Kepercayaan Awal Masyarakat Batak Toba

15

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA, LOKASI

PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT GUNTUR SITOHANG 2.1 Asal Usul Masyarakat Batak Toba Suku Batak sendiri terdiri dari enam sub-suku yaitu, Toba, Simalungun, Karo, Pak-pak, Angkola dan Mandailing. Suku Batak bermukin di daerah pegunungan dan pedalaman provinsi Sumatera Utara, sebagian besar dari ke enam sub-suku ini berdiam di sekeliling Danau Toba, kecuali Angkola dan Mandailing yang hidup di perbatasan Sumatera Barat. Beberapa peneliti atau penulis mengungkapkan asal usul dari suku Batak, salah satunya Parlindungan, beliau mengatakan bahwa orang Batak tergolong Proto Melayu, hal tersebut dikatakan oleh karena karakteristik yang dimiliki oleh orang-orang Proto Melayu yang gemar untuk tinggal atau menetap di daerah- daerah pedalaman serta pegunungan dan menghindari daerah tepi pantai, sehingga saat mereka tiba di kepulauan nusantara nenek moyang bangsa Batak langsung masuk jauh ke pedalaman hutan dan menjauhi pesisir pantai yang diperkirakan mendiami daerah sekitar Danau Toba.

2.2 Kepercayaan Awal Masyarakat Batak Toba

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Universitas Sumatera Utara 16 Debata Natolu. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu: 1. Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap menjemput tondi dari sombaon yang menawannya. 2. Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. 3. Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Disamping aliran kepercayaan agama suku tersebut, terdapat juga dua agama besar yang berpengaruh dan dianut oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba, yaitu Kristen Protestan dan Islam. Kepercayaan pada masyarakat Toba sebelum memeluk agama Kristen dan Islam dan masih ada pengikutnya sampai saat ini adalah Parmalim, Parbaringin, dan Parhudam-hudam. Kepercayaan ini sering pula disebut agama Si Raja Batak, karena kepercayaan ini diyakini oleh sebagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Sisingamangaraja XII. Mengikut Batara Sangti didirikanya kepercayaan-kepercayaan tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Sisingamangaraja XII, sebagai gerakan keagamaan dan politik, yaitu parmalin dan parhudam-hudam sebagai bentuk gerakan ekstrimis berani mati. Selepas perang lumbang gorat Balige pada tahun 1883 seorang Universitas Sumatera Utara 17 kepercayaan Sisingamangaraja XII yang bernama guru Somalaing Pardede ditugaskan memperkuat pertahanan diwilayah Habinsaran, terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan membentuk sebuah agama baru yang disebut parmalin Batara Sangti 1977:79. Menurut Horsting, Parmalim adalah ajaran agama yamg didalamnya terdapat unsur-unsur agama kristen dan islam dan tidak meninggalkan kepercayaan Batak Toba Tua. Masuknya agama Islam ke tanah Batak adalah sebagai berikut, dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang liar yang musyrik dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan perkawinan dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi. Jadi dapat disimpulkan pengaruh Islam tidak begitu besar bagi masyarakat Batak Toba, karena agama ini hanya berpengaruh kuat di daerah Madailing, Karo, Pak-pak dan Dairi. Sedangkan masuknya agama Kristen Protestan di tanah Batak terjadi sekitar tahun 1824. Dimulai oleh Universitas Sumatera Utara 18 misionaris Baptis asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward Kedua pendeta ini mencoba memperkenalkan Injil dikawasan Silindung Tarutung. Namun kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba di kawasan Silindung pada saat itu. Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat mengirimkan dua orang pendeta yaitu Munson dan Lymann. Kedua missionaris ini dibunuh oleh penduduk dibawah pimpinan Raja Panggalemei di lobu pining pada bulan juli 1834. 15 tahun kemudian pada tahun 1849 kongsi bible Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. Van Der Tuuk untuk menyelidiki budaya batak. Ia menyusun kamus Batak Belanda, dan menyalin sebagian isi Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utamanya adalah merintis penginjilan ke tanah batak melalui budaya. Tahun 1959, jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen mengirim pendeta muda G.Van Asselt ke tapanuli selatan. Ia tinggal di Sipirok sambil bekerja di perkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh pendeta Rheinische Mission Gesellscahft RMG, pada masa sekarang menjadi Verenigte Evangelische Mission VEM dipimpin oleh Dr. Fabri. Namun penginjilan berjalan sangat lambat. Hingga akhirnya seorang pemuda Jerman yang baru menyelesaikan sekolahnya dan ditahbiskan sebagai pendeta tahun 1861 berniat untuk datang ke tanah Batak setelah mendengar cerita tentang bangsa Batak. Ia lalu pergi ke Belanda untuk mempelajari tentang bangsa Batak dan kemudian berangkat dari Amsterdam ke Sumatera dengan kapal pertinar. Tahun 1862, 14 Mei Setelah mengalami banyak cobaan di lautan, Ingwer Ludwig Nommensen mendarat di Padang. November 1863, Ingwer Ludwig Nommensen pertama kali mengunjungi Universitas Sumatera Utara 19 Lembah Silindung. Dia berdoa di Bukit Siatas Barita, di sekitar Salib Kasih yang sekarang. “Tuhan, hidup atau mati saya akan bersama bangsa ini untuk memberitakan FirmanMu dan KerajaanMu, Amin”. Mei 1864, Ingwer Ludwig Nommensen diijinkan memulai misinya ke Silindung, sebuah lembah yang indah dan banyak penduduknya. Juli tahun 1864, Ingwer Ludwig Nommensen membangun rumahnya yang sangat sederhana di Saitnihuta setelah mengalami perjuangan yang sangat berat. Tahun 1864, 30 Juli Ingwer Ludwig Nommensen menjumpai Raja Panggalamei ke Pintubosi, Lobupining. 25 September 1864, Ingwer Ludwig Nommensen mau dipersembahkan ke Sombaon Siatas Barita Dionan Sitahuru. Ribuan orang datang. Ingwer Ludwig Nommensen akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Ingwer Ludwig Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas. Ingwe r Ludwig Nommensen pantas dijuluki “Apostel di Tanah Batak”

2.3 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba