukan 6 bulan terhitung mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2009, yang dimulai dari need assessment, pengumpulan data, pretes, perlakuan dan postes.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah semua pekerja dengan jumlah rata-rata 260 orang, sedangkan sampel penelitian untuk kelompok perlakuan diambil sejumlah 34 orang dan kelompok kontrol sejumlah 34 orang, sampel diambil sesuai dengan kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Pekerja bagian pensortiran daun tembakau. b. Dapat membaca dan menulis.


(42)

d. Umur responden 20 – 45 tahun.

Cara pengambilan sampel dari populasi dalam penelitian ini dilakukan secara Randomisasi yaitu untuk mendapatkan sampel sebanyak 34 orang kelompok perlakuan dan 34 orang kelompok kontrol sesuai dengan kriteria dalam penelitian.

Menurut Kountour (2004) berdasarkan central limit theorem, distribusi rata-rata sampel dari populasi dengan ukuran minimal 30 dianggap normal dan dapat menggunakan statistik parametrik.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Prosedur Pengukuran Kadar Debu Daun Tembakau (PM10)

Pengukuran debu dilakukan pada saat kunjungan ke tempat pensortiran daun tembakau oleh seorang petugas lapangan yang didampingi oleh peneliti. Pengukuran debu di lingkungan kerja dilakukan pada saat proses produksi. Lamanya pengukuran pada tempat pensortiran daun tembakau selama 1 jam. Pada kegiatan ini dikumpulkan juga data tentang keadaan ruang kerja.

Adapun cara kerja alat dan perhitungan Laser Dust Monitor adalah sebagai berikut:


(43)

Gambar 3.1.a. Alat Pengukur Kadar Debu Tahap I :

1. Mapping (pemetaan).

2. Letakkan alat di lokasi sampling.

3. Tidak terganggu dengan sumber tegangan tinggi dengan tinggi ± 1 meter. Tahap II :

1. Buka kap inlet.

2. Stel timer 0,1,1,2,5,10 atau manual (menit). 3. Tekan tombol on/off (warna merah).

4. Cek kekuatan baterai dengan menekan tombol ‘bat’. Perhatikan jarum berada di daerah ‘merah’ kemudian lepaskan.


(44)

5. Tekan tombol ‘start/stop’.

6. Tunggu sampai tanda (-) hilang dari display. 7. Catat counter yang ada di LCD display.

Dalam penelitian ini, pengukuran kadar debu pada ruang sortasi dilakukan pada 5 (lima) titik yaitu 2 (dua) titik sudut kanan, 2 (dua) titik sudut kiri, dan 1 (satu) titik di tengah ruangan. Pada Gambar 3.1.a. berikut adalah pengukuran kadar debu oleh petugas di mana alat tersebut diletakkan di sudut ruangan sortasi tempat para pekerja bekerja.

Gambar 3.1.b. Pengukuran Kadar Debu pada Titik Sudut Ruang Sortasi Untuk mengetahui konsentrasi debu pada ruang sortasi, maka hasil pengukuran dihitung dengan menggunakan rumus:


(45)

CPM x f Kadar Debu =

Q x t Keterangan:

CPM = Counter Per Menit display Q = daya hisap udara = 12 l/menit t = waktu sampling (menit)

f = 0,01 faktor sensitivitas alat

3.4.2. Alat Pengukuran Fungsi Paru

Alat yang digunakan untuk pengambilan data tentang gejala penyakit saluran pernafasan yaitu kondisi tidak normal penyakit saluran pernafasan pada pekerja yaitu

Peak Flow Meter merk Oxis.


(46)

Cara kerja alat:

1. Mula-mula memposisikan pointer di nol.

2. Kemudian angkat alat tersebut, di mana jari tangan tidak menyentuh skala alat ukur/peak flow meter atau alat tersebut diletakkan di samping mulut. 3. Berdiri jika memungkinkan. Ambil nafas dalam-dalam, tempatkan atau

letakkan peak flow meter di dalam mulut dan posisi horizontal/lurus, tutup bibir sekitar alat ukur, kemudian hembuskan dengan kencang/keras dan secepatnya sesuai dengan kemampuan anda.

4. Catat/tulis nilai indikasi skala yang ada pada pointer. Angka awal peak flow meter adalah nol (0), setelah dihembuskan angka pada alat ini dilihat sesuai yang tertera pada alat tersebut.

5. Ulangi/kembalikan pointer pada posisi nol dan ulangi semua prosedur 2 kali atau lebih untuk pembacaan 3 kali. Tandai nilai tertinggi dari 3 kali pembacaan pada gambar sesuai yang ditunjukkan alat tersebut.

6. Nilai tertinggi menunjukkan nilai fungsi paru.

Angka pada alat tersebut adalah 100 ml – 700 ml, dengan range/rentang sebagai berikut:

1. Fungsi paru baik : > 500 ml 2. Fungsi paru sedang : 300-500 ml 3. Fungsi paru kurang : <300 ml


(47)

Pengukuran fungsi paru pekerja pengsortir daun tembakau pada saat penelitian dilakukan pada saat sebelum menggunakan APD dan setelah menggunakan APD selama 3 bulan. Pengukuran yang dilakukan pada masing-masing sampel sebanyak 3 kali pengulangan, angka tertinggi kemudian digunakan untuk menentukan status fungsi paru sampel. Pada gambar 3.4.2. ini merupakan salah satu contoh pelaksanaan pengukuran fungsi para pekerja.

Gambar 3.3. Pengukuran Fungsi Paru Pekerja Pengsortir Daun Tembakau

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Adapun variabel dalam penelitian ini adalah variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen), yaitu:


(48)

a. Variabel Penelitian

Variabel terikat yaitu fungsi paru

Variabel bebas yaitu penggunaan alat pelindung diri (masker) b. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional No Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur 1. Fungsi Paru Petunjuk tentang

penyakit saluran pernafasan Peak Flow Meter Alat ditiup >500 ml 300 – 500 ml < 300 ml

Rasio

2. Debu Suatu partikel dari hasil aktivitas persortiran daun tembakau Laser Dust Moni-tor >NAB <NAB Ordi- nal 3. Penggunaan APD (Masker)

Adalah alat penutup hidung berupa masker atau kain yang digunakan pekerja persortiran selama bekerja 0=Tidak Mengguna kan APD 1=mengguna kan APD Ordi- nal

3.6. Metode Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa melalui proses pengolahan data yang mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Editing, penyuntingan data yang dilakukan untuk menghindari kesalahan atau kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi.

b. Coding, pemberian kode dan scoring pada tiap jawaban untuk memudahkan


(49)

c. Entry Data, setelah proses coding dilakukan pemasukan data kekomputer. d. Cleaning, sebelum analisa data dilakukan pengecekan dan perbaikan terhadap

data yang sudah masuk.

e. Analisa data diperoleh dengan menggunakan perhitungan uji statistik memakai bantuan program komputer.

f. Analisa data Univariat, untuk melihat gambaran dan karakteristik setiap variabel independen (bebas) serta variabel dependen (terikat)

g. Analisa data Bivariat, untuk melihat pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat, yaitu pengaruh pengendalian paparan debu terhadap fungsi paru pekerja pensortiran daun tembakau digunakan uji t dependent.


(50)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

PT. X pada tahun 1869 dikelola oleh Pemerintahan Belanda dengan nama perusahaan Deli Maatschappij. Pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia perusahaan ini menjadi kekuasaan belanda sepenuhnya, dan merupakan salah satu dari 22 unit perusahaan milik PT. Perusahaan Nusantara II.

Pada tahun 1910 perusahaan ini berganti nama menjadi NV.VDM (Verenidg

Deli Maatschappijen). Sejak kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda, maka

semua usaha-usaha yang dikelola oleh Belanda dialihkan menjadi milik Pemerintahan Indonesia termasuk diantaranya adalah Perusahaan Perkebunan. Kemudian pada tahun 1958 Pemerintahan Republik Indonesia mengambil alih NV. VDM dan diberi nama PPN. BARU (Pusat Perkebunan Negara Baru). Perusahaan ini menyebar di berbagai wilayah nusantara, maka tahun 1960 PPN. BARU berubah nama menjadi PPN Cabang Sumatera Utara Unit Sumut-1, hanya berselang setahun yaitu pada tahun 1961. PPN Cabang Unit Sumut-1 berubah menjadi PPN Sumut-1 yang dikhususkan memproduksi tembakau. Akibat dari meningkatnya penjualan tembakau di pasar lokal maupun luar negeri serta daun tembakau yang dihasilkan berkualitas, pada tahun 1963 PPN Sumut-1 berubah nama lagi menjadi PPN Tembakau Deli-II. Lima tahun kemudian PPN Tembakau Deli-II berubah nama menjadi PNP IX.


(51)

Pada tahun 1971 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Pemerintahan RI Nomor 5/KTP/UM/1974/PNP/IX yang isinya adalah perubahan nama dari PNP IX berubah menjadi PT. Perkebunan Nusantara II. Dan nama inilah yang dipakai sampai sekarang. PTPN II Kebun Klambir Lima memiliki 3 jenis komoditi yaitu: Tembakau, Tebu, dan Kelapa Sawit. Pada pengolahan tembakau dilakukan pada gudang pengolahan yaitu dari daun hijau daun tembakau hasil kebun sendiri diolah menjadi daun tembakau kering setelah proses pemeraman. Produk hasil jadi dari tembakau pada PTPN II Kebun Klambir Lima adalah daun tembakau kering.

