Hak dan Kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan IUP

IUP hanya diberikan untuk satu jenis mineral kepada pemohon. Namun, apabila dalam pelaksanaannya telah ditentukan jenis mineral yang akan dikelola, namun berikutnya ditemukan jensi mineral yang baru. Maka untuk menjawab hal itu dalam paal 40 UUPMinerba telah ditentukan: a. pemegang IUP yang menemukan mineral lain didalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya; b. pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain yang wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada menteri, gubernur, dan bupatiwalikota sesuai dengan kewenangannya; c. pemegang IUP dapat juga menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut; d. pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan, wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain; e. IUP untuk mineral lain dapat diberikan kepada pihak oleh menteri, gubernur, dan bupatiwalikota sesuai dengan kewenangannya.

C. Hak dan Kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan IUP

Badan usaha, koperasi atau perorangan yang melakukan usaha pertambangan baru dapat melakukan usahanya setelah mendapat izin usaha pertambangan IUP. Sejak adanya IUP, maka sejak itulah timbul hak dan kewajiban bagi pemegang IUP. Universitas Sumatera Utara 107 a. dapat melakukan seluruh atau sebagian tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun prosduksi; Dalam pasal 90 sampai dengan pasal 94 undang-undang nomor 4 Tahun 2009 telah diatur mengenai hak pemegang IUP. Yaitu: b. dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum untuk memenuhi seluruh kegiatan pertambangan setelah memenuhi peraturan perundang- undangan; c. memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif. d. mengalihkan kepemilikan danatau saham dibursa saham indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu; e. melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun kewajiban pemegang IUP ditentukan dalam pasal 112, yaitu: 108 a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik. Dalam kaidah penerapan teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP wajib melaksanakan: • ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja; • keselamatan operasi pertambangan; • pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; 107 Pasal 90-94 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara 108 Pasal 112 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara Universitas Sumatera Utara • upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; • pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standart baku mutu lingkungan sebelum dilepas kelingkungan. b. mengelola keuangan sesuai dengan standart sistem akutansi indonesia; c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral; d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan; f. menjamin penerapan standart baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah; g. menjada kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; h. menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP operasi produksi; i. pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang; j. menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang; k. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral; l. melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan didalam negeri; m. badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud untuk menjual mineral yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi produksi untuk penjualan; Universitas Sumatera Utara n. iuran produksi; o. menyampaikan laporan hasil penjualan mineral yang tergali kepada menteri, gubernur, atau bupatiwalikota sesuai dengan kewenangannya; p. mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; q. mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada didaerah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; r. menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; s. menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan produksi kepada menteri, gubernur, atau bupatiwalikota sesuai dengan kewenangnya; t. memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada menteri, gubernur, atau bupatiwalikota sesuai dengan kewenangnya; u. setelah 5 lima tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUPbadan usaha yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Milik Swasta Nasional. v. membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah; w. membayar kepada pemrintah 4 dan kepada pemerintah daerh 6 dari keuntungan bersih. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih. Pendapatan negara terdiri atas : Universitas Sumatera Utara a. penerimaan pajak; b. penerimaan bukan pajak; c. hibah. Penerimaan pajak adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas : a. pajak dalam negeri; dan b. pajak perdagangan international. Pajak dalam negeri dalah semua penerimaan pajak yang berasal dari: a. pajak penghasilan; b. pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah; c. pajak bumi dan bangunan; d. bea perolehan hak atas tanah dan bangunan; e. bea cukai; dan f. pajak lainnya. Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan bea keluar. Penerimaan negara bukan pajak PNBP adalah semua penerimaan pemerintah pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN, penerimaan pajak lainnya, serta pendapatan badan layanan umum. Peneriman negara bukan pajak terdiri atas ; a. iuran tetap; b. iuran eksplorasi; c. iuran produksi; dan Universitas Sumatera Utara d. kompensasi data informasi. Pendapatan daerah terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; dan c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. Universitas Sumatera Utara

BAB IV Kepastian hukum pemberian izin usaha pertambangan dikaitkan

dengan hak menguasai negara berdasarkan UUPA Dalam Undang-Undang Minerba terdapat ketentuan-ketentuan yang menurut beberapa kalangan pelaku usaha pertambangan memuat pasal-pasal yangbersifat kontradiktif satu sama lain. Menurut hemat penulis, Undang-undang Minerbayang sejatinya dibuat dalam rangka memberikan landasan hukum bagilangkah-langkah pembaharuan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan khususnya minerba demi menyesuaikan diri denganperubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Ini ditandai dengan seiring perkembangan sistem kontrak pengusahaan pertambangan dalam suatu wilayah pertambangan. Khusus dalam skripsi ini adalah mengenai pemberian izin usaha pertambangan sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 7 Undang-undang Minerba dengan pengaruhnya terhadap ketentuan mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat, terhadap pemgembangan dan pemberdayaan masyarakat lingkar tambang, dan implikasinya terhadap undang-undang perkebunan dan kehutanan. Oleh karena itu sudah barang tentu Undang-Undang Minerba dibuat dengan tujuan untukmemberikan kepastian hukum bagi semua kalangan, khususnya bagi pelakuusaha mineral dan pertambangan.Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai keraguanbeberapa kalangan tentang pertambangan Minerba yang akandibahas satu persatu rumusan hukum dari ketentuan-ketentuan penting mengenai pemberian izin usaha pertambangan yangsebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Minerba tersebut. Universitas Sumatera Utara A. Kajian hukum pemberian IUP dengan hak ulayat masyarakat hukum adat Mahudat.

