Pokok Permasalahan Kepercayaan Awal Masyarakat Batak Toba

6 dibutuhkan ketelitian dan pemilihan bahan baku yang terbaik untuk sebuah alat musik yang dibuat oleh beliau. Menurut bapak Guntur Sitohang semakin jarang orang yang memiliki maupun yang mahir memainkan saga-saga saat ini. Bapak Guntur Sitohang memiliki prinsip untuk memprioritaskan kualitas dari setiap alat musik buatanya maka penulis tertarik untuk lebih dalam lagi membahas bagaimana kajian organologis atau kebudayaan material musik dalam Etnomusikologi seperti yang telah dikemukakan oleh Merriam 1964, maka penulis akan mencoba meneliti, mengkaji, dan menuliskannya dalam bentuk karya tulisan ilmiah dengan judul “Kajian Organologis Saga-saga Batak Toba Buatan Bapak Guntur Sitohang Di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir”.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini, yaitu: 1. Bagaimana Proses dan Teknik Pembuatan Saga-saga oleh bapak Guntur Sitohang. 2. Fungsi Saga-saga pada Masyarakat Batak Toba. 3. Bagaimana Teknik Permainan Saga-saga Batak Toba. Universitas Sumatera Utara 7 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan saga-saga buatan bapak Guntur Sitohang baik dari segi struktur bagian saga-saga maupun fungsional atau fungsi dari setiap bagian yang terdapat pada Saga-saga. 2. Untuk mengetahui fungsi saga-saga pada masyarakat Batak Toba. 3. Untuk mengetahui teknik permainan saga-saga Batak Toba.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai saga- saga Batak Toba di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara. 2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan selanjutnya. 3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama perkuliahan di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara. 4. Suatu upaya untuk melestarikan salah satu instrument musik tradisional Batak Toba. Universitas Sumatera Utara 8 5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara. 1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Kajian merupakan kata jadian dari kata ”kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pengertian kata ”Kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti. Badudu. 1982:132. Sedangkan organologi merupakan ilmu tentang instrument musik alat musik yang seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrument saja, tetapi juga sama pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam ”Ilmu” instrument musik, seperi teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan yang dibedakan dari konstruksi dan berbagai pendekatan tentang sosial budaya Hood, 1982:124. Istilah idiophone adalah klasifikasi alat musik yang ditinjau berdasarkan penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu badan dari alat musik itu sendiri Klasifikasi alat musik oleh Curt Sach dan Hornbostel, 1961. Saga-saga Batak Toba termasuk dalam klasifikasi idiophone, dan saga- saga termasuk ke dalam solo instrument yang dimainkan lebih bersifat pribadi namun berbeda dengan instrument solo lainnya, perbedaannya terletak pada suara Universitas Sumatera Utara 9 yang dihasilkan. Saga-saga memiliki suara yang khas, dengan hentakan berirama yang membuat kita mudah mengetahui bahwa suara yang dihasilkan berasal dari saga-saga. Dari konsep-konsep yang telah penulis sebutkan, dapat disimpulkan bahwa kajian organologis saga-saga Batak Toba buatan bapak Guntur Sitohang di Desa Turpuk Limbong, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir, adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrument, juga mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari instrument saga-saga buatan bapak Guntur Sitohang tersebut.

1.4.2 Teori

Etnomusikologi bukan hanya studi musik dari aspek oralnya, akan tetapi juga dari aspek sosial, kultural, psikologi, dan estetika. Ada setidaknnya enam wilayah penyelidikan yang menjadi perhatian dan salah satunya adalah mengenai budaya material musik. Penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Khasima Shusumu yaitu Measuring and Ilustrating Musical Instrument Pendekatan yang mendasar untuk membahas mengenai budaya material instrument musik yaitu pendekatan secara struktural serta fungsional dalam laporan Asia Performing Traditional Art AFTA, 1978:174. Struktural berkaitan dengan pengamatan observasi, pengukuran, perekaman atau pencatatan bentuk, ukuran besar kecil konstruksi, serta bahan- bahan yang dipakai untuk pembuatan alat musik tersebut. Fungsional Universitas Sumatera Utara 10 memperhatikan fungsi dari alat-alat atau kompenen yang memproduksi menghasilkan suara antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya suara bunyi, nada, warna nada, serta kualitas suara yang dihasilkan. Dalam tulisan ini mengenai proses dan teknik pembuatan saga-saga akan memakai pendekatan secara struktural serta fungsional. Untuk membahas teknik permainan saga-saga Batak Toba penulis menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl 1963:98 “Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat”. Menurut teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel 1961 sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu: idiophone penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri, aerophone, penggetar utama bunyinya adalah udara, membranophone, penggetar utama bunyiyna adalah kulit atau membran, kordophone, penggetar utama bunyinnya adalah senar atau dawai. Mengacu pada teori tersebut, maka saga-saga Batak Toba termasuk kedalam kelompok idiophone, sumber bunyinya berasal dari getaran lidah yang terbentuk dari badannya sendiri dan rongga mulut yang berperan sebagai resonator. Universitas Sumatera Utara 11 Dalam mengkaji fungsi saga-saga pada masyarakat Batak Toba maka penulis juga melakukan pendekatan dengan sepuluh fungsi musik yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam 1964:219-226 yaitu: 1. Fungsi Pengungkapan Emosional 2. Fungsi Pengungkapan Estetika 3. Fungsi Hiburan 4. Fungsi Komunikasi 5. Fungsi Perlambangan 6. Fungsi Reaksi Jasmani 7. Fungsi yang berkaitan dengan Norma Sosial 8. Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial 9. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan 10. Fungsi Pengintegrasian Masyarakat

