Penentuan Kisaran Substitusi TPM
                                                                                24 yang melaporkan bahwa pati alami pisang tanduk mengandung RS sebesar 6.38, dan pati pisang
tanduk  yang  mengalami  fermentasi  24  jam  dan  retrogradasi  meningkat  hingga  15.24. Peningkatan kadar pati resisten TPM disebabkan terjadinya perubahan derajat polimerisasi amilosa
dan linierisasi amilopektin akibat hidrolisis oleh amilase dan asam  yang  diproduksi  oleh mikroba amilolitik  dan  bakteri  asam  laktat  selama  fermentasi  spontan  24  jam.  Linierisasi  amilopektin
menggunakan  asam  organik  asam  laktat  dan  enzim  pululunase  secara  signifikan  meningkatkan pembentukan pati resisten selama pemanasan pada suhu otoklaf Sajilata et al. 2006.
Meningkatnya  kadar  RS  TPM  dibandingkan  dengan  tepung  pisang  uli  alami  juga disebabkan  oleh  pati  yang  mengalami  retrogradasi.  Proses  retrogradasi  terjadi  akibat  pemanasan
menggunakan otoklaf diikuti proses pendinginan. Lehmann et al. 2002 melaporkan bahwa proses hidrolisis-debranching-retrogradasi pati alami  pisang dengan kandungan RS tipe 3 sebesar 5.9-
6.5 meningkat hingga mencapai 47.5-50.6. Rendahnya kadar RS pada tepung pisang alami karena kemungkinan RS yang terukur pada
pati pisang uli alami tanpa perlakuan modifikasi adalah RS tipe 2 yang secara alami terdapat pada pati  pisang,  sedangkan  RS  yang  terdapat  pada  tepung  pisang  uli  yang  telah  dimodifikasi  secara
fisik adalah RS tipe 3. Menurut Englyst dan Cummings 1987, RS yang terukur pada pati akibat proses siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan hanya RS tipe 3, karena RS tipe 1 tidak mungkin
terdapat  pada  pati  yang  telah  dimurnikan  dan  RS  tipe  2  tidak  akan  tahan  lama  terhidrolisis  dan terlarut terhadap perlakuan enzim α-amilase tahan panas pada saat analisis RS.
Tepung  pisang  modifikasi  mengandung  9.84  serat  tidak  larut  dan  6.67  serat  larut. Kadar  serat  pangan  tidak  larut  TPM  lebih  besar  dibandingkan  dengan  serat  larutnya.  Menurut
Ranhotra  et  al.  1991,  RS  terukur  sebagai  serat  tidak  larut.  Hal  ini  diperkuat  oleh  Haralampu 2000 bahwa RS teranalisis sebagai serat tidak larut tetapi memiliki fungsi fisiologis sebagai serat
larut.  Hal  inilah  yang  menyebabkan  kadar  serat  tidak  larut  pada  TPM  lebih  tinggi  dibandingkan dengan serat larutnya.
Derajat  putih  suatu  bahan  merupakan  kemampuan memantulkan cahaya  dari  bahan  tersebut terhadap  cahaya  yang  mengenai  permukaannya.  Produk  tepung-tepungan  biasanya  diharapkan
memiliki derajat putih  yang tinggi. Tepung pisang modifikasi memiliki derajat putih  yang rendah yaitu  sebesar  17.20.  Hal  ini  karena  terjadinya  reaksi  pencoklatan  selama  otoklaf  dan
pengeringan. Nilai  rendemen  merupakan  parameter  yang  sangat  penting  untuk  mengetahui  nilai
ekonomis  suatu produk. Semakin  tinggi rendemennya,  maka akan  semakin tinggi nilai  ekonomis produk  tersebut  dan  sebaliknya.  Perhitungan  rendemen  tepung  pisang  yang  didapat  berdasarkan
perbandingan  antara  berat  tepung  pisang  dengan  pisang  yang  telah  dikupas  adalah  19.31. Judoamidjojo  dan  Lestari  2002  melaporkan  rendemen  tepung  pisang  uli  tertinggi  39.6
dibandingkan dengan pisang nangka 30.02 dan pisang siam 30.11.