Latar Belakang Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1957 ─1967 yang dilengkapi dengan Waduk Juanda dan sistem irigasi yang mampu mengairi daerah pertanian seluas kurang lebih 240 000 hektar. Tujuan awal pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya terkait dengan 1 penyediaan pangan yang dilakukan melalui peningkatan produktivitas lahan dan pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum, dan 2 pengendalian banjir. Sejalan dengan perkembangannya, pemanfaatan Daerah Irigasi Jatiluhur telah berubah dari tujuan awalnya, yaitu sebagai pemasok air bagi kepentingan air minum, rumah tangga, municipal , dan industri domestic, municipal, and industry-DMI, serta pembangkit listrik tenaga air PLTA Perum Jasa Tirta II, 2007. Seiring dengan perkembangan nasional dan daerah, wilayah Daerah Irigasi Jatiluhur secara perlahan tumbuh menjadi wilayah perkotaan dan industri dengan jumlah penduduk yang meningkat pesat , yang menuntut kebutuhan akan air yang lebih besar bila dibandingkan keadaan sebelumnya. Ketersediaan sumberdaya air di wilayah tersebut menjadi sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sehingga mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik regional maupun nasional. Pelayanan irigasi Daerah Irigasi Jatiluhur telah memberikan sumbangan terhadap peningkatan produksi pertanian, terutama padi, sebesar 6 persen dari stok pangan nasional BPS, 2004. Pengelola sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur sampai saat ini dilaksanakan oleh berbagai institusi, dimana pelaksanaannya belum sesuai dengan yang diharapkan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air yang mengacu pada pengelolaan sumberdaya air secara terpadu dengan mempertimbangkan penggunaan sumberdaya tersebut dalam kaitannya dengan kegiatan dan fungsi sosial dan ekonomi, serta prasarana pengairan yang diperlukan. Hal ini tampak dari sarana pelayanan irigasi dan non- irigasi sudah berumur 50 tahun dan sudah tidak berfungsi dengan baik karena pemeliharaan yang kurang optimal. Dengan unit pembangkit listrik tenaga air juga sudah berumur 50 tahun itu, biaya operasi dan pemeliharaannya semakin tinggi sehingga efisiensi penggunaan pembangkit listrik tenaga air sudah menurun. Pada musim kemarau sumber air telah berkurang yang menyebabkan penurunan kapasitas saluran akibat sedimentasi dan banyaknya air yang hilang sebagai konsekuensi dari rusaknya saluran. Penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II bersumber dari air di Waduk Juanda yang menghasilkan listrik dari pembangkit listrik tenaga air, perusahaan daerah air minum kabupatenkota, dan industri, yang digunakan untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan setiap tahunnya ternyata tidak mencukupi. Penerimaan dari pembangkit listrik tenaga air dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan, tetapi penerimaan dari perusahaan daerah air minum kabupatenkota dan industri lebih kecil dari pada biaya yang dikeluarkan Perusahaan Umum Jasa Tirta II untuk biaya operasi dan pemeliharaan Tabel 1. Tarif yang diberlakukan tidak berdasarkan pada tarif seperti yang diharapkan, tetapi merupakan penetapan Pemerintah tanpa mempertimbangkan biaya riil operasi dan pemeliharaan untuk pengelolaan sarana dan prasarana air tersebut. Rendahnya penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II disebabkan oleh penentuan tarif listrik, air baku untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dan perusahaan daerah air minum kabupatenkota, serta industri tarifnya ditetapkan Pemerintah yang diperkirakan terlalu rendah. Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Perum Jasa Tirta II Menurut Wilayah Tahun 2001-2007 No. Wilayah Nilai Keuntungan dan Kerugian Rp miliar 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. PLTA 66.99 77.21 40.18 60.14 87.90 87.43 87.33 2. Tarum Timur -1.66 -1.46 -2.64 -1.49 -3.73 -4.30 -4.30 3. Tarum Utara -6.44 -5.45 -6.61 -6.90 -8.47 -9.48 -10.27 4. Tarum Barat -9.71 -8.98 -9.23 -9.68 -12.82 -7.64 -15.90 5. Perusahaan Air Minum DKI Jakarta 13.74 18.06 25.04 27.73 35.98 45.92 45.53 6. Total 62.92 79.38 46.73 69.81 98.86 111.92 102.37 Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008 Sebagai contoh tarif yang ditetapkan pemerintah, untuk listrik sebesar Rp 137.77kWh, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar Rp 127.23m 3 , sementara itu, tarif perusahaan daerah air minum kabupatenkota sebesar Rp 45m 3 dan tarif industri sebesar Rp 50m 3 . Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008. Untuk kepentingan irigasi, menurut Undang-