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif Kirk dan Miller dalam Moleong, 1990:3 yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri serta berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan dalam peristilahannya. Untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu kerja lapangan field work Universitas Sumatera Utara 12 dan kerja laboratorium laboratory work. Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir a final study Merriam, 1964 :37. Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data, umumnya ada dua macam, menggunakan metode pertanyaan questionnaires dan menggunakan wawancara interview.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori serta informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi. Pada tahap sebelum ke lapangan dan sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca tulisan-tulisan ilmiah, literatur, situs internet, buku dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.

1.5.2 Kerja Lapangan

Penulis juga melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung ke lokasi penelitian serta melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan, dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelititan terdapat juga Universitas Sumatera Utara 13 hal-hal baru yang menjadi bahan pertanyaan. Hal ini dilakukan agar memperoleh data-data yang benar untuk mendukung hasil penelitian.

1.5.3 Wawancara

Wawancara berfokus focused Interview, wawancara bebas free Interview, wawancara sambil lalu casual Interview, metode yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat 1985:139. Dan penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan dapat berkembang pada saat melakukan penelitian tetapi tetap sesuai dengan topik penelitian. Sebagai alat perekam pada saat penelitian penulis menggunakan handphone android bermerk Samsung. Sedangkan untuk pengambilan gambar foto digunakan kamera digital bermerk Canon Eos 1100d, dan alat tulis seperti pena serta buku tulis untuk mencatat hasil wawancara.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Sebagai kerja laboratorium maka data-data yang diperoleh dari hasil kerja lapangan selanjutya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisi nantinya akan disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data- data yang berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi Meriam 1995:85. Universitas Sumatera Utara 14

1.5.5 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis pilih adalah lokasi yang merupakan tempat tinggal narasumber, bapak Guntur Sitohang yang berada di Kabupaten Samosir, Kecamatan Harian Boho dan desa Turpuk Limbong, disinilah beliau tinggal dan bertepatan disini juga lah beliau biasa melakukan proses pembuatan alat musik seperti saga-saga batak toba. Universitas Sumatera Utara 15

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA, LOKASI

PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT GUNTUR SITOHANG 2.1 Asal Usul Masyarakat Batak Toba Suku Batak sendiri terdiri dari enam sub-suku yaitu, Toba, Simalungun, Karo, Pak-pak, Angkola dan Mandailing. Suku Batak bermukin di daerah pegunungan dan pedalaman provinsi Sumatera Utara, sebagian besar dari ke enam sub-suku ini berdiam di sekeliling Danau Toba, kecuali Angkola dan Mandailing yang hidup di perbatasan Sumatera Barat. Beberapa peneliti atau penulis mengungkapkan asal usul dari suku Batak, salah satunya Parlindungan, beliau mengatakan bahwa orang Batak tergolong Proto Melayu, hal tersebut dikatakan oleh karena karakteristik yang dimiliki oleh orang-orang Proto Melayu yang gemar untuk tinggal atau menetap di daerah- daerah pedalaman serta pegunungan dan menghindari daerah tepi pantai, sehingga saat mereka tiba di kepulauan nusantara nenek moyang bangsa Batak langsung masuk jauh ke pedalaman hutan dan menjauhi pesisir pantai yang diperkirakan mendiami daerah sekitar Danau Toba.