1. Pengertian dan pengakuan Mahudat

Sudah barang tentu bahwa mahudat di indonesia masih lazim kita jumpai dalam perkembangan berbangsa dan bernegara. Pemerintah tidak dapat mengabaikan pertentangan antara penerapanUndang-Undang Minerba yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Mahudat, karenaMahudat ini keberadaan dan eksisitensinya masih diakui dalam KonstitusiRepublik Indonesia, Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukumadat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan dan prinsip Negara Kesatuam Republik Indonesia yang diaturdalam undang-undang”. Istilah masyarakat hukum adat sendiri adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai padanan dari rechtgemeenschapt, atau oleh sedikit literatur menyebutnya adatrechtgemenschap. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritikakademis.Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazimdiungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang Universitas Sumatera Utara mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional. 109 Dalam skripsi ini, masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat, sebagaimana lazim ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, yaitu : Convention of International Labor Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries 1989, Deklarasi Cari- Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat 1992, Deklarasi Bumi Rio de Janairo1992, Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai 1993, De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights 1993. Sekarang istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People pada tahun 2007. Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harusdibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah ulayat tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok keluar dan kedalam, dan memiliki tata aturan sistem hukum dan pemerintahan. 109 Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat Mukim di Provinsi Aceh”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010,hlm. 36. Universitas Sumatera Utara kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing- masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya. Mereka memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alamnya. 110 Masyarakat hukum adat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. 111 110 I B I D 111 Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah ,LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2010. hlm. 30. Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan olehCornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven menjelaskan lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama- Universitas Sumatera Utara lamanya. Kusumo Pujosewojo , memberikan pengertian yang hampir sejalan denganTer Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan diwilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasasolidaritas sangat besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. 112 113 1. terdapat masyarakat yang tertatur; Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan- kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMANmerumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat olehtatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar hukum tersebut maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut : 2. menempati suatu wilayah tertentu; 3. terdapat kelembagaan; 4. memiliki kekayaan bersama; 112 Ibid.hal 44 113 Hazairin. Demokrasi Pancasila. Tintamas, Jakarta, 1970.Hal 44 Universitas Sumatera Utara 5. susunan masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah; 6. hidup secara komunal dan gotong-royong. 114 1. Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkanpada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral.Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin dunia gaib. Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan Allah. Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya. Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4 empat sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut: 2. Sifat komunal commuun, masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat. 114 Husein Alting, OP cit. hal.46 Universitas Sumatera Utara 3. Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar. 4. Sifat kontan kontane handeling mengandung arti sebagai kesertamertaanterutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selaludengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamertaseketika. Masyarakat adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan antarpersonal dan proses interaksi sosial yang terjadi antarmanusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara a uniform or customary of belonging within a social group. 115 1 Dalam UUD 1945 Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkandari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga saat ini. Konstitusi Indonesia menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk kesatuan masyarakat hukum adat, seperti kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat adat, serta masyarakat tradisional, sehingga istilah–istilah ini dapat digunakan sekaligus atau secara berganti-gantian. Bila kembali pada masa lalu dalam pembahasan Undang-Undang Dasar1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, hanya Soepomo dan Moehammad Yamin yang mengemukakan pendapat tentang perlunya mengakui 115 Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi. Salemba Humanika.Jakarta, 2010. hlm. 12. Universitas Sumatera Utara keberadaan hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk. Sementara anggota sidang lainnya tidak terlihat secara tegas ada yang memberikan pemikiran konseptual berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik yang sedang dirancang. Moehammad Yamin menyampaikan, bahwa kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu. Beliau tidak menjelaskan lebih jauh konsepsi hak atas tanah yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa adanya berbagai macam susunan persekutuan hukum adat itu dapat ditarik beberapa persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga Moehammad Yamin menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi basis perwakilan dalam pemerintahan republik. 116 “…Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran staatsidee negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan- golongannya dalam lapangan apapun”. Sedangkan Seopomo dengan paham Negara integralistikmenyampaikan bahwa : 117 118 “hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah, pertamadaerah kerajaan kooti, baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah- daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo menyampaikan bahwa: 116 Taqwaddin, Op. Cit., hlm. 71. 117 Soepomo. Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta,1977.hal 49-50 118 Tim Kerja Dibawah Pimpinan Dr. Herlambang P Wiratraman, S.H., MA, LAPORAN AKHIR TIM PENGKAJIAN KONSTITUSI TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nassional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2014.Hal 29 Universitas Sumatera Utara Tapanuli, gampong di Aceh…. Dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunan asli.” Masyarakat Hukum Adat mahudat mendapat pengakuan secara konstitusional. Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam pasal 18B ayat 2 dan pasal 28I ayat 3. Berikut bunyi lengkap kedua pasal tersebut: Pasal 18 B ayat 2: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pasal 28 I ayat 3: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Dengan demikian, negara ‘mengakui’ serta ‘menghormati’ eksistensimasyarakat hukum adat namun dengan catatan 4 empat persyaratan yuridis yakni : a sepanjang masih ada; b sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban; c sesuai dengan prinsip negara kesatuan republik Indonesia; dan d diatur dalam undang-undang. Satcipto Rahardjo mengungkapkan empat klausula yuridis yang menjadi kriteria eksistensi masyarakat hukum adat disertai komentarnya sebagai berikut: 119 a “Sepanjang masih hidup” Kita tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkanjuga dari dalam, dengan menyalami perasaan masyarakat setempat pendekatan 119 Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Loc. Cit., Hlm. 97. Universitas Sumatera Utara partisipatif. b “Sesuai dengan perkembangan masyarakat” Syarat ini mengandung resiko untuk memaksakan imposingkepentingan raksasa atas nama “perkembangan masyarakat”. Tidak member peluang untuk membiarkan dinamika masyarakat setempat berproses sendiri secara bebas. c “Sesuai dengan prinsip NKRI” Kelemahan paradigm ini melihat NKRI dan masyarakat adat sebagaidua antitas yang berbeda dan berhadap-hadapan. d “Diatur dalam undang-undang” Indonesia adalah Negara berdasar hukum, apabila dalam Negara yangdemikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan sehari-hari tidak akan berjalan dengan produktif. Hukum yang selalu ingin mengatur ranahnya sendiri dan merasa cakap untuk itu telah gagal bila tidak melibatkan fenomena sosial lainnya. Oleh karena keempat syarat tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar, makakeempatnya bisa disebut sebagai syarat konstitusional. 120 2 Ketetapan Majelis Perusyawaratan Rakyat Nomor TAP- XVIIMPR1998Pasal 41. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ini mempunyai posisi historis sebagai landasan hukum konstitusional pertama yang secara formal mengakui 120 Ricardo Simarmata, Op Cit. Hal.51 Universitas Sumatera Utara eksistensi dan hak tradisional masyarakat hukum adat di Indonesia yang merdeka. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa suasana keterbukaan serta semangat anti sentralisasi kekuasaan yang tumbuh dalam era reformasi memungkinkan adanya pengakuan secara formal tersebut. Seperti diketahui, agar mempunyai kekuatan hukum positif, kandungan ketetapan MPR masih harus dituangkan dalam bentuk undang-undang. 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6. Pasal 6 Undang-undang ini secara formal mengakui eksistensi dan hak tradisional masyarakat hukum adat berdasar norma yang terdapat dalam Ketetapan MPR Nomor TAP-XVIIMPR1998 tersebut di atas. Adapun bunyi pasal 6 ayat 1 dan 2 undang-undang ini adalah sebagai berikut ini: Ayat 1 “dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.” Ayat 2 “identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Dimana dalam penjelasan pasal 6 ayat 1 dan 2 dijelaskan hak adat yang secara nyata masih diakui dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka penegakan dan perlindungan HAM dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dan penjelasan ayat 2 dijelaskan bahwa dalam rangka penegakan HAM identitas budaya masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Universitas Sumatera Utara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan umum. 121 4 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Selanjutnya disebut UUPA Sehingga jelas bahwa dalam undang-undang ini eksistensi masyarakat hukum adat dalam perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan masih tetap mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat. Mengenai Hak Ulayat Mahudat sendiripun diakui dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, dimana hukum adat memang menjadi “nafas”bagi UUPA, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UUPA: ”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat–masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang- undang dan peraturan peraturan lain yang lebih tinggi”. 122 123 121 Penjelasan undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia pasal 6 ayat 1 dan 2, LN Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 122 Dapat dilihat dalam Penjelasan Umum III angka 1 UUPA 123 Penjelasan umum undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Dasar Agraria, LN nomor104 Tahun 1960. Melalui Pasal 3 UUPA serta penjelasannya, terlihat bahwa UUPA mengakuisecara yuridis mengenai keberadaan hukum adat yang menjadi nafas daripada undang–undang pokok ini. Namun, dalam frasa sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara diartikan sebagai “yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubugannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia”. Dengan tafsir yang deimikian, maka kepentingan nasional dapat pula jika diartikan sebagai kepentingan penguasa untuuk Universitas Sumatera Utara melakukan eksploitasi sumber daya alam atas nama hak menguasai negara. Sehingga dengan kata lain, hukum adat maupun tanah adat pada akhirnya dapat “kalah” dengan izin–izin usaha pertambangan maupun izin untuk membuka usaha di sektor sumber daya alam yang berada di kawasan tanah ulayat masyarakat hukum adat. 124 • Penjelasan Umum angka III 4; Menurut Boedi Harsono, pernyataan mengenai kedudukan hukum adat dalam UUPA dapat dilihat pada: • Pasal 5; • Penjelasan Pasal 5; • Penjelasan Pasal 16; • Pasal 56; dan • Pasal 58. Pasal lain yang menyatakan bahwa hukum adat menjadi nafasdalamkeberlakuan hukum tanah nasional adalah Pasal 5 UUPA: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasaran atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang- undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Achmad Sodiki menyatakan bahwa pemberian persyaratan sebagaimanatercantum dalam Pasal 5 UUPA menunjukkan adanya dua kemungkinan, yakni: 124 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2008. Hlm.177 Universitas Sumatera Utara • Pertama, adanya keraguan terhadap hukum adat karena mengandung aspeknegatif, misalnya mengandung aspek eksploitatif seperti halnya perjanjianbagi hasil yang tidak menunjukkan kedudukan yan lebih baik bagi penggarapterhadap pemilik tanah, hak gadai yang tidak ditasi masa berlakunya sekalipunmerugikan pihak yang menggadaikan tanah. • Kedua, kesiapan hukum adat sendiri dalam merespon atau menyelesaikankonflik hubungan hukum modern diragukan kemampuannya. Selain itu, masih dalam alam payung hukum UUPA. Pengertian masyarakat adat secara Konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat 3 Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang diterbitkan oleh Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur bahwa: “masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan”. 5 Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1991 Tentang Kehutanan Selain dalam UUPA sendiri, Undang-undang Kehutanan juga mengatur keberadaan masyarakat hukumadat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat 1 yang menyatakan keberadaan masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur: • masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban rechtgemenschaap; • ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya; • ada wilayah hukum adat yang jelas; Universitas Sumatera Utara • ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yangmasih ditaati; dan • mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnyauntuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. 125 6 Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Terdapat dua hal utama dalam undang-undang ini mengenai masyarakat hukum adat, yakni : Pertama , bahwa sumber daya hutan dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikatakan juga bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, namun negara memberi sejumlah kewenangan kepada pemerintah, termasuk kewenangan untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Hak menguasai negara membawa konsekuensi dimasukkannya hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke dalam hutan negara. Dengan demikian, cakupan hutan negara bukan hanya hutan yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UUPA, tetapi juga mencakup hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau yang biasa disebut dengan hutan adat. Kedua , dimasukannya hutan negara tidak lantas meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun, masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu harus dikukuhkan keberadaannya lewat peraturan daerah. 125 Ricardo Simarmata, Loc Cit. Hal 94 Universitas Sumatera Utara Dalam Mahkamah Konstitusi juga mengakui eksistensi Mahudat. Makamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bertugas mengawal konstitusi secara langsung turut serta dalam penegakan hak-hak asasi manusia. Hal ini merupakan hakikat pengertian dari konstitusi itu sendiri sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi yang melindungi hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara maupun orang yang hidup dalam negara tersebut. Oleh karena fungsi konstitusi pada essensinya adalah untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam skema ketatanegaraan suatu bangsa dan memformulasikan perlindungan hak-hak dasar warga negara atau hak-hak asasi manusia secara menyeluruh, maka peran Mahkamah Konstitusi berkorelasi langsung sebagai aparatur penegak hak asasi manusia secara menyeluruh. Salah satunya adalah terhadap pengakuan atas masyarakat hukum adat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35PUU-X2012 memutuskanperkara konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Cisitu. Dimana Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 35PUU- X2012 memberi pengertian masyarakat hukum adat sebagaimana tertulis dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yakni “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yng diatu dalam Undang- undang”. Norma ini juga terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06PMK2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang- Universitas Sumatera Utara Undang Mahkamah Konstitusi Republik. Dengan demikian, masyarakat hukum adat dapat melakukan ataumengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia selaku pemohon pengujian undang-undang selama masyarakat hukum adat tersebut masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI.

2. Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat

Pembahasan mengenai hak masyarakat hukum adat masih sangat kompleks.Pada dasarnya hubungan masyarakat adat dengan sumber daya alam, lingkungan atau wilayah kehidupannya lebih tepat dikategorikan sebagai hubugan kewajiban dari pada hak. Hubungan tersebut baru dikategorikan sebagai hak bila mereka berhubungan dengan pihak luar, baik itu komunitas lain, pengusaha bahkan dengan pemerintah. Ketika berhubungan dengan pihak luar, maka konsepsi tentang hak kemudian menjadi sesuatu yang bermuatan politis yang diperebutkan sekaligus menjadi objek peraturan di dalam hukum. Sebelum memaparkan mengenai hak-hak tradisional masyarakat hukum adat,terdapat hak yang berkaitan yakni hak-hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat. Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization ILO Tahun 1986 meliputi: • Hak untuk menentukan nasib sendiri; • hak untuk turut serta dalam pemerintahan; • hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi; Universitas Sumatera Utara • hak atas pendidikan; • hak atas pekerjaan; • hak anak; • hak pekerja; • hak minoritas dan masyarakat hukum adat; • hak atas tanah; • hak atas persamaan; • hak atas perlindungan lingkungan; • hak atas administrasi pemerintahan yang baik; • hak atas penegakan hukum yang adil. Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak palingpenting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu ukuran keberadaaan suatu komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, di dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, persoalan hak atas tanah dan sumber daya alam ini diatur : Pasal 26 ayat 1 “Masyarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2012. sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya- sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan Pasal 26 ayat 1 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”. Pasal 26 ayat 2 “Mayarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya sumber daya yang dimiliki dengan cara lain Pasal 26 ayat 2 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”. Universitas Sumatera Utara Sedangkan Abdon Nababan menyebutkan dari sekian banyak kategori hakyang berhubungan dengan masyarakat adat, setidaknya ada empat hak masyarakat adat yang paling sering disuarakan, antara lain: • Hak untuk “menguasai” memiliki, mengendalikan dan mengelola menjada, memanfaatkan tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya; • Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat termasuk peradilan adat dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat; • Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusankelembagaan adat; • Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan agama, sistim pengetahuan kearifan dan bahasa asli. Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat di Indonesia yang keberadaannyaditetapkan dalam beberapa peraturan perundangan: • Hak pengelolaan dan pemanfaatan hutan Terkait dengan masalah hutan adat di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pasal 5 ayat 2, 3 dan 4 dijelaskan bahwa Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidakdibebani hak- hak atas tanah menurut UUPA, termasuk di dalamnya hutan-hutanyang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat,hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasaioleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah Universitas Sumatera Utara sebagaikonsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasikeluasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masihada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. • Hak ulayat dan penguasaan tanah ulayat Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimanayang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber DayaAir dalam Pasal 6 ayat 3 tetap diakui sepanjang masih ada dimana penguasaannegara atas sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah danataupemerintah daerah dengan tetap mengakui dan mengormati kesatuan-kesatuanmasyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, seperti hak ulayatmasyarakat hukum adat setempat dan hak-hak yang serupa dengan itu, sepanjangmasih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. • Hak pengelolaan atas ladang atau perkebunan Pengelolaan hak atas tanah untuk usaha perkebunan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan tetap harus memperhatikan hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi serta kepentingan nasional. • Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Universitas Sumatera Utara Dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 63 ayat 1 huruf t yang berbunyi Pemerintah bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian di dalam Pasal 63 ayat 2 huruf n juga dinyatakan bahwa Pemerintah Provinsi bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Di tingkat KabupatenKota sebagaimana lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Di tingkat KabupatenKota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 ayat 3 huruf k bahwa Pemerintah KabupatenKota berugas dan berwenang untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengelolaan lingkungan hiduppada tingkat KabupatenKota. • Pengelolaan wilayah pesisir Pasal 61 ayat 1 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Oleh karena itu semua hak tradisional masyarakat hukum adatsekaligus merupakan hak konstutusional. Dalam perkembangannya, hak-hak tradisional masyarakat hukum adatyang ada berpotensi dilanggar. Oleh karena itu, kesatuan Universitas Sumatera Utara masyarakat hukum adatdapat menjadi Pemohon sepanjang memenuhi syaratna yang ditentukan dalamUUD 1945 maupun undang-undnag lain. Selanjutnya Mahkamah berpendapatbahwa suatu kesatuan masyarakat hukum ada beserta hak- hak tradisionalnyasesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuanmasyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara KesatuanRepublik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu : • Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan • Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-perundangan. Berikut akan dipaparkan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yangdikelompokaan atas dua, yakni hak atas tanah masyarakat hukum adat dan hakdiluar hak atas tanah masyarakat hukum adat: a. Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Tanah mempunyai kedudukan yang penting bagi masyarakat hukum adat.Hal itu dikarenakan tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yangmeskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaansemula, malah kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan dari segi ekonomis umpa manya: sebidang tanah itu dibakar, diatasnya dijatuhkan bom- bom, tentutanah tersebut tidak akan lenyap; setelah api padam ataupun setelah pembomanselesai sebidang tanah tersebut, akan muncul kembali, tetap berwujud tanahseperti semula. Kalau dilanda banjir, misalnya setelah airnya surut, tanah munculkembali sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari semula. Universitas Sumatera Utara Selain daripada itu, tanah juga merupakan tempat tinggal keluarga danmasyarakat, tempat mencari nafkah, sekaligus merupakan tempat dimanamasyarakat yang meninggal dunia dikuburkan. Sesuai dengan kepercayaan pulamerupakan tempat tinggal dewa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhurbersemayam.Masyarakat hukum adat sebagai kesatuan dengan tanah yang diduduk inyamemiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersumber padapandangan yang bersifat religius magis. Hubungan yang bersifat religius magis ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat hukum adat atas tanah itu disebut hak pertuanan atau hak ulayat, dan dalam literature hak ini oleh Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht. 126 Wilayah kekuasaan beschikkingebied persekutuan itu adalah milik persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini adalah tidak diperbolehkan. Dalam kenyataannya terdapat Menurut Bushar Muhammad, istilahbeschikkingsrecht dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian yang baru. Hal tersebut karena dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa daerah-daerah semua istilah yang dipergunakan mengandung pengertian lingkungan kekuasaan, sedangkan beschikkingsrecht itu menggambarkan tentang hubungan antara masyarakathukum dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah hak ulayatsebagai terjemahan beschikkingsrecht. 126 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia suatu pengantar,laksbang justitia Suarabaya, Surabaya, 2014. Hal.84 Universitas Sumatera Utara pengecualian-pengecualian, oleh karenanya di atas tadi ditegaskan pada dasarnya bersifat tetap. b. Hak Lain diluar Hak Atas Tanah Menurut Teuku Djuned, setiap persekutuan masyarakat hukum adat mempunyai kewenangan hak asal usul, yang berupa kewenangan dan hak-hak: • Menjalankan sistem pemerintahan sendiri; • Menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya; • bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Ke luar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum; • hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya; • hak membentuk adat; • hak menyelenggarakan sejenis peradilan. Hak masyarakat hukum adat dalam bidang ekonomi menarik untuk dicermati mengingat bahwa masyarakat hukum adat Indonesia merupakan negarayang multikultural. Keanekaragaman budaya, ras, maupun agama menyebabkan munculnya pluralisme hukum. Dalam konteks ini, pluralisme hukum yang dimaksud adalah hukum nasional dan hukum adat yang berlaku di masing-masing wilayah adat. Ironisnya, hak-hak yang berlaku pada masyarakat sering kali terkikis oleh adanya pemberlakuan hukum negara yang tidak jarang mengabaikan hak-hak kaum adat hukum adat. Hal ini disebabkan karakteristik hukum negara yang sentralistik dan memaksa. Ideologi pembangunan seperti ini dikenal sebagai adanya model pembangunan hukum yang seperti ini sentralistik Universitas Sumatera Utara merupakan pengingkaran terhadap pluralisme hukum. Hal ini dapat dilihat dari ruang yang diberikan terhadap hukum adat di dalam hukum nasional kurang proposional. Implikasinya, produk-produk hukum Negara state law tidak memberiruang bagi pengakuan dan perlindungan atas kepentingan masyarakat lokal adat. Salah satu contohnya adalah pengaturan dalam hukum agraria. Secara teoritis, UUPA dikatakan berdasarkan hukum adat, akan tetapi dalamkonteks tersebut yang dikatakan “hukum adat” adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan dengan hukum nasional. Jadi, jika terdapat hukum adat yang bertentangan dengan orientasi hukum nasional sering kali hal ini dianggap menghambat proses pembangunan terutama pembangungan ekonomi. Undang–undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak mengatur secara eksplisit hubungan penyelesaian dengan tanah ulayatmasyarakat hukum adat. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang mengenai sumberdaya alam lainnya yang turut mengakomodir eksistensi masyarakat hukum adat,sekalipun ketentuannya pun masih perlu dikaji dan di judicial review UU Kehutanan,UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UUNomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pun, sebetulnyatelah diamanahkan bahwa perusahaan pertambangan memiliki kewajiban untukmenyelesaikan sengketa dengan pemegang hak atas tanah sebelum dapat melakukan kegiatan Eksplorasi. Filosofi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah negara dalam hal ini pemerintah Indonesia, memosisikan diri lebih tinggidibanding pelaku usaha. Artinya apabila pemegang IUP, IPR, maupun Universitas Sumatera Utara IUPKmelakukan kesalahan, negara bisa langsung mencabut izin tersebut. Hal ini berbedadengan sistem Kontrak Karya. Filosofi lainnya adalah seluruh cadangan mineralbatubara sepenuhnya dikuasai negara yang pengelolaannya diprioritaskan padaBUMN, meningkatkan nilai tambah dengan mewajibkan pengolahan bahan tambangdi dalam negeri, meningkatkan local content, dan memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Secara teoritis, operasi tambang dibagi menjadi dua bentuk yakni open pitpenambangan terbuka dan underground penambangan bawah tanah, termasukpengelolaan dengan model gua-gua. Bentuk-bentuk ini mempengaruhi jenis pengelolaan dan pengusahaan tambang yang pada akhirnya juga turut mempengaruhikondisi sosial secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi sosial yangdimaksud salah satunya adalah berkaitan dengan efek yang akan dialami olehmasyarakat hukum adat serta hak ulayatnya yang berada di kawasan pertambangan.Apalagi tercatat, pertambangan menduduki peringkat ketiga sebagai konflik sumber daya alam dengan luas lahan seluas 197.365,90 ha. Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan dari hulu ke hilir, yang dalamPasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa: “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang”. Tertulis diatas bahwa kegiatan pertambangan merupakan kegiatan skala nasional yang dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secaraberkeadilan. Maria mengungkapkan bahwa perwujudan keadilan sosial dalam bidangpertanahan dapat dilihat pada prinsip – prinsip dasar UUPA, yakni“prinsip „negara menguasai.. merupakan prinsip penghormatan terhadap hak Universitas Sumatera Utara atas tanah masyarakat hukum adat,asas gungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaandalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan prinsip nasionalitas. Keadilansosial pun harus diwujudkan manakala terdapat problematika pada sengketa hak atastanah ulayat dengan perusahaan pertambangan. Sedangkan Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutandan penjualan, serta pascatambang. Kegiatan pertambangan tersebut merupakan kegiatan yang komprehensif dan memerlukan luas tanah yang tidak sempit. Sehingga terkait dengan kegiatan pertambangan, khususnya pada Pasal 135 sampai dengan Pasal 138 UU No 4 Tahun2009 yang menyinggung mengenai kepemilikan tanah oleh perusahaan pertambanganselama kegiatan pertambangan bukan merupakan hak milik, yakni: Pasal 135 “Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah”. Pasal 136 “Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada penjelasan Pasal 135 hanya disebutkan mengenai alasan mengapa perusahaan pertambangan harus mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atastanah, yakni untuk menyelesaikan lahan-lahan yang terganggu oleh kegiatan eksplorasiseperti pengeboran, parit uji, dan pengambilan contoh. Tidak dijelaskan lebih lanjuthak atas tanah apa saja yang dapat dimintai persetujuan. Pasal 135 secara tidaklangsung merupakan bentuk pembiaran negara untuk masyarakat Universitas Sumatera Utara hukum adat agarface to face atau berhadapan langsung dengan perusahaan pertambangan dalammempertahankan hak ulayatnya. Posisi masyarakat hukum adat yang lemah akan cenderung diperlakukan sewenang–wenang, seperti banyak kasus yang telah terjadi. Melalui pasal diatas, terlihat bahwa negara Pemerintah “melepaskan” tanggung jawab dari penyelesaian sengketa tanah hak ulayat yang akan digunakanuntuk kegiatan usaha pertambangan. UU No. 4 Tahun 2009 menghendaki agarperusahaan pertambangan menyelesaikan sendiri. Secara yuridis, kedudukan hukumkeduanya sama kuat, secara historis, masyarakat hukum adat merupakan entitas yangterlebih dahulu mendiami tanah diIndonesia, namun secara implementatif, kekuatanpengusaha pertambangan seringkali lebih kuat.Selanjutnya Maria W. Sumardjono menyatakan pengakuan hak ulayatadalah wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelumterbentuk Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Di satu sisi kebutuhan atas tanah di kehidupan manusia menjadi sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, namun di sisi lain tanah juga menjadi syarat wajib untukkepentingan atas nama pembangunan, kepentingan sosial, dan modernisasi. Dalamperspektif tersebut, terlihat bahwa status hukum kegiatan usaha pertambangan padakawasan hak ulayat masyarakat hukum adat memerlukan pengkajian pada tingkatanketepatan pengaturannya, termasuk ketersediaan regulasi tentang hubungan antarahak atas tanah dan penggunaan tanah ulayat untuk kegiatan pertambangan.UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak ulayat adalahmasyarakat hukum adat. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 Universitas Sumatera Utara pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Dalam pengertian ini terutarakan dengan jelas bahwa hak ulayat adalah milik masyarakat hukum adat. Pemahaman serupa juga dianut oleh UUPA dengan mengatakan bahwa masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat dilarang untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha HGU atau menolak pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan makanan dan pemindahan penduduk Penjelasan Umum II angka 3. Dengan menggunakan konsep tersebut, UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat hukum adat selaku subyek yang memiliki hak ulayat obyek. Hak ulayat sebagai obyek tidak mungkin ada tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek. Pada pasal 135 dengan tegas telah disampaikan bahwa terdapat syarat mutlak bahwa perusahaan pertambangan baru dapat melaksanakan kegiatannya setelahmendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Tidak disebutkan secarajelas bagaimana persetujuan yang dimaksud, apakah persetujuan lisan saja cukupataukah melalui persetujuan tertulis pula. Namun hal ini dapat diserakan kepadamasing-masing pemegang hak atas tanah, yang terutama pada masyarakat hukumadat memiliki ketentuan masing-masing bagi orang asing yang akan menggunakan tanah ulayatnya. Pasal ini menegaskan bahwa UU Minerba memiliki keterkaitan dengan UUPA dan peraturan perundang – undangan terkait dengan tanah, sekalipun dalamkonsidrans tidak merujuk pada UUPA. Dalam Universitas Sumatera Utara UUPA sendiri di kenal beberapa jenisHak Atas Tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 UUPA yakni hak milik, hakguna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hakmemungut hasil hutan. Serta dalam Pasal 3 yakni hak ulayat dan hak-hak yang serupaitu dari masyarakat hukum adat. Ketentuan pada pasal–pasal diatas mengamanahkanperusahaan pertambangan untuk menyelesaikan hak atas tanah dengan para pemegang hak. Apabila hak atas tanah itu berupa hak milik, maka tidak terlalu sulitbagi perusahaan pertambangan untuk menyelesaikan secara administratif. Namun, apabila berupa tanah ulayat yang tidak memiliki bukti administratif, pedomanpenyelesaiannya terdapat pada Peraturan Menteri AgrariaKepada Badan PertanahanNasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak UlayatMasyarakat Hukum Adat yakni dengan cara pelepasan hak. Melalui Pasal 135 UU Minerba, dapat terlihat bahwa negara cenderung membiarkan pengusaha pertambangan untuk menyelesaikan sendiri persoalansengketa hak atas tanah ulayat dengan masyarakat adat. Konsekuensinya adalahproses face to face atau berhadapan langsung antara pengusaha pertambangan denganmasyarakat hukum adat rawan menimbulkan konflik. Sekalipun secara yuridiskedudukan keduanya sama-sama diakui oleh hukum, namun secara implementasi,perusahaan pertambangan merupakan pihak yang memiliki power atau kekuatan yanglebih tinggi dibandingkan masyarakat hukum adat. Hal ini mencederai amanahkonstitusi bahwa negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepadaseluruh masyarakat, termasuk masyarakat hukum adatnya. Padahal sebetulnya,Peraturan Menteri Agraria 51999 memberikan kewenangan kepada instansi pemerintah untuk turun tangan Universitas Sumatera Utara menyelesaikan sengketa tanah ulayat. Selain itu,amanah keterlibatan negara juga terdapat pada TAP MPR No IXMPR2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembiaran negara dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat dengan perusahaan pertambangan inilah yang menjadi penyebab kedudukan hukum hak atastanah masyarakat hukum adat yang telah kuat dalam tataran yuridis, menjadi sangatlemah dalam tataran implementasi. Hal ini juga disebabkan, terdapat permasalahansaat penentuan Wilayah Pertambangan. Wilayah Pertambangan merupakan variabelpaling dasar dan awal sebelum pemerintah danatau pemerintah daerah memberikanIUP atau IUPK kepada pengusaha pertambangan. Terkait dengan penentuan Wilayah Pertambangan, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 32PUU-VIII2010 pun menentukan bahwa negara yangmana dalam hal ini dijalankan oleh Pemerintah, dalam menetapkan Wilayah Pertambangan harus memperhatikan syarat-syarat berikut: a. menyesuaikan dengan tata ruang nasional dan berorientasi padapelestarian lingkungan hidup; b. memastikan bahwa pembagian ketiga bentuk wilayah pertambangan yaitu WUP, WPR, dan WPN tersebut tidak boleh saling tumpang tindih, baikdalam satu wilayah administrasi pemerintahan yang sama maupunantarwilayah administrasi pemerintahan yang berbeda; c. menentukan dan menetapkan terlebih dahulu WPR, setelah itu WPN,kemudian WUP; Universitas Sumatera Utara d. wajib menyertakan pendapat masyarakat yang wilayah maupun tanahmiliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan danmasyarakat yang akan terkena dampak. Kini telah terdeteksi sebanyak 324 daerah memiliki cakupan luas lahan sebesar 2.643.261,09 hektare ha, yang merupakan peta wilayah adat. Tumpangtindih lahan, akan menjadi permasalahan yang tidak dapat terhindarkan. Setidaknya dalam hal pengakuan hak–hak adat atas tanah serta penyelesaian sengketa tumpangtindih lahan dalam sektor agraria dan sumber daya alam, Pasal 5 ayat 1 poin a dand, serta ayat 2 poin a sd e TAP MPR Nomor IXMPR2001 Ketetapan MPR No. IX2001MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyebutkan: Huruf a “Arah kebijakan pembaruan agraria adalah melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini”. Huruf d “Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini”. Ayat 2“Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah: huruf a “Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsipprinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. huruf b “Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional. huruf c Universitas Sumatera Utara “Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional. huruf d “Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut. huruf e “Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. Sementara itu Pasal 5 ayat 2 TAP MPR tersebut menentukan bahwa arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah : Huruf a “melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini”. Huruf b “Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional”. Huruf c “memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional”. Huruf d “memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber alam tersebut”. Huruf e “menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukumdengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan in”i. huruf f “mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan”. Huruf g “menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, Universitas Sumatera Utara kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional”. 127 B. Kepastian hukum pemberian IUP atas pemberdayaan masyarakat lingkar tambang. Ketetapan MPR tersebut memberikan mandat kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pengkajian ulang review terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini menjadi relevan dalam kaitannya dengan melakukan pengkajian mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masyarakat adat. Pertama, kebanyakan pengaturan mengenai keberadaan dan hak masyarakat adat terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Kedua, ketetapan MPR No. IX2001menjadikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrariasumber daya alam sebagai salah satu prinsip yang menjadi tolak ukur dalam melakukan pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pasal 5 TAP MPR No IXMPR2001 tersebut telah jelas mengamanahkan negara melalui pemerintah sebagai pihak yang turut mengambil peran dalam menyelesaikan sengketa tumpang tindih lahan maupun pengelolaan sumber dayaalam yang lain di masa kini serta antisipasinya di masa mendatang sehingga tercipta pembangunan yang berkelanjutan. Kehadiran suatu perusahaan pertambangan diharapkan dapat memberikan 127 Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI,Laporan akhir tim pengkajian konstitusi tentang perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat,Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RIJakarta, 2014.Hal 35 Universitas Sumatera Utara manfaat baik secara ekonomi dan sosial langsung kepada masyarakat. Sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Dimana masyarakat diharapkan memperoleh manfaat senyata- nyatanya dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar wilayah lingkar tambang. Pengembangan Masyarakat Community Development merupakan konsep yang berkembang sebagai tandingan opponent terhadap konsep negara kesejahteraan welfare state. Kedua konsep ini muncul dalam wacana pembangunan yang diperankan oleh negara sebagai tanggung jawab Pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat rakyat dan mendistribusikan kesejahteraan tersebut secara merata adil. Inti dari konsep kesejahteraan adalah pemenuhan kebutuhan hidup manusia human needs yang dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar basicneeds, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan. Di negara maju, telah terbukti bahwa konsep negara-kesejahteraan welfare state tidak mampu berjalan secara berkelanjutan pada saat negara krisis ekonomi karena dibebani oleh peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Apalagi di negara yang lebih miskin, konsep ini sulit dijalankan. Kalau pada konsep negara-kesejahteraan welfare state, pemerintah campur tangan langsung pada pengelolaan dan distribusi kesejahteraan masyarakat. Sedangkan pada konsep Pengembangan Masyarakat Community Development, lebih ditekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan oleh masyarakat sendiri community-base service dengan ide utama keberlanjutan dalam penyelenggaraan kebutuhan hidup manusia karena dikembangkannya keswadayaan self-reliance masyarakat. Pemenuhan kebutuhan oleh masyarakat sendiri community-baseservice dianggap hanya bisa terjadi apabila disertai dengan programPengembangan Universitas Sumatera Utara Masyarakat Community Development yang merupakan prosesmembangun atau memperkuat struktur masyarakat komunitas agarmenjadi suatu entitas yang otonom dan bisa menyelenggarakankehidupannya serta melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusiahuman needs. Jadi, bagian penting dari program- program. PengembanganMasyarakat adalah upaya-upaya untuk mewujudkan desentralisasi danotonomi masyarakat sosial-budaya, ekonomi, politik. Batasan masyarakat komunitas yang dapat menjadi suatu kesatuanotonom akan beragam, yang biasanya memiliki paling tidak lima 5, yaitu: a. Jumlah atau skala: Adanya jumlah anggotamasyarakat yang memungkinkan terjadinya interaksi langsung antaraindividu-individunya; b. Identitas dan kepemilikan: Adanya kesamaan identitas yang mempengaruhi perasaan kepemilikan, keterikatan kelompok, kesamaan nilai, dan kesetiaan; c. Kewajiban: Adanya hak dan kewajiban dari anggota terhadap kelangsungan hidup masyarakatnya; d. Kemelekatan secara keseluruhan: Adanya hubungan interaksi dan peran-peran di antara anggota masyarakat, baik dalam kegiatan ekonomi, sosial-budaya, dan politik, sebagai suatu kesatuan kebulatan masyarakat. Artinya, setiap individu mengenal individu lainnya dalam bermacam peran, sehingga usaha ekonomi bisnis pun tidak dapat dipisahkan dengan hubungan sosial antar individu. Sebaliknya, hubungan sosial juga mempengaruhi perekonomian masyarakat; dan e. Budaya. Adanya budaya lokal yang unik dan spesifik. Pengembangan Masyarakat Community Development diselenggarakan Universitas Sumatera Utara dengan tujuan untuk mencapai kondisi masyarakat dimana transformasi sosial-budaya, politik, ekonomi, teknologi, dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Ada 3 karakter umum program Pengembangan Masyarakat Community Development, yaitu: a. berbasis masyarakat community-base atau masyarakat sebagai pelaku utama subyek dalam perencanaan dan pelaksanaan program; b. berbasis sumberdaya setempat local resources-base, yaitu penciptaan kegiatan dengan melihat potensi sumberdaya alam, manusia yang ada; dan c. berkelanjutan sustainable yaitu program berfungsi sebagai penggerak awal pembangunan yang berkelanjutan.

1. Dampak Pemberian Izin Usaha Pertambangan Terhadap Masyarakat Sekitar Pertambangan.

Setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari kegiatanpembangunan di bidang pertambangan adalah: a. memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonominasional; b. meningkatkan pendapatan asli daerah PAD; c. menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; d. meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang; e. meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; f. meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; Universitas Sumatera Utara g. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang. Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah: a. kehancuran lingkungan hidup; b. penderitaan masyarakat adat; c. menurunnya kualitas hidup penduduk lokal; d. meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; e. kehancuran ekologi pulau-pulau; dan f. terjadinya pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan. Walaupun mineral dan batubara mempunyai kegunaan yang sangat strategis, namunkeberadaan industri pertambangan minerba menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Dampak positif merupakan pengaruh dari adanya pertambangan minerba terhadap hal-hal yang bersifat praktis nyata dan konstruktif membangun. Dampak positif dari industri pertambangan minerba ini di Indonesia adalah: a. membuka daerah terisolasi dengan dibangunnya jalan pertambangan danpelabuhan; b. sumber devisa negara; c. sumber Pendapatan Asli Daerah PAD; d. sumber energi alternatif, untuk masyarakat lokal; e. menampung tenaga kerja. Dampak negatif pertambangan batu bara merupakan pengaruh yangkurang baik dari adanya industri penambangan batu bara. Dampak negatif penambangan minerba di Indonesia yaitu: Universitas Sumatera Utara a. sebagian perusahaan pertambangan yang dituding tidak memperhatikankelestarian lingkungan; b. penebangan hutan untuk kegiatan pertambangan; c. limbah kegiatan penambangan yang mencemari lingkungan; d. areal bekas penambangan yang dibiarkan menganga; e. membahayakan masyarakat sekitar; f. sengketa lahan pertambangan dengan masyarakat sekitar; g. kontribusi bagi masyarakat sekitar yang dirasakan masih kurang; h. hubungan dan keterlibatan pemerintah daerah dalam kegiatan pertambanganmasih kurang.

2. Faktor Penghambat Pengembangan Masyarakat Lingkar Tambang

Dalam perkembangan realitas pertambangan saat ini. Masyarakat sekitar pertambangan tidaklah dapat dijadikan sebagai aktor yang berpengaruh dalam pengembangan pertambangan tersebut. 128 a. tingkat pendidikan yang rendah; Adapun faktor penghalang penghambat yang dalam keikutsertaan masyarakat dalam pengusahaan dan pengelolaannya antara lain: b. kurang berpengalaman; c. tidak terlatih; Meskipun demikian, masyarakat sekitar dengan segala keterbatasan dan kekurangannya masih dapat dipekerjakan pada tahap bulan madu tahap kontruksi pertambangan yang membutuhkan tenaga kerja semi skilled and unskilled yang cukup banyak. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana setelah tahap 128 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan,UII Press Yogyakarta, yogyakarta, 2004. Hal.192 Universitas Sumatera Utara kontruksi selesai? Mereka tidak tertampung lagi karena faktor-faktor tersebur diatas. Sementara pada tahap operasi pertambangan, mereka tidak dimungkinkan lagi untuk ikut serta berperan dalam pengolahannya, dikarenakan dalam pengerjaannya harus ditunjang oleh tenaga ahli pertambangan dan tenaga ahli non-pertambangan yang secara bersama hidup dalam satu komunitas yang serba berbeda dengan masyarakat sekitar baik dari pola hidupnya dan tingkat emosional dalam diri masing-masing yang dapat mengakibatkan ketidak harmonisan dan bahkan konflik. Akibat dari kondisi yang demikian, hubungan antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya terbatas bahkan tertutup. Pada saat itu pula muncul ketidakpuasan masyarakat sekitar dab bahkan menjadi awal kesenjangan yang berkepanjangan. Hubungan yang tidak harmonis antara pihak perusahaan dan masyarakat sekitar terkadang memaksa pihak perusahaan mengundang aparat keamanan yang dapat menciptakan suasana yang otoriter bagi masyarakat. 129 129 Abrar saleng. OP cit.hal 98 Dalam penelitian yang dilakukan Abrar Saleng, dengan kasus antara masyarakat Kamoro dan Amungme disekitar PT.Freeport Indonesia, masyarakat kutai disekitar PT. Kaltim Prima Coal dan Masyarakat Luwu disekitar INCO. Ditemukan suatu fenomena yang menarik, yaitu disetiap lokasi yang relatif terpencil daerah yang baru dibuka, masyarakat pendatang jauh lebih maju dan sejahtera serta mampumemiliki semangat bersaing Competition spirit yang tinggi, ketimbang masyarakat asli setempat. Menurut beliau, hal ini disebabkan oleh kebijakan dan penanganan yang keliru oleh pemerintah daerah dan perusahaan pertambangan sendiri dengan memberikan atau memenuhi segala Universitas Sumatera Utara klaim-klaim dari masyarakat asli. Pemenuhan klaim-klaim itu tidak di ikuti pengetahuan dan pemahaman yang memadai akan cara pemanfaatan dan penggunaan dana atau barang yang diberikan perusahaan, sehingga pemberian itu hanya habisdikonsumsi dalam waktu yang singkat sehingga tidak produktif. Kita bersama mengetahui bahwa kepentingan kontraktor pertambangan umum adalah profit oriented, namun juga dibebani tanggung jawab community development tanggung jawab sosial perusahaan pertambangan umum, berdasarkan ketentuan kontrak karya, sedangkan pemerintah dilain pihak berkepentingan dengan adanya kepastian revenuepemasukan dari bagian pemerintah govermen take atas hasil dari produk pertambangan baik dari pajak maupun royalty, deadreniuran tetap, iuran produksi, maupun pajak dari perusahaan jasa pertambangan umum terkait, guna memenuhi pemasukan untuk Anggaran Pendapatan Negara di pusat maupun pemasukan asli pemerintah daerah sebagai tanggung jawab publik dan melaksanakan amanah untuk mensejahterahkan rakyat, sesuaidengan pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar 1945. Untuk hal ini, maka terlihat adanya kemajuan dimana 10 dari keuntungan hasil produk penambangan adalah menjadi bagian pemerintah dimana ada percentage pembagian yang jelas antara pemerintah daerah dan pusat. Begitu pula tampaknya dalam pertambangan Domestik market Obligation dimana diperminyakan adalah 25 dari produksi tahunan. Dalam Undang- Undang pertambangan Mineral dan Batu Bara, total royalti yang harus dibayar oleh pengusaha tambang sebesar 10. Pemerintah provinsi cuma kebagian 1 persen. Ketentuan ini tiba-tiba muncul menjelang Undang- Universitas Sumatera Utara undang pertambangan Mineral dan Batu bara disahkan. Hal ini lah yang ditunggu pemerintah daerah dalam Undang–Undang Pertambangan Mineral dan Batubara.Apa lagi kalau bukan bagi–bagi dana royalti. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sudah pasti ingin mendapatkan bagian yang besar.Apalagi kini zaman nya otonomi daerah.Setiap daerah pengthasil tentu ingin mendapat jatah royalti. Hasilnya, sudah ditetapkan oleh Undang–Undang Pertambangan Mineral dan BatuBara. Total royalti ynag harus diberikan pengusaha tambang kepada perintah sebesar 10. Pasal 129 ayat 1 menyebutkan, Pemegang Izin Usaha Pertambangan Kghusus IUPK operasi produksi untuk pertambangan mineral logam dan Batu bara, wajib membayar 4 kepada pemerintah dan 6 kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. Bagian pemerintah daerah kemudian dibagi lagi menjadi pemerintah provinsi mendapat jatah 1, pemerintah kabupaten kota penghasil 2,5, dan pemerintah kabupatenkota lainnya dalam provinsi yang sama 2,5 pasal 129 ayat 2. Penjatahan itu memperlihatkan bahwa pemerintah pusat tetap mendapat bagian paling besar, sedangkan pemerintah provinsi paling sedikit. Terlepas dari penjatahan tersebut, kewajiban ini bisa menjadi kabar buruk bagi pengusaha tambang. Pasalnya, dana 10 dari dari hasil keuntungan tidaklah kecil. Belum lagi mereka harus membayar biaya–biaya lain yang diatur Undang– Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Makanya ada yang mengatakan pasal 129 adalah pasal kontroversial. Selain muncul di akhir-akhir pembahasan, pasal tersebut juga bukan inisiatif dari pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa pembayaran royalti selama ini masuk kategoris jenis Penerimaan Negara Bukan Universitas Sumatera Utara Pajak PNBP. Ketentuannya diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang jenis PNBP yang berlaku pada Departemen EnergiSumber Daya Mineral DESDM. Peraturan pemerintah ini antara lain memuat ketentuan mengenai besaran tarif iuran tetap untuk Kuasa Pertambangan KP, Kontrak Karya KK, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara PKP2B. Lalu, besaran tarif iuran produksi royalti untuk KP dan KK. Royalti dihitung berdasarkan tarif dikalikan harga jual bahan galian. Sedangkan Dana Hasil Produksi Batu Bara DHPB diatur dalam Keppres No.75 Tahun 1996 Tentang Ketentuan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu BaraPKP2B. Dalam keppres ini kontraktor wajib menyerahkan 13,5 persen dari hasil produksi batu bara nya kepada pemerintah secara tunai atas harga free on board FOB atau harga setemapat at sale point. Dana hasil produksi Batu Bara DHPB sebesar 13,5 yang merupakan bagian pemerintah digunakan untuk pembiayaan pengembangan batu bara, inventarisasi sumber daya batubara, biaya pengawasan pengelolaan lingkungan dan keselamatan kerja pertambangan, dan pembayaran iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi, serta pajak pertambangan Nilai PPn. Selain royalti, Undang–Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang baru juga mewajibkan perusahaan tambang yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan IUP dan Izin Usaha Pertambangan Khusus IUPK, membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah lainnya pasal 128. Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara buakn pajak. 130 130 Abrar Saleng.Op cit. Hal 100 Penelitian lain yang mengkaji dan menganalisis tentang faktor penyebab Universitas Sumatera Utara timbulnya konflik didaerah pertambangan adalah penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Zulkarnaen, dkk di daerah pertambangan Pongkor dan Cikotok. Dalam penelitian ini, telah disajikan sumber konflik dan faktor penyebab terjadinya konflik. Adapun hasil penelitiannya adalah sebagaoi berikut: “Ada tiga aktor yang terlibat dalam melahirkan konflik di daerah pertambangan pongkor dan cikotok. Ketiga sumber itu meliputi perusahaan pertambangan PT Aneka Tambang Tbk, masyarakat lokal, dan penggali liar Peti. Berdasarkan ketiga aktor ini ada tiga jenis konflik yang terjadi di daerah pertambangan”. Ketiga jenis konflik itu meliputi: a. konflik antara perusahaan dengan masyarakat; b. konflik antara Perusahaan dengan Peti; dan c. konflik antara masyarakat lokal dengan PETI. Ada 5 lima faktor penyebab timbulnya konflik antara perusahaan dengan masyarakat, yaitu: a. komunikasi yang mandeg tidak jalan antara perusahaan dengan masyarakat; b. berkurangnya lahan garapan masyarakat akibat berpindahnya kepemilikan; c. sistem penerimaan tenaga kerja yang nepotisme; d. program pengembangan masyarakat community development yang parsial menyeluruh; dan e. adanya gap antara aparat pemerintah dengan pihak perusahaan. Sedangkan alasan yang dapat dikategorikan sebagai sumber konflik antara PETI dengan pihak perusahaan, yakni: a. Permainan aparat keamanan; Universitas Sumatera Utara b. PETI lokal berhak untuk ikut mengeksploitasi; c. sementara pendatang merasa berani untuk ikut melakukan eksploitasi; dan d. perbedaan persepsi antara perusahaan dan aparat pemerintah. Dan antara masyarakat dengan PETI yang menjadi sumber konfliknya antara lain, yaitu 131 a. peti pendatang dan jaringannya menguasai lahan masyarakat; : b. peti dengan jaringannya melakukan kekerasan kepada masyarakat; dan c. adanya perlawanan masyarakat terhadap PETI pendatang. 132 a. masyarakat desa ropang dapat berpartisipasi sebagai tenaga kerja lokal dalam pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi PT NNT; dan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh H.Salim HS, dkk dan penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Zulkarnaen, dkk untuk menganalisis tentang faktor penyebab timbulnya sengketa antara masyarakat sekitar tambang dengan perusahaan. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Salim HS, dkk di wilayah lingkar tambang PT Newmont Nusa Tenggara PT NNT menunjukkan bahwa : “ Faktor utama penyebab terjadinya sengketa antara masyarakat desa ropang, kecamatan ropang, kabupaten sumbawa dengan PT NNT adalah karena tidak dipenuhi permintaan proposal yang diajukan oleh masyarakat desa ropang senilai Rp.10 milliar.” Sementara dalam kontrak karya sosial PT NNT pada intinya meliputi: b. dipenuhinya proposal senilai Rp.10 milliar. Adapun pelaksanaan program pengembangan masyarakat bagi masyarakat yang 131 Selengkapnya dapat dibaca dalam bukum ”Abrar Saleng, Op cit.Hal 101” 132 Salim HS., Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Sinar Grafika, jakarta, 2012. Hal.244 Universitas Sumatera Utara berada didaerah lingkar tambang elang dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa belum dilakukan oleh PT NNT. Ini disebabkan wilayah kontrak karya Elang Dodo, masih dalam tahap kegiatan eksplorasi, yaitu tahap untuk menentukan secara detail kandungan emas, temabaga dan perak. Biasanya pengembangan masyarakat PT NNT baru dilakukan pada saat dilakukan kegiatan kontruksi dan eksploitasi. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara UU Minerba tidak menyediakan ketentuan yang spesifik mengenai masyarakat adat. Di dalam UU Minerba pengaturan lebih bersifat umum mengenai peran dan keterlibatan masyarakat dari pada satu kategori yang lebih spesifik mengenai masyarakat adat.Hal ini menunjukan suatu ketidaksinkronan karena antara UU Migas dan UU Minerba sama-sama merupakan undang-undang yang menjadi landasan kegiatan pertambangan di Indonesia.Apalagi kegiatan pertambangan mineral dan batubara seringkali membutuhkan tanah yang lebih luas bila dibandingkan dengan kegiatan minyak dan gas bumi. Dalam penjelasan UU Minerba disebutkan bahwa mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Dari ketentuan ini jelas menunjukkan bahwa peran masyarakat harus Universitas Sumatera Utara dilibatkan dalam setiap kegiatan usaha pertambangan.Salah satunya ketentuan di dalam Pasal 21 UU Minerba yang menyatakan bahwa bupatiwalikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka. Peran serta masyarakat dalam keterlibatan dalam kegiatan usaha pertambangan karena usaha kegiatan tambang merupakan suatu kegiatan besar yang berada ditengah masyarakat, dimana tentunya kegiatan ini akan berinteraksi dengan masyarakat setempat dimana lokasi pertambangan itu berada. Keterlibatan masyarakat sangat penting oleh karena banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan pertambangan, mulai dari pemerataan ekonomi hingga mempertimbangan kelestarian lingkungan serta dampak dari kegiatan tersebut menimpa masyarakat setempat dimana kegiatan usaha tambang dilakukan. Dari hasil wawancara tersebut jelas agar perusahaan tidak hanya memberikan bantuan secara langsung seperti uang tunai, tanpa memberikan pelatihan khusus dan berkesinambungan. Karena bantuan tersebut akan habis sehingga masyarakat akan cenderung semakin konsumtif dan lebih parahnya akan dapat membuat masyarakat tergantung kepada perusahaan. Sehingga yang menjadi solusinya adalah dengan meningkatkan soft skillmasyarakat dibidang yang mereka tekuni sesuai dengan wilayah tersebut. Atas dasari itu, dalam Pasal 10 huruf b UU Minerba dinyatakan bahwa Penetapan Wilayah Pertambangan dilakukan secara secara terpadu dengan memperhatikan pendapat masyarakat. Perlunya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan usaha pertembangan untuk menghidari persoalan-persoalan yang akan timbul dari kegiatan usaha pertambangan tersebut. Seperti apa yang diutarakan Universitas Sumatera Utara Siti Maimunah dalam FGD tanggal 22 Oktober di BPHN bahwa tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses usaha pertambangan menimbulkan persoalan di masyarakat dalam kegiatan usaha pertambangan. Seperti persoalan adanya kegiatan usaha tambang ditengah-tengah pemukiman penduduk, tampa adanya batasan jarak dengan rumah penduduk, dan lokasi kegiatan usaha tambang tersebut merupakan hutan resapan air untuk kebutuhan penduduk setempat. Belum lagi permasalahan kerusakan akibat aktivitas pertambangan ini sangatlah bervariasi, tergantung dari jenis bahan tambang yang digali. Disamping itu juga dampak sosial-ekonomi.Hal yang sering terjadi adalah timbulnya kesenjangan sosial-ekonomi antara masyarakat sekitar dengan orang- orang yang berada di tambang.Kesenjangan sosial ini disebabkan oleh karena perbedaan budaya dan juga teknologi, serta status ekonomi. Orang-orang yang berada di perusahaan tambang biasanya berasal dari orang-orang kota dengan gaya hidup cenderung glamour dan mewah, teknologi yang dipakai juga canggih dan modern, serta kondisi ekonomi orang-orang perusahaan tambang biasanya ada di tingkat menengah ke atas, karena gaji di pertambangan tergolong besar. Hal yang sebaliknya dialami oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan tambang, mereka biasanya adalah penduduk asli dan sudah tinggal di daerah tersebut bahkan sebelum perusahaan penambangan didirikan. Perbedaan budaya antara orang perusahaan dan masyarakat dapat menyebabkan kurang harmonisnya hubungan diantara keduanya. Akibat dari dampak tersebut menimbulkan gejolak maupun konflik ditengah-tengah masyarakat sehingga terkadang berakibat sampai adanya korban jiwa. Dalam Pasal 134 UU Minerba dinyatakan bahwa Kegiatan usaha Universitas Sumatera Utara pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini serupa dengan ketentuan mengenai larangan penggunaan tanah tertentu untuk kegiatan minyak dan gas bumi dalam UU Migas. Namun bedanya ketentuan di dalam UU Minerba tidak merinci larangan-larangan pada tempat tertentu yang dimaksudnya, melainkan merujuk kepada peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi lebih kabur karena tidak tahu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan mana larangan yang dimaksud tersebut harus berpatokan. Secara normatif, keberadaan UU Minerba pun juga dibuatnya dengan maksud dapat menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat seperti yang tercatum dalam Pasal 2 huruf a UU yang menyebutkan bahwa pertambangan mineral danatau batubara dikelola berasaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan. Kemudian dalam Pasal 3 huruf e menyebutkan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Demikian pula dalam Pasal 1 angka 28 UU Minerba yang menyatakan bahwa Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. Memang pada awalnya, masyarakat akan merasa gembira ketika suatu lahan pertambangan dibuka di daerahnya. Mereka akan berharap bahwa mereka akan mendapat pekerjaan yang layak seperti yang dimaksud ketentuan undang-undang Universitas Sumatera Utara di atas, namun pada kenyataanya karena keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan mereka tidak dapat bekerja pada perusahaan tambang yang berada di wilayahnya. Padahal Pasal 2 UU Minerba menentukan bahwa pertambangan mineral danatau batubara dikelola berasaskan: huruf a : manfaat, keadilan, dan keseimbangan. Serta pasal 3 huruf e semakin memperjelas bahwa pertambangan dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Dengan demikian tujuan dari pembentuk undang-undang bahwa dengan dibuat undang-undang ini akan berdampak terhadap peningkatkan kemakmuran rakyat hanya sebatas gagasan ideal atau das solen saja. Seharusnya hukum sebagaimana dikatakan Mochtar Kusumaatmadja hukum mempunyai kekuasaan untuk melindungi dan mengayomi seluruh lapisan masyarakat sehingga tujuan hukum dapat tercapai dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus menunjang pembangunan secara menyeluruh. 133 Akibat dari kenyataan ini maka didalam masyarakat selalu timbul kesan bahwa hukum masih kurang mampu menjamin keteraturan, ketertiban, kepastian dan pada gilirannya juga dirasakan kurang mampu menjawab tuntutan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.Memperhatikan beberapa ketentuan dalam undang-undang tambang dan aturan kebijakan lainnya terdapat pertentangan antara yang diatur dengan kenyataan yang ada di masyarakat, hal demikian menurut Hadjon mengutip pendapat seorang ahli hukum ternama Lon Luvois Fuller .Filsuf hukum asal Universitas Harvard, Amerika Serikat, membagi 133 Mochtar Kusumaatmadja,Hukum, Masyarakat, dan pembinaan hukum, Binacipta, Bandung.1976. hal.17 Universitas Sumatera Utara delapan jalan menuju kegagalan dalam pembentukan UU. Kedelapan jalan itu adalah i tidak ada aturan atau hukum yang menimbulkan ketidakpastian; ii Kegagalan untuk mempublikasikan atau memperkenalkan aturan hukum kepada masyarakat; iii Aturan berlaku surut yang diterapkan secara tidak pantas. iv Kegagalan menciptakan hukum yang bersifat komprehensif, v Pembentukan aturan yang kontradiksi satu sama lain; vi Pembentukan aturan yang mencantumkan persyaratan yang mustahil dipenuhi; vii Perubahan aturan secara cepat sehingga menimbulkan ketidakjelasan; viii Adanya ketidaksinambungan antara aturan dengan penerapannya. C. Kepastian hukum izin usaha pertambangan terhadap kehutanan. Salah satu masalah yang selalu muncul dalam pengusahaan pertambangan adalah terdapatnya cabakan bahan galian dikawasan hutan, perkebunan, taman nasional, kawasan transmigrasi, dan tanah ulayat masyarakat hukum sebagaimana sudah dibahas dalam bagian A sub-bab ini, serta hak atas tanah penduduk. Cebakan bahan galian seperti minyak, batubara, emas, perak, nikel, tembaga, timah hitam dan mineral ekonomis lainnya untuk sekarang berguna untuk penunjang pembangunan. Sebaliknya flora dan fauna dalam ekosistem dimana cebakan bahan galian berada, merupakan harta karun yang sampai saat ini sangat sedikit diketahui nilai ekonomis yang tinggi diatasnya dikarenakan dapat mendukung kehidupan setiap warga negara dari setiap waktu ke waktu. 134 134 Pusat Data dan Informasi.Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014.Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.2015.Hal 72 Berdasarkan data hasil Pusat Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014 luas kawasan hutan indonesia adalah 120.981.305,98 Ha Universitas Sumatera Utara dimana kawasan hutan tersebut sudah digunakan untuk perkebunanpertanian seluas 495.008,57 Ha dan pertambangan 52.209,60 Ha. Dari hasil data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan sudah dimasuki oleh bidang lain yang membutuhkan lahan yang luas untuk pengolahannya. Adapun yang menjadi alasan utama dari pergeseran penggunaan lahan hutan ini menjadi perkebunan dan pertambangan adalah perkembangan pembangunan ekonomi. Salah satunya Adapun pengertian hutan berdasarkan pasal 1 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dijelaskan bahwa: Ayat 1 ”kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu”. Ayat 2 “hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Karena hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya”. Hutan berdasarkan fungsinya menurut Pasal 6 dan Pasal 7 Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah sebagai berikut: a. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas tiga macam, yaitu kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan tamanbaru; b. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokoksebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi peresapan air laut dan memelihara kesuburan tanah; c. hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok Universitas Sumatera Utara memproduksi hasilhutan. Berdasarkan penjelasan pasal 6 ayat 1 undang-undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dijelaskan bahwa “pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan faunan, serta keragaman hayati dan ekosistemnya”. Kemudian penjelasan ayat 2 dijelaskan “fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan.” 135 135 Abrar Saleng. Op cit. hal 108 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Abrar Saleng, permasalahan tumpang tindih lahan ini semakin kompleks bahkan dapat menjadi pemicu terhambatnya atau tertundanya suatu pengusahaan pertambangan. Pada tahun 1976, tumpang tindih ini sudah masuk dalam tahap Resolusi dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Tentang Sinkronasi Tugas- Tugas Keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum. Dimana dalam lampiran INPRES ini yaitu pada bagian IIangka 11ii disebutkan : “Bila pertindihanpenggunaan tanah tidak dapat dicegah, maka hak prioritas pertambangan harus diutamakan sesuai dengan ketentuan undang-undang Nomor 11 Tahun 1967.” Sebagaimana dalam analisis penulis berdasarkan bagian I angka 7 peraturan perundang-undangan ini dijelaskan bahwa apabila hak penguasaan hutan diperuntukkan untuk tujuan lainnya daripada penggunaan yang sudah ditentukan. Maka pemegang hak tersebut harus mengeluarkan izin penggunaan areal tersebut tanpa menunggu jangka waktu berkahirnya hak pemguasaan hutan tersebut. Universitas Sumatera Utara Dari penjelasan kedua pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya apabila terdapat bahan galian pertambangan dalam kawasan hutan, maka izin pertambangan itulah yang merupakan prioritas. Pemegang hak penguasaan hutan tidak dapat menghalangi pemberian izin tersebut. Ketentuan ini sangat jelas dan tegas mengatur mengenai jika terjadi sesuatu tumpang tindih termasuk segala skala prioritas utama dari suatu sektor tertentu terhadap sektor lainnya. Skala prioritas tersebut tidak termasuk dalam wilayah yang sudah ditetapkan sebagai suaka alam dan kawasan hutan wisata Taman wisata dan Taman buru. Berdasarkan Undang-Undang Minerba dan peraturan pelaksanaannya, pemegang hak IUP atau IUPK mendapatkan haknya jika telah diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan wilayah kewenanganya yaitu mendapat persetujuan dari menteri, gubernur atau bupatiwalikota sesuai dengan kewenangan masing- masing. Hal ini merupakan amanat dari Undang-Undang Minerba dan Peraturan Menteri ESDM No. 28 Tahun 2009 Pasal 5. Selain memohonkan izin kepada kementerian ESDM sesuai dengan kewenangannya, pemegang IUP atau IUPK harus memohonkan izin Pinjam Pakai kepada Menteri Kehutanan. Izin yang dimohonkan adalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010, Pasal 7 ayat 1 yang mengatakan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan. Maka pemberian kewenangan yang diberikan kepada Menteri Kehutanan merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah.Berkaitan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan, selalu berhungan dengan Teori Stuffen Bow karya Hans Kelsen Universitas Sumatera Utara selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”. Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma- norma hukum itu berjenjang- jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Hans Kelsen berpendapat sebagai berikut: ”Hubungan antara norma yang menentukan penciptaan norma lain dan norma yang diciptakan sesuai dengan determinasi ini, bisa divisualisasikan dengan menggambarkan pengorganisasian norma di tingkat di tingkat tinggi dan rendah. Norma yang menentukan penciptaan adalah norma yang lebih tinggi, norma yang diciptakan sesuai dengan determinasi ini adalah norma di tingkat yang lebih rendah. Sistem hukum bukan sebuah sistem yang terdiri dari norma-norma hukum bertingkat, dengan kata lain, berdampingan satu sama lain; rupanya, sistem hukum merupakan urutan hierarkis berbagai strata norma-norma hukum.” Di Indonesia Teori Aquo ini dijadikan hukum tertulis atau hukum positif dan dituangkan dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang- undangan. Undang-undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan pertama kali dipositifkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang- Undang No. 10 Tahun 2004 mengatur tentang pembentukan peraturan perundang- undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 digantikan dengan undang-undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diaturdalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Universitas Sumatera Utara Perundang-undangan Tahun 2011 secara umum memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan, Peraturan Perundang- undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah. Baik UU No.10 Tahun 2004, maupun UU No. 12 Tahun 2011, sama- samamengatur mengenai Teori Aquo. Adapun sebelumnya, dalam Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004 mengatur Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut 136 136 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, UU No.12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Pasal 7 : ”Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.” Sedangkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: ” Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah KabupatenKota.” Universitas Sumatera Utara Berdasarkan penjelasan Teori Aquo dari Hans Kelsen dan hukum positif yang ada di Indonesia, terlihat bahwa kedudukan secara hierarkis bahwa Peraturan Pemerintah berada pada posisi atau tingkat yang lebih tinggi dari Peraturan Presiden. Apabila kita kaitkan dengan asas hukum LEX SUPERIOR DEROGAT LEGE INFERIOR yaitu peraturan perundang-undangan yang merupakan hasil produk hukum lembaga yang lebih tinggi dalam susunan hirarki peraturan perundang-undangan menggantikan produk hukum dari lembaga pemerintah yang lebih rendah. Moratorium Kehutanan tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut berupa Instruksi Presiden. Instruksi Presiden ini dapat dikateggorikan setingkat dengan Peraturan Presiden. Menurut Teori Aquo yang juga telah di kukuhkan sebagai hukum positif di Indonesia, Peraturan Presiden tidak dapat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah yang merupakan norma hukum yang lebih tinggi dari Peraturan Presiden. Menurut Hans Kelsen bahwa norma hukum yang memiliki tingkat yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Dalam Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 mengatakan bahwa Menteri Kehutanan tidak diperbolehkan untuk memberikan izin baru terkait izin kawasan hutan pada hutan produksi. Sedangkan, di dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2010 Pasal 7 ayat 1 dikatakan bahwa Menteri Kehutanan dapat mengeluarakan izin pinjam pakai terhadap kawasan hutan produksi yang dimohonkan. Jelas terlihat bahwa terdapat pertentangan antara kedua peraturan perundang-undangan ini, yaitu terletak pada Peraturan Pemerintah memperbolehkan Menteri Kehutanan mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Universitas Sumatera Utara Hutan produksi untuk pertambangan, sedangkan pada peraturan perundang– undangan yang lebih rendah tingkatannya yaitu Instruksi Presiden melarang Menteri untuk melakukan hal tersebut. Pertentangan yang terjadi diantara kedua peraturan perundang-undangan ini merupakan kecacatan secara hukum dan jelas mencederai kepastian hukum dalam bidang pertambangan yang telah direcanakan oleh pemerintah itu sendiri. Pemerintah merealisasikan perlindungan hutan yang tidak secara serius ditangani oleh pemerintah berupa banyaknya ketidaksiapan pemerintah dan telah menimbulkan ketidakpastian hukum itu sendiri. Jika di Indonesia tidak terdapat kepastian hukum di bidang pertambangan maka akan sulit untuk mengundang investor masuk ke Indonesia untuk membantu mengelola bahan galian tambang yang akan dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Maka dengan demikian, seharusnya Instruksi Presiden ini dicabut oleh presiden sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terbitnyaInstruksi Presiden ini. Hal ini ditujukan agar terciptanya kepastian hukum pada bidang pertambangan di Indonesia. Universitas Sumatera Utara

