Analisis pengaruh mekanisme corperate governance, kondisi keuangan perusahaan, dan ukuran perusahaan terhadap opini audit going concern
1
ANALISIS PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE,
KONDISI KEUANGAN PERUSAHAAN, DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN
(Studi Empiris Pada Perusahaan Real Estate dan Properti yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Disusun Oleh: KHULIFA AHDIZIA
NIM : 107082001062
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
5 SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama Mahasiswa : Khulifa Ahdizia
NIM : 107082001062
Jurusan : Akuntansi
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain.
Apabila terbukti skripsi ini merupkan plagiat, maka skripsi ini dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, April 2011
(6)
6 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Khulifa Ahdizia
2. Tempat tanggal lahir : Tulungagung, 12 Maret 1989 3. Alamat : Villa Pabuaran Indah
Jln. Aira Raya No.26 Rt.01/016 Pabuaran, Bojonggede – Bogor 16320 4. Telepon : 08561600696
5. E-Mail : [email protected]
II. PENDIDIKAN
1. TK Qaryah Thayyibah, Kebun Jeruk Tahun 1993-1995
2. SDN Muaraberes Cibinong Tahun 1995-2001
3. SMP Negeri 5 Bogor Tahun 2001-2004
4. SMA Negeri 3 Bogor Tahun 2001-2007
5. Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007-2011
III. LATAR BELAKANG KELUARGA 1. Ayah : Ir. Khufadi Maslat 2. Ibu : Chusnul Choiriyah, SH, 3. Adik : Khulafi Ahzidi
Khulafi Ahdian 6. Alamat : Villa Pabuaran Indah
Jln. Aira Raya No.26 Rt. 01/016 Pabuaran, Bojonggede – Bogor 16320 7. No. Telp : 081384951552/081316302693
(7)
7
IV.
PENGALAMAN ORGANISASI1. 2002-2004 : Dewan Kerja Umum (DKU) PMR Unit SMP Negeri 5 Bogor
2. 2005-2007 : Peer Conselor PMR Unit SMA Negeri 3 Bogor
3. 2008-2009 : Staf Divisi Litbang (Penelitian dan Pengembangan) BEM Jurusan Akuntansi
4. 2008-2010 : Anggota Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA) ESQ 165 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. 2009-2010 : Anggota Tim Saman Fosma Zero ESQ (SAFOZE) 165 6. 2010-2011 : Staf Divisi Kemahasiswaan BEM Jurusan Akuntansi 7. 2008-2010 : Alumni Training Support (ATS) ESQ 165
8. 2008-2010 : Pengurus Karang Taruna Rt.01/016 Villa Pabuarann Indah
V.
PELATIHAN DAN SEMINAR YANG DIIKUTI1. 2004-2006 : Kursus Bahasa Inggris di LBPP LIA Cabang Pakuan Bogor
2. 6 Desember 2007 : Peserta Studium General “Prospek dan Tantangan Profesi Akuntansi Menghadapi Era Globalisasi
3. 29-30 November 2008 : ESQ In House Training Basic Mahasiswa UIN Jakarta Angkatan Ke-6
4. 09-10 Mei 2009 : ESQ In House Training MCB UIN Jakarta Angkatan Ke-1
5. 26 November 2009 : Peserta Company Visit to Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI
6. 8 Mei 2010 : Peserta Seminar dan Workshop ARLOJI 2010, Accurate 4 Accounting Software
(8)
8
THE ANALYSIS OF INFLUENCE CORPORTE GOVERNANCE MECHANISMS, CORPORATE FINANCIAL CONDITION, AND CORPORATE SIZE TO GOING CONCERN AUDIT OPINION (Empirical Study on Real Estate and Property Firms that Listed at
Indonesian Stock Exchange) By: Khulifa Ahdizia
ABSTRACT
This research analyzed the influence of corporate governance mechanisms, corporate financial condition, and corporate size to going concern audit opinion. Corporate governace mechanisms were proxied by board of commissioner turnover, board of director turnover, board of independent commissioner size, and board ownership. Corporate financial condition were proxied by financial ratios, there were leverage, profitability, and activity ratio. Samples of this research were 190 real estate and property firms that listed at Indonesian Stock Exchange for 2005 until 2009. This research used binary logistic regression method to examine hypotheses.
This research indicates that leverage has significantly positive effect and activity ratio has significantly negative effect to going concern audit opinion. Board of commissioner turnover, board of director turnover, board of independent commissioner size, board ownership, profitability ratio, and size don’t have significantly effect to going concern audit opinion.
(9)
9 ANALISIS PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE, KONDISI KEUANGAN PERUSAHAAN, DAN UKURAN PERUSAHAAN
TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN
(Studi Empiris pada Perusahaan Real Estate dan Properti yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Oleh: Khulifa Ahdizia
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis pengaruh mekanisme corporate governance, kondisi keuangan perusahaan, dan ukuran perusahaan terhadap opini audit going concern. Mekanisme corporate governance diproksikan dengan perubahan dewan komisaris, perubahan dewan direksi, ukuran dewan komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan. Kondisi keuangan perusahaan diproksikan dengan rasio keuangan yaitu rasio leverage, profitabilitas, dan aktivitas. Sampel dalam penelitian ini adalah 190 perusahaan real estate dan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2005 sampai 2009. Penelitian ini menggunakan regresi logistik biner untuk menguji hipotesis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa leverage berpengaruh positif signifikan dan rasio aktivitas berpengaruh negatif signifikan terhadap opini audit going concern. Perubahan dewan komisaris, perubahan dewan direksi, ukuran dewan komisaris independen, kepemilikan anggota dewan, rasio profitabilitas, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern.
Kata kunci : going concern, corporate governance, rasio-rasio keuangan, ukuran perusahaan.
(10)
10 KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah yang tiada terkira sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi inspirasi dan suri tauladan Umat Muslim di dunia.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, ayahanda Ir. Khufadi Maslat dan ibunda Chusnul Choiriyah, SH, yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta doa yang tiada henti kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Ahmad Rodoni, selaku dosen pembimbing I yang telah berkenan memberikan bimbingan dan tambahan ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Bapak Hepi Prayudiawan, SE., Ak., MM, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dan solusi pada setiap permasalahan atas kesulitan dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Rahmawati SE., MM, selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Yessi Fitri SE., M.Si., Ak., selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan pengetahuan yang sangat bermanfaat selama masa perkuliahan. 8. Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
(11)
11 9. Kedua adik penulis, Khulafi Ahzidi dan Khulafi Ahdian, serta keluarga besar penulis telah memberikan semangat, doa, dukungan, dan inspirasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuangan dalam penyusunan skripsi dari awal pengajuan proposal, pencarian jurnal, penyusunan, hingga pengolahan data, Khoirotun Nisa (Mamah I-te-ce-ha-aa), Gustami Ika Windarti (Tamcuy Udjo Jr.), Kodariyah (Jabarbara), Dian Mayasari (Bakti), Iiss Trianingrum (Budeh), dan Wina Kurniawati (Wincewewewew).
11. Teman-teman terbaik AKUNTANSI B 2007, Endang, Ani, Dewi (teman seperjuangan saat sidang), Amel, Rahay, Koi, Anik (teman seperjuangan saat kompre), Wardah, Dwi, Lita, Indri, Nani, Paul, Nagif, Herdis, Idris, Abloy, Ikhwan, Dio, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas informasi, bantuan, semangat, dan kerja samanya selama masa perkuliahan.
12. Teman-teman AUDIT B 2007 dan yang membantu dan bertukar informasi tentang sidang dan kompre, Tati, Appri, Dini, Cince, Destya, Mela, Dian Sista, Dania, Eneng Hervi, Vina dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas informasi dan semangatnya.
13. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan kemampuan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini selalu terbuka. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya dalam bidang akuntansi dan auditing.