2.2 Kepercayaan Awal Masyarakat Batak Toba

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Universitas Sumatera Utara 16 Debata Natolu. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu: 1. Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap menjemput tondi dari sombaon yang menawannya. 2. Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. 3. Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Disamping aliran kepercayaan agama suku tersebut, terdapat juga dua agama besar yang berpengaruh dan dianut oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba, yaitu Kristen Protestan dan Islam. Kepercayaan pada masyarakat Toba sebelum memeluk agama Kristen dan Islam dan masih ada pengikutnya sampai saat ini adalah Parmalim, Parbaringin, dan Parhudam-hudam. Kepercayaan ini sering pula disebut agama Si Raja Batak, karena kepercayaan ini diyakini oleh sebagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Sisingamangaraja XII. Mengikut Batara Sangti didirikanya kepercayaan-kepercayaan tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Sisingamangaraja XII, sebagai gerakan keagamaan dan politik, yaitu parmalin dan parhudam-hudam sebagai bentuk gerakan ekstrimis berani mati. Selepas perang lumbang gorat Balige pada tahun 1883 seorang Universitas Sumatera Utara 17 kepercayaan Sisingamangaraja XII yang bernama guru Somalaing Pardede ditugaskan memperkuat pertahanan diwilayah Habinsaran, terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan membentuk sebuah agama baru yang disebut parmalin Batara Sangti 1977:79. Menurut Horsting, Parmalim adalah ajaran agama yamg didalamnya terdapat unsur-unsur agama kristen dan islam dan tidak meninggalkan kepercayaan Batak Toba Tua. Masuknya agama Islam ke tanah Batak adalah sebagai berikut, dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang liar yang musyrik dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan perkawinan dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi. Jadi dapat disimpulkan pengaruh Islam tidak begitu besar bagi masyarakat Batak Toba, karena agama ini hanya berpengaruh kuat di daerah Madailing, Karo, Pak-pak dan Dairi. Sedangkan masuknya agama Kristen Protestan di tanah Batak terjadi sekitar tahun 1824. Dimulai oleh Universitas Sumatera Utara 18 misionaris Baptis asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward Kedua pendeta ini mencoba memperkenalkan Injil dikawasan Silindung Tarutung. Namun kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba di kawasan Silindung pada saat itu. Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat mengirimkan dua orang pendeta yaitu Munson dan Lymann. Kedua missionaris ini dibunuh oleh penduduk dibawah pimpinan Raja Panggalemei di lobu pining pada bulan juli 1834. 15 tahun kemudian pada tahun 1849 kongsi bible Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. Van Der Tuuk untuk menyelidiki budaya batak. Ia menyusun kamus Batak Belanda, dan menyalin sebagian isi Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utamanya adalah merintis penginjilan ke tanah batak melalui budaya. Tahun 1959, jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen mengirim pendeta muda G.Van Asselt ke tapanuli selatan. Ia tinggal di Sipirok sambil bekerja di perkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh pendeta Rheinische Mission Gesellscahft RMG, pada masa sekarang menjadi Verenigte Evangelische Mission VEM dipimpin oleh Dr. Fabri. Namun penginjilan berjalan sangat lambat. Hingga akhirnya seorang pemuda Jerman yang baru menyelesaikan sekolahnya dan ditahbiskan sebagai pendeta tahun 1861 berniat untuk datang ke tanah Batak setelah mendengar cerita tentang bangsa Batak. Ia lalu pergi ke Belanda untuk mempelajari tentang bangsa Batak dan kemudian berangkat dari Amsterdam ke Sumatera dengan kapal pertinar. Tahun 1862, 14 Mei Setelah mengalami banyak cobaan di lautan, Ingwer Ludwig Nommensen mendarat di Padang. November 1863, Ingwer Ludwig Nommensen pertama kali mengunjungi Universitas Sumatera Utara 19 Lembah Silindung. Dia berdoa di Bukit Siatas Barita, di sekitar Salib Kasih yang sekarang. “Tuhan, hidup atau mati saya akan bersama bangsa ini untuk memberitakan FirmanMu dan KerajaanMu, Amin”. Mei 1864, Ingwer Ludwig Nommensen diijinkan memulai misinya ke Silindung, sebuah lembah yang indah dan banyak penduduknya. Juli tahun 1864, Ingwer Ludwig Nommensen membangun rumahnya yang sangat sederhana di Saitnihuta setelah mengalami perjuangan yang sangat berat. Tahun 1864, 30 Juli Ingwer Ludwig Nommensen menjumpai Raja Panggalamei ke Pintubosi, Lobupining. 25 September 1864, Ingwer Ludwig Nommensen mau dipersembahkan ke Sombaon Siatas Barita Dionan Sitahuru. Ribuan orang datang. Ingwer Ludwig Nommensen akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Ingwer Ludwig Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas. Ingwe r Ludwig Nommensen pantas dijuluki “Apostel di Tanah Batak”

2.3 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba