Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy: Ketidakadilan Gender.

(1)

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY: KETIDAKADILAN GENDER

SKRIPSI

OLEH

ADE SRI HANDAYANI NIM 060701008

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY: KETIDAKADILAN GENDER

SKRIPSI

OLEH

ADE SRI HANDAYANI NIM 060701008

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. D. Syahrial Isa, S.U. Drs. Irwansyah, M.S. NIP 19470503 197412 1 001 NIP 19530425 198303 1 002

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. NIP 19620419 198703 2 001


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditentukan.

Medan, Desember 2010

Ade Sri Handayani 060701008


(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kurnia dan kesehatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy: Ketidakadilan Gender. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana bidang ilmu Sastra Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan bimbingan baik selama penulis mengikuti perkuliahan maupun penyusunan skripsi ini, khususnya kepada Bapak Drs. D. Syahrial Isa, S.U. sebagai pembimbing I dan Bapak Drs. Irwansyah, M.S. sebagai pembimbing II, yang telah menyediakan waktu dan pikiran serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini juga penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas

Sumatera Utara

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum, dan Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum sebagai ketua dan sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Yulizar Yunas sebagai dosen Pembimbing Akademik penulis yang memberi motivasi dan masukan kepada penulis.


(5)

4. Seluruh dosen di Sastra Indonesia yang telah mencurahkan ilmu dan motivasinya untuk penulis khususnya Bapak Pertampilan yang selalu memberikan saya semangat.

5. Keluarga tercinta, Ayahanda Baharuddin dan Ibunda Asmiaty, terima kasih untuk semangat, kasih sayang, dan bantuan materi yang diberikan pada penulis.

6. Terima kasih juga pada Kakanda Heryanto Purba yang bersedia memberikan bantuan tenaga dan semangat agar saya segera menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih banyak pada sahabat saya, Dewi Sartika yang bersedia meminjamkan banyak buku agama Islam sekaligus bersedia menjadi teman diskusi saya mengenai skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat saya : Eva, nova, Ira, Lina atas kebaikan dan dorongan spiritual bagi penulis.

8. Teman-teman Sasindo, khususnya Stambuk 2006 yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terima kasih untuk motivasi agar penulis secepatnya menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, Desember 2010

Ade Sri Handayani 060701008


(6)

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY: KETIDAKADILAN GENDER

ABSTRAK

Penulisan karya ilmiah ini dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Khalieqy. Disamping itu juga untuk menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender.

Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminisme (KSF) yang mengungkapkan nilai-nilai yang menguasai tokoh dan streotipe yang dilekatkan pada tokoh utama perempuan novel PBS. Untuk mencapai tujuan itu, telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik yang menghasilkan sinopsis cerita. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang dilakukan dengan mendeskripsikan data-data yang bersumber dalam novel PBS dan kemudian disusul dengan penganalisisan berdasarkan data yang telah dituliskan dalam kartu data.

Hasil penelitian ini mengungkapkan adanya bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi pada tokoh utama, yaitu (1) marginalisasi perempuan berupa ketergantungan Annisa kepada Samsudin, (2) subordinasi perempuan yang menyebabkan Annisa putus sekolah, (3) streotipe perempuan, seperti perempuan adalah godaan dan sarang fitnah, (4) kekerasan terhadap perempuan secara fisik dan psikologis yang dilakukan Samsudin terhadap Annisa, dan (5) beban kerja perempuan yang panjang dan banyak ditanggung oleh Annisa dalam pekerjaan domestik. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender, yaitu (1) penafsiran ajaran agama Islam yang keliru dalam Alquran dan hadis, dan (2) kebudayaan Jawa yang memiliki mitos atau tradisi yang negatif terhadap kaum perempuan.

Dari analisis tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjuangan tokoh utama dalam novel PBS menggambarkan semangat feminisme, yaitu keinginan perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Keberadaan tokoh Annisa yang sanggup lepas dari bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialaminya membuktikan bahwa kaum perempuan adalah kaum yang cerdas, kuat, dan aktif.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

PERNYATAAN……… ii

KATA PENGANTAR………. iii

ABSTRAK……… v

DAFTAR ISI………. vi

BAB I PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah………... 1

1.2 Masalah………... 6

1.3 Batasan Masalah……… 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 7

1.4.1 Tujuan Penelitian……… 7

1.4.2 Manfaat Penelitian……… 7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA…….. 8

2.1 Konsep………. 8

2.2 Landasan Teori……… 9

2.3 Tinjauan Pustaka………. 14

BAB III METODE PENELITIAN………... 17

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………. 17

3.1.1 Bahan Analisis……… 18

3.1.2 Sinopsis ……….………. 19

3.2 Metode Analisis Data………. 21

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY………. 22

4.1 Alur………... 22

4.2 Penokohan………. 24

4.3 Latar……….. 27

4.4 Tema……….. 28

BAB V PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY: KETIDAKADILAN GENDER……….. 29

5.1 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender pada Tokoh Utama dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban ……..………. 29

5.1.1 Marginalisasi pada Tokoh Utama ……… 29

5.1.2 Subordinasi pada Tokoh Utama ………... 31

5.1.3 Streotipe pada Tokoh utama ………... 35

5.1.4 Kekerasan pada Tokoh Utama ………... 38

5.1.4.1 Kekerasan Fisik………. 40

5.1.4.2 Kekerasan Psikologis……… 45

5.1.5 Beban Kerja yang Panjang dan Banyak pada Tokoh Utama………… 47

5.2 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban……….…... 50


(8)

5.2.1 Penafsiran Ajaran Agama Islam yang keliru……….…….. 50

5.2.1.1 Kekerasan dan Agama Islam……….. 51

5.2.1.2 Penolakan Istri untuk Melakukan Hubungan Seksual……... 53

5.2.1.3 Streotipe yang Berkaitan dengan Menstruasi dalam agama Islam 55 5.2.2 Kebudayaan Jawa………... 59

5.2.2.1 Marginalisasi dan Kebudaya Jawa... 60

5.2.2.2 Subordinasi dan Kebudayaan Jawa………... 60

5.2.2.3 Streotipe dan Kebudayaan Jawa………. 61

5.2.2.4 Kekerasan dan Kebudayaan Jawa……… 62

5..2.2.5 Beban Kerja yang Panjang dan Banyak dan Kebudayaan Jawa 63 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ……….. 64

6.1 Simpulan………. 64

DAFTAR PUSTAKA……… 66


(9)

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY: KETIDAKADILAN GENDER

ABSTRAK

Penulisan karya ilmiah ini dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS) karya Abidah El Khalieqy. Disamping itu juga untuk menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender.

Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminisme (KSF) yang mengungkapkan nilai-nilai yang menguasai tokoh dan streotipe yang dilekatkan pada tokoh utama perempuan novel PBS. Untuk mencapai tujuan itu, telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik yang menghasilkan sinopsis cerita. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang dilakukan dengan mendeskripsikan data-data yang bersumber dalam novel PBS dan kemudian disusul dengan penganalisisan berdasarkan data yang telah dituliskan dalam kartu data.

Hasil penelitian ini mengungkapkan adanya bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi pada tokoh utama, yaitu (1) marginalisasi perempuan berupa ketergantungan Annisa kepada Samsudin, (2) subordinasi perempuan yang menyebabkan Annisa putus sekolah, (3) streotipe perempuan, seperti perempuan adalah godaan dan sarang fitnah, (4) kekerasan terhadap perempuan secara fisik dan psikologis yang dilakukan Samsudin terhadap Annisa, dan (5) beban kerja perempuan yang panjang dan banyak ditanggung oleh Annisa dalam pekerjaan domestik. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender, yaitu (1) penafsiran ajaran agama Islam yang keliru dalam Alquran dan hadis, dan (2) kebudayaan Jawa yang memiliki mitos atau tradisi yang negatif terhadap kaum perempuan.

Dari analisis tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjuangan tokoh utama dalam novel PBS menggambarkan semangat feminisme, yaitu keinginan perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Keberadaan tokoh Annisa yang sanggup lepas dari bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialaminya membuktikan bahwa kaum perempuan adalah kaum yang cerdas, kuat, dan aktif.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Luxemburg (1989:6) mengatakan bahwa sastra menghidangkan sebuah sintesis antara hal-hal yang saling bertentangan. Salah satu bentuk pertentangan tersebut adalah pertentangan antara laki-laki dan perempuan yang menarik untuk dikaji dalam ilmu sastra. Melalui sastra, pembaca dapat mengetahui mengenai masalah gender, seperti ketidakadilan gender yang masih terjadi terhadap kaum perempuan.

Ketidakadilan terhadap perempuan dapat disebabkan oleh pandangan masyarakat yang terkadang menganggap kaum perempuan sebagai warga kelas dua sehingga secara tidak langsung memberikan dampak buruk terhadap kaum perempuan. Pandangan tersebut dapat berasal dari budaya patriarki, yaitu budaya yang menyatakan bahwa kaum laki-laki dapat mengontrol kaum perempuan. Pada umumnya, masyarakat Indonesia menganut budaya patriarki sehingga terjadilah pertentangan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Saat gerakan feminisme belum berkembang, keberadaan kaum perempuan masih kurang dihargai. Kaum perempuan masih dinomorduakan dari kaum laki-laki. Padahal, kaum perempuan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Selain itu, perempuan juga seharusnya memiliki hak yang sama dengan hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki.

Diskriminasi terhadap kaum perempuan bukan hanya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra juga banyak digambarkan tentang


(11)

kehidupan perempuan yang berperan sebagai penderita. Endrawarsa (2008:114) mengatakan perempuan di mata laki-laki dan juga di mata sastrawan pria sekedar obyek. Konsep ini telah membelenggu sehingga mendorong perempuan ke sudut: keterpurukan nasib.

Banyak penulis pria yang menjadikan tokoh perempuan sebagai obyek yang lemah. Kehidupan perempuan selalu saja hanya melingkupi area domestik atau keluarga. Adakalanya perempuan hanya dijadikan obyek erotis bagi laki-laki dalam karya sastra mereka, seperti Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Yang Sudah Hilang, melukiskan tiga perempuan tetap pada nasib domestik mereka. Tidak ketinggalan WS Rendra yang melukiskan Maria Zaitun dalam puisi Nyanyian Angsa, adalah potret nasib perempuan yang harus menjadi pelacur dan terkena penyakit raja singa.

Namun, setelah feminisme lahir dan berkembang, banyak penulis perempuan yang bangkit dan melahirkan karya sastra yang bernuansa gerakan emansipasi terhadap perempuan. Salah satu karya sastra tersebut adalah novel Perempuan Berkalung Sorban (selanjutnya disingkat PBS) karya Abidah El Khalieqy. Novel PBS mengangkat masalah ketidakadilan terhadap kaum perempuan sekaligus memberi solusi terhadap perempuan untuk lepas dari kekuasaan laki-laki.

Menurut Fakih (2004:12), ketidakadilan gender merupakan sistem atau struktur baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya perbedaan gender.

Perbedaan gender adalah perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Contohnya: laki-laki berperan sebagai suami dan kepala rumah tangga yang bertugas mencari nafkah, sedangkan perempuan berperan


(12)

sebagai istri yang bertugas mengurus rumah tangga. Fungsi dan peran berdasarkan gender tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor sosial dan kebudayaan masyarakat.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terhadap kaum perempuan.

Ketidakadilan gender dimanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau pelabelan negatif, kekerasan fisik atau psikis, dan beban kerja yang panjang dan banyak.

Tokoh-tokoh dan masalah-masalah yang dimunculkan di dalam novel PBS menunjukkan adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan. Pada dasarnya novel PBS menceritakan perjalanan hidup Annisa Nuhaiyyah sebagai tokoh utama yang selalu mengalami perlakuan tidak adil oleh keluarga dan suaminya, Samsudin. Sejak kecil, Annisa telah dibebankan untuk melakukan pekerjaan domestik yang panjang dan banyak. Kehidupan Annisa lebih banyak dihabiskan di rumah dan di dapur padahal Annisa ingin beraktivitas di luar rumah seperti kedua abangnya.

Selain itu, Annisa juga mengalami marginalisasi yang disebabkan pendidikannya yang hanya lulus SD sehingga Annisa tidak dapat bekerja. Oleh karena itu, setelah menikah dengan Samsudin, kesejahteraan Annisa dalam ekonomi harus bergantung kepada suaminya. Ketergantungan tersebut juga menimbulkan kekerasan fisik dan psikologis terhadap Annisa.

Dalam novel PBS terdapat subordinasi dan streotipe terhadap perempuan. Subordinasi yang menganggap perempuan tidak penting untuk mengeyam jenjang pendidikan telah mengakibatkan Annisa hanya disekolahkan sampai SD.


(13)

Streotipe-streotipe perempuan, seperti: perempuan itu suka menggoda dan sarang fitnah juga secara tidak langsung mengganggu perkembangan psikis Annisa.

Ketidakadilan terhadap Annisa dapat terjadi karena dua faktor, yaitu penafsiran ajaran agama Islam yang keliru dan tradisi kebudayaan Jawa. Di dalam novel PBS dicantumkan ayat-ayat Alquran dan hadis yang mengatur mengenai soal perempuan, menstruasi, dan hubungan suami istri. Namun, ayat-ayat Alquran dan hadis yang dalam novel PBS seakan-akan memojokan kaum perempuan karena hanya ditafsirkan secara tekstual saja tanpa ditafsirkan secara kontekstual. Akibatnya, tafsiran tersebut mengisyaratkan pada ketidakadilan terhadap perempuan.

Tekstual adalah berkenaan dengan teks, yaitu naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang. Kontekstual adalah berkenaan dengan konteks, yaitu bagian suatu kalimat yang dapat menambah kejelasan makna atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.

Selain penafsiran ajaran agama Islam yang keliru, faktor lain yang menyebabkan ketidakadilan gender dalam novel PBS adalah kebudayaan Jawa. Hal tersebut karena kebudayaan Jawa didominasi oleh budaya patriarki yang membentuk pola pikir, tradisi, dan peraturan bagi perempuan yang merugikan kaum perempuan. Salah satunya adalah tradisi kawin paksa atau kawin di bawah umur.

Kawin paksa tidak hanya terjadi pada masyarakat Jawa saja. Masyarakat Minangkabau, Batak, Melayu, dan suku-suku lainnya di Indonesia juga memiliki tradisi tersebut. Hal itu karena pada umumnya suku-suku di Indonesia menganut sistem patrilineal, yaitu sistem hubungan keturunan melalui garis kerabat pria atau bapak saja. Sistem patrilineal membentuk kekuasaan kaum laki-laki untuk mengontrol kaum perempuan.


(14)

Tradisi kawin paksa juga dialami oleh Annisa dalam novel PBS. Annisa yang merupakan seorang perempuan Jawa dituntut untuk memiliki sifat yang penurut terhadap orang tuanya. Selain itu, kebudayaan Jawa juga memiliki streotipe-streotipe perempuan, seperti kanca wingking yang artinya perempuan bertugas atau berkewajiban memasak dan mengurus anak. Streotipe tersebut mengakibatkan Annisa dibebankan melakukan pekerjaan domestik yang panjang dan banyak.

Menyimak cerita kehidupan Annisa yang tidak pantang menyerah untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan, novel PBS sangat menarik untuk diteliti. Selain itu, novel PBS bercerita mengenai kehidupan santriwati yang menjadikan novel ini berbeda dari novel sastra lainnya. Tokoh Annisa diciptakan sebagai seorang santri yang berkepribadian kuat, berani, dan cerdas. Berbeda dengan santriwati pada umumnya yang selalu dicitrakan masyarakat sebagai muslimah yang pasif, kehidupannya monoton, dan takut melawan segala peraturan kuno pesantren. Karakter Annisa dianggap mampu mewakili perjuangan seorang muslimah dalam menegakkan emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis.

Selain itu, novel PBS berbeda dari novel-novel sastra lainnya karena mencantumkan tafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis mengenai perempuan. Tafsiran tersebut dikritik oleh pengarang melalui tokoh Annisa dan Khudori karena dianggap misoginis atau membenci perempuan. Pengarang novel PBS mencoba menawarkan pemikiran yang baru mengenai tafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis yang lebih adil terhadap perempuan.

Kelebihan novel PBS lainnya adalah novel PBS ditulis oleh seorang perempuan sehingga ceritanya juga dibangun berdasarkan pola pikir dan pengalaman seorang perempuan. Apalagi Abidah sebagai pengarang novel PBS merupakan mantan


(15)

santriwati sehingga mengenal dan merasakan secara langsung bagaimana kehidupan di pondok pesantren.

Melalui novel PBS, Abidah memberikan semangat feminisme kepada kaum perempuan untuk bangkit dan memperjuangkan hak-hak mereka yang dirampas oleh orang-orang yang patriarkis. Novel PBS yang mengangkat masalah perempuan dan masalah keagamaan Islam telah memberi sumbangan dalam dunia sastra dan menambah khazanah keanekaragaman novel di negeri ini.

Novel PBS secara tidak langsung juga menimbulkan semangat masyarakat dan pemerintah untuk mencari solusi dan merancang langkah-langkah memperbaiki nasib perempuan Indonesia agar menjadi lebih baik. Novel PBS dapat menjadi perintis bagi perempuan agar terus berjuang untuk keadilan kaum perempuan dalam masyarakat. Perempuan yang membaca novel PBS akan lebih bijak dan tidak menyerah dalam mencari solusi terhadap praktik-praktik dominasi tokoh antagonis yang bersifat patriarkis.

Penelitian ini menguraikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh utama dan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender dalam novel PBS. Masalah-masalah tersebut dianalisis berdasarkan kritik sastra feminisme.

1.2 Masalah

Agar permasalahan dalam penelitian ini menjadi jelas dan terarah, perlu adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian adalah:

1) Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh utama dalam novel PBS.


(16)

1.3 Batasan Masalah

Penelitian ini menguraikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender dibatasi pada tokoh utama saja. Selain itu, penelitian ini juga menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender dalam dua ruang lingkup, yaitu: penafsiran ajaran agama Islam yang keliru dan kebudayaan Jawa. Masalah-masalah tersebut dianalisis berdasarkan kritik sastra feminisme.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Untuk menguraikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh utama dalam novel PBS .

2) Untuk menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender dalam novel PBS.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam.

1. Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai masalah-masalah perempuan, yaitu mengenai bentuk-bentuk ketidakadilan gender dan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender dalam novel PBS.

2. Membangkitkan kepedulian pembaca mengenai masalah perempuan dan memberikan pemahaman tentang sikap feminisme dalam novel PBS.


(17)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Widati (2001:38), konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Variabel berhubungan dengan analisis data atau fakta (sosial) yang diteliti. Dalam situasi meneliti, peneliti harus memperhatikan faktor-faktor yang memiliki banyak nilai sehingga memungkinkan terjadinya kegoyahan data yang berakibat dapat goyahnya hasil penelitian. Dalam ilmu sastra, konsep misalnya berupa ide, gagasan, keindahan, dan fungsi sastra dalam masyarakat.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah konsep dapat ditetapkan melalui definisi. Definisi tersebut dapat digunakan peneliti untuk melihat gambaran bakal penelitiannya secara mendasar. Gambaran tersebut selanjutnya membantu peneliti menetapkan teori.

Penelitian ini menggunakan konsep gender. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Fakih (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007:95) menjelaskan kedua konsep tersebut sebagai berikut. Seks atau kelamin adalah pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma. Adapun perempuan memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya, secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat


(18)

pada manusia laki-laki dan perempuan. Jadi, seks merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.

Konsep gender menyangkut semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lainnya, maupun dari suatu kelas sosial ke kelas lainnya. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan; sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, di suatu tempat atau di waktu yang berbeda ditemukan ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan, sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Ketidakadilan gender terbagi atas beberapa bentuk yakni: 1. Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi.

2. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam sebuah keputusan politik. 3. Streotipe atau melalui pelabelan negatif.

4. Kekerasan.

5. Beban kerja yang panjang dan banyak.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural. Hal tersebut karena karya sastra adalah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya, maka sebuah karya sastra tersebut perlu dianalisis dan dalam menganalisis suatu karya sastra tidak terlepas dari pendekatan struktural. Sejalan dengan hal itu, Teeuw (Suwondo,


(19)

2001:55) berpendapat bahwa bagaimanapun juga analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain.

Selanjutnya Teuww (1984:50) mengemukakan ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan dalam penelitian sastra, yaitu: (a) pendekatan mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan), (b) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu, (c) pendekatan ekspresif yang menganggap karya sastra sebagai eksperimen perasaan, pikiran, dan pengalaman sastrawan (penyair), dan (d) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai suatu yang otonom terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Maka, yang penting dalam pendekatan objektif adalah karya sastra itu sendiri, yang dianalisis adalah khusus unsur intrinsik saja. Pendekatan objektif disebut juga dengan pendekatan struktural.

Sesuai dengan pendapat-pendapat di atas, analisis struktural dijadikan sebagai tugas pokok dalam pengkajian sebuah karya sastra. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diterapkan pendekatan objektif (pendekatan struktural).

Struktural merupakan analisis yang membahas struktur yang merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem dalam karya sastra. Susunan unsur-unsur yang bersistem dalam karya sastra tersebut akan menjalin hubungan-hubungan antarunsur secara koheren.

Salah satu karya sastra yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling memiliki hubungan dalam membentuk jalinan cerita secara koheren adalah novel. Pada dasarnya, analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan (Nurgiyantoro, 1995: 37).


(20)

Oleh karena itu, dalam menganalisis novel berdasarkan analisis struktural yang dianalisis adalah segi struktur penceritaannya. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan bagaimana plot, penokohan, latar, sudut pandang, dan tema sebuah karya sastra. Dengan demikian, dapat diketahui fungsi setiap unsur dan hubungan antar unsur sehingga secara bersamaan membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Dari uraian tersebut, maka analisis yang dilakukan pada novel PBS adalah analisis terhadap alur, penokohan, latar, dan tema.

Namun, diakui bahwa model analisis yang hanya berdasarkan strukturalisme mengandung berbagai kelemahan, yaitu (1) melepaskan karya sastra dari latar belakang sejarahnya, dan (2) mengasingkan karya sastra dari relevansi sosial budayanya (Teeuw dalam Suwondo, 2001:55).

Bagaimanapun juga, meneliti sebuah karya sastra secara terasing dengan melepaskan karya sastra itu dari latar belakang sejarah dan relevansi sosial budayanya, akan menyebabkan karya sastra itu menjadi kurang bermakna atau paling tidak maknanya menjadi amat terbatas atau bahkan makna menjadi sulit ditafsirkan. Hal tersebut menyebabkan karya sastra menjadi kurang bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, dalam hal ini adalah feminisme.

Menurut Goefe (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007:93), feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan teroganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.

Fakih (2004:100) mengatakan gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju sistem yang


(21)

adil bagi perempuan dan laki-laki. Jadi, feminisme dapat diartikan sebagai suatu aliran atau gerakan yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Dalam sastra, feminisme berhubungan dengan kritik sastra feminisme (KSF). Menurut Sugihastuti (2005:21), KSF, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra barat ialah laki-laki, KSF menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.

Menurut Yoder (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007:99), KSF dalam arti sederhana adalah suatu kritik yang memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Jenis kelamin ini membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan faktor luar yang mempengaruhi karang-mengarang.

Pendeknya, KSF adalah usaha untuk membebaskan diri dari pertentangan antara perempuan dan laki-laki yang sering direpresentasikan di dalam karya sastra. Sudah saatnya ada upaya untuk membongkar pertentangan tersebut.

Kegiatan awal KSF adalah menggali, mengkaji, serta menilai karya penulis-penulis perempuan dari masa-masa silam. Mereka mempertanyakan tolak ukur apa saja yang dipakai pengkritik sastra terdahulu sehingga karya sastra selalu didominasi penulis laki-laki. KSF berusaha menyediakan suatu konteks yang dapat mendukung pengalaman, perasaan, serta pikiran yang selama ini diredam penulis wanita. Selain itu, KSF juga menginginkan suatu kedudukan dan pengakuan bagi penulis wanita karena biasanya bagi penulis laki-laki saja yang mendapat kedudukan dan pengakuan dari pengkritik sastra.


(22)

Dalam KSF terdapat konsep reading as a women. Culler (Endraswara, 2008:149) mengatakan untuk meneliti karya satra dari aspek feminis, peneliti perlu membaca teks sebagai perempuan (reading a women). Membaca sebagai perempuan akan lebih demokratis dan tidak berpihak pada laki-laki ataupun perempuan. Dari sini, peneliti dapat menemukan diegesis dan mimesis dalam teks sastra. Diegesis adalah segala peristiwa yang dilaporkan atau dikisahkan, sedangkan mimesis adalah hal-hal yang diperankan atau dipertunjukkan.

Di barat, KSF sering dimetaforakan sebagai quilt (Yoder dalam Sugihastuti, 2002:139). Quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi itu pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini dapat dikenakan sebagai metafora pengertian KSF. KSF diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan.

KSF terdiri dari beberapa perspektif. Yang pertama adalah KSF ideologis, yang melibatkan perempuan sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra dan streotipe perempuan dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpamaham tentang perempuan dan sebab-sebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra. Pada dasarnya, KSF ideologis merupakan cara menafsirkan suatu teks yang dapat memperkaya wawasan para pembaca perempuan dan membebaskan cara berpikir perempuan.

Yang kedua adalah KSF ginokritik, yang meneliti semua aspek yang berkaitan dengan kepengarangan perempuan yang meliputi sejarah, tema, ragam, struktur psikodinamika, kreativitas, dan telaah penulis perempuan tertentu dengan karyanya yang khusus. Yang ketiga adalah KSF feminis sosialis, yang meneliti tokoh-tokoh


(23)

perempuan dalam sebuah karya sastra dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat.

Yang keempat adalah KSF psikoanalitik, yang menerapkan pada tulisan-tulisan perempuan karena para feminis percaya pembaca perempuan mengidentifikasi atau menempatkan dirinya pada tokoh perempuan dalam sebuah karya sastra, sedangkan tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. Yang kelima adalah KSF lesbian, yang hanya meneliti penulis dan tokoh perempuan. Yang keenam adalah KSF ras, yang mengaitkan masalah perempuan dengan ras.

Menyimak uraian tersebut, novel PBS sesuai bila diteliti berdasarkan KSF ideologis. KSF ideologis dipakai untuk menafsirkan teks-teks pada novel PBS dengan menggunakan konsep reading as a women. Berlandaskan kritik ini akan diungkapkan bentuk-bentuk ketidakadilan pada tokoh utama dalam novel PBS. Selain itu, KSF ideologis juga dapat meneliti sebab-sebab mengapa perempuan sering mengalami perlakuan tidak adil oleh masyarakat.

2.3 Tinjauan Pustaka

Novel PBS pernah diteliti oleh Windy Yasmin Lubis (2003) dari Fakultas Sastra USU, Jurusan Sastra Indonesia dengan judul “Analisis Psikologis Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy”. Penelitian ini menganalisis psikologis tokoh utama dalam novel PBS.

Di luar USU, ada Ita Yuli Astutik (2006) dari Universitas Muhammadiyah Malang dengan judul skripsinya “Penggunaan Gaya Bahasa Perbandingan Pada Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy (Tinjauan Stilistika)”. Hasil penelitian menunjukkan adanya bentuk gaya bahasa metafora, personifikasi, ironi, sinisme, dan sarkasme dalam novel PBS.


(24)

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Windy dan Ita dengan penelitian ini adalah permasalahan yang diangkat. Penelitian ini menggunakan kajian feminisme untuk menganalisis novel PBS, sedangkan Windy menggunakan teori psikologi sastra dan Ita menggunakan teori stilistika.

Penelitian dengan menggunakan teori feminisme juga pernah dilakukan, yaitu: Tety Warliani (2005) dari Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia dengan skripsinya yang berjudul “Novel Memburu Matahari Karya Wadjib Kartapati: Analisis Feminisme”. Penelitian ini mengenai peranan tokoh utama dalam keluarga dan peranan tokoh utama dalam lingkungan masyarakat. Penelitian lainnya adalah Tiur Maida (2003) yang meneliti “Eksistensi Perempuan dalam Novel-Novel N.H.Dini”. Penelitian ini menguraikan sikap-sikap feminis N.H. Dini dalam novel-novelnya.

Di luar USU, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Ririn Diah Utami (2006) dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan skripsinya yang berjudul “Dimensi Jender dalam Novel Ny. Talis (Kisah Mengenai Madras) Karya Budi Darma: Tinjauan Kritik Sastra Feminis”. Hasil penelitian ini memperlihatkan terdapat masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang dialami Ny. Talis dalam bentuk kawin paksa, kekerasan fisik atau non fisik, dan beban kerja yang berat.

Suwarti (UMS,2009) melakukan penelitian yang berjudul “Ketidakadilan Jender dalam Novel Perempuan Jogja Karya Achmad Munif: Kajian Sastra Feminis”, memaparkan bahwa dalam masyarakat Jawa, perempuan harus tetap mempertahankan nilai-nilai kesetiaan, kepatuhan, dan ketaatan terhadap suami.

Penelitian Ernayana Trihandayani (UMS,2003) yang berjudul “Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer” merupakan penelitian tentang perempuan yang tersubordinasi, mengalami kekerasan,


(25)

dan menjalani berbagai bentuk ketidakadilan yang berasal dari ideologi patriarki yang terkait dengan berbagai sistem, seperti agama dan budaya.

Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tety, Tiur, Ririn, Suwarti, dan Eryana memiliki objek penelitian yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut juga membahas masalah ketidakadilan pada perempuan, sama dengan masalah yang dibahas pada penelitian ini. Namun penelitian ini mencoba memperdalam pembahasan mengenai faktor penafsiran ajaran agama Islam yang keliru dan budaya Jawa yang menyebabkan ketidakadilan pada perempuan.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah metode membaca cerita rekaan atau novel berdasarkan tata bahasa ceritanya, yaitu pembacaan novel dari awal sampai akhir secara berurutan. Metode ini harus diulang kembali dengan bacaan rekroaktif/hermeneutik, yaitu bolak-balik sebagaimana yang terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap maknanya.

Menurut Ratna (2004:45), dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode hermeneutika dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Jadi, dapat dipahami bahwa metode yang tepat untuk meneliti novel PBS adalah metode hermeneutik karena novel ini memiliki energi spiritual agama Islam yang tinggi.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik pustaka yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Lalu dilanjutkan dengan teknik simak dan catat, yakni dengan menyimak secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data. Hasil penyimakan kemudian dicatat dan dirangkum.

Tahap-tahap yang dilakukan dalam teknik catat pada kartu data adalah:

1. Membaca berulang-ulang novel PBS karya Abidah El Khalieqy dengan teliti dan secermat mungkin.

2. Memberikan tanda-tanda pada bagian-bagian yang dianggap berhubungan dengan masalah yang diteliti.


(27)

3. Melakukan pencatatan bagian-bagian yang telah ditandai ke dalam kartu data. 4. Membaca buku-buku atau sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti

5. Membaca, memahami, dan menginterpretasikan data-data tersebut.

3.1.1 Bahan Analisis

Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah: Judul : Perempuan Berkalung Sorban

Penulis : Abidah El Khalieqy Tahun Terbit : 2009

Penerbit : Arti Bumi Intaran Jenis : Novel

Cetakan : Ketiga (Edisi Revisi)

Ukuran : Tiga belas kali sembilan belas sentimeter Tebal : 320 halaman

Warna Kulit :Putih dengan tulisan “perempuan berkalung sorban” dan gambarnya adalah seorang perempuan berjilbab dengan berkalungkan sorban berdiri di antara perempuan-perempuan memakai jilbab.

Sumber data primer adalah sumber utama penelitian yang diperoleh tanpa lewat perantara. Selain data primer, terdapat sumber data sekunder dalam penelitian ini, yaitu data-data yang bersumber dari buku-buku acuan yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku yang berhubungan dengan sastra dan feminisme.


(28)

3.1.2 Sinopsis

Annisa Nuhaiyyah adalah seorang perempuan yang cerdas, berani, dan memiliki semangat yang tinggi untuk memperjuangkan keadilan di dalam hidupnya. Annisa merupakan anak Kiai Haji Hanan Abdul Malik, pemilik sebuah pondok pesantren (ponpes) putri. Sejak lahir, Annisa diharapkan kelak dapat menggantikan posisi Kiai Hanan untuk mengurus ponpes tersebut. Tetapi, Annisa bercita-cita untuk bersekolah dan mencari ilmu di luar lingkungan ponpes.

Saat masih kecil, Annisa selalu mengalami perlakuan tidak adil oleh keluarganya. Aktivitas Annisa selalu diawasi oleh enam orang santri yang ditugaskan oleh Kiai Hanan. Hal tersebut terjadi sejak abang Annisa, Rizal kecemplung ke dalam blumbang (genangan air yang membentuk kolam kecil) lalu menyalahkan Annisa atas kejadian itu.

Annisa juga dilarang ke luar rumah kecuali sekolah dan mengaji dan mulai diharuskan untuk bekerja di dapur membantu ibunya, sedangkan kedua abangnya bebas bermain di luar. Sejak saat itu, Annisa sering bertanya kepada ibu dan Khudori tentang masalah perempuan dalam Islam dan masyarakat.

Khudori adalah cucu dari keluarga nenek ibu Annisa. Karena sering bertemu, Annisa dan Khudori jatuh cinta. Namun, Khudori harus pergi ke Kairo untuk melanjutkan kuliahnya. Walalupun begitu, Annisa dan Khudori tetap berkomunikasi lewat surat.

Setelah mendapatkan menstruasi pertamanya, Annisa dinikahkan secara paksa dengan Samsudin. Samsudin adalah Putra Kiai Nasrudin sahabat bapak Annisa. Tanpa meminta persetujuan Annisa, orang tua Annisa menerima begitu saja lamaran dari Kiai Nasrudin. Annisa juga tidak berani menolak perjodohan tersebut.


(29)

Pernikahan Annisa dengan Samsudin pun dilangsungkan. Walaupun telah menikah, Annisa tetap melanjutkan sekolahnya. Ternyata, Samsudin memiliki sifat yang kasar dan mengidap penyimpangan seksual. Samsudin suka memukul dan suka memaksa Annisa untuk melakukan hubungan seksual dengan cara atau gaya yang tidak wajar. Bahkan, Samsudin menikah lagi dengan seorang janda yang bernama Kalsum. Hal tersebut karena Kalsum telah mengandung anak Samsudin.

Setelah beberapa tahun lamanya, akhirnya Khudori pulang ke Indonesia. Orang tua Annisa mengadakan acara syukuran untuk Khudori dan Annisa ikut menghadiri acara tersebut. Bertemulah Annisa dengan Khudori lalu mereka berdua saling menceritakan tentang diri masing-masing.

Esoknya, Annisa menceritakan kondisi perkawinannya pada ibunya. Annisa memberitahukan ibunya bahwa selama ini Samsudin telah melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap Annisa. Mendengar cerita tersebut, Ibu Annisa segera menemui bapak Annisa dan menceritakan apa yang telah didengarnya dari Annisa. Akhirnya, setelah diadakan pertemuan keluarga, diputuskan agar Annisa segera bercerai dengan Samsudin.

Setelah Annisa menjadi janda, Khudori pun meninggalkan rumah Annisa dan balik ke kampungnya. Annisa juga memutuskan untuk kuliah ke Yogyakarta. Annisa mulai menyibukkan diri dengan aktivitas perkuliahannya dengan mengikuti organisasi ekstra kampus. Selang beberapa bulan, Khudori mendatangi kos Annisa. Khudori segera melamar Annisa dan pernikahan pun dilangsungkan.

Kemudian, Annisa dan Khudori mendapat seorang anak yang bernama Mahbud. Namun, tiba-tiba Khudori mengalami kecelakaan mobil. Ternyata kecelakaan mobil yang dialami oleh Khudori bukan sebuah kenyataan. Annisa hanya berkhayal Khudori mengalami kecelakaan mobil tersebut.


(30)

3.2 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dalam mengkaji data. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang kemudian disusul dengan penganalisisan berdasarkan data yang telah dituliskan dalam kartu data. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2) Melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap data yang sudah diidentifikasi.

3) Melakukan pencatatan ulang data-data yang sudah diidentifikasi tersebut. 4) Menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar

data sehingga diperoleh pemahaman terhadap masalah yang diteliti 5) Menyimpulkan hasil analisis data.


(31)

BAB IV

ANALISIS STRUKTURAL NOVEL

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY

4.1 Alur

Menurut Kenny (Nurgiyantoro, 1995:12), alur atau plot adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan sebab akibat. Alur juga dapat didefenisikan sebagai cerminan perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.

Berdasarkan kriteria urutan waktu, novel PBS memiliki alur campuran (progresif-regresif). Hal tersebut dikarenakan adanya peristiwa-peristiwa yang diceritakan secara kronologis(progresif) dan pada tahap selanjutnya ada penceritaan peristiwa-peristiwa secara sorot balik/flash-back (regresif).

Pada tahap awal diceritakan mengenai kehidupan Annisa sebagai tokoh utama dalam novel PBS yang telah dewasa, mendapatkan gelar sarjana, dan telah memiliki seorang anak yang bernama Mahbud. Annisa dikisahkan sedang berada di blumbang yang ada di dusun kecil daerah pegunungan. Dusun tersebut merupakan tempat Annisa tinggal bersama keluarganya saat Annisa masih kecil. Blumbang tersebut mengingatkan Annisa pada segala peristiwa masa kanak-kanak Annisa. Peristiwa-peristiwa tersebut ada yang mengasyikkan, tetapi lebih banyak yang menyebalkan. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:


(32)

Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan alam di lereng pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain masa kanakku yang tak pernah terlupakan. (PBS:1)

Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbud, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan. (PBS:1-2)

Kutipan itu menunjukkan adanya penceritaan secara sorot balik/flash back karena dikisahkan Annisa sedang mengenang masa lampaunya (masa kanak-kanak). Pada tahap selanjutnya, dikisahkan segala peristiwa pahit yang dialami Annisa. Annisa selalu merasa dinomorduakan di dalam keluarganya. Hanya Khudorilah tempat Annisa mengadu. Setelah tamat SD, Annisa dinikahkan dengan Samsudin. Annisa tidak menyetujui pernikahan tersebut. Namun, Annisa takut kepada bapaknya sehingga Annisa tidak dapat berbuat apa-apa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

“....Mengenai kapan dilangsungkannya pernikahan, nanti kan bisa dirembuk lagi. Bukankah begitu, Pak Hanan? Kita ini sama-sama orang tua...,” suara laki-laki sang tamu mempengaruhi. (PBS:90)

Pernikahan Annisa dengan Samsudin ternyata menyebabkan Annisa menderita. Samsudin adalah laki-laki yang kasar, suka memukul, dan sering melakukan kekerasan seksual terhadap Annisa. Pada tahap ini muncul konflik, yaitu pemberontakan Annisa terhadap tindakan Samsudin.

