yang telah diamplifikasi ini akan memasuki telinga dalam yang selanjutnya akan diproyeksi pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan
gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria Moller,
2006; Soetirto, Hendarmin Bashiruddin, 2010.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defklesi stereosilia sel-sel rambut, sehingga terjadi pelepasan
ion-ion yang bermuatan listrik akhirnya terjadi depolarisasi sel rambut dan pelepasan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan meningkatkan
potensial aksi nervus auditorius dan akan sampai di korteks pendengaran untuk diterjemahkan Moller, 2006; Soetirto, Hendarmin Bashiruddin,
2010.
2.3 Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran dapat menyebabkan masalah dalam kehidupan. Menurut WHO, gangguan pendengaran adalah berkurangnya
kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang
pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Sedangkan ketulian adalah hilangnya kemampuan mendengar
pada salah satu atau kedua sisi telinga, merupakan gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih
dari 81 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008.
Gangguan pendengaran dapat berasal dari patologi pada telinga luar,
tengah, dan dalam. Jenis gangguan pendengaran antara lain:
1. Konduktif, disebabkan oleh gangguan mekanisme hantaran di telinga luar atau telinga tengah. Hal ini terjadi ketika suara tidak dikonduksikan
secara efisien melalui liang telinga luar menuju membran timpani dan tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. Beberapa penyebabnya
antara lain: terdapat cairan di telinga tengah, otitis media, otitis media serosa, gangguan fungsi tuba eustachius, perforasi membran timpani,
Universitas Sumatera Utara
impaksi serumen, otitis eksterna, benda asing, atau malformasi telinga luar dan tengah Atcherson Prout, 2003; Soetirto, Hendarmin
Bashirudddin, 2010; American Speech-Language-Hearing Association, 2012.
2. Sensorineural, disebabkan oleh kelainan di koklea, N.VIII, dan pusat pendengaran di korteks serebri. Beberapa penyebabnya antara lain:
obat ototoksik, proses penuaan, trauma kepala, malformasi telinga dalam, atau terpapar bising Atcherson Prout, 2003; Soetirto,
Hendarmin Bashirudddin, 2010; American Speech-Language- Hearing Association, 2012.
3. Campuran disebabkan kelainan konduktif dan sensorineural Atcherson dan Prout, 2003; American Speech-Language-Hearing Association,
2012.
2.4 Audiometri Nada Murni
Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan bunyi yang dihasilkan alat elektroakustik. Audiometri Nada MurniPure
Tone AudiometryPTA merupakan suatu pemeriksaan ketajaman pendengaran dengan menggunakan stimulus nada murni bunyi yang
hanya memiliki satu frekuensi American Speech-Language-Hearing Association, 2012. Tujuannya adalah untuk menentukan ambang
pendengaran pada telinga, baik hantaran udara maupun hantaran tulang. Oleh karena itu, PTA disebut Threshold Audiometry. Temuan dari hasil
pemeriksaan audiometri yang perlu diperhatikan adalah hantaran udara normal: terentang antara -10 sd 26 dB Kolegium Ilmu Kesehatan THT-
KL, 2008, hantaran tulang berimpit atau hampir berimpit dengan hantaran udara, pada telinga normal atau tuli sensorineural, hantaran tulang
terpisah dari hantaran udara yang lebih rendah disebut air-bone gap terjadi pada ketulian konduktif Keith Pensak, 2003; Kolegium Ilmu
Kesehatan THT-KL, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal atau terjadi gangguan pendengaran.
Dalam menentukan derajat gangguan pendengaran, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udara saja.
Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu: Ambang Dengar AD = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
Soetirto, Hendarmin Bashirudddin, 2010. 3
Gambar 5 Audiogram Pasien dengan Pendengaran Normal Hain, 2012 Menurut kepustakaan terbaru, frekuensi 4000 Hz berperan penting
untuk pendengaran, sehingga perlu diperhitungkan. Dengan demikian, derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz
dengan ketiga ambang dengar di atas, kemudian dibagi empat. Ambang DengarAD=
4 AD500Hz + AD1000Hz + AD2000Hz + AD4000Hz
Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010. Adapun interpretasi hasil berdasarkan International Standard
Organizationc ISO tentang derajat gangguan pendengaran adalah: 0-25 dB pendengaran normal, 26-40 dB gangguan pendengaran ringan, 41-60
dB gangguan pendengaran sedang, 61-90 dB, gangguan pendengaran berat, 90 dB gangguan pendengaran sangat berat Soetirto, Hendarmin,
Bashirudddin, 2010.
2.4.1 Prosedur pelaksanaan
Untuk pemeriksaan PTA, perlu diperhatikan beberapa syarat antara lain adalah alat audiometer yang telah distandarisasi oleh American National
Universitas Sumatera Utara
Standards Institute ANSI, suasana yang tenang bila perlu ruangan kedap suara, pemeriksa yang sabar dan teliti American National Standards
Institute, 2004; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008. Pada pengukuran audiologi, fungsi pendengaran diukur terpisah untuk
masing-masing telinga dengan menggunakan earphone hantaran udara. Saat ini yang sering digunakan adalah insert-earphone yang langsung
dimasukkan dalam liang telinga luar karena memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan earphone supraaural antara lain kontak dengan
tulang temporal yang minimal sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya cross hearing. PTA juga dapat dilakukan dengan
menggunakan osilator atau vibrator yang diletakkan pada tulang mastoid untuk mengukur hantaran tulang, yaitu antara 250-4000 Hz Kolegium
Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedur yang
perlu diperhatikan antara lain American Speech-Language-Hearing Association, 2005; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008:
a. Penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat gerakan tangan pemeriksa, karena hal ini akan mempengaruhi
penderita bahwa nada tes sedang disajikan. b. Untuk mengurangi interferensi dari suara-suara latar belakang yang
berasal dari sekitarnya maka tempat yang terbaik adalah ruangan kedap suara akan tetapi bila tidak ada maka tes dilakukan di ruangan
tersembunyi. c. Instruksi kepada penderita harus jelas misalnya “anda akan diperiksa
dan akan mendengar bunyi yang kadang-kadang keras dan kadang- kadang lemah melalui earphone. Bila mendengar bunyi itu, tekan
tombol dan acungkan tangan. Kalau mendengar di sebelah kanan acungkan tangan kanan dan kalau didengar pada telinga kiri maka
acungkan tangan kiri”. d. Earphone harus diletakkan secara tepat diatas liang telinga luar, warna
merah di sebelah kanan dan warna biru di sebelah kiri.
Universitas Sumatera Utara
e. Telinga yang diperiksa terlebih dahulu harus yang berfungsi lebih baik. f. Penyajian nada tes tidak boleh dengan irama yang tetap dan lamanya
interval antara dua bunyi harus selalu diubah-ubah. Tidak boleh memutar tombol dial pengatur selama penyaji masih ditekan.
g. Pemeriksaan pertama dimulai pada frekuensi 1000 Hz karena nada ini dapat memberi hasil akurat yang konsisten. Kemudian periksa nada-
nada lebih tinggi 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz dan frekuensi 250 Hz serta 500Hz.
Untuk menentukan nilai ambang tiap-tiap frekuensi putar tombol pada kedudukan 0 dB dan sajikan bunyi selama 1-2 detik. Bila tidak ada respon,
intensitas dinaikkan 5 dB, demikian seterusnya sampai ada respon. Jika sudah ada respon, turunkan intensitasnya 5 dB sebagai cross check dan
bila tidak mendengar maka inilah nilai ambang frekuensi tersebut. Cara yang sama dilakukan untuk frekuensi-frekuensi yang lain American
Speech-Language-Hearing Association, 2005; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008.