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Kepastian Hukum Hak Penguasaan Negara atas Pertambangan terutama dalam mengatur mengenai hubungan hukum abtara subjek hukum dengan pertambangan belum efektif. Ini bisa kita lihat dalam Pasal 135 dan Pasal 136 UU No. 4 Tahun 2009 seperti yang telahdipaparkan dalam analisis pada pembahasan, terlihat bahwa tidak adanya keterlibatannegara dalam proses pelepasan tanah ulayat untuk kegiatan usaha pertambangan.Padahal apabila diposisikan dalam konteks negara kesejahteraan, yakni suatu konsepyang dipilih dalam pembentukan negara, masyarakat mendambakan peran danpelaksanaan tanggung jawab negara yang lebih besar untuk menyejahterakan rakyat.Kekuasaan pemerintah yang cenderung semakin kuat harus sesuai dengan tuntutankebutuhan akan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatasi berbagaipermasalahan yang timbul dalam masyarakat. Namun sayangnya, Pasal 135 dan 136UU No 4 Tahun 2009 menjadi bukti bahwa masyarakat hukum adat dibiarkanberhadapan langsung dengan pengusaha pertambangan yang akan menggunakantanah ulayat untuk kegiatan usaha pertambangannya. 2. Kepastian hukum hak penguasaan negara atas usaha pertambangan di indonesia bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dimana negara sebagai kekuasaan tertinggi dari organisasi masyarakat harus memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Salah satunya bagi masyarakat yang berada disekitar lingkar perusahaan Tambang. Universitas Sumatera Utara perusahaan tidak hanya memberikan bantuan secara langsung seperti uang tunai, tanpa memberikan pelatihan khusus dan berkesinambungan. Karena bantuan tersebut akan habis sehingga masyarakat akan cenderung semakin konsumtif dan lebih parahnya akan dapat membuat masyarakat tergantung kepada perusahaan. Sehingga yang menjadi solusinya adalah dengan meningkatkan soft skillmasyarakat dibidang yang mereka tekuni sesuai dengan wilayah tersebut. 3. Kepastian hukum dalam pemberian izin baru terkait pemakaian kawasan hutan produksi tidaklah sinkron. Dalam Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 mengatakan bahwa Menteri Kehutanan tidak diperbolehkan untuk memberikan izin baru terkait izin kawasan hutan pada hutan produksi. Sedangkan, di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 Pasal 7 ayat 1 dikatakan bahwa Menteri Kehutanan dapat mengeluarakan izin pinjam pakai terhadap kawasan hutan produksi yang dimohonkan. Jelas terlihat bahwa terdapat pertentangan antara kedua peraturan perundang-undangan ini, yaitu terletak pada Peraturan Pemerintah memperbolehkan Menteri Kehutanan mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan produksi untuk pertambangan, sedangkan pada peraturan perundang–undangan yang lebih rendah tingkatannya yaitu Instruksi Presiden melarang Menteri untuk melakukan hal tersebut.Pertentangan yang terjadi diantara kedua peraturan perundang- undangan ini merupakan kecacatan secara hukum dan jelas mencederai kepastian hukum dalam bidang pertambangan yang telah direcanakan oleh pemerintah itu sendiri. Pemerintah merealisasikan perlindungan Universitas Sumatera Utara hutan yang tidak secara serius ditangani oleh pemerintah berupa banyaknya ketidaksiapan pemerintah dan telah menimbulkan ketidakpastian hukum itu sendiri. Jika di Indonesia tidak terdapat kepastian hukum di bidang pertambangan maka akan sulit untuk mengundang investor masuk ke Indonesia untuk membantu mengelola bahan galian tambang yang akan dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Universitas Sumatera Utara

D. Saran