Pada tahap penyelesaian konflik, Annisa memberitahukan kekerasan yang dilakukan Samsudin kepada orang tuanya. Orang tua Annisa kemudian mengurus perceraian Annisa. Setelah bercerai, Annisa pergi ke Yogyakarta untuk kuliah. Di Yogyakarta, Annisa bertemu Khudori dan mereka menikah. Annisa dan Khudori memiliki kehidupan pernikahan yang bahagia apalagi saat anak mereka, Mahbud lahir ke dunia.


(33)

Untuk mengakhiri cerita, pengarang menggunakan alur sorot balik/flash back kembali. Diceritakan Khudori kecelakaan mobil dan meninggal dunia. Ternyata kecelakaan tersebut hanya khayalan dan bukan kenyataan. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini:

Bukan saja dalam mimpi. Kubayangkan juga waktu itu, kulalui hari-hari tanpanya, seolah musafir tak menemukan lokasi yang indah untuk singgah. (PBS:315)

Dengan demikian, urutan cerita yang diceritakan dalam novel PBS menunjukkan bahwa novel PBS memiliki alur campuran (progresif-regresif).

4.2 Penokohan

Menurut Jones (Nurgiyantoro, 1995:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jadi, dalam penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek: isi dan bentuk.

Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 1995:165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Berdasarkan perananya, tokoh cerita terbagi atas dua, yaitu: tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang menentukan jalannya cerita karena sebagian besar tampil dalam rangkaian peristiwa dalam suatu karya sastra, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang berperan sebagai pelengkap cerita.


(34)

Berdasarkan fungsi penampilan cerita, penokohan terbagi atas dua, yaitu: tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang dikagumi pembaca karena menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca atau tokoh yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca, sedangkan tokoh antagonis, yaitu tokoh yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang buruk.

Dalam novel PBS terdapat seorang tokoh utama, yaitu Annisa sebagai seorang perempuan yang cerdas dan berani memberontak atas perlakuan tidak adil yang dilakukan keluarganya dan Samsudin. Annisa bukanlah seorang perempuan yang pasrah saat berbagai cobaan datang dalam kehidupannya, melainkan Annisa adalah seorang perempuan yang berpikiran maju dan memiliki semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Penggunaan nama Annisa Nuhaiyyah yang artinya perempuan yang berakal atau berpandangan luas digambarkan pula pada watak Annisa. Annisa memiliki pandangan luas tentang ilmu agama Islam, khususnya mengenai perempuan dalam Islam. Melalui tokoh Annisa, pengarang novel PBS memberikan kritik terhadap ketidakadilan perempuan yang masih banyak terjadi di dalam masyarakat.

Selain tokoh utama, Annisa juga tokoh protagonis yang mampu memberikan simpati dan empati kepada pembaca. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

Aku tidak mau kebahagianku dirampas untuk kesekian kalinya. Cukup sudah menjadi kanak-kanak yang selalu dinomorduakan. Cukup sudah menjadi budak di masa remajaku dan kini aku harus hadir sebagaimana aku yang kuinginkan. (PBS:199)

Kutipan ini menunjukkan bahwa kebahagiaan Annisa dirampas. Penderitaan yang dialami Annisa menimbulkan empati pembaca. Selain itu, usaha Annisa untuk lepas dari ketidakadilan yang dialaminya mewakili harapan pembaca khususnya pembaca perempuan untuk menghapus ketidakadilan terhadap perempuan di dunia ini.


(35)

Selain tokoh utama, dalam novel PBS juga terdapat beberapa tokoh tambahan. Tokoh tambahan yang berperan penting dalam novel PBS adalah Samsudin dan Khudori.

Samsudin adalah tokoh antagonis. Watak Samsudin adalah kasar, emosional, pemalas, dan sombong. Samsudin sering kali memukul Annisa. Samsudin juga memiliki penyimpangan seksual sehingga sering memaksa Annisa untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar dalam berhubungan intim. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh Samsudin juga disertai kekerasan psikologis terhadap Annisa. Pukulan, tunjangan, tamparan, serta kata-kata kotor dan kasar selalu diterima Annisa. Watak buruk Samsudin terlihat pada kutipan berikut:

Ia mencabut gigi taringnya dari tubuhku, seperti harimau lapar tengah berhadapan dengan mangsanya. Lalu menggeram untuk kemudian menekan kuat-kuat wajahku di atas bantal sambil mengeluarkan sumpah serapah tujuh turunan dan kata-kata makian yang diambil dari kamus kebun binatang. (PBS:103) Watak Khudori sangat berlawanan dengan Samsudin. Khudori adalah pemuda baik hati, lembut, dan penuh kasih sayang. Khudori adalah pemuda yang sangat cerdas dan mengerti ilmu-ilmu agama Islam. Namun, pengetahuan Khudori yang luas tidak membuatnya menjadi orang sombong. Khudori tetap menjadi seorang tokoh yang rendah hati, berperangai baik, dan sopan santun. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

“Memang, Lekmu itu sangat halus perasaannya, Nisa. Perangainya baik dan membaca kitabnya juga lancar. Pengetahuannya luas, tetapi ia tak pernah menyombongkan diri. Ibu lihat, ia juga sayang sekali sama kamu. Tidak seperti Lek Mahmudmu itu.” (PBS:55)

Selain itu, juga terdapat tokoh-tokoh tambahan lain, seperti kedua abang Annisa, yaitu: Rilzan dan wildan. Rizal adalah pria yang suka menjahili Annisa dan suka berbicara, sedangkan Wildan adalah pria yang pendiam. Bapak Annisa adalah pria


(36)

yang pemarah dan otoriter. Ibu Annisa adalah ibu yang lemah lembut dan penyabar, namun sangat pasif sehingga selalu menuruti segala keputusan suaminya.

4.3 Latar

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:216), latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Nurgiyantoro (1995:227) mengemukakan bahwa unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Latar tempat dalam novel PBS adalah di daerah pedesaan kecil wilayah pegunungan. Di desa tersebut, Annisa tinggal di pesantren putri milik ayahnya. Namun, nama desa tersebut tidak disebutkan di dalam novel PBS. Penggambaran latar tempat terlihat pada kutipan berikut:

Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan alam di lereng pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain masa kanakku yang tak pernah terlupakan. (PBS:1)

Selain itu, latar tempat dalam novel PBS adalah di daerah Yogyakarta. Di Yogyakarta, Annisa kuliah dan bertemu dengan Khudori. Setelah menikah, Annisa dan Khudori juga berdomisili di Yogyakarta karena Khudori seorang dosen yang mengajar di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta.


(37)

Latar waktu dalam novel PBS adalah dimulai saat Annisa masih kecil, yaitu saat masih duduk di bangku SD sampai dewasa, yaitu setelah menikah dengan Khudori.

Latar sosial dalam novel PBS adalah kebudayaan Jawa. Hal tersebut dapat terlihat pada penggunaan beberapa kata dalam bahasa Jawa, yaitu: lek, pencilakan, wedhok, ngerasani, mbak, mudheng, pethakilan, mboten, mas, dan ngelunjak. Penggunaan bahasa Jawa tersebut terlihat pada kutipan berikut ini:

“o...jadi rupanya kamu yang punya inisiatif bocah wedhok. (PBS:6)

“Jadi.. perasaanmu sekarang seperti sedang berkemah begitu, Lek? Seperti apa sih? Kok Nisa nggak mudheng? (PBS:27)

“...Kau ini perempuan. Mau jadi pahlawan ya? Pencilakan. Pethakilan! Kau ini sadar, kau ini anak siapa, hah!” (PBS:33)

4.4 Tema

Menurut Stanton (Nurgiyantoro, 1995:70), tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema kurang lebih bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama.

Tema mengikat unsur-unsur intrinsik yang lain, seperti: alur, penokohan, dan latar. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat unsur tersebut. Oleh karena itu, keempat unsur tersebut dianalisis dahulu agar dapat menyimpulkan tema.

Tema novel PBS adalah masalah ketidakadilan terhadap perempuan. Tema novel PBS termasuk ke dalam tema tingkat sosial, yaitu tema yang mengangkat masalah kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk sosial.


(38)

BAB V

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY: KETIDAKADILAN GENDER

5.1 Bentuk-bentuk ketidakadilan gender pada tokoh utama dalam novel PBS 5.1.1 Marginalisasi pada tokoh utama

Menurut Fakih (2004:14), marginalisasi adalah suatu proses pemiskinan ekonomi atau peminggiran yang terjadi di dalam negara atau masyarakat yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya, penggusuran, bencana alam, atau proses eksploitasi.

Marginalisasi identik lebih banyak terjadi terhadap perempuan yang disebabkan oleh gender. Dari segi sumbernya, marginalisasi terjadi karena kebijakan pemerintah, kebudayaan tertentu, tafsiran agama yang salah, tradisi, dan kebiasaan dalam masyarakat.

Marginalisasi yang terjadi karena kebijakan pemerintah, contohnya program revolusi hijau yang memperkenalkan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit sehingga tidak digunakan lagi panenan yang melekat pada kaum perempuan. Akibatnya, banyak petani perempuan yang tidak mendapatkan pekerjaan lagi di sawah pada musim panen.

Dalam dunia kerja, ternyata perempuan juga mengalami diskriminasi. Pada umumnya, pekerja perempuan memiliki gaji yang lebih kecil dari pekerja laki-laki. Selain itu, perempuan biasanya tidak dipercaya untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut tentunya dapat memiskinkan kaum perempuan.