Jakarta, April 2011 Penulis,
(12)
12 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF iii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI iv
SURAT PERNYATAAN v DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi ABSTRACT viii ABSTRAK ix KATA PENGANTAR x DAFTAR ISI xii DAFTAR TABEL xvi DAFTAR GAMBAR xvii DAFTAR LAMPIRAN xviii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 11
C. Tujuan Penelitian 11
D. Manfaat Penelitian 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14
A. Agency Theory (Teori Keagenan) 14
(13)
13
C. Tujuan Audit 17
D. Jenis Audit 18
E. Standar Audit 19
F. Opini Audit 21
G. Going Concern 24
H. Opini Audit Going Concern 26
I. Tanggung Jawab Auditor 28
J. Corporate Governance 31
K. Kondisi Keuangan Perusahaan 42
L. Ukuran Perusahaan 45
M. Keterikatan Antar Variabel 46
N. Penelitian Terdahulu 51
O. Kerangka Pemikiran 57
P. Hipotesis 58
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 59
A. Ruang Lingkup Penelitian 59
B. Metode Penentuan Sampel 59
C. Metode Pengumpulan Data 61
D. Metode Analisa Data 61
1. Statistik Deskriptif 62
2. Analisis Inferensial 62
a. Menilai Model Fit 62
(14)
14
c. Koefisien Determinasi 64
d. Tabel Klasifikasi 64
e. Pengujian Hipotesis 64
f. Estimasi Parameter dan Interpretasinya 65
E. Operasionalisasi Variabel Penelitian 66
1. Variabel Tidak Terikat (Independent Variable) 66
2. Variable Terikat (Independent Variable) 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 72
A. Hasil Penelitian 72
1. Deskripsi Obyek Penelitian 72
2. Deskripsi Sampel Penelitian 74
3. Statistik Deskriptif 75
a. Deskripsi Opini Audit Going Concern 76
b. Deskripsi Variabel Independen 81
4. Analisis Inferensial 84
a. Pengujian Model Fit dan Keseluruhan Model (Overall Model Fit) 85
b. Pengujian Kelayakan Model Regresi 87
c. Koefisien Determinasi 88
d. Tabel Klasifikasi 90
e. Pengujian Hipotesis 91
(15)
15
BAB V PENUTUP 106
A. Kesimpulan 106
B. Implikasi 107
C. Keterbatasan dan Saran 111
1. Keterbatasan 111
2. Saran 112
DAFTAR PUSTAKA 114
(16)
16 DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Penelitian Terdahulu ... 52
3.1 Proses Seleksi Sampel ... 60
3.2 Operasionalisasi Variabel ... 70
4.1 Deskripsi Populasi Penelitian ... 73
4.2 Proses Seleksi Sampel ... 75
4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Opini Audit ... 76
4.4 Ringkasan Penerimaan Opini Audit ... 78
4.5 Statistik Deskriptif ... 81
4.6 Iteration History 0 ... 86
4.7 Iteration History 1 ... 87
4.8 Hosmer and Lameshow Test ... 88
4.9 Model Summary ... 89
4.10 Classification Table ... 90
4.11 Variables in the Equation ... 91
(17)
17 DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
(18)
18 DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1. Surat Keterangan Penelitian ... 119 2. Ikhtisar Data Keuangan Perusahaan Sampel
(Dalam Jutaaan Rupiah) ...
120
3. Analisis Data Sampel Perusahaan 2005-2009 ... 129 4. Analisis Rasio Keuangan Perusahaan Sampel ... 134 5. Laporan Auditor Independen Opini Audit Going Concern .. 143 6. Hasil Output SPSS 16.0 ... 146
(19)
19 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis moneter yang melanda negara-negara di Asia Pasifik pada tahun 1997 telah memberi dampak pada sendi perekonomian Indonesia. Krisis moneter tersebut telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia. Mata uang Rupiah telah mengalami depresiasi dalam tingkat di luar batas ambang kewajaran. Dampak memburuknya kondisi perekonomian Indonesia adalah langkanya likuiditas, tingginya tingkat suku bunga, dan meningkatnya biaya operasi perusahaan (Iskak, 1998: 1).
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 di Indonesia berawal dari bulan Juli 1997. Krisis itu dipicu oleh jatuhnya Baht Thailand terhadap USD, sehingga pada tanggal 21 Juli 1997 nilai tukar Rupiah yang semula Rp.2.500 per USD merosot menjadi Rp.2.650 untuk seterusnya semakin melemah hingga mencapai Rp.15.000 per USD. Pada 16 September 1997, pemerintah terpaksa mengumumkan penundaan mega proyek senilai Rp.39 triliun di dalam upaya “mengencangkan ikat pinggang”. Meski demikian, laju USD makin tak terbendung. Pada 6 Oktober 1997, Rupiah mencapai Rp.3.845 per USD dan seterusnya makin merangkak naik melampaui ambang batas psikologis (Ario Bimo dkk, 1998) sebagaimana dikutip Iskak (1998: 2).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang disusul dengan krisis politik pada tahun 1997 menyebabkan keterpurukan ekonomi Indonesia.
(20)
20 Perekonomian Indonesia mengalami perubahan yang mendasar, dimana kemampuan satuan usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern) berada pada titik yang mengkhawatirkan. Akibatnya, pada saat itu, banyak perusahaan yang gulung tikar, baik perusahaan-perusahaan kecil maupun perusahaan-perusahaan-perusahaan-perusahaan besar.
Salah satu sektor perusahaan yang menjadi dampak dari krisis ekonomi ini adalah perusahaan yang bergerak dalam sektor real estate dan properti. Secara umum, sejak tahun 1998, industri real estate di Indonesia mengalami penurunan tingkat penjualan yang signifikan karena menurunnya daya beli pelanggan, menurunnya rata-rata tingkat hunian, penghentian atau penundaan pembangunan proyek-proyek konstruksi tertentu, dan meningkatnya ketersediaan properti (PT. Sentul City Tbk., 2005).
Sebelum masa krisis, perkembangan perusahaan real estate dan properti relatif tinggi. Menurut data yang diperoleh, diketahui bahwa pada tahun 1996 jumlah anggota Real Estate Indonesia (REI) nasional mencapai 2.434 perusahaan sedangakan anggota REI Jakarta mencapai 736 perusahaan. Akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997, jumlah tersebut terus menurun hingga berjumlah 645 perusahaan untuk anggota REI nasional dan 218 perusahaan untuk anggota REI Jakarta pada tahun 2002 (DPP-REI, 2002) sebagaimana dikutip (Tulung, 2004: 13).
Lingkungan risiko yang merupakan dampak dari memburuknya kondisi ekonomi yang disebabkan krisis keuangan pada tahun 1997, mengakibatkan makin meningkatnya opini Qualified Going Concern dan Disclaimer untuk
(21)
21 penugasan tahun 1998 (Praptitorini dan Januarti, 2007: 4). Beberapa hal yang memicu masalah going concern pada tahun tersebut umumnya adalah perusahaan-perusahaan memiliki rasio hutang terhadap modal yang tinggi, saldo hutang jangka pendek dalam jumlah besar yang segera jatuh tempo, mengalami penurunan modal (capital deficiency) yang signifikan, kerugian keuangan (financial losses) yang disebabkan karena kerugian nilai tukar, menanggung beban-beban keuangan, kerugian operasional dan tidak adanya action plans yang jelas dari pihak manajemen (Juniarti, 2000 yang dikutip Praptitorini dan Januarti, 2007: 4).
Tjager, Alijoyo, Djemat, dan Soembodo (2003) dalam Petronila (2007: 128) mengemukakan bahwa krisis keuangan yang melanda kawasan Asia dipandang sebagai lemahnya praktik Good Corporate Governance (GCG) di Negara-negara tersebut. Untuk dapat mengelola perusahaan yang baik dan agar tercapainya Good Corporate Governance (GCG), maka manajemen perlu memegang teguh prinsip-prinsip transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), kemandirian (independency), dan kewajaran (fairness).
Keberadaan entitas mencerminkan keberadaan suatu lingkungan ekonomi. Tujuan keberadaan entitas dalam jangka panjang adalah dapat mempertahankan kelangsungan hidup usahanya (going concern) melalui asumsi going concern (Praptitorini dan Januarti, 2007: 2). Kelangsungan hidup usaha selalu dihubungkan dengan kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan agar bertahan hidup (Praptitorini dan Januarti, 2007:2).
(22)
22 Ketika kondisi ekonomi merupakan sesuatu yang tidak pasti, para investor mengharapkan auditor memberikan early warning akan kegagalan keuangan perusahaan (Chen dan Church, 1996: 118).
Going concern (kelangsungan hidup) adalah kelangsungan hidup suatu badan usaha dan merupakan asumsi dalam pelaporan keuangan sutau entitas sehingga jika suatu entitas mengalami kondisi yang sebaliknya, entitas tersebut menjadi bermasalah (Petronela, 2004: 46). Asumsi going concern berarti suatu badan usaha dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu panjang dan tidak akan dilikuidasi dalam waktu jangka pendek (Hani, Cleary, dan Mukhlasin, 2003: 3).
Asumsi going concern secara langsung mempengaruhi laporan keuangan. Laporan keuangan yang disiapkan menggunakan dasar going concern akan memiliki perbedaan struktural dengan laporan keuangan yang tidak disiapkan menggunakan dasar going concern. Penilaian going concern lebih didasarkan pada kemampuan perusahaan untuk melanjutkan operasinya dalam jangka waktu satu tahun ke depan. Untuk sampai pada kesimpulan apakah perusahaan akan memiliki going concern atau tidak, auditor harus melakukan evaluasi secara kritis terhadap rencana-rencana manajemen (Praptitorini dan Januarti, 2007: 4).
Untuk dapat mengelola perusahaan dengan baik sehingga perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan memerlukan suatu mekanisme. Mekanisme corporate governance adalah cara atau prosedur atau aturan main, dan hubungan yang jelas antara pihak yang
(23)
23 mengambil keputusan dengan pihak yang akan melakukan pengawasan terhadap keputusan tersebut (Petronila, 2007: 127). Mekanisme corporate governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi jalannya sistem corporate governance dalam suatu perusahaan (Syakhroza, 2002a, 2002b; World Bank, 1999; Kim dan Nofsinger, 2004) dalam Petronila (2007: 127).
Jika dilihat dari segi pengendalian, mekanisme corporate governance menurut Syakhroza (2005: 14) terbagi dua jenis, yaitu mekanisme corporate governance internal dan mekanisme corporate governance eksternal. Menurut Gunarsih (2003: 160), mekanisme corporate governance internal didesain untuk menyamakan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Sementara itu, mekanisme corporate governance eksternal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar.
Perubahan dewan komisaris atau Board of Commissioner (BoC) merupakan salah satu bentuk pengukuran mekanisme corporarate governance dalam perusahaan. Apabila perusahaan mengambil tindakan untuk melakukan perubahan BoC dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi going concern, hal tersebut akan memancing kecurigaan stakeholders terhadap penerapan transparansi yang dilakukan perusahaan. Kurangnya penerapan transparansi dapat dijadikan salah satu pertimbangan auditor dalam memberikan opini going concern pada laporan auditnya (Petronila, 2007: 130)
Petronila (2007: 143) menyatakan bahwa perubahan dewan direksi atau Board of Director (BoD) berpengaruh terhadap pemberian opini audit going
(24)
24 concern oleh auditor. Penelitian tersebut konsisten dengan penelitian Parker, Peters, dan Turetsky (2005: 5) yang menyatakan bahwa auditor memiliki kecenderungan dua kali lebih besar untuk memberikan opini audit going concern apabila terjadi penggantian Chief Executive Officer (CEO).
Faktor lain yang diproksikan dari mekanisme corporate governance adalah struktur kepemilikan. Menurut Januarti (2009:12) struktur kepemilikan dalam perusahaan yang diukur dengan kepemilikan anggota dewan dapat meningkatkan nilai perusahaan, sehingga mengurangi risiko terjadinya kesulitan keuangan. Jika kemungkinan perusahaan semakin kecil dalam mengalami kesulitan keuangan, maka akan mengurangi potensi kebangkrutan perusahaan dan perusahaan dapat terus menjaga kelangsungan usahanya.
Adanya kepemilikan saham oleh anggota dewan dapat memperkecil terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) antara manajemen dengan investor. Kepemilikan manajerial erat kaitannya dengan teori keagenan (agency theory). Teori keagenan menjelaskan tentang hubungan antara principal dengan agent, dimana principal adalah pihak yang menanamkan modal dan agent adalah manajemen atau pihak yang mengelola modal tersebut. Agent mendapat kepercayan dari principal untuk mengelola modal yang ditanamkannya. Jika agent memiliki sebagian saham perusahaan, yang dalam hal ini agent berperan sebagai principal, maka akan menghilangkan konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham seperti yang dinyatakan Jensen dan Meckling (1976: 11) bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka
(25)
25 manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri.
Adanya komisaris independen merupakan salah satu syarat atau perangkat dalam perusahaan guna mencapai Good Corporate Governance. Komisaris independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) di dalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan (Task Force Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, hal.4). Apabila komisaris independen dapat melakukan tugasnya dengan baik maka kinerja perusahaan akan meningkat. Meningkatnya kinerja perusahaan dapat mengindikasikan bahwa perusahaan dapat bertahan dalam waktu yang lama dan terlepas dari masalah going concern.
Selain mekanisme corporate governance,kondisi keuangan perusahaan dapat menentukan kelangsungan hidup usaha suatu entitas. Hal ini dikarenakan kondisi keuangan perusahaan menggambarkan tingkat kesehatan perusahaan. Jika tingkat kesehatan keuangan suatu entitas rendah, maka kemungkinan entitas tersebut bangkrut dan tidak dapat mempertahankan kelangsungan usahanya pun tinggi.
Ukuran perusahaan mencerminkan besar kecilnya perusahaan. Perusahaan besar umumnya lebih jarang mendapatkan opini audit going concern dibandingkan perusahaan kecil. Hal ini dikarenakan perusahaan
(26)
26 besar lebih mudah menyelesaikan permasalahannya dibandingkan dengan perusahaan kecil (Mutchler (1985). Namun, besarnya perusahaan tidak menjamin tidak diperolehnya opini audit going concern. Perusahaan yang besar belum tentu selalu terlepas dari permasalahan keuangan.
Opini audit going concern merupakan opini yang dikeluarkan auditor untuk memastikan apakah perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (PSA 341). Para pemakai laporan keuangan merasa bahwa pengeluaran opini audit going concern ini sebagai prediksi kebangkrutan suatu perusahaan (Santosa dan Wedari, 2007: 142). Auditor harus bertanggung jawab terhadap opini audit going concern yang dikeluarkannya karena akan mempengaruhi keputusan para pemakai laporan keuangan (Setiawan, 2006: 66). Opini audit atas laporan keuangan menjadi salah satu pertimbangan yang penting bagi investor dalam mengambil keputusan berinvestasi. Oleh karena itu, informasi mengenai kelangsungan hidup dari suatu perusahaan, terutama bagi perusahaan yang telah go public, merupakan informasi yang sangat bernilai bagi investor, baik investor di pasar modal maupun pihak bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaan (Setiawati dan Agoes, 2005: 9)
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti ingin menguji pengaruh mekanisme corporate governance, kondisi keuangan perusahaan, dan ukuran perusahaan terhadap opini audit going concern. Oleh karena itu, tema yang diangkat menjadi judul dalam penelitian ini, yaitu: “Analisis Pengaruh Mekanisme Corporate Governance, Kondisi Keuangan
(27)
27 Perusahaan, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Opini Audit Going Concern (Studi Empiris pada Perusahaan Real Estate dan Properti yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)”.
Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Petronila (2007). Tujuan peneliti mengulang penelitian sebelumnya adalah untuk mengetahui apakah penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan penelitian sebelumnya atau sebaliknya. Namun, penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu sebagai berikut:
1. Periode penelitian
Periode penelitian sebelumnya dilakukan pada tahun 2007, sedangkan penelitian ini dilakukan pada tahun 2010.
2. Variabel independen
Pada penelitian sebelumnya, indikator yang digunakan dalam mekanisme corporate governance adalah perubahan BoC, perubahan BoD, kualitas Kantor Akuntan Publik (KAP), kepemilikan anggota dewan, dan risiko saham. Sedangkan pada penelitian ini, indikator yang digunakan untuk variabel mekanisme corporate governance adalah perubahan BoC, perubahan BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan. Selain itu, peneliti menambahkan dua variabel independen, yaitu kondisi keuangan perusahaan dan ukuran perusahaan. Kondisi keuangan perusahaan diproksikan dengan rasio leverage, profitabilitas dan aktivitas. Komisaris independen sebelumnya diteliti oleh Parker et. al. (2005) dan
(28)
28 Linoputri (2010). Rasio leverage, profitabilitas, dan aktivitas sebelumnya diteliti oleh Januarti dan Fitrianasari (2008). Sementara itu, ukuran perusahaan sebelumnya diteliti oleh Januarti (2009).
3. Populasi dan sampel
Pada penelitian sebelumnya, Petronila (2007) melakukan penelitian terhadap perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tahun 2005 dengan total sampel 193 perusahaan yang dibagi dalam 12 sektor menurut klasifikasi industri yang telah ditetapkan oleh BEJ. Sedangkan pada penelitian ini, penelitian dikhususkan terhadap perusahaan yang bergerak dalam sektor real estate dan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan periode pengamatan tahun 2005-2009. Pemilihan perusahaan sektor real estate dan properti dikarenakan dewasa ini, perkembangan bisnis di sektor real estate dan properti kian menggeliat. Jumlah perusahaan real estate dan properti terus bertambah tiap tahunnya. Berdasarkan laporan properti Asia, pasar sektor real estate di Indonesia naik 12 persen selama pertengahan tahun 2010 dibandingkan periode yang sama tahun 2009 (Bataviase, 2010). Tahun 2005-2009 dipilih sebagai periode pengamatan dalam penelitian ini karena peneliti ingin mengetahui kondisi kekinian perusahaan dengan mengamati perkembangan perusahaan tersebut selama lima tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2009. Periode pengamatan dilakukan lima tahun agar waktu pengamatan panjang sehingga peneliti dapat menganalisis dan mengamati perkembangan perusahaan selama waktu tersebut dan dalam rentang waktu
(29)
29 lima tahun kondisi perusahaan dapat berubah yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal perusahaan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah mekanisme corporate governance (perubahan BoC, perubahan
BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan) berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern?
2. Apakah kondisi keuangan perusahaan (raasio leverage, profitabilitas, dan aktivitas) berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern? 3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap opini audit
going concern?
C. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang telah peneliti uraikan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh mekanisme corporate governance (perubahan BoC, perubahan BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan) terhadap opini audit going concern.
2. Menganalisis pengaruh kondisi keuangan perusahaan (rasio leverage, profitabilitas, dan aktivitas) terhadap opini audit going concern.
3. Menganalisis pengaruh ukuran perusahaan terhadap opini audit going concern.
(30)
30 D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi yang berguna serta sebagai masukan dan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai pengaruh mekanisme corporate governance (perubahan BoC, perubahan BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan), kondisi keuangan perusahaan (rasio leverage, profitabilitas, dan aktivitas), dan ukuran perusahaan terhadap opini audit going concern.
2. Bagi auditor
Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi atau masukan mengenai hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan bagi auditor dalam mengeluarkan opini audit, khususnya opini audit dengan modifikasi going concern.
3. Bagi investor
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi atau masukan mengenai faktor perusahaan memperoleh opini audit going concern sehingga dapat membantu investor dalam mengambil keputusan berinvestasi.
(31)
31 4. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan ilmu pengetahuan mengenai mekanisme corporate governance (perubahan BoC, perubahan BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan), kondisi keuangan perusahaan (rasio leverage, profitabilitas dan aktivitas), dan ukuran perusahaan serta pengaruhnya terhadap opini audit going concern yang diterima perusahaan.
5. Bagi peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti dapat menggali pengetahuan yang telah peneliti peroleh selama menuntut ilmu di bidang Akuntansi sehingga dapat melakukan perbandingan dengan ilmu yang didapat di bangku kuliah dengan kenyataan dalam praktik yang sebenarnya.
(32)
32 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Agency Theory (Teori Keagenan)
Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan hubungan agensi sebagai suatu kontrak di bawah satu atau lebih prinsipal yang melibatkan agen untuk melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan melakukan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Shareholders atau prinsipal mendelegasikan pembuatan keputusan mengenai perusahaan kepada manajer atau agen. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomi rasional dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadi (Praptitorini dan Januarti, 2007: 5).
Teori keagenan (Agency Theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut nexus of contract (Elqorni, 2009).
Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai prinsipal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam
(33)
33 hubungan tersebut. Karena perbedaan kepentingan ini, masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Prinsipal menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas investasi yang salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden dari tiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan kepentingannya diakomodasi dengan pemberian kompensasi, bonus, insentif, atau remunerasi yang memadai atas kinerjanya. Prinsipal menilai prestasi agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian deviden. Semakin tinggi laba, harga saham, dan deviden, maka agen dianggap berhasil meningkatkan kinerja dengan baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi (Elqorni, 2009).
Untuk meminimalisasi conflict of interest antara agen dan prinsipal, maka dibutuhkan pihak ketiga yang independen sebagai mediator pada hubungan antara prinsipal dan agen. Pihak ketiga ini berfungsi untuk memonitor perilaku manajer (agen) apakah sudah bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal. Auditor adalah pihak yang dianggap mampu menjembatani kepentingan pihak prinsipal (shareholders) dengan pihak manajer (agen) dalam mengelola keuangan perusahaan (Setiawan, 2006: 62).
B. Definisi Audit
Boynton dan Johnson(2006: 6) menurut The Report of The Committee on Basic Auditing Concept of The American Accounting Association (Accounting Review, Vol.47) mendefinisikan auditingsebagai:
(34)
34 “Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions about economic actions and events to ascertain the degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the result to interested users”.
Menurut Arens, Elder, dan Beasley (2010: 4) definisi auditing adalah:
“Auditing is accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person”.
Definisi auditing menurut Agoes (2008: 3) adalah:
“Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”.
Sementara itu, menurut Mulyadi (2010: 9), definisi auditingadalah: “Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai persyaratan-persyaratan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara persyaratan-persyaratan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.
Berdasarkan uraian definisi auditing tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa auditing adalah suatu proses pemeriksaan yang sistematis terhadap bukti-bukti yang terkait dengan kejadian-kejadian ekonomi dan bisnis yang tercatat dalam laporan keuangan auditee dengan mencapai derajat kesesuaian dan membandingkannya dengan standar dan kriteria yang ada dengan tujuan
(35)
35 untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut kemudian mengkomunikasikan hasilnya kepada para pengguna laporan keuangan auditee.
C. Tujuan Audit
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), PSA 02 (SA 110), (IAI, 2001: 110.1), menyatakan bahwa tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Sedangkan menurut Boynton et. al. (2006: 231) tujuan audit secara spesifik adalah asersi manajemen, asersi manajemen ini merupakan pedoman auditor untuk merencanakan pengumpulan bukti audit. Adapun lima asersi manajemen yang digariskan dalam Generally Accepted Auditing Standards (GAAS) adalah sebagai berikut:
1. Keberadaan dan Keterjadian (Existence and Occurance) 2. Kelengkapan (Completeness)
3. Hak dan Kewajiban (Right and Obligation) 4. Penilaian atau Alokasi (Valuation or Allocation)
(36)
36 D. Jenis Audit
Menurut Boynton et. al. (2006: 8-9) ada tiga jenis audit, yaitu audit laporan keuangan, audit kepatuhan, dan audit operasional. Jenis audit yang ada umumnya menunjukkan karakteristik kunci yang tercakup dalam definisi auditing. Penjelasan mengenai jenis-jenis audit tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. Audit Laporan Keuangan
Audit laporan keuangan (financial statement audit) berkaitan dengan memperoleh dan mengevaluasi bukti tentang laporan-laporan entitas dengan maksud agar dapat memberikan pendapat apakah laporan-laporan tersebut telah disajikan secara wajar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum atau Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Selain itu, logika audit yang dikembangkan untuk audit laporan keuangan merupakan dasar dimana auditor dapat mengembangkan lebih lanjut audit kepatuhan, audit operasional, serta sejumlah jasa atestasi dan assurance services.
2. Audit Kepatuhan
Audit kepatuhan (compliance audit) berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan memeriksa bukti-bukti untuk menetapkan apakah kegiatan keuangan atau operasi suatu entitas telah sesuai dengan persyaratan, ketentuan, dan peraturannya tertentu. Kriteria yang ditetapkan dalam audit jenis ini berasal dari berbagai sumber. Sebagai contoh, manajemen dapat mengeluarkan kebijakan atau ketentuan yang berkenaan
(37)
37 dengan kondisi kerja, partisipasi dan program pensiun, serta pertentangan kepentingan.
3. Audit Operasional
Audit operasional (operational audit) berkaitan dengan kegiatan memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti tentang efisiensi dan efektivitas kegiatan operasi entitas dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan tertentu. Audit jenis ini terkadang disebut juga sebagai audit kinerja atau audit manajemen. Pada suatu perusahaan bisnis, lingkup audit ini dapat meliputi seluruh kegiatan dari suatu departemen, cabang, atau divisi.
E. Standar Audit
Menurut (SPAP SA Seksi 150: PSA no.1) dalam proses audit terdapat tiga standar yang harus dipenuhi dalam rangka menjalankan standar profesionalnya, yaitu standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Berikut adalah uraian mengenai ketiga standar tersebut:
1. Standar Umum
a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
(38)
38 2. Standar Pekerjaan Lapangan
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperolah untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
3. Standar Pelaporan
a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara
(39)
39 keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.
F. Opini Audit
Auditor memiliki kewajiban untuk memberikan opini atas laporan keuangan yang telah diauditnya. Menurut (SPAP SA Seksi 508) terdapat lima tipe opini auditor, yaitu:
1. Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified)
Pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified) dinyatakan bila, menurut pertimbangan auditor, laporan keuangan secara keseluruhan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia dan di dalamnya tidak terdapat salah saji material yang akan mempengaruhi para pengguna dari laporan keuangan dalam pengambilan keputusan.
2. Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan bahasa penjelasan yang ditambahkan dalam laporan keuangan auditor bentuk baku (Unqualified with Explanatory Paragraph)
Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (Unqualified with Explanatory Paragraph) dinyatakan bila, menurut pertimbangan auditor, di mana kondisi atau keadaan tertentu seringkali mengharuskan
(40)
40 auditor menambahkan paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan lain) dalam laporan keuangan auditor bentuk baku. Keadaan tersebut meliputi: a. Pendapat auditor sebagian didasarkan atas laporan auditor independen
lain.
b. Laporan Keuangan disajikan menyimpang dari suatu prinsip akuntansi yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
c. Jika terdapat kondisi dan peristiwa yang semula menyebabkan auditor yakin tentang adanya kesangsian mengenai kelangsungan hidup entitas (going concern), namun setelah mempertimbangkan rencana manajemen, auditor berkesimpulan bahwa rencana manajemen tersebut dapat secara efektif dilaksanakan dan pengungkapan mengenai hal itu telah memadai.
d. Di antara periode akuntansi terdapat suatu perubahan material dalam penggunaan prinsip akuntansi atau dalam metode penerapannya (ketidakkonsistensian).
e. Keadaan tertentu yang berhubungan dengan laporan auditor atas laporan keuangan komparatif.
f. Data keuangan kuartalan tertentu yang diharuskan oleh Bapepam, namun tidak disajikan atau direview.
g. Informasi tambahan yang diharuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) – Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) telah dihilangkan, yang penyajiannya menyimpang jauh dari panduan yang dikeluarkan
(41)
41 oleh dewan tersebut, dan auditor tidak dapat melengkapi prosedur audit yang berkaitan dengan informasi tersebut.
h. Informasi lain dalam suatu dokumen yang berisi laporan keuangan auditan secara material tidak konsisten dengan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
3. Pendapat Wajar Dengan Pengecualian (Qualified)
Pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified) dinyatakan bila, menurut pertimbangan auditor, laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan.
Pendapat ini dinyatakan bilamana:
a. Ketiadaan bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan terhadap lingkup audit yang mengakibatkan auditor berkesimpulan bahwa ia tidak dapat menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian dan ia berkesimpulan tidak menyatakan tidak memberikan pendapat. b. Auditor yakin, atas dasar auditnya, bahwa laporan keuangan berisi
penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, yang berdampak material, dan ia berkesimpulan untuk tidak menyatakan pendapat tidak wajar.
(42)
42 4. Pendapat Tidak Wajar (Adverse)
Pendapat tidak wajar (Adverse) dinyatakan bila, menurut pertimbangan auditor, laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
5. Pernyataan Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer)
Pernyataan tidak memberikan pendapat (Disclaimer) menyatakan bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Auditor dapat tidak menyatakan suatu pendapat bilamana ia tidak dapat merumuskan atau tidak merumuskan suatu pendapat tentang kewajaran laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Jika auditor menyatakan tidak memberikan pendapat, laporan auditor harus memberikan semua alasan substantif yang mendukung pernyataan tersebut. Dalam keadaan auditor menghadapi keraguan signifikan tentang kelangsungan hidup entitas (going concern issues) auditor dapat tidak memberikan pendapat.
G. Going Concern
Menurut Belkaoui (2006: 271), dalil kelangsungan usaha ( going-concern postulate), atau dalil kontinuitas, menganggap bahwa entitas bisnis akan melanjutkan operasinya cukup lama untuk merealisasikan proyek, komitmen, dan aktivitasnya yang berkelanjutan. Dalil ini mengasumsikan bahwa entitas tersebut tidak diharapkan akan dilikuidasi di masa depan atau
(43)
43 bahwa entitas tersebut akan berlanjut sampai periode yang tidak dapat ditentukan. Diperlukannya suatu operasi yang berlanjut dan berkesinambungan untuk menciptakan suatu konsekuensi bahwa laporan keuangan yang terbit di suatu periode mempunyai sifat sementara sebab masih merupakan satu rangkaian laporan keuangan yang berkelanjutan.
Going concern dipakai sebagai asumsi dalam pelaporan keuangan sepanjang tidak terbukti adanya informasi yang menunjukkan hal berlawanan (contrary information). Biasanya informasi yang secara signifikan dianggap berlawanan dengan asumsi kelangsungan hidup satuan usaha adalah berhubungan dengan ketidakmampuan satuan usaha dalam memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo tanpa melakukan penjualan sebagian besar aktiva kepada pihak luar melalui bisnis biasa, restrukturisasi utang, perbaikan operasi yang dipaksakan dari luar dan kegiatan serupa yang lain (IAI, 2001: Seksi 341, PSA 30).
Masalah going concern terbagi dua, yaitu masalah keuangan dan masalah operasi. Masalah keuangan meliputi kekurangan (defisiensi) likuiditas, defisiensi ekuitas, penunggakan utang, dan kesulitan memperoleh dana. Sedangkan masalah operasi meliputi kerugian operasi yang terus menerus, propek pendapatan yang meragukan, kemampuan operasi terancam, dan pengendalian yang lemah atas operasi (Altman dan McGough, 1974 dalam Setiawan, 2006: 61).
(44)
44 H. Opini Audit Going Concern
Auditor sebagai pihak yang independen dalam pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dan akan memberikan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Opini audit diberikan oleh auditor melalui beberapa tahap audit sehingga auditor dapat memberi simpulan atas opini yang harus diberikan atas laporan keuangan yang diauditnya (Petronela, 2004: 47). Opini audit going concern merupakan opini audit modifikasi yang dalam pertimbangan auditor terdapat ketidakmampuan atau ketidakpastian signifikan atas kelangsungan hidup perusahaan dalam menjalankan operasinya (IAI, 2001: Seksi 341, PSA 30).
Mutchler (1984), dalam Yusnitasari dan Setiawan (2003:69), menunjukkan keputusan going concern diambil melalui proses tiga tahap berikut:
1. Identifikasi entitas dengan masalah going concern yang potensial.
2. Menentukan apakahh entitas dengan masalah going concern harus menerima laporan audit tentang going concern.
3. Memilih diantara dua jenis laporan audit going concern, yaitu modifikasi laporan audit wajar tanpa syarat atau disclaimer.
Sementara itu, Ellingsen et. al. (1989) dalam Yusnitasari dan Setiawan (2003: 71), menyarankan prosedur pengambilan keputusan going concern berdasarkan SAS 59:
1. Apakah hasil prosedur audit mengindikasikan keraguan yang substansial tentang kemampuan perusahaan untuk tetap hidup dalam bisnisnya selama
(45)
45 periode waktu yang layak? Jika jawabannya tidak, maka auditor telah memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan SAS 59. Jika jawabannya ya, maka auditor akan melakukan tahapan selanjutnya.
2. Menganalisis rencana manajemen dan menilai kemampuan rencana tersebut dapat diimplementasikan secara efektif.
3. Apakah keraguan yang substansial masih ada? Jika tidak, maka tidak perlu melakukan modifikasi laporan audit. Jika ya, maka harus dilakukan tahap empat (4).
4. Mempertimbangkan pengaruh yang mungkin terjadi pada laporan keuangan dan pengungkapan masalah going concern.
5. Menambah paragraf penjelasan (mengikuti paragraf opini) pada laporan audit tentang going concern.
Sedangkan dalam (IAI, 2001: Seksi 341, PSA 30) memberikan pedoman kepada auditor tentang dampak kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya terhadap opini auditor sebagai berikut:
1. Jika auditor yakin bahwa terdapat kesangsian mengenai kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, ia harus:
a. Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditujukan untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.
b. Menetapkan kemungkinan bahwa rencana tersebut secara efektif dilaksanakan.
(46)
46 2. Jika manajemen tidak memiliki rencana yang mengurangi dampak kondisi dan peristiwa terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, auditor memepertimbangkan untuk memberikan pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer).
3. Jika manajemen memiliki rencana tersebut, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh auditor adalah menyimpulkan (berdasarkan pertimbangannya) efektivitas rencana tersebut.
4. Jika auditor bersimpulan rencana tersebut tidak efektif, auditor menyatakan tidak memeberikan pendapat (disclaimer).
5. Jika auditor bersimpulan rencana tersebut efektif akan tetapi klien tidak mengungkapakan keadaan tersebut di dalam catatan laporan keuangan, auditor menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).
6. Jika auditor bersimpulan rencana tersebut efektif akan tetapi klien tidak mengungkapkan keadaan tersebut di dalam laporan keuangan, auditor menyatakan pendapat tidak wajar (adverse opinion).
I. Tanggung Jawab Auditor
Auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar tehadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode waktu yang pantas, tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang diaudit (selanjutnya periode tersebut akan disebut dengan jangka waktu pantas). Evaluasi auditor
(47)
47 berdasarkan atas pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang ada pada atau yang telah terjadi sebelum pekerjaan lapangan selesai. Informasi tentang kondisi dan peristiwa diperoleh auditor dari penerapan prosedur audit yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan audit yang bersangkutan dengan asersi manajemen yang terkandung dalam laporan keuangan yang sedang diaudit (IAI, 2001: Seksi 341, PSA 30, Par.02).
Contoh kondisi dan peristiwa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tren negatif, sebagai contoh, kerugian operasi yang berulang terjadi, kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio keuangan penting yang jelek.
2. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, sebagai contoh, kegagalan dalam memenuhi kewajiban utang atau perjanjian serupa, penunggakan pembayaran dividen, penolakan oleh pemasok terhadap pengajuan permintaan pembelian kredit biasa, restrukturisasi utang, kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru, atau penjualan sebagian besar aktiva.
3. Masalah intern, sebagai contoh, pemogokan kerja atau kesulitan hubungan perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses proyek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki operasi.
4. Masalah luar yang telah terjadi, sebagai contoh, pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-undang atau masalah-masalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan entitas untuk beroperasi,
(48)
48 kehilangan franchise, lisensi atau paten penting, kehilangan pelanggan atau pemasok utama, kerugian akibat bencana besar, seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, yang tidak diasuransikan, namun dengan pertanggungan yang tidak memadai.
Auditor mempunyai tanggung jawab untuk menilai apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Iskak, 1998: 3). Penilaian auditor didasarkan atas pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang ada pada atau yang telah terjadi sebelum pekerjaan lapangan selesai. Namun auditor tidak bertanggung jawab untuk memprediksi kondisi atau peristiwa yang akan datang (Iskak, 1998: 3).
Menurut SAS No. 59 dalam Akers et. al. (2003) sebagaimana dikutip Setiawan (2006: 64), auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi kemampuan klien untuk melanjutkan usahanya (going concern). Syarat-syarat yang tercantum dalam SAS No. 59 adalah sebagai berikut:
1. Tanggung jawab auditor adalah untuk mengevaluasi apakah entitas going concern untuk periode tidak lebih dari tahun dari tanggal laporan keuangan yang diaudit.
2. Auditor tidak bertanggung jawab untuk memprediksi atau meramalkan kejadian masa depan.
3. Kebangkrutan oleh sebuah perusahaan yang tidak menerima laporan going concern, walaupun satu tahun dari tanggal neraca, tidak memerlukan kinerja auditor yang tidak mencukupi.
(49)
49 4. Auditor tidak harus melaksanakan prosedur spesifik untuk menentukan entitas going concern. Prosedur audit untuk tujuan audit yang lain dianggapa cukup.
5. Auditor diharuskan untuk mengevaluasi rencana manajemen untuk mengurangi kejadian dan kondisi yang mengindikasikan keraguan yang cukup besar bahwa perusahaan going concern.
6. Jika auditor menyimpulkan adanya keraguan, auditor harus mempertimbangkan pengaruh laporan keuangan dan penyingkapan, untuk menentukan dampak opini audit.
J. Corporate Governance
Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992 dalam sebuah laporan yang kemudian dikenal dengan nama Cadbury Report. Laporan ini kemudian menjadi titik balik yang menentukan praktik corporate governance di dunia.
Definisi corporate governance yang dikeluarkan oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia (FGCI) (2001), yaitu:
“Seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan kata hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance ialah untuk menciptakan pertambahan nilai bagi pihak pemegang kepentingan”.
Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) dalam Studi Penerapan Prinsip-prinsip OECD 2004 dalam Peraturan
(50)
50 Bapepam mengenai Corporate Governance (2006), corporate governance adalah:
“Corporate governance is the system by which business corporation are directed and controlled. The corporate governanace structure specifies the distribution of right and responsibilities among different participant in the corporation such as boards, manager, shareholders, and other stakeholders and spells out the rules and procedures for making decisions corporate affair. By doing this, it also provides the structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives ang monitoring performance”.
Tujuan yang dicapai dari tata kelola perusahaan adalah terciptanya Good Coporate Governance (GCG) yaitu tata kelola perusahaan yang baik. Asas yang terkandung dalam GCG yang harus diterapkan dan dimiliki pada setiap perusahaan guna mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders) menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) (2006: 5), yaitu: 1. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.
(51)
51 2. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001), penyelenggaraan Good Corporate Governance, harus didukung oleh ketersediaan:
(52)
52 1. Jumlah komisaris independen adalah sekurang-kurangnya 30% dari
seluruh jumlah anggota komisaris. 2. Perlunya dibentuk komite audit. 3. Perlunya dibentuk corporate secretary.
Untuk dapat mencapai Good Corporate Governance, maka diperlukan suatu cara atau mekanisme. Mekanisme corporate governance adalah cara yang dilakukan atau diterapkan perusahaan untuk mencapai tata kelola perusahaan yang baik. Menurut Syakhroza (2005: 14), dalam bidang pengendalian, mekanisme corporate governance terbagi dua, yaitu mekanisme corporate governance internal (internal corporate governance mechanism) dan mekanisme corporate governance eksternal (external corporate governance mechanism).