2.4.2 Komponen utama audiometer
Audiometer yang tersedia di pasaran umumnya terdiri dari enam komponen utama Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010 :
1. Oskilator, yang menghasilkan berbagai nada murni 2. Amplifier, untuk menaikkan intensitas nada murni sampai dapat
terdengar 3. Pemutus interrupture, yang memungkinkan pemeriksa menekan
dan mematikan tombol nada murni secara halus tanpa terdengar bunyi lain klik
4. Attenuator, agar pemeriksa dapat menaikkan atau menurunkan intensitas ke tingkat yang dikehendaki
5. Earphone, yang mengubah gelombang listrik yang dihasilkan oleh audiometer menjadi bunyi yang dapat didengar
Universitas Sumatera Utara
6. Sumber suara pengganggu masking yang sering diperlukan untuk meniadakan bunyi ke telinga yang tidak diperiksa
Bagian dari audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk memeriksa hantaran udara, bone
conductor untuk memeriksa hantaran tulang Soetirto, Hendarmin, dan Bashirudddin, 2010.
Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat
ambang dengar menurut hantaran udara dan menurut hantaran tulang. Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik hantaran udara
maupun hantaran tulang maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian Soetirto, Hendarmin,
dan Bashirudddin, 2010.
2.4.3 Notasi audiogram
Pemeriksaan direkam untuk masing – masing telinga secara terpisah dimana frekuensi merupakan aksis sedangkan intensitas sebagai
ordinatnya. Notasi pada audiogram dipakai grafik hantaran udara yaitu dibuat dengan garis lurus penuh Intensitas yang diperiksa antara 125 –
8000 Hz dan grafik hantaran tulang yaitu dibuat dengan garis terputus- putus Intensitas yang diperiksa yaitu 250 – 4000 Hz. Untuk telinga kanan
seandainya memakai warna dibuat dengan warna merah dan telinga kiri warna biru. Untuk hantaran udara telinga kanan dengan tanda lingkaran
kecil O atau ∆ jika dilakukan masking, dan hantaran udara untuk telinga
kiri dengan tanda X atau
□
jika dilakukan masking, untuk hantaran tulang telinga kanan digambarakan dengan tanda panah ke kiri atau [
jika dilakukan masking, telinga kiri tanda panah ke kanan atau ] jika dilakukan masking British Audiology Recommended Procedure, 2004.
2.4.4 Cross hearing dan masking
Bila suatu nada disajikan pada telinga yang mengalami gangguan, kadang-kadang dapat pula didengar oleh telinga yang tidak sedang
diperiksa Keith dan Pensak, 2003; Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL,
Universitas Sumatera Utara
2008. Jika stimulus nada yang diberikan lebih besar dari 40 dB dan menggunakan supra-aural earphone dimana bantalannya berada di luar
telinga, maka energi akustik dapat menjalar ke telinga pada sisi yang berlawanan yang disebut sebagai fenomena cross hearing. Jumlah
intensitas suara yang dibutuhkan untuk terjadinya cross hearing disebut atenuasi interaural. Atenuasi interaural untuk frekuensi yang rendah
biasanya 50 dB dan 60 dB untuk frekuensi tinggi, sedangkan untuk insert- earphone memiliki atenuasi yang lebih tinggi. Sementara atenuasi
interaural untuk tes hantaran tulang berkisar antara 10 sampai 0 dB, sehingga dapat diasumsikan bahwa dengan stimulasi suara yang sangat
halus sudah dapat menyebabkan penjalaran getaran ke dua telinga melalui tulang tengkorak Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008.
Oleh karena itu, salah satu unsur penting pada PTA adalah masking. Sebagai salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila terjadi
kemungkinan untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang sedang diperiksa melalui tulang kepala ke tulang telinga yang berlawanan
stimulasi hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi interaural. Masking harus dilakukan dengan memberikan suara tambahan
pada telinga yang diperiksa bersamaan dengan diberikannya stimulus pada telinga yang sedang diperiksa. Jika suara tambahan yang diberikan
adekuat, maka suara stimulus yang menjalar ke sisi yang berlawanan dapat tertutupi oleh suara tersebut. Yang sering digunakan untuk masking
adalah suara dengan gelombang sempit yang terdengar seperti suara gemuruh. Dengan perkataan lain, masking adalah mengaburkan suatu
bunyi dengan menggunakan bunyi lainnya atau peninggian ambang pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya sinyal kedua
Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008.
2.4.5 Manfaat audiometri
Kegunaan audiogram hantaran udara adalah untuk mengkur kepekaan seluruh mekanisme pendengaran, telinga luar dan tengah serta
Universitas Sumatera Utara
mekanisme sensorineural koklea dan nervus auditorius. Sedangkan audiometri hantaran tulang adalah mengukur kepekaan mekanisme
sensorineural saja British Audiology Recommended Procedure, 2004. Sejauh ini peranan interpretasi audiogram yang terpenting adalah pada
hubungan antara ambang hantaran udara dan hantaran tulang yaitu ada tidaknya beda udara-tulang. Secara garis besar hubungan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut : a. Bila ambang hantaran tulang lebih baik dari ambang hantaran udara
sebesar 10dB atau lebih dan normal, maka tuli bersifat konduktif. b. Bila ambang hantaran tulang sama dengan hantaran udara dan
keduanya tidak normal, maka tuli bersifat sensorineural c. Bila ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari
ambang hantaran udara sebesar 10dB atau lebih maka tuli bersifat campuran.
2.5 Kekerapan Tuli Sensorineural Akibat Diabetes Melitus Tipe-2
Di Klinik Diabetes Rumah Sakit Gordan Iran memperoleh prevalensi terjadinya gangguan pendengaran pada pasien DM sebanyak 16 dan
5 pada grup non DM kontrol yang artinya bahwa pasien DM memiliki resiko 3,2 kali lebih besar untuk terjadinya gangguan pendengaran dari
pada yang non DM Taziki Mansourian, 2011. Di India diperoleh bahwa dari 110 pasien DM Tipe-2 didapati 48 pasien
memiliki tuli sensorineural pada frekuensi tinggi 2000 dan 4000 Hz , 7 pasien menderita tuli yang sangat berat, 16 pasien menderita tuli yang
berat, 25 pasien menderita tuli sedang Pemmiah Srinivas, 2011. Masih di India juga ditemukan bahwa penderita DM Tipe-2 memiliki tuli
sensorineural ketika dievaluasi dengan audiometri nada murni disemua frekuensi dari pada kelompok dengan nilai kadar gula darah yang normal
Panchu, 2010. Di Brazil ditemukan secara statistik nilai yang signifikan pada penderita DM Tipe-2 yang memiliki tuli sensorineural jika
dibandingkan dengan grup kontrolnya Diniz Guida, 2009. Di Amerika
Universitas Sumatera Utara
Serikat dilakukan penelitian terhadap penderita DM Tipe-2 dengan komplikasi mikrovaskuler dengan menggunakan alat ukur audiometri nada
murni dan hasilnya diperoleh adanya hubungan yang kuat antara penurunan pendengaran dan DM Tipe-2 Bainbridge, Hofman, Cowie,
2008. Di Universitas Islam Iran ditemukan sebanyak 455 dari 80 penderita DM memiliki tuli sensorineural Mozzafari et al, 2010. Di
Amerika Serikat tepatnya di Universitas Marryland menemukan tuli sensorineural yang lebih sering pada pasien DM dibandingkan dengan
non DM Kakarlapudi, Sawyer, Staecker, 2003. Di Tehran ditemukan adanya gangguan pendengaran berupa penurunan pendengaran
sebanyak 31 pasien DM pada frekuensi 4000 Hz dan 34 pada frekuensi 8000 Hz Naini Fathololoomi, 2003.
2.6 Patofisiologi Penurunan Pendengaran pada Diabetes Melitus Tipe-2