Produk hasil tembakau PTP. Nusantara II Kebun Klambir Lima diekspor ke luar negeri yaitu Jerman dan Amerika Serikat (AS). Luas HGU (Hak Guna Usaha) PTPN II Kebun Klambir Lima adalah: 2.050.47 Ha. PTP. Nusantara II Kebun Klambir Lima mempunyai struktur organisasi garis (terlampir).

Pada PTP. Nusantara II Kebun Klambir Lima tenaga kerja keseluruhan berjumlah 788 orang di mana pada bagian pensortiran berjumlah, 260 orang selebihnya sebagai tenaga administrasi, manager, kepala dinas tanaman, kepala dinas pengolahan, asisten, mandor, dll. Tenaga kerja masuk pada pukul 7.00 Wib sampai jam 17.00 Wib dan istirahat 1,5 jam (12.30 – 14.00).

Proses produksi tembakau dari mulai pembibitan sampai menjadi daun tembakau kering melewati beberapa tahap. Adapun tahapan tersebut adalah:

1. Proses Penanaman

Proses penanaman di mulai dari penyemaian benih selama 25 hari, kemudian disiapkan media tanaman yang terdiri dari campuran tanah, pupuk, kompos,


(52)

pasir dan bahan-bahan lainnya. Kemudian campuran tersebut dipanaskan pada suhu 100 derajat celcius. Setelah itu media tanam dimasukkan kedalam plat-plat pembibitan. Setelah 40 hari tanaman tembakau siap dipindahkan kekebun tembakau.

2. Proses Pemeliharaan Tanaman

Pada tahapan ini tembakau membutuhkan perawatan berupa pupuk supaya tanaman tembakaunya dapat tumbuh subur dan perawatan kimia yang gunanya untuk memberantas hama atau gulma yang dapat merusak daun tembakau tersebut. Pupuk yang digunakan adalah guano bibit, dolomit, indostik, nemisphore, mixed, spontan dan lainnya. Pada proses pemeliharaan tanaman ini dilakukan penyiraman sebanyak tiga kali sehari serta pencabutan gulma dan pencarian hama yang sering ditemukan pada daun tembakau. Jika ditemukan tanaman tembakau yang rusak dan mati, maka tanaman tersebut dimusnahkan. Seluruh proses pemeliharaan tanaman ini hingga pengutipan daun tembakau menghabiskan waktu 40 hari. Biasanya kondisi cuaca juga mempengaruhi pertumbuhan tembakau. Jika curah hujan sedikit, maka rata-rata umur tembakau yang bisa di panen kurang lebih 50 hari.

3. Proses Panen dan Pengangkutan

Setelah umur tembakau cukup untuk dipanen maka dilakukan pemetikan daun tembakau. Daun yang telah dipanen diangkut ke bangsal pengeringan. Pada saat panen, tidak semuanya daun tembakau yang dipetik. Ada dua tingkatan daun yang dipetik, biasanya daun bagian bawah lebih dahulu setelah beberapa


(53)

hari kemudian daun bagian atas. Tujuh daun ke atas disebut dengan daun kaki ½ , sedangkan lima daun ke bawah disebut dengan daun pasir.

4. Proses Pengeringan

Setelah daun tembakau di angkut ke bangsal pengeringan, daun tersebut dikeringkan. Untuk daun pasir (Z), waktu yang dibutuhkan dalam pengeringan adalah 19 – 22 hari. Sedangkan untuk daun kaki ½ adalah 20 – 22 hari. Dalam proses pengeringan, daun hijau tembakau tidak dikeringkan di bawah sinar matahari langsung tetapi di dalam ruangan tertutup dengan menggunakan asap hasil pembakaran batu bara.

5. Proses Penyortiran

Daun tembakau yang telah kering, diangkut dari bangsal pengeringan ke gudang pensortiran. Selama tembakau berada digudang pensortiran suhu atau temperatur ruangan sangat dijaga, sebab suhu yang tidak stabil mengakibatkan kerusakan pada daun tembakau tersebut. Juga dilakukan pengelompokan yang terdiri dari daun tembakau lelang breman, non lelang breman, dan daun gruis. Pengelompokan tembakau ini sangat membutuhkan ketelitian. Setelah daun tembakau dikelompokkan, kemudian dilakukan proses permentasi agar daun tembakau tersebut layu dan tahan lama. Suhu yang dibutuhkan pada proses ini antara 45 – 50 derajat celcius. Di dalam gudang ini juga dilakukan pensortiran daun tembakau sesuai dengan jenis, warna, juga tidak terdapat lagi daun yang koyak atau robek. Daun tembakau diikat di mana setiap ikatan terdiri dari 40 lembar. Kemudian baru dilakukan pengepakan dan setelah berjumlah 150 pak


(54)

dilakukan pengebalan dan tidak lupa mencap setiap satu bal tembakau. Maka proses selesai tembakau siap untuk diekspor. Perbedaan ketiga jenis produk jadi terdapat pada tekstur daun tembakau. Untuk menilai tembakau yang berkualitas dilihat dari sisi ketebalan, kelenturan dan warna tembakau. Produksi tembakau kebun klambir lima sebagian besar diekspor ke Jerman, oleh karenanya sebutan tembakau hasil jadi kebun ini adalah Lelang Breman. Tembakau produksi kebun klambir lima merupakan salah satu produk Indonesia yang sudah dikenal di pasar Internasional karena kualitasnya yang baik.