Mekanisme corporate governance yang bersifat internal merupakan intraksi antara pihak-pihak pengambil keputusan dalam perusahaan yang mencakup dewan direksi (Board of Director), dewan komisaris (Board of Commisioner), Executive Management yang didalamnya termasuk komite audit (Audit Committee), dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) (Petronila, 2007: 127). Mekanisme corporate governance internal didesain untuk menyamakan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Dewan direksi perusahaan publik bertanggung jawab pada pengembangan dan implementasi mekanisme ini (Gunarsih, 2003: 160). Kim dan Nofsinger (2004) dalam Petronila (2007: 127), menyatakan bahwa mekanisme internal
(53)
53 dimulai dari unit akuntansi yang menghasilkan laporan keuangan dan internal auditor yang menilai proses penyusunan laporan keuangan.
Mekanisme pengendalian eksternal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar (Gunarsih, 2003: 160). Mekanisme corporate governanace yang bersifat eksternal merupakan interaksi antar pihak-pihak yang mengawasi kinerja perusahaan, antara lain stakeholders (karyawan, konsumen, pemasok, kreditur, masyarakat) dan reputational agents (akuntan, pengacara, badan pemeringkat kredit, manajer investasi) (Kim dan Nofsinger, 2004 dalam Petronila, 2007: 127).
1. Dewan Komisaris (BoC)
Menurut UU No. 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Dewan komisaris atau Board of Commissioner (BoC) sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan Good Corporate Governance. Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Kedudukan masing-masing anggota dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara. Tugas komisaris utama sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan dewan komisaris. Agar pelaksanaan tugas
(54)
54 dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut:
a. Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen.
b. Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan.
c. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian sementara (KNKG dalam Pedoman GCG di Indonesia, 2006: 13).
Menurut KNKG (2006: 12), kepengurusan perseroan terbatas di Indonesia menganut sistem dua badan (two board system) yaitu dewan komisaris dan direksi yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang jelas sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagaimana diamanahkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan (fiduciary responsibility). Namun demikian, keduanya mempunyai tanggung jawab untuk memelihara kesinambungan usaha perusahaan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, dewan komisaris dan direksi harus memiliki kesamaan persepsi terhadap visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan.
(55)
55 Dalam UU Perseroan Terbatas (PT) Pasal 100 diatur tentang hubungan tugas dan wewenang dewan komisaris (BoC) dan dewan direksi (BoD) (Petronila, 2007: 130), yaitu:
a. Dalam Anggaran Dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada BoC untuk memberikan persetujuan dan bantuan kepada BoD dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.
b. Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS, BoC dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
c. Bagi BoC yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam point (b) berlaku semua hak, wewenang, dan kewajiban BoD terhadap Perseroan pihak ketiga.
2. Dewan Direksi (BoD)
Menurut KNKG (2006: 17), dewan direksi atau Board of Director (BoD) sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Kedudukan masing-masing anggota direksi termasuk direktur utama adalah setara. Tugas direktur utama sebagai primus inter pares adalah
(56)
56 mengkoordinasikan kegiatan direksi. Agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut:
a. Komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen.
b. Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.
c. Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan kesinambungan usaha perusahaan.
d. Direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dewan direksi merupakan pihak yang terlibat dalam pengendalian penerapan internal governance mechanism. Hofer dan Whetten (1997) dalam Parker et. al. (2005), mengemukakan pandangannya bahwa manajemen adalah pihak yang mempunyai andil yang signifikan apabila perusahaan menghadapi masalah. Penelitian tersebut didukung oleh Hofer (1980) dalam Petronila (2007: 132), yang menyatakan bahwa penggantian manajemen merupakan kondisi awal yang mencerminkan suatu turnaround bisnis yang sukses.
3. Komisaris Independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang
(57)
57 saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Task Force Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman tentang Komisaris Independen, hal.2)
Menurut Peraturan Bapepam No. Kep. 29/PM/2004 tanggal 24 September 2004, Komisaris Independen adalah anggota komisaris yang: a. Berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik,
b. tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten atau Perusahaan Publik,
c. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan publik, komisaris, direksi, atau pemegang saham utama emiten atau Perusahaan Publik, dan
d. tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik.
Adapun tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang komisaris independen adalah:
a. Memastikan bahwa perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif, termasuk di dalamnya memantau jadwal, anggaran dan efektifitas strategi tersebut.
b. Memastikan bahwa perusahaan mengangkat eksekutif dan manajer-manajer profesional.
(58)
58 c. Memastikan bahwa perusahaan memiliki informasi, sistem
pengendalian, dan sistem audit yang bekerja dengan baik.
d. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya.
e. Memastikan resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola dengan baik.
f. Memastikan prinsip-prinsip dan praktek Good Corporate Governance dipatuhi dan diterapkan dengan baik anatara lain berupa:
1)Menjamin transparansi dan keterbukaaan laporan keuangan perusahaan.
2)Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas dan stakeholder yang lain.
3)Diungkapkannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan secara wajar dan adil.
4)Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku.
5)Menjamin akuntabilitas organ perseroan.
4. Kepemilikan Anggota Dewan
Menurut Sutojo dan Aldridge (2008) kepemilikan anggota dewan atau terkadang disebut kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan. Pada laporan
(59)
59 keuangan, keadaan ini ditunjukkan dengan besarnya persentase kepemilikan saham perusahaan oleh manajer yang diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.
Salah satu masalah yang timbul dalam penerapan GCG adalah terjadinya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Asian development Bank dalam Zhuang et. al. (2000) sebagaimana dikutip Peteronila (2007: 133), menjelaskan bahwa:
“The issue of corporate governance arises because of the separation of ownership from control in modern corporations. When salaried managers run companies on behalf of dispersed shareholders, they may not act in shareholders interest and managers interest, but also between controlling and minority shareholders, between shareholders and ceditors and between controlling shareholders and other stakeholders; including suppliers and workers. A sound corporate governance system should provide effective protection for shareholders and creditors such that they are not denied the return on their investment”.
Ada beberapa hal yang menarik dari penjelasan tersebut. Pertama, bahwa pemilik perusahaan dapat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu controlling dan minority shareholders yang diaktualisasikan dalam persentase kepemilikan manajemen, yang memungkinkan terjadi ketidakselarasan kepentingan karena controlling shareholders mengendalikan manajemen maka keputusan-keputusan yang diambil dapat merugikan kepentingan minority shareholders. Kedua, masalah keagenan antara manajer dan shareholders dapat terjadi, tetapi masalah tersebut akan lebih banyak terjadi pada perusahaan yang kepemilikannya menyebar (manager controlled) daripada yang kepemilikannya relatif terkonsentrasi
(60)
60 seperti di Indonesia (owner controlled). Ketiga, sistem GCG yang baik seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada pemegang saham dan kreditur dengan cara membentuk komite audit dan komisaris independen. Perlindungan ini dapat dilakukan melalui mekanisme dari dalam perusahaan (monitoring and internal control) maupun melalui mekanisme dari luar perusahaan yang dapat diwujudkan lewat peraturan atau perundang-undangan yang menjelaskan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, dan stakeholders lain serta mekanisme yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung peraturan-peraturan tersebut (Petronila, 2007: 133).
K. Kondisi Keuangan Perusahaan
Kondisi keuangan perusahaan adalah suatu tampilan atau keadaan secara utuh atas keuangan perusahaan selama periode atau kurun waktu tertentu. Kondisi keuangan merupakan gambaran atas kinerja sebuah perusahaan. Media yang dapat dipakai untuk meneliti kondisi kesehatan perusahaan adalah laporan keuangan karena laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi. Laporan keuangan tersebut terdiri dari laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan.
Kondisi keuangan perusahaan menggambarkan tingkat kesehatan perusahaan sesungguhnya (Ramadhany, 2004: 150). Mc Keown et. al. (1991) sebagaimana dikutip Ramadhany (2004: 150) menemukan bahwa auditor
(61)
61 hampir tidak pernah memberikan opini audit going concern pada perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Carcello dan Neal (2000: 7) menyatakan bahwa semakin buruk kondisi perusahaan maka semakin besar probabilitas perusahaan menerima opini going concern.
