BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Luxemburg
1989:6 mengatakan bahwa sastra menghidangkan sebuah sintesis antara hal-hal yang saling bertentangan. Salah satu bentuk pertentangan tersebut adalah pertentangan
antara laki-laki dan perempuan yang menarik untuk dikaji dalam ilmu sastra. Melalui sastra, pembaca dapat mengetahui mengenai masalah gender, seperti ketidakadilan
gender yang masih terjadi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan dapat disebabkan oleh pandangan masyarakat
yang terkadang menganggap kaum perempuan sebagai warga kelas dua sehingga secara tidak langsung memberikan dampak buruk terhadap kaum perempuan.
Pandangan tersebut dapat berasal dari budaya patriarki, yaitu budaya yang menyatakan bahwa kaum laki-laki dapat mengontrol kaum perempuan. Pada umumnya, masyarakat
Indonesia menganut budaya patriarki sehingga terjadilah pertentangan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Saat gerakan feminisme belum berkembang, keberadaan kaum perempuan masih kurang dihargai. Kaum perempuan masih dinomorduakan dari kaum laki-laki. Padahal,
kaum perempuan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Selain itu, perempuan juga seharusnya memiliki hak yang sama
dengan hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Diskriminasi terhadap kaum perempuan bukan hanya dapat dilihat dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam karya sastra juga banyak digambarkan tentang
Universitas Sumatera Utara
kehidupan perempuan yang berperan sebagai penderita. Endrawarsa 2008:114 mengatakan perempuan di mata laki-laki dan juga di mata sastrawan pria sekedar
obyek. Konsep ini telah membelenggu sehingga mendorong perempuan ke sudut: keterpurukan nasib.
Banyak penulis pria yang menjadikan tokoh perempuan sebagai obyek yang lemah. Kehidupan perempuan selalu saja hanya melingkupi area domestik atau
keluarga. Adakalanya perempuan hanya dijadikan obyek erotis bagi laki-laki dalam karya sastra mereka, seperti Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul
Yang Sudah Hilang, melukiskan tiga perempuan tetap pada nasib domestik mereka. Tidak ketinggalan WS Rendra yang melukiskan Maria Zaitun dalam puisi Nyanyian
Angsa, adalah potret nasib perempuan yang harus menjadi pelacur dan terkena penyakit raja singa.
Namun, setelah feminisme lahir dan berkembang, banyak penulis perempuan yang bangkit dan melahirkan karya sastra yang bernuansa gerakan emansipasi terhadap
perempuan. Salah satu karya sastra tersebut adalah novel Perempuan Berkalung Sorban selanjutnya disingkat PBS karya Abidah El Khalieqy. Novel PBS
mengangkat masalah ketidakadilan terhadap kaum perempuan sekaligus memberi solusi terhadap perempuan untuk lepas dari kekuasaan laki-laki.
Menurut Fakih 2004:12, ketidakadilan gender merupakan sistem atau struktur baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan
gender terjadi karena adanya perbedaan gender. Perbedaan gender adalah perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan di dalam masyarakat. Contohnya: laki-laki berperan sebagai suami dan kepala rumah tangga yang bertugas mencari nafkah, sedangkan perempuan berperan
Universitas Sumatera Utara
sebagai istri yang bertugas mengurus rumah tangga. Fungsi dan peran berdasarkan gender tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor sosial dan kebudayaan masyarakat.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan
gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terhadap kaum perempuan.
Ketidakadilan gender dimanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau pelabelan negatif, kekerasan fisik atau psikis, dan beban kerja yang panjang dan banyak.
Tokoh-tokoh dan masalah-masalah yang dimunculkan di dalam novel PBS menunjukkan adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan. Pada dasarnya novel
PBS menceritakan perjalanan hidup Annisa Nuhaiyyah sebagai tokoh utama yang selalu mengalami perlakuan tidak adil oleh keluarga dan suaminya, Samsudin. Sejak
kecil, Annisa telah dibebankan untuk melakukan pekerjaan domestik yang panjang dan banyak. Kehidupan Annisa lebih banyak dihabiskan di rumah dan di dapur padahal
Annisa ingin beraktivitas di luar rumah seperti kedua abangnya. Selain itu, Annisa juga mengalami marginalisasi yang disebabkan pendidikannya
yang hanya lulus SD sehingga Annisa tidak dapat bekerja. Oleh karena itu, setelah menikah dengan Samsudin, kesejahteraan Annisa dalam ekonomi harus bergantung
kepada suaminya. Ketergantungan tersebut juga menimbulkan kekerasan fisik dan psikologis terhadap Annisa.
Dalam novel
PBS terdapat subordinasi dan streotipe terhadap perempuan. Subordinasi yang menganggap perempuan tidak penting untuk mengeyam jenjang
pendidikan telah mengakibatkan Annisa hanya disekolahkan sampai SD. Streotipe-
Universitas Sumatera Utara
streotipe perempuan, seperti: perempuan itu suka menggoda dan sarang fitnah juga secara tidak langsung mengganggu perkembangan psikis Annisa.
Ketidakadilan terhadap Annisa dapat terjadi karena dua faktor, yaitu penafsiran ajaran agama Islam yang keliru dan tradisi kebudayaan Jawa. Di dalam novel PBS
dicantumkan ayat-ayat Alquran dan hadis yang mengatur mengenai soal perempuan, menstruasi, dan hubungan suami istri. Namun, ayat-ayat Alquran dan hadis yang
dalam novel PBS seakan-akan memojokan kaum perempuan karena hanya ditafsirkan secara tekstual saja tanpa ditafsirkan secara kontekstual. Akibatnya, tafsiran tersebut
mengisyaratkan pada ketidakadilan terhadap perempuan. Tekstual adalah berkenaan dengan teks, yaitu naskah yang berupa kata-kata asli
dari pengarang. Kontekstual adalah berkenaan dengan konteks, yaitu bagian suatu kalimat yang dapat menambah kejelasan makna atau situasi yang ada hubungannya
dengan suatu kejadian. Selain penafsiran ajaran agama Islam yang keliru, faktor lain yang
menyebabkan ketidakadilan gender dalam novel PBS adalah kebudayaan Jawa. Hal tersebut karena kebudayaan Jawa didominasi oleh budaya patriarki yang membentuk
pola pikir, tradisi, dan peraturan bagi perempuan yang merugikan kaum perempuan. Salah satunya adalah tradisi kawin paksa atau kawin di bawah umur.
Kawin paksa tidak hanya terjadi pada masyarakat Jawa saja. Masyarakat Minangkabau, Batak, Melayu, dan suku-suku lainnya di Indonesia juga memiliki
tradisi tersebut. Hal itu karena pada umumnya suku-suku di Indonesia menganut sistem patrilineal, yaitu sistem hubungan keturunan melalui garis kerabat pria atau
bapak saja. Sistem patrilineal membentuk kekuasaan kaum laki-laki untuk mengontrol kaum perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Tradisi kawin paksa juga dialami oleh Annisa dalam novel PBS. Annisa yang merupakan seorang perempuan Jawa dituntut untuk memiliki sifat yang penurut
terhadap orang tuanya. Selain itu, kebudayaan Jawa juga memiliki streotipe-streotipe perempuan, seperti kanca wingking yang artinya perempuan bertugas atau
berkewajiban memasak dan mengurus anak. Streotipe tersebut mengakibatkan Annisa dibebankan melakukan pekerjaan domestik yang panjang dan banyak.
Menyimak cerita kehidupan Annisa yang tidak pantang menyerah untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan, novel PBS sangat menarik untuk
diteliti. Selain itu, novel PBS bercerita mengenai kehidupan santriwati yang menjadikan novel ini berbeda dari novel sastra lainnya. Tokoh Annisa diciptakan
sebagai seorang santri yang berkepribadian kuat, berani, dan cerdas. Berbeda dengan santriwati pada umumnya yang selalu dicitrakan masyarakat sebagai muslimah yang
pasif, kehidupannya monoton, dan takut melawan segala peraturan kuno pesantren. Karakter Annisa dianggap mampu mewakili perjuangan seorang muslimah dalam
menegakkan emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis.
Selain itu, novel PBS berbeda dari novel-novel sastra lainnya karena mencantumkan tafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis mengenai perempuan. Tafsiran
tersebut dikritik oleh pengarang melalui tokoh Annisa dan Khudori karena dianggap misoginis atau membenci perempuan. Pengarang novel PBS mencoba menawarkan
pemikiran yang baru mengenai tafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis yang lebih adil terhadap perempuan.
Kelebihan novel PBS lainnya adalah novel PBS ditulis oleh seorang perempuan sehingga ceritanya juga dibangun berdasarkan pola pikir dan pengalaman seorang
perempuan. Apalagi Abidah sebagai pengarang novel PBS merupakan mantan
Universitas Sumatera Utara
santriwati sehingga mengenal dan merasakan secara langsung bagaimana kehidupan di pondok pesantren.
Melalui novel PBS, Abidah memberikan semangat feminisme kepada kaum perempuan untuk bangkit dan memperjuangkan hak-hak mereka yang dirampas oleh
orang-orang yang patriarkis. Novel PBS yang mengangkat masalah perempuan dan masalah keagamaan Islam telah memberi sumbangan dalam dunia sastra dan
menambah khazanah keanekaragaman novel di negeri ini. Novel PBS secara tidak langsung juga menimbulkan semangat masyarakat dan
pemerintah untuk mencari solusi dan merancang langkah-langkah memperbaiki nasib perempuan Indonesia agar menjadi lebih baik. Novel PBS dapat menjadi perintis bagi
perempuan agar terus berjuang untuk keadilan kaum perempuan dalam masyarakat. Perempuan yang membaca novel PBS akan lebih bijak dan tidak menyerah dalam
mencari solusi terhadap praktik-praktik dominasi tokoh antagonis yang bersifat patriarkis.
Penelitian ini menguraikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh utama dan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender dalam novel
PBS. Masalah-masalah tersebut dianalisis berdasarkan kritik sastra feminisme.