Tahap-tahap proses tembakau mulai pembibitan sampai diekspor dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut:


(55)

Pembibitan ± 40 Hari

Penanaman ± 70 Hari

Pemetikan

Pengeringan 22 Hari

Saring Ikat Kasar

Stapel A = 8 Hari

Sortasi = 3-4 bulan 7 jam / hari Stapel D = 30 Hari

Stapel B = 12 Hari

Stapel C = 21 Hari

Ekspor Packing

Saring dan Uji Lab.


(56)

4.2. Karakteristik Pekerja 4.2.1. Umur Pekerja

Distribusi pekerja pensortir daun tembakau di PT. X berdasarkan umur disajikan pada gambar di bawah ini:

0 20 40 60

UMUR

<30 Tahun 0 2,9

30-40 Tahun 55,9 50

>40 Tahun 44,1 47,1

KONTROL PERLAKUAN

Gambar 4.2. Karakteristik Pekerja Berdasarkan Umur

Dari gambar di atas menunjukkan bahwa tenaga kerja pensortir daun tembakau pada kelompok kontrol yang berusia antara 30-40 tahun yaitu sebesar 55,9% (19 orang), dan untuk kelompok perlakuan sebesar 50% (17 orang).

Hal ini menyatakan bahwa umur tenaga kerja pensortir daun tembakau pada bagian pensortiran daun tembakau di PT. X berada pada golongan usia produktif.

Umur berhubungan dengan proses penuaan, semakin tua umur seorang maka semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru.


(57)

4.2.2. Masa Kerja

Distribusi pekerja pensortir daun tembakau di PT. X berdasarkan masa kerja disajikan pada gambar berikut ini:

0 50 100

MASA KERJA

<10 Tahun 35,3 50

10-20 Tahun 61,8 50

>20 Tahun 2,9 0

KONTROL PERLAKUAN

Gambar 4.3. Karakteristik Pekerja Berdasarkan Masa kerja

Gambar di atas menunjukkan bahwa masa kerja pada kelompok kontrol sebagian berada pada masa kerja 10-20 tahun yaitu sebesar 61,8% (21 orang) dan kelompok perlakuan juga sebagian besar berada antara masa kerja 10-20 tahun yaitu sebesar 50% (17 orang). Hal ini menyatakan bahwa masa kerja pekerja pada bagian pensortiran daun tembakau di PT. X sudah tergolong lama, artinya para pensortir sudah lama terpapar oleh debu. Debu tersebut awalnya menyebabkan penyakit bronkitis tetapi dalam waktu yang lama berlanjut ke penyakit bronkitis kronis dan seterusnya dapat menyebabkan penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kerja).


(58)

4.2.3. Pendidikan

Distribusi pekerja pensortir daun tembakau di PT. X berdasarkan pendidikan disajikan pada gambar berikut ini:

0 20 40 60 80

PENDIDIKAN

SD 61,8 79,4

SMP 35,3 11,8

SMA 2,9 8,8

KONTROL PERLAKUAN

Gambar 4.4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Pendidikan

Tingkat pendidikan pekerja pensortir daun tembakau sebagian besar memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), di mana pada kelompok kontrol sebesar 61,8% (21 orang) dan kelompok perlakuan sebesar 79,4% (27 orang).

4.3. Kadar Debu

Adapun nilai kadar debu pada ruangan tempat pekerja bekerja menunjukkan nilai yang berbeda, seperti pada gambar berikut ini:


(59)

0 50 100 150 200

KADAR DEBU (µg/m3)

KADAR DEBU 152,3 158,62 197,6 168,97 167,74

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5

Gambar 4.5. Kadar Debu Berdasarkan Titik Pengukuran

Pada gambar di atas terlihat bahwa nilai kadar debu berbeda untuk masing-masing titik, nilai kadar debu yang paling tinggi terdapat pada titik tengah yaitu 197,6 µg/m3 sedangkan yang terendah pada titik 1 (satu) sebesar 152,3µg/m3. Namun, jika dirata-ratakan nilai kadar debu pada semua titik maka memiliki nilai kadar debu 167,65 µg/m3, di mana nilai ini telah melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yaitu 150 µg/m3 (lihat Lampiran 3).

4.4. Fungsi Paru

Hasil pengukuran fungsi paru pekerja pensortiran daun tembakau dengan menggunakan alat Peak Flow Meter dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini:


(60)

Tabel 4.1. Rata-rata Nilai Fungsi Paru Pekerja Pensortir Daun Tembakau

Variabel Kontrol Perlakuan

Fungsi Paru Sebelum Intervensi (ml) 318,09 308,68 Fungsi Paru Setelah Intervensi (ml) 322,35 362,50

P Value 0,087 0,0001

Dari hasil pengukuran diketahui bahwa rata-rata fungsi paru pekerja pensortiran daun tembakau pada kelompok kontrol sebelum intervensi sebesar 318,09 ml dan setelah intervensi 322,35 ml. Walau diuji pakai uji t hasilnya tidak bermakna atau tidak ada beda disebabkan para pekerja sebelum dan sesudah intervensi tidak memakai masker. Sedangkan untuk kelompok perlakuan memiliki nilai rata-rata sebelum intervensi sebesar 308,68 ml dan setelah intervensi mengalami kenaikan menjadi 362,50 ml disebabkan para pekerja sebelum dan sesudah intervensi memakai masker. Jika diuji pakai uji t hasilnya bermakna jika nilai rata-rata fungsi paru ini dimasukkan ke dalam standar pengukuran maka fungsi paru untuk kedua kelompok berada pada status sedang, yaitu antara 300-500 ml.

Dari hasil uji statistik yang dilakukan pada kelompok kontrol sebelum dan setelah mendapatkan intervensi menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata yang signifikan dengan nilai p = 0,087 atau (p>0,05), artinya uji t tidak bermakna karena P Value > 0,05 sedangkan untuk kelompok kasus sebelum dan setelah mendapatkan intervensi menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang signifikan dengan nilai p = 0,0001 (p<0,05) artinya uji t bermakna karena P Value < 0,05.


(61)

Jika dilihat nilai rata-rata fungsi paru pada pekerja pensortir daun tembakau untuk kedua kelompok sebelum dan setelah intervensi, maka masing-masing kelompok menunjukkan angka yang berbeda, seperti pada Gambar 4.6 berikut ini:

0 100 200 300 400

NILAI RATA-RATA FUNGSI PARU (ml)

SEBELUM INTERVENSI

318,09 308,68

SETELAH INTERVENSI

322,35 362,5

SELISIH 4,26 53,82

KONTROL PERLAKUAN

Gambar 4.6. Nilai Rata-Rata Fungsi Paru

Dari gambar di atas terlihat bahwa kedua kelompok menunjukkan selisih fungsi paru, untuk kelompok kontrol (tanpa menggunakan) memiliki selisih rata-rata sebesar 4,26 ml, sedangkan pada kelompok perlakuan (dengan menggunakan) memiliki selisih yang lebih tinggi yaitu sebesar 53,82 ml.


(62)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Kadar Debu

Pengukuran debu dilakukan pada saat kunjungan ke tempat pensortiran daun tembakau dengan menggunakan alat Laser Dust Monitor, yang dilakukan selama 1 jam untuk setiap titik pada 5 (titik) ruangan pengsortiran daun tembakau. Hasil pengukuran yang dilakukan menunjukkan angka yang berbeda untuk setiap titik yang diukur, hasil rata-rata pengukuran untuk semua titik menunjukkan angka 167,65 µg/m3.

Titik 3 : Daun tembakau dibawa dari bangsal ke gudang sortasi (debu masih banyak).

Titik 4 : Daun tembakau disortasi atau dipilih. Daun yang baik dipisahkan dengan daun yang buruk.

Titik 5 : Daun yang baik disortir dengan daun yang baik. Daun yang jelek disortir dengan daun yang jelek.

Titik 2 : Dari daun yang baik disortir lagi. Diambil daun yang besar atau lebar. Dari daun yang jelek disortir lagi. Diambil daun yang besar atau yang lebar.

Titik 1 : dari daun yang baik disortir lagi. Dipisahkan berdasarkan warna daun.


(63)

Dari hasil pengukuran ini diketahui bahwa ruangan pensortiran daun tembakau memiliki nilai kadar debu yang telah melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yaitu >150 µg/m3. Keadaan ini tentunya akan membahayakan kesehatan pekerja terutama kesehatan paru-paru pekerja. Paru-paru pekerja awalnya akan menderita penyakit bronkitis, kemudian berlanjut menjadi penyakit bronkitis kronis, setelah 10-20 tahun akan terjadi penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis). Hal ini sesuai dengan penelitian Braun-Fahrlander (et.al) 1997, bahwa batuk dan bronchitis berhubungan secara signifikan dengan konsentrasi PM10 (OR :11,4, 95% CI : 2,8 – 45,5).

Hasil penelitian tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Sumardiono (2007) bahwa paparan debu tembakau dapat menurunkan fungsi paru pekerja bagian

proccesing PT. Djitoe ITC Surakarta. Demikian juga dengan penelitian yang

dilakukan oleh Holmess, (1989) dari 50 pekerja furniture, ditemukan konsentrasi PM10 109 µg/m3 menyebabkan terjadinya faal paru pekerja sebanyak 31% (Jeyaratman, 1997). Sedangkan Shamssain (1992) yang melakukan penelitian terhadap pekerja kayu, menemukan konsentrasi debu 229 µg/m3 menyebabkan terjadinya penurunan faal paru sebanyak 31% tenaga kerja dengan umur antara 20 sampai 45 tahun. Sedangkan penelitian Godsmith (1997) terhadap tenaga furniture menemukan konsentrasi debu 300 µg/m3 belum menyebabkan terjadinya penurunan faal paru.

Partikel PM10 terdiri dari partikel kompleks di udara yang mempunyai ukuran antara 0,1 µm sampai dengan 10 µm. Pada ukuran tersebut memungkinkan virus,


(64)

bakteri, zat kimia dan materi lain yang ada di dalamnya terdeposit di daerah rongga hidung sampai cabang kedua bronkhus (US.EPA, 2004). PM10 yang mengandung virus, bakteri, zat kimia dan materi lainnya dapat masuk ke dalam saluran pernafasan, selanjutnya menyebabkan peradangan dan iritasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Smith (2002), bahwa partikel diudara ambien yang terinhalasi selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peradangan lokal pada paru-paru.

Namun walaupun demikian, pengaruh kadar debu terhadap fungsi paru-paru dipengaruhi oleh umur pekerja dan lamanya pekerja (masa kerja) terpapar oleh debu tersebut. Umur berhubungan dengan proses penuaan, semakin tua umur seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru. Penurunan kapasitas vital paru dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan kapasitas vital paru akan berlangsung lebih cepat setelah berumur 40 tahun.

Demikian juga dengan masa kerja, masa kerja adalah jangka waktu seseorang bekerja pada suatu instansi (kantor, pabrik, dan sebagainya). Menurut Yuli (2005) bahwa lingkungan kerja yang berdebu dengan masa kerja yang lama dapat mempengaruhi penurunan kapasitas fungsi paru. Sesuai juga dengan penelitian Suma’mur (1996) bahwa semakin lama seseorang bekerja dalam lingkungan yang berdebu maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

Namun demikian, masa kerja tidak mempunyai hubungan langsung terhadap terjadinya gangguan pernafasan, tetapi dapat menjadi faktor risiko terjadinya gangguan fungsi pernafasan. Keadaan ini disebabkan oleh karena variabel masa kerja


(65)

tidak secara langsung atau tidak dapat berdiri sendiri untuk mempengaruhi gangguan pernafasan, sehingga memerlukan variabel lain untuk bersama-sama mempengaruhi gangguan fungsi pernafasan. Kemungkinan lain yaitu debu yang terhirup membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat menimbulkan gangguan pernafasan, karena setiap jenis debu organik maupun anorganik sampai menimbulkan gangguan pernafasan mempunyai jangka waktu berbeda, tergantung konsentrasi atau kadar serta ukuran debu tersebut dan hal lain kemungkinan adalah adanya kerentanan pekerja terhadap polutan.

5.2. Pengaruh Penggunaan Masker dengan Fungsi Paru

Masker adalah alat yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya potensi bahaya baik yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan pekerjaannya. Masker ini tidaklah secara sempurna dapat melindungi dirinya dari bahaya, tetapi dapat mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi.

Masker terdiri dari 1. Masker monofilter 2. Masker doblefilter 3. Masker kain

Dalam penelitian ini digunakan masker yang terbuat dari kain yang berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Posisi masker terletak antara hidung dan mulut tercover (tertutup


(66)

semua). Masker diganti minimal 1x seminggu (tergantung dari perubahan warna debu di masker). Perbedaan masker kain dengan handuk adalah handuk mempunyai pori-pori yang besar atau 100 micron sedangkan masker kain mempunyai pori-pori-pori-pori yang kecil atau 10 micron. Masker di dalam penelitian ini dipakai kurang lebih 6 jam per hari dengan masa istirahat 2 jam. Para pekerja diawasi oleh mandor sortir.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa rata-rata fungsi paru pekerja pensortiran daun tembakau pada kelompok kontrol sebelum intervensi sebesar 318,09 ml dan setelah intervensi 322,35 ml. Sedangkan untuk kelompok perlakuan memiliki nilai rata-rata sebelum intervensi sebesar 308,68 ml dan setelah intervensi sebesar 362,5 ml. Jika nilai rata-rata fungsi paru ini dimasukkan ke dalam standar pengukuran maka fungsi paru untuk kedua kelompok berada pada status sedang, yaitu antara 300-500 ml artinya selama ini pekerja diruang sortasi sudah mengalami kelainan fungsi paru tingkat sedang.

Dari hasil uji statistik yang dilakukan pada kelompok kontrol dan perlakuan sebelum mendapatkan intervensi menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata yang signifikan dengan nilai p = 0,087 atau (p>0,05), sedangkan untuk kelompok kontrol dan kelompok perlakuan setelah mendapatkan intervensi menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang signifikan dengan nilai p = 0,0001 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pekerja pensortiran daun tembakau yang menggunakan masker selama bekerja memiliki fungsi paru yang lebih baik dibandingkan dengan pekerja yang tidak menggunakan masker artinya ada perbaikan fungsi paru pekerja.


(67)

Peningkatan fungsi paru pekerja pensortir daun tembakau ini dapat dilihat dari perbandingan selisih nilai fungsi paru kedua kelompok, untuk kelompok kontrol (tanpa menggunakan masker) memiliki kenaikan rata-rata sebesar 4,26 ml, sedangkan pada kelompok perlakuan (dengan menggunakan masker) memiliki kenaikan yang lebih tinggi yaitu sebesar 53,82 ml. Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan masker dapat menghambat masuknya partikel debu ke dalam saluran pernafasan pekerja.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mila (2006), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pemakaian masker dengan kapasitas vital paru tenaga kerja bagian pengamplasan. Begitu juga dengan penelitian Satria (2006), di mana ada pengaruh antara pemakaian masker dengan kapasitas fungsi paru petani pengguna pestisida semprot. Demikian juga dengan teori Suma’mur (1996), yang menyatakan bahwa penggunaan masker berkaitan erat dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru. Penggunaan masker ini akan dapat mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru, sehingga dapat mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru.

Menurut penelitian Widjaya (1998) didapatkan pekerja yang menggunakan masker hanya 9,3% yang mempunyai kelainan klinis saluran pernafasan. Hasil penelitian Holmess, 1989 dalam Wright (1991), terhadap 50 pekerja furniture ditemukan bahwa pekerja yang tidak konsisten dalam menggunakan masker sebanyak 27% mengalami penyakit pernafasan.


(68)

Oleh karena itu, sangatlah perlu dilakukan upaya untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan masker yang cukup protektif terhadap pajanan debu pada pekerja pensortir daun tembakau untuk itu kiranya diperlukan kerjasama antara pihak Dinas Kesehatan dengan pihak perkebunan untuk melakukan monitoring

terhadap penggunaan masker pada pekerja. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesadaran kepada pekerja akan penting dan perlunya masker. Selain itu diharapkan bagi pengusaha untuk melengkapi ruang kerja produksi dengan exhauster, sehingga debu yang berada diruang kerja dapat terhisap keluar.


(69)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Umur pekerja pengsortir daun tembakau sebagian besar (lebih dari 50%) berada pada umur 30 – 40 tahun, baik pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang artinya umur pekerja tergolong produktif.

2. Masa kerja pekerja pengsortir daun tembakau untuk kelompok kontrol sebesar 61,8% sedangkan kelompok perlakuan sebesar 50% yang telah memiliki masa kerja 10-20 tahun yang artinya para pekerja pensortiran daun tembakau sudah lama terpapar oleh debu dan menderita gangguan fungsi paru sedang.

3. Lebih dari 50% pekerja pengsortir daun tembakau untuk kedua kelompok memiliki tingkat pendidikan SD.

4. Pada ruang sortasi daun tembakau memiliki kadar debu melebihi nilai ambang batas yaitu >150 µg/m3.

5. Ada pengaruh yang bermakna (signifikan) penggunaan masker terhadap fungsi paru pekerja pengsortir daun tembakau.

6.2. Saran

1. Seharusnya para pekerja pengsortir daun tembakau menggunakan masker selama melakukan pekerjaannya yang disediakan oleh perusahaan.


(70)

2. Seharusnya perusahaan melengkapi seluruh ruang sortasi daun tembakau dengan alat exhauster, sehingga debu yang berada di ruang kerja dapat terhisap keluar, dengan demikian konsentrasi debu pada ruangan tersebut dapat diturunkan sehingga tidak melebihi nilai ambang batas.

3. Penelitian ini perlu dilanjutkan lagi untuk dapat mencegah terjadinya kelainan fungsi paru sedang menjadi berat.

4. Perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks untuk melihat gambaran paru para pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru.


(71)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y, (1992), Polusi Udara dan Kesehatan, Arcan, Jakarta.

