Dunia memandang wanita Resensi Buku Yuk, Berhijab
diperjualbelikan layaknya budak, tidak memiliki hak sipil dan Yunani Kuno, posisi wanita tidak jauh dari sekedar pemuas nafsu lelaki saja.
Dikisahkan dalam buku-buku dan mitologi-mitologi Yunani, dapat kita baca bahwa sering kali dewa-dewa berselingkuh dan memiliki anak di
luar nikah. Dewa-dewa gemar berbuat hal-hal yang tidak pantas dilakukan, hingga lahirlah demigod, manusia setengah dewa, seperti
Hercules, Perseus, Theseus, atau Gilgamesh. Pada zaman romawi, filosofi hidup yang mendasari peradaban
Romawi tidak jauh dari filosofi Yunani. Hanya lebih sadis, lebih tertata, dan lebih ekspansif. Wanita hanya objek seksual untuk dinikmati bukan
dikasihi. Coba tengok hasil-hasil karya seni Yunani-Romawi Kuno, jelaslah bagi mereka wanita hanya untuk dieksploitasi. Bahkan dalam
pandangan Romawi, seorang lelaki tidak bersalah jika membunuh istri dan anaknya. Pada tahun 550 M, Kaisar Justinian sampai mengeluarkan
aturan pelarangan membunuh istri dan anak. Solusinya, karena tidak bisa dibunuh, ya akhirnya dijual saja di pasar sebagai budak.
2
Zaman di India, tradisi Hindu mengenal sati. Sati adalah sebuah proses membakar diri bagi janda yang ditinggal mati suaminya.
Sedangkan di peradaban Cina kuno, wanita-wanita sama saja penempatannya sebagai warga kelas dua. Belajar dan menjadi
cendekiawan hanya hak lelaki. Demikian nasib wanita ditinjau dari segi peradaban.
2
Felix Y.Siauw, Yuk,berhijab Bandung: Mizania, 2013, h. 15.
Emansipasi kemudian muncul, kesetaraan gender digelar, bendera feminisme dikibarkan. Di antara kaum wanita mulai bangkit
dan menuntut kesetaraan antara lelaki dan wanita. Tetapi harapan wanita agar ia sama seperti lelaki dalam segala hal, bukannya berakhir pada
hasil yang memuliakan wanita, tapi berujung kepada penghancuran martabat wanita sendiri, karena menjauh bahkan mengingkari fitrah.
Bila pada masa lalu wanita direndahkan secara terpaksa, saat ini wanita rela untuk direndahkan. Menghinakan diri sendiri demi sekeping emas
atau segepok dolar, dengan badan mereka sebagai modal. Bukan rahasia lagi apabila unsur tidak seharusnya ditonton
adalah unsur utama dalam hiburan, pertunjukkan sampai iklan. Tetapi tampaknya sutradara dan marketer benar-benar pintar memanfaatkan
insting primitif lelaki, yang pasti tertarik bila ada yang membuka apa yang seharusnya terlindung. Fashion nampaknya menjadi pembenaran
untuk menjadi murahan, seni jadi alasan untuk tanggalkan harga diri. Atas nama trend apabila hijab dijadikan fashion untuk memperoleh
popularitas yaitu dengan memakai pakaian yang tidak sopan misalnya pakaian yang ketat, kerudung tidak menutupi dada harusnya malu
dengan hijab yang dikenakan.
3