36
2.3 Spekulasi Tanah
Spekulasi tanah dapat diartikan sebagai suatu teknik investasi membeli tanah unimproved dengan harapan pertumbuhan cepat dalam harga. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka spekulasi tanah juga dapat diartikan sebagai suatu resiko pembelian suatu harta yang harganya diperkirakan naik pada
saat yang akan datang dan dapat dijual kembali untuk memperoleh laba, dan sebaliknya penjualan suatu barang yang diperkirakan harganya akan turun pada
saat yang akan datang dan dapat dibeli kembali dengan harga yang lebih murah untuk memperoleh keuntungan, biasanya hal ini digunakan dalam pasar uang,
saham, komoditas, dan lain sebagainya. Dalam proses spekulasi tanah ini, suatu elit kota pemilik tanah akan
berusaha menjangkau daerah pinggiran kota dan bahkan akan lebih jauh lagi. Tetapi tidak hanya terdapat peningkatan pemilikan tanah dan bertambahnya
penguasaan kota atas pedalaman saja, tetapi sementara itu berlangsung pula suatu perubahan budaya di bidang norma-norma hukum yang mengatur soal pemilikan
tanah. Proses perluasan kota dan meluasnya secara fisik wilayah-wilayah yang dibangun, selama ini telah dianalisa dalam pengertian meningkatnya pembagian
tanah di daerah pinggiran kota dan perluasan wilayah kekuasaan elit kota pemilik tanah.
Di masa permulaan meningkatnya spekulasi, transaksi tanah cenderung lebih merupakan lembaga, yaitu antara para spekulator daripada sambungan saja
antara spekulan dan penduduk kota. Pelembagaan spekulasi tanah mengurangi kemampuan para pendatang miskin membeli tanah untuk tempat tinggal di
pinggiran desa dan kota, karena daerah-daerah ini cenderung menjadi objek dari
37
adanya spekulasi tanah, dan bukannya objek perluasan serta pembangunan kota. Hal ini antara lain dapat mengakibatkan berlebihnya kepadatan penduduk di pusat
kota, dan terbentangnya daerah-daerah miskin dengan kelas pekerja Sargent, 1972: 368. Akibat lain dari adanya spekulasi tanah dan peningkatan harga tanah
mungkin adalah adanya perluasan daerah liar, yaitu dimana norma-norma pemilikan tanah sudah tidak lagi ditegakkan.
Pada sekarang ini masih saja kita lihat bahwa masih banyaknya spekulasi tanah dalam pembangunan CBD Central Business District di Kota Medan.
Pembangunan yang terjadi di pusat-pusat kota kebanyakannya mengalami peningkatan dalam hal spekulasi tanah. Hal ini dapat memperkaya elit kota
pemilik tanah, juga dapat meningkatkan pemilikan tanah di sekitar kota, dan juga dapat menimbulkan ketergantungan sosial dan ekonomi yang semakin hari
semakin besar dari daerah-daerah pedesaan ke daerah perkotaan. Sehingga spekulasi tanah yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya konflik dalam hal lahan tempat tinggal ataupun tanah. Yang mana konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis. Salah
satu kegiatan dalam program strategis Badan Pertanahan Nasional BPN Republik Indonesia lainnya adalah percepatan penyelesaian kasus pertanahan.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPN Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan, maka kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional
38
Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan danatau kebijakan pertanahan nasional. Konflik
adalah gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat, dan karena itu tidak mungkin dilenyapkan Nasikun, 2003.
Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, ia hanya akan lenyap bersama lenyapnya masyarakat itu sendiri. Oleh
karena itu, konflik yang terjadi hanya dapat dikendalikan agar tidak terwujud dalam bentuk kekerasan atau violence Nasikun, 2003.
Biasanya tipologi kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh
Badan Pertanahan Nasional, maka secara garis besar dikelompokkan menjadi : 1.
Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak
atau belum dilekati hak tanah Negara, maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.
2. Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai
letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun
yang masih dalam proses penetapan batas. 3.
Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari
warisan.
39
4. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
5. Sertifikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari satu.
6. Sertifikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti.
7. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.
8. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
berdasarkan penunjukan batas yang salah. 9.
Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena
terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya. 10.
Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan
subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu
40
Konflik sosial biasanya terjadi karena adanya satu pihak atau kelompok yang merasa kepentingan atau haknya dirampas dan diambil oleh pihak atau
kelompok lain dengan cara- cara yang tidak adil. Yang oleh Karl Marx di kenal dengan surplus value Susetiawan, 2000 dan Johnson, 1986. Konflik ini dapat
terjadi secara horizontal maupun vertikal Nasikun, 2003. Konflik horizontal terjadi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, yang dibedakan
oleh agama, suku, bangsa, dan lain-lain. Sedangkan konflik vertikal biasanya terjadi antara suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau lapisan bawah
dengan lapisan atas atau penguasa Scott, 2000 dan Sangaji, 2000. Dilihat dari asal usul terjadinya konflik, Soekanto 1986 menyatakan
bahwa konflik mencakup suatu proses dimana bermula dari pertentangan hak atau kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya di mana salah satu pihak
berusaha menghancurkan pihak yang lain. Sementara K. Sanderson 1995 lebih menekankan pada bentuk-bentuk konflik: “konflik” adalah pertentangan
kepentingan antara individu dan kalangan berbagai individu dan kelompok sosial, baik yang mungkin terlihat secara gamblang ataupun tidak, baik yang mungkin
pecah menjadi pertentangan terbuka atau kekerasan fisik ataupun tidak”. Baik Smelser Muchtar, Usman dan Trijono, 2001 maupun Dahrendorf
Johnson, 1986 menyatakan bahwa konflik sosial terjadi antara dua kelompok yang berbeda kepentingan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik yang
ada. Satu kelompok berusaha untuk mengendalikan kelompok yang lainnya. Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain dengan berbagai
cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok
41
lainnya. Kelompok yang menguasai disebut sebagai superdinat dan kelompok yang dik uasai sebagai subordinat.
Pembangunan yang terjadi di pusat-pusat kota kebanyakannya mengalami meningkatnya spekulasi tanah. Hal ini dapat memperkaya elit kota pemilik tanah,
juga dapat meningkatkan pemilikan tanah di sekitar kota, dan juga dapat menimbulkan ketergantungan sosial dan ekonomi yang semakin hari semakin
besar dari daerah-daerah pedesaan ke daerah perkotaan.
2.4 CBD Central Business District