Achmadi, UF, (1991), Faktor-faktor Penyebab ISPA dalam Lingkungan Rumah Tangga di Jakarta Tahun 1990/1991, Lembaga Penelitian UI, Jakarta.

Baccarelli, A. et.al, (2006), Air Polution, Smoking and Plasma Homocytein. National Institute of Environmental Health Science (NIEHS). http://www.ehponline.org. Diakses tanggal 8 Juni 2007.

Bedong, A. (1997), Penyakit Akibat Kerja, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Tahun XXV (4).

Dinas Kesehatan Kota Pontianak, (2006), Profil Kesehatan Kota Pontianak Tahun 2005.

Douwes J. et.al, (2006), Pine Dust Atopy and Lung Function a Cross Sectional Studi in Sawmill Workers. European Respiratory Journal (ERJ).

http://www.erj.org. Diakses tanggal 8 Juni 2007.

Fardiaz, S, (1992), Polusi Air dan Udara, Diterbitkan dalam Kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Kusnoputranto. H, (1995), Pengantar Toksiologi Lingkungan, Universitas Indonesia Bekerja Sama dengan Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Depdikbud, Jakarta.

_________, (2000), Toksikologi Lingkungan, Departemen Pendidikan & Kebudayaan UI, FKM, Jakarta.

Kammen, D.M, et.al, (1998), Brod Search Annotated Bibliograpy on: Acute Respiratory Infection (ARI) and Indoor Air Polution dalam Environmental Health Project (EHP). http://www.ehproject.org. Diakses tanggal 8 Juni 2007 Lemeshow S, et.al, (1997), Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan, Terjemahan.

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


(72)

Millicend W and Long, (1993), Smoking and Long Function In Elderly Men

AndbWomen, The Cardiovascular Health Study, J of Am Med.

Naiem, M.F, (1992), Studi Kapasitas Maksimal Paru Pekerja yang Terpapar Debu Kayu Pada Industri Mebel Sektor Informal di Kelurahan Jatinegara Jakarta Timur, Tesis, FKM K3. Jakarta.

Purwana, R, (1992), Partikulat Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan Pernafasan pada Anak Balita, Disertasi, IKM UI, Jakarta.

________, (1991), Pengawasan Lingkungan Pemukiman, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan.

________, (2006), Profil Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Pontianak.

Parker, S.P, (1980), Encyclopedia of Environmental Science. 2nd ed.. Mc.Brown-Hill Book.Co, New York.

Sanropie, D, et.al, (1989), Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Pusdiknakes, Depkes, Jakarta.

Sintorini, M.M, (2002), Hubungan Antara Kadar PM10 Udara Ambien Dengan Kejadian Gejala Penyakit Saluran Pernafasan, Thesis, PS-UI, Jakarta.

Suma’mur PK, (1995), Hyperkes Keselamatan Kerja dan Ergonomi, Dharma Sakti Menara Agung, Jakarta.

WHO, (1986), Recommended Health Based Limit in Occupational Exposure to Selected Mineral Dust (Silica, Coal), Genewa.

_______, (2000), Environmental Health Criteria 214, Human Exposure Assessment Geneva.

_______, (2007), Indoor Ar Polution. www.wpro.who.int/internet/files/hse/Indoor Air/Chap6 IAQs Enkhtsesteg.pdf. Diakses tanggal 5 Juli 2007.

Wark, K and Warner FC, (1981), Air Pollution, Its Origin and Control, Second Edition, Harper & Row Publisher, New York.

Yunus, F, (1997), Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan Pengendaliannya,


(73)

(74)

(75)

(76)

(77)

(78)

(1)

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian

Naik Suryanta : Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja Pensortiran Daun Tembakau Di PT. X Kabupaten Deli Serdang, 2009


(2)

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian

Naik Suryanta : Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja Pensortiran Daun Tembakau Di PT. X Kabupaten Deli Serdang, 2009


(3)

Lampiran 3. Rekapitulasi Data Sampel pada Kelompok Kontrol

Naik Suryanta : Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja Pensortiran Daun Tembakau Di PT. X Kabupaten Deli Serdang, 2009


(4)

Lampiran 4. Rekapitulasi Data Sampel pada Kelompok Perlakuan

Naik Suryanta : Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja Pensortiran Daun Tembakau Di PT. X Kabupaten Deli Serdang, 2009


(5)

Lampiran 5. Pengukuran Kadar Debu Pada Ruang Sortasi

Naik Suryanta : Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja Pensortiran Daun Tembakau Di PT. X Kabupaten Deli Serdang, 2009


(6)

Lampiran 6. Hasil Uji T-Test

Naik Suryanta : Pengaruh Pengendalian Paparan Debu Pada Pekerja Pensortiran Daun Tembakau Di PT. X Kabupaten Deli Serdang, 2009