Annisa dalam novel PBS juga mengalami ketidakadilan gender yang berupa marginalisasi perempuan. Marginalisasi tersebut ditunjukkan dengan ketergantungan


(39)

Annisa kepada orang tua Samsudin dalam bidang ekonomi. Ketidakmampuan Annisa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri juga merupakan salah satu proses peminggiran ekonomi terhadap perempuan. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

Yang kutahu, seluruh biaya kehidupan masih ditanggung orang tuanya dan akupun tidak peduli”. (PBS:116)

Ketidaksejahteraan Annisa dalam bidang ekonomi jelas terlihat sewaktu Kalsum (istri kedua Samsudin) mulai mengambil alih seluruh urusan keluarga termasuk mengatur keuangan dan segala keperluan Annisa. Kalsum membelanjakan semua uang yang diberikan oleh orang tua Annisa untuk kepentingannya sendiri. Tidak ada lagi uang untuk biaya sekolah Annisa dan untuk segala keperluan Annisa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

Yang benar-benar menjadi masalah ketika keuangan untuk sekolah dan urusanku menjadi berkurang dan akhirnya sama sekali menghilang. Tak ada lagi jatah untuk sekolahku. Sebab kalsum membelanjakan semuanya demi kepentingannya sendiri (PBS:118)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Annisa adalah seorang perempuan yang hidup dalam kemiskinan. Annisa tidak dapat bekerja karena hanya lulusan SD. Jadi, dapat dikatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh Annisa disebabkan karena pendidikannya yang rendah.

Secara umum, kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan adalah objek yang termaginalkan. Banyak perempuan seperti Annisa yang kemudian percaya bahwa perkawinan adalah tempat satu-satunya bagi mereka untuk menyelamatkan hidupnya karena perkawinan dapat memecahkan masalah ketergantungan ekonomi dan psikologisnya. Sebagai istri yang hanya berdiam diri di rumah dan tidak berperan dalam upaya pencarian sumber daya ekonomi bagi keluarga, perempuan dianggap lemah, tidak berdaya, dan tidak mampu bertindak.


(40)

Oleh karena itu, seharusnya hak pendidikan kaum perempuan tidak boleh dihapuskan agar kelak kaum perempuan mendapatkan pekerjaan yang layak. Kemandirian kaum perempuan dalam bidang ekonomi dapat memperkecil jumlah kekerasan terhadap kaum perempuan karena kaum perempuan akan lebih dihargai dalam masyarakat.

5.12. Subordinasi pada tokoh utama

Menurut Handayani dan Sugiarti (2008:15-16), subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial.

Pada umumnya masyarakat Indonesia menganut budaya patriarki sehingga terbentuk subordinasi-subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan yang meremehkan perempuan untuk mampu aktif dalam berbagai bidang, seperti politik dan ekonomi menyebabkan kaum perempuan terpinggirkan dan mengalami kemiskinan.

Fakih (2004:15) mengatakan bahwa perempuan dianggap irrasional dan emosional sehingga tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan dalam bidang pekerjaan pada posisi tidak penting. Akibatnya, kaum perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan dirinya dan untuk mencapai taraf hidup yang berkecukupan dalam perekonomian.

Subordinasi juga banyak terdapat di dalam novel PBS, misalnya adanya anggapan di dalam masyarakat bahwa perempuan tidak penting bersekolah sehingga menyebabkan Annisa hanya disekolahkan sampai SD oleh orang tuanya.

Banyak masyarakat yang memiliki kepercayaan bahwa “setinggi-tingginya seorang perempuan bersekolah toh akan ke dapur juga”. Hal ini dapat diartikan bahwa


(41)

walaupun seorang perempuan telah bersekolah sampai jenjang yang paling tinggi sekalipun, perempuan kelak pasti akan menjadi seorang istri dan kehidupannya harus dihabiskan untuk memasak atau mengurus pekerjaan rumah tangga lainnya. Oleh karena itu, terbentuk suatu anggapan bahwa orang tua yang menyekolahkan anak perempuannya hanya membuang-buang uang saja. Perempuan hanya berperan mengurus pekerjaan domestik yang tidak memerlukan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah, namun hanya keterampilan.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

“Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorongan kitab kuning”. (PBS: 90)

Subordinasi tersebut secara tidak langsung telah menghancurkan cita-cita Annisa untuk menuntut ilmu. Hak pendidikan Annisa dirampas bahkan kemudian Annisa dipaksa menikah dengan Samsudin.

...Tanpa kuketahui apa saja yang telah dirundingkan oleh mereka, mendadak saja aku harus membunyikan kata setuju dan ya, untuk sesuatu yang sangat gelap. Kemudian aku harus menuliskan tanda tangan di atas kertas asing yang tak kuketahui apa isinya. (PBS:105)

Kawin paksa juga dapat terjadi karena adanya subordinasi bahwa kaum perempuan itu irrasional. Perempuan dianggap tidak mampu mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya karena mereka dianggap berpikir berdasarkan perasaan bukan logika. Oleh karena itu, terbentuk tradisi kawin paksa dalam masyarakat patriarki. Jodoh seorang perempuan akan diserahkan kepada orang tuanya. Apabila menolak perjodohan tersebut, maka perempuan itu akan dipaksa dan biasanya perempuan tidak memiliki kemampuan untuk memberontak. Hal ini tentunya menjarah kemerdekaan kaum perempuan karena perempuan juga memiliki cita-cita dan keinginan dalam hidupnya.


(42)

Seperti pada Annisa, saat Annisa dijodohkan dengan Samsudin, orang tua Annisa tidak pernah menanyakan apakah Annisa setuju dengan perjodohan itu. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

Mendengar kata-kata itu, darahku serasa beku. Aku tertahan dan berdiam seperti patung. Rupanya mereka tengah merundingkan sesuatu untuk masa depanku. Alangkah jauhnya mereka melewati nasibku. Begitu riang mereka menggambari masa depanku semau-maunya. Pastilah mereka mengira, alangkah bodoh dan naifnya aku ini, sehingga untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, tak perlu lagi melibatkanku. (PBS:90)

Bentuk subordinasi lainnya dalam novel PBS adalah adanya anggapan bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan reproduksi, seperti pekerjaan domestik dianggap lebih rendah dari pekerjaan produksi yang dikuasai laki-laki. Subordinasi tersebut menyebabkan perempuan selalu dinomorduakan di dalam lingkungan keluarga.

Dalam novel PBS, Annisa merasa selalu dinomorduakan oleh keluarganya. Annisa tidak pernah mendapatkan kesempatan mengeluarkan pendapat. Dalam keluarga, Annisa hanya berperan untuk mengurus pekerjaan domestik.

Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

“Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka. Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal mampu membawakan cerita petualangan baru yang seru dan lucu. Tetapi begitu aku datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam. “Kenapa sih? Kalian pikir aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba diam?Pasti sedang ngerasani aku, ya.”

“Lho, lho, lho... kok malah su’udzon, kata bapak sambil mengusap rambutku. Aku jengkel dan merasa disepelekan, segera menepisnya.

“Jangan begitu, Nisa. Kita kan sedang bicara urusan laki-laki.” Tambah Wildan. “Memangnya urusan laki-laki itu apa? Apa perempuan tak boleh mengetahuinya?”

“Boleh sih boleh. Tetapi...ah, sudahlah. Kita mau berangkat nih! Nanti bisa terlambat”

Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami. (PBS:9)


(43)

Kutipan itu menggambarkan bahwa di dalam keluarganya Annisa telah disisihkan atau didiskriminasikan. Saat Annisa sedang mencuci piring, bapak dan kedua abangnya dapat bersantai-santai di ruang makan setelah makan, hal yang sangat ingin dilakukan oleh Annisa. Saat Annisa mencoba ikut dalam pembicaraan tersebut, Annisa ditolak ikut serta hanya karena pembicaraan tersebut adalah urusan laki-laki. Timbul perasaan cemburu dan iri dari Annisa sehingga Annisa merasa dikucilkan di rumahnya sendiri. Padahal, Annisa ingin berinteraksi dengan keluarganya.

Peran perempuan yang hanya dibatasi pada urusan domestik dapat menghambat pertumbuhan mentalnya, dan akibatnya ialah kemampuan rasionalnya yang perlahan-lahan akan mengalami kemunduran. Pekerjaan rumah tangga bertentangan dengan kemungkinan terwujudnya manusia secara utuh karena persyaratan kerja yang dikenakan terkait dengan dasar pekerjaan tersebut hanya tidak memerlukan banyak unsur ketangkasan, hanyalah rasa tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan rumah tangga tersebut dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut. Subordinasi terhadap perempuan juga dapat mengakibatkan pembentukan psikis kaum perempuan menjadi manusia yang pasif, penurut, dan lemah.

Pada zaman modern saat ini, subordinasi terhadap perempuan mulai hilang. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin banyaknya kaum perempuan di daerah kota yang sarjana. Namun, perempuan desa masih banyak yang pendidikannya rendah. Kepercayaan masyarakat bahwa perempuan harus berada di bawah laki-laki tetap mengakar kuat.

Banyak aktivis perempuan yang mencoba mengubah hal tersebut, namun sangat sulit. Agar perempuan tidak tersubordinasi lagi, maka perempuan harus mengejar ketertinggalan dari lelaki untuk meningkatkan kedudukan, peranan, kesempatan, dan


(44)

kemandirian, serta ketahanan mental spiritualnya. Dengan demikian, perempuan mampu berperan sejajar bersama laki-laki sebagai mitra sejajar yang selaras, serasi, dan seimbang yang ditujukan dalam kehidupan sehari-hari.

5.1.3 Streotipe pada tokoh utama

Menurut Fakih (2004:16), streotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Biasanya streotipe berakibat pada ketidakadilan sehingga dinamakan pelabelan negatif.

Salah satu jenis streotipe adalah bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (streotipe) yang dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah untuk memancing perhatian lawan jenis, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan streotipe. Akibatnya, jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya atau perempuan itu sendiri.

Selain itu, perempuan juga dicap sebagai seorang manusia yang cengeng, tidak mampu memimpin, emosional (suka marah-marah), irrasional, dan lemah fisiknya. Sebenarnya laki-laki juga dapat emosional, irrasional, mau berdandan, dan juga cengeng. Akan tetapi, kenyataan tersebut selalu diingkari oleh masyarakat sehingga streotipe-streotipe terhadap perempuan tidak akan pernah hilang. Streotipe terhadap perempuan pada akhirnya dianggap seolah-olah telah menjadi kodrat.

Dalam novel PBS banyak sekali dapat ditemukan streotipe terhadap perempuan. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

Ibu pernah mengatakan, perempuan itu bagai godaan. Semacam buah semangka atau buah peer di gurun sahara. Perempuan adalah sarang fitnah, tetapi laki-laki


(45)

bukan sarang mafia. Jika perempuan keluar, tujuhpuluh setan menderap berbaris menyertainya. Tetapi jika ia membungkus seluruh tubuhnya dengan kurungan, mata setan akan kesulitan menebak, itu manusia atau guling yang tengah berjalan. Maka selamatlah sang perempuan sampai tujuan. Bukankah mudah menipu setan. (PBS:46)

Kutipan itu menunjukkan bahwa perempuan di cap atau dilabelkan sebagai godaan atau objek seksual bagi laki-laki. Tubuh perempuan seakan-akan keburukan atau suatu aib sehingga harus disamakan dengan guling yang tengah berjalan. Begitu menggodanya tubuh perempuan yang dapat merangsang gairah nafsu birahi sehingga distreotipekan sebagai sarang fitnah yang dapat menyebarkan kemaksiatan disekitarnya.

Tubuh perempuan memang sangat indah. Memiliki lekuk-lekuk yang bentuknya tertinggi dan amat indah. Tetapi, menyalahkan tubuh perempuan adalah suatu bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Streotipe bahwa perempuan adalah objek seks menyebabkan setiap kali terjadi pemerkosaan terhadap perempuan, malah perempuan itu sendiri yang disalahkan, bukan laki-laki yang menjadi pemerkosa. Perempuan itu dianggap bersalah karena mengundang syahwat laki-laki.

Dalam novel PBS banyak terdapat kritikan terhadap strotipe yang dilekatkan kepada perempuan. Dalam ajaran Islam, seorang perempuan diajarkan memakai baju kurung untuk menutupi auratnya. Namun, memakai baju yang sopan juga tidak dapat mengurangi kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada kenyataanya, perempuan yang telah berpakaian sopan tetap saja sering diperlakukan tidak senonoh oleh laki-laki. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut:

Tetapi bagaimana caranya menghadapi setan yang telah berpengalaman, yang masih menggoda perempuan dalam kurungan. Adakah strategi jitu yang harus diterapkan untuk mereka? Ibu pusing untuk menjawab. (PBS:46)

Kutipan itu merupakan sindiran pengarang yang disampaikan oleh tokoh Annisa terhadap tindakan masyarakat yang selalu menyalahkan kaum perempuan, padahal


(46)

perempuan adalah korban dari keangkuhan laki-laki. Pemerkosaan tidak hanya terjadi karena perempuan yang memakai baju terbuka, tetapi juga karena laki-laki merasa berhak mengontrol atau mengancam perempuan, dan merasa lebih kuat dari perempuan. Oleh karena itu, seharusnya laki-laki mengubah paradigma tersebut dan memupuk rasa menghormati dan menghargai kaum perempuan. Perhatikan kutipan di bawah ini:

“cadari nuranimu dengan iman,”kata lek khudori “Jadi nurani lebih penting?”

“Seperti perang di medan pertempuran, itu semua hanyalah perang fisik. Perang sesungguhnya adalah medan diri, antara nurani dan syahwat, antara nafsu lawwamah dan nafsu muthmainnah. (PBS:46)

Dalam kutipan tersebut, tokoh Khudori mengatakan bahwa nurani dan iman juga penting, selain menutup aurat. Laki-laki dan perempuan harus sama-sama menahan syahwatnya agar pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak lagi terjadi. Jadi, kutipan tersebut menyatakan bahwa apabila terjadi pemerkosaan, laki-laki dan perempuan haruslah sama-sama bertanggungjawab. Penting ditanyakan apakah perempuan tersebut telah menutup auratnya dan menjaga sikapnya dan penting ditanyakan apakah laki-laki juga sudah mencadari nuraninya dengan iman.

Selain ibunya, Annisa juga mendapat ajaran dari bapaknya tentang streotipe terhadap tubuh perempuan yang terlihat pada kutipan berikut:

Sepertinya sopan santun memang tidak berlaku untuk kalangan laki-laki. Hukum apapun tidak mampu menjamah kemerdekaan mereka, sebab mereka adalah manusia. Fitrahnya adalah merdeka. Berbeda dengan perempuan, tubuhnya saja mirip manusia, nafsunya mirip binatang. Dipenuhi anak setan. Untuk itulah sopan santun harus diperkenalkan padanya. Begitulah bapak pernah mengatakan. Dan tubuh perempuan yang mirip manusia itu, sebenarnya adalah kalangan aurat, sesuatu yang harus ditutup dengan karung seperti beras di gudang bulog. Kadang juga, terlihat seperti guling yang berjalan. Sebab aurat, ia harus ditutup dan dijaga dari mata-mata perampok dan pencuri yang berkeliaran di rimba raya. (PBS:45)

Pada awal kutipan, terdapat kritik dari pengarang novel PBS tentang kedudukan kaum perempuan yang rendah. Pengarang mengamati bahwa sebenarnya kaum


(47)

perempuan adalah kaum yang masih terjajah dan belum mendapatkan kemerdekaannya. Banyak peraturan dan larangan yang dibebankan pada perempuan sehingga telah merampas hak-hak kaum perempuan. Kritikan lain terhadap hegemoni laki-laki terlihat pada kutipan dalam novel PBS.

“Tetapi siapakah perampok dan pencuri kehausan itu? Pastilah mereka bukan seorang raja dan pihak yang berkuasa. Sebab kalau mereka raja dan berkuasa, untuk apa lagi mencuri dan merampok”. (PBS: 46)

Bentuk streotipe lainnya adalah pelabelan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Streotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Kenyataan tersebut digambarkan dalam novel PBS. Tokoh Annisa hanya disekolahkan sampai SD.

Streotipe terhadap perempuan seharusnya dapat dihapuskan. Perempuan adalah makhluk yang sama mulianya dan sama kedudukannya dengan laki-laki. Adanya streotipe yang dilekatkan sekaligus ditanamkan pada perempuan menyebabkan terganggunya kondisi psikis perempuan. Perempuan dididik menjadi sosok yang pasif, objek bukan subjek sehingga mengalami krisi kepercayaan diri. Oleh karena itu, kaum perempuan sering ditindas dan mengalami kekerasan.

5.1.4. Kekerasan pada tokoh utama

Menurut Fakih (2004:17), kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun ada salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu, yaitu perempuan. Kekerasan ini disebut dengan gender-related violence.

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan, dan pengabaian hak asasi perempuan atas dasar


(48)

gender. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam hidupnya, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Termasuk di dalamnya ancaman, paksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara (Kantor Menteri Negara PP.RAN PKTP, tahun 2001-2004).

Kaum perempuan memang sangat rentan menjadi korban kekerasan karena posisi kaum perempuan yang tidak setara dengan laki-laki di hadapan masyarakat baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Posisi perempuan pada umumnya dianggap rendah dibandingkan laki-laki. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.

Di dalam novel PBS, kekerasan yang terjadi adalah kekerasan rumah tangga yang dilakukan suami (Samsudin) terhadap istrinya (Annisa). Ada enam faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, yaitu: (a) fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat, (b) masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan didikan yang bertumpukan pada kekuatan fisik, yaitu untuk menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat dan berani serta tidak toleran, (c) budaya yang menkondisikan perempuan atau istri tergantung kepada laki-laki atau suami, khususnya secara ekonomi, (d) persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dianggap harus ditutup-tutupi karena termasuk wilayah privat suami-istri dan bukan persoalan sosial, (e) pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang penghormatan pada posisi suami, tentang aturan mendidik istri, dan tentang ajaran kepatuhan istri kepada suami, dan (f) kondisi kepribadian dan psikologis suami yang tidak stabil dan tidak benar.


(49)

5.1.4.1 Kekerasan fisik

Menurut La Pona (sugihastuti dan Saptiawan, 2007:179), kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada korbannya. Selain itu, terdapat beberapa definisi yang lain menyatakan bahwa tindakan kekerasan fisik melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh. Meiyenti (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007:179) menjelaskan jenis-jenis kekerasan fisik melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh, seperti memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan barang dan senjata.

Kekerasan fisik yang dialami oleh tokoh Annisa terdiri atas beberapa bentuk, yaitu: (a) bentuk pemerkosaan dalam pernikahan, (b) tindakan pemukulan dan serangan fisik, (c) bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ kelamin, (d) kawin paksa atau kawin di bawah umur, dan (e) tindakan pelecehan seksual.

a. Bentuk pemerkosaan dalam pernikahan

Dalam novel PBS, diceritakan Annisa telah mengalami pemerkosaan yang dilakukan Samsudin pada malam pertama pernikahan mereka. Pemerkosaan terhadap perempuan ternyata bukan hanya dilakukan oleh orang asing, tetapi kebanyakan dilakukan oleh orang dekat korban pemerkosaan, termasuk suami korban.

Pemerkosaan adalah setiap perbuatan seseorang yang memaksa untuk melakukan hubungan seksual tanpa ada unsur suka sama suka. Jika pemerkosaan tersebut dilakukan oleh suami, maka disebut dengan pemerkosaan dalam pernikahan.

Pemerkosaan pada malam pertama tersebut diceritakan dalam kutipan berikut: “Aku kaget dan hendak lari keluar ketika ia tiba-tiba mendekapku dengan kuat dan melunaskan segalanya. Nafasnya mendengus-dengus serupa lembu yang sedang melihat rumput hijau untuk disantapnya. Ia tidak peduli dan mungkin memang tak bisa untuk melepas pakaianku dengan cara yang lembut. Sampai aku tak merasakan apapun di malam pertama itu kecuali rasa sakit, nyeri, dan takut. Terbayang jelas dalam ingatanku, ketika malam pertama itu usai, dan ia berhasil


(50)

menanggalkan kehormatanku, aku melihat senyumnya menyeringai buas di antara tangisku. (PBS:107)

Selain termasuk ke dalam kekerasan fisik, pemerkosaan dalam pernikahan juga termasuk kekerasan seksual. Menurut Djannah (2002:15), kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual, memaksa istri, baik secara fisik untuk melakukan hubungan seksual atau melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan dan di saat istri tidak menghendaki, dan melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai istri.

Jadi, jelas bahwa pemerkosaan yang dilakukan Samsudin termasuk kategori kekerasan fisik disertai kekerasan seksual terhadap Annisa. Walaupun Samsudin adalah suami Annisa, tetapi Samsudin tidak berhak untuk memaksa istrinya melakukan hubungan seksual. Kekerasan fisik pada Annisa juga terlihat pada kutipan berikut:

Ia membuang puntung rokok dan serta merta, di luar perkiraanku, laki-laki bernama Samsudin itu meraih tubuhku dalam gendongannya. Lalu membawaku ke kamar dan menidurkanku di tas ranjang. Kemudian berusaha merayuku dengan suara lelaki di masa kerajaan Majapahit. Lalu mengguling-gulingkan tubuhku dengan paksa. Dengan paksa pula ia buka bajuku, dan semua yang nempel di badan. Aku meronta kesakitan tetapi ia kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipat-lipat. Matanya mendelik kewajahku. Kedua tangannya mencengkram bahuku sekaligus menekan kedua lenganku. Beban gajihnya begitu berat menindih tubuhku hingga semuanya menjadi tak tertahankan. Seperti ada peluru karet yang menembus badanku.

Aku hendak berteriak, tapi kalah cepat dengan telapak tangannya yang membungkam mulutku. Aku menyerah untuk sementara. Dan setelah itu, ketika ia selesai dan merasa puas dibakar nafsu, kutuding mukanya dengan sedikit putus asa.

“Kau memperkosaku, Samsudin! Kau telah memperkosaku!” (PBS:96-97)

Pemerkosaan dalam pernikahan terjadi karena banyak suami yang menganggap bahwa tubuh istrinya adalah miliknya atau banyak suami yang mengatakan bahwa tubuh istrinya adalah “ladangnya” yang dapat digarap kapanpun sang suami inginkan. Namun, pemberontakan yang dilakukan Annisa terhadap Samsudin menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan memiliki tubuhnya sendiri. Tidak ada yang dapat


(1)

sebagai mitos. Hal tersebut menyebabkan pantangan bagi laki-laki untuk bekerja di dapur karena dipercaya rejekinya akan seret.

Streotipe perempuan juga digambarkan pada senjata tradisional Jawa, misalnya pada pusaka keris. Keris ligan yang diibaratkan alat kelamin laki-laki dapat berdiri sendiri walau tidak ada sarungnya yang diibaratkan alat kelamin perempuan. Namun, sarung keris tanpa kerisnya tidak ada gunanya. Simbol tersebut melahirkan streotipe bahwa perempuan akan selalu bergantung kepada laki-laki dan tidak akan ada apa-apanya tanpa laki-laki. Dalam konvensi tradisional, seorang pengantin perempuan sungkem pada pengantin pria. Hal tersebut menunjukkan streotipe bahwa perempuan adalah sebagai the second sex-nya.

Streotipe dapat menyebabkan ketertinggalan kaum perempuan dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan agama. Streotipe dalam budaya Jawa secara tidak langsung menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan Jawa.

5.1.4 Kekerasan dan kebudayaan Jawa

Dalam kebudayaan Jawa, hal-hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah masalah yang sangat pribadi dan tidak boleh diketahui oleh masyarakat umum. Akibatnya, saat istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga, maka istri biasanya hanya diam, membiarkan kekerasan tersebut terus terjadi dan tidak berani melaporkan kekerasan yang dilakukan suaminya pada pihak yang berwajib atau keluarganya. Kediaman tersebut juga disebebkan masyarakat Jawa menanamkan nilai-nilai kesetiaan, kepatuhan, dan ketaatan kepada suami yang berlebihan. Dalam masyarakat Jawa, suami adalah simbol kekuasaan, pemimpin, bahkan sampai di dewa-dewakan.


(2)

5.1.5 Beban kerja yang panjang dan banyak dan Kebudayaan Jawa

Sebagai istri, Perempuan Jawa harus berperan ganda, yaitu sebagai pendamping bila kondangan, menjadi tuan rumah yang baik bila kedatangan tamu, menjadi koki yang ahli di dapur, dan menjadi pemuas seks di ranjang. Itu demi memenuhi konsep menjadi juru leladi terhadap Guru Laki-nya.

Dalam kebanyakan masyarakat Jawa yang miskin atau berpenghasilan rendah, pekerjaan perempuan tidak hanya terdiri dari kegiatan reproduksi, tetapi juga melakukan kegiatan produktif untuk mencari penghasilan tambahan.

Menurut Suryadi (1993:154), sebenarnya kegemaran laki-laki Jawa melakukan dominasi pada perempuan adalah untuk mempersempit keberadaan perempuan Jawa sekaligus untuk menunjukkan kepongahan laki-laki Jawa. Kedudukan laki-laki Jawa sebagai tulang punggung keluarga sangat memberatkan bagi mereka sehingga mungkin karena tidak percaya diri bahwa dia mampu, laki-laki Jawa harus menguasai perempuan menutupi ketidakpercayaan dirinya.

Peran dan kedudukan perempuan Jawa tersebut menimbulkan sifat pasif dan pasrah. Apabila peran tersebut tidak dilaksanakan, maka akan di cap mengingkari martabat dan harkat kewanitaannya. Tetapi, lain hal dengan perempuan pintar yang menyiasati keadaan dan kondisi kaum laki-laki yang pongah akan kekuasaan mereka. Perempuan tersebut akan memanfaatkan kesombongan kaum laki-laki dengan menggelindingkan hukum-hukum patrinilenal seperti tokoh Annisa dalam novel PBS.


(3)

BAB IV SIMPULAN

6.1 Simpulan

Novel PBS menceritakan tentang seorang perempuan yang berjuang untuk menghapus ketidakadilan dalam hidupnya. Annisa, tokoh utama dalam novel PBS, digambarkan sebagai perempuan yang cerdas dan yang berani menggugat hak-haknya tidak dengan amarah, namun dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena keberanian dan kecerdasannya tersebut, Annisa akhirnya dapat lepas dari suaminya yang kejam dan mendapatkan gelar sarjana.

Perjuangan Annisa merupakan cermin dari gerakan feminisme yang memperjuangkan kedudukan perempuan agar setara dengan laki-laki. Dengan demikian, perempuan tidak dipandang sebagai kaum yang lemah, tetapi kaum yang memiliki kemampuan untuk maju dan sukses sama seperti laki-laki.

Masih banyak kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam hidupnya. Hal ini tercermin dalam novel PBS. Tokoh Annisa mengalami marginalisasi, kekerasan fisik atau psikologis, dan beban kerja yang panjang dan banyak. Subordinasi dan streotipe juga telah merugikan kaum perempuan. Oleh karena itu, kaum perempuan seharusnya dapat diperhatikan dan dilindungi oleh negara dan masyarakat.

Penafsiran ajaran agama Islam yang keliru dan kebudayaan Jawa adalah faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender. Sebaiknya perlu adanya kajian yang kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam teks keagamaan dan kepercayaan masyarakat.


(4)

Novel PBS dapat menyadarkan masyarakat bahwa perempuan juga memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Subordinasi dan streotipe terhadap perempuan tidak dapat menjadi tameng untuk menempatkan posisi perempuan berada di bawah laki-laki.

Semangat dan keberanian tokoh Annisa juga diharapkan dapat dijadikan suatu dorongan bagi kaum perempuan untuk maju. Oleh karena itu, kaum perempuan harus mempunyai semangat seperti tokoh Annisa agar ketidakadilan terhadap perempuan dapat dihapuskan dalam masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja secara Seksual. Cetakan Kedua. Jakarta:

Gramedia.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djamil, Abdul. 2002. Bias Gender dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama Media.

Djannah, Fathul. 2002. Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta: Lkis Yogyakarta.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Media Pressindo.

Engineer, Asghar Ali. 1999. Matinya Perempuan: Transformasi Alquran, Perempuan dan Masyarakat Moderen (terj. Akhmad Affandi dan Muh. Ihsan). Yogyakarta: IRCISOD.

Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Cetakan Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Penelitian Gender. Cetakan

Ketiga. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang.

Iqbal, Muhammad (Ed.). 2003. Wanita Islam & Hak Asasi Manusia. Jakarta: Progres. Listiani dkk. 2002. Gender & Komunitas Perempuan Pedesaan: Kondisi Nyata yang

Terjadi di Lapangan. Medan: BITRA.

Luxemburg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (terj. Dick Hartoko). Jakarta :Gramedia.

Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender & Pembangunan (terj. Hartian Silawati). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhibbun. 2007. “ Ketidaksetiaan Istri untuk Melakukan Hubungan Seksual serta Kaitannya dengan Konsep Nusyuz” (Skripsi S1). Medan: Institut Agama Islam Negeri.


(6)

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajara Offset.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini (terj. Rachmat Djoko Pradopo). Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Subhan, Zaitunah. Kekerasan terhadap Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty.

Bandung: Penerbit Nuansa.

Sugihastuti. 2002. Teori dan Resepsi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---, 2005. Rona Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryadi, Linus. 1993. Regol Megal Megol: Fenomena Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset.

Suwondo, Tirto. 2001. “Analisis Struktural Salah Satu Pendekatan dalam Penelitian Sastra”. Dalam Jabrohim dan Ari Wulandari, (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Teuww, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Umar, Nasarudin. 2006. Akhlak Perempuan. Jakarta: Restu Ilahi.

Widati, Sri. 2001. “Kerangka Teoretis, Identifikasi Variabel, dan Hipotesis dalam Penelitian Sastra”. Dalam Jabrohim dan Ari Wulandari, (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.