Indikator yang tepat untuk menilai kondisi keuangan perusahaan adalah dengan menghitung rasio keuangan perusahaan. Rasio keuangan merupakan kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Hasil dari rasio keuangan ini akan terlihat kondisi kesehatan perusahaan yang bersangkutan (Kasmir, 2008: 104). Rasio keuangan perusahaan yang digunakan sebagai proksi kondisi keuangan perusahaan meliputi leverage, rasio profitabilitas, dan rasio aktivitas. Berikut ini adalah uraian mengenai ketiga rasio tersebut :
1. Leverage
Rasio leverage adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya. Leverage mengacu pada jumlah pendanaan yang berasal dari hutang perusahaan kepada kreditor (Rudyawan dan Badera, 2009: 8). Pengukuran ini berhubungan dengan keberadaan dan ketat tidaknya suatu persetujuan hutang (Amilin dan Indrawan, 2008: 74). Tingginya rasio finanacial leverage mencerminkan tingginya risiko keuangan perusahaan. Risiko keuangan perusahaan yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan mengalami kesulitan keuangan
(62)
62 (Petronela, 2004: 48). Pada penelitian ini, rasio leverage diproksikan dengan debt to assets (DTA). DTA menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya melalui total aktiva yang dimilikinya.
Adapun perhitungan leverage dengan menggunakan debt to total assets adalah sebagai berikut:
2. Rasio Profitabilitas
Menurut Harahap (2007: 304), definisi rasio profitabilitas adalah: “Rasio rentabilitas atau disebut juga profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan, dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan sebagainya.”
Rasio profitabilitas bertujuan untuk mengukur efisiensi perusahaan dalam menghasilkan laba. Rasio profitabilitas dalam penelitian ini diproksikandengan return on equity (ROE) yang mengukur efisiensi perusahaan dalam menghasilkan laba dan tingkat pengembalian ekuitasnya. Rumus untuk menghitung ROE adalah sebagai berikut:
3. Rasio Aktivitas
Rasio aktivitas mengukur efektivitas dan efisiensi perusahaan dalam mengelola aktiva yang dimiliki (Januarti dan Fitrianasari, 2008: 46). Rasio
as TotalEkuit
LabaBersih
ROE
a TotalAktiv
iban TotalKewaj Leverage
(63)
63 aktivitas yang tinggi mencerminkan bahwa perusahaan benar-benar dapat melakukan kegiatan operasi utamanya, dengan demikian diharapkan kelangsungan usahanya dapat dipertahankan (Januarti dan Fitrianasari, 2008: 46). Untuk mengukur rasio aktivitas, dalam penelitian ini digunakan proksi total asset turnover (TATO). Adapun rumus untuk menghitung TATO adalah sebagai berikut:
L. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah variabel untuk mengukur besar kecilnya perusahaan. Mutchler (1985) menyatakan bahwa auditor lebih sering mengeluarkan modifikasi opini going concern pada perusahaan-perusahaan kecil. Hal ini dimungkinkan karena auditor mempercayai bahwa perusahaan yang lebih besar dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan keuangan yang dihadapinya daripada perusahaan yang lebih kecil.
Perusahaan besar lebih banyak menawarkan fee audit tinggi daripada yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Dalam kaitannya mengenai kehilangan fee audit yang yang signifikan tersebut, auditor dapat meragukan pengeluaran opini going concern pada perusahaan besar (McKeown et. al., 1991 dalam Ramadhany, 2004: 151).
a TotalAktiv
ersih PenjualanB
(1)
147
Block 0: Beginning Block
Iteration Historya,b,c
Iteration -2 Log likelihood
Coefficients Constant
Step 0 1 201.424 -1.116
2 200.731 -1.254
3 200.730 -1.260
4 200.730 -1.260
a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 200,730
c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea,b
Observed
Predicted Opini
Percentage Correct
0 1
Step 0 Opini 0 148 0 100.0
1 42 0 .0
Overall Percentage 77.9
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
(2)
148
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables BoC .150 1 .699
BoD .613 1 .434
Ind_Comm 4.355 1 .037
Board_Own 4.457 1 .035
Lev 20.643 1 .000
Prof 2.282 1 .131
Aktivitas 15.108 1 .000
Size .553 1 .457
Overall Statistics 44.160 8 .000
Iteration Historya,b,c,d
Iteration
-2 Log likelihood
Coefficients
Constant BoC BoD Ind_Comm Board
_Own Lev Prof Aktivitas Size
Step 1 1 163.676 -4.541 .120 -.309 .011 -.056 1.617 .027 -2.086 .098
2 148.931 -7.842 .192 -.540 .012 -.080 2.166 .031 -4.911 .217
3 141.322 -9.803 .126 -.620 .010 -.117 2.356 .036 -9.181 .310
4 139.735 -11.211 .042 -.638 .010 -.128 2.571 .038 -12.061 .371
5 139.682 -11.537 .020 -.643 .010 -.126 2.645 .038 -12.671 .385
6 139.682 -11.550 .019 -.643 .010 -.126 2.648 .038 -12.694 .385
7 139.682 -11.551 .019 -.643 .010 -.126 2.648 .038 -12.694 .385
a. Method: Enter
b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 200,730
d. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than ,001.
(3)
149
Omnibus Tests of Model CoefficientsChi-square df Sig.
Step 1 Step 61.048 8 .000
Block 61.048 8 .000
Model 61.048 8 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 139.682a .275 .421
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than ,001.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 5.106 8 .746
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Opini = 0 Opini = 1
Total
Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 19 18.995 0 .005 19
2 19 18.690 0 .310 19
3 18 18.193 1 .807 19
4 18 17.521 1 1.479 19
5 15 16.676 4 2.324 19
6 15 15.696 4 3.304 19
7 15 14.386 4 4.614 19
8 16 13.255 3 5.745 19
9 8 10.115 11 8.885 19
(4)
150
Classification TableaObserved
Predicted Opini
Percentage Correct
0 1
Step 1 Opini 0 140 8 94.6
1 26 16 38.1
Overall Percentage 82.1
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a BoC .019 .481 .002 1 .969 1.019
BoD -.643 .467 1.894 1 .169 .526
Ind_Comm .010 .018 .282 1 .596 1.010
Board_Own -.126 .459 .076 1 .783 .881
Lev 2.648 .770 11.819 1 .001 14.123
Prof .038 .089 .181 1 .671 1.039
Aktivitas -12.694 2.989 18.034 1 .000 .000
Size .385 .201 3.668 1 .055 1.470
Constant -11.551 5.428 4.529 1 .033 .000
a. Variable(s) entered on step 1: BoC, BoDr, Ind_Comm, Board_Own, Lev, Prof, Aktivitas, Size.
(5)
151 Correlation Matrix
Constant BoC BoD Ind_Comm Board_Own Lev Prof Aktivitas Size
Step 1 Constant 1.000 .118 .006 .041 -.142 -.116 .036 .257 -.980
BoC .118 1.000 -.355 .105 .165 -.026 .094 .154 -.172
BoD .006 -.355 1.000 -.019 .058 .009 -.002 .064 -.031
Ind_Com
m .041 .105 -.019 1.000 .172 .090 -.142 .107 -.205
Board_Ow
n -.142 .165 .058 .172 1.000 .191 .009 -.029 .059
Lev -.116 -.026 .009 .090 .191 1.000 -.095 -.290 .044
Prof .036 .094 -.002 -.142 .009 -.095 1.000 -.027 -.013
Aktivitas .257 .154 .064 .107 -.029 -.290 -.027 1.000 -.317
(6)
152
Step number: 1
Observed Groups and Predicted Probabilities
32 ┼ ┼ │ │ │ │ F │ │ R 24 ┼0 ┼ E │0 │ Q │0 │ U │0 │ E 16 ┼0 ┼ N │0 │ C │0 1 │ Y │0 0 │ 8 ┼0 0 1 0 0 ┼ │000000 00 01 0 1 0 0 │ │0000000 001 000 1010 0 110 0 0 1 11 │ │000000000001000100000 00000 000 011000 1010011 0 00 100 1 01 0 0 1 1 1 1 111 │ Predicted ─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼─────────┼────────── Prob: 0 ,1 ,2 ,3 ,4 ,5 ,6 ,7 ,8 ,9 1 Group: 0000000000000000000000000000000000000000000000000011111111111111111111111111111111111111111111111111 Predicted Probability is of Membership for 1
The Cut Value is ,50 Symbols: 0 - 0 1 - 1
Each Symbol Represents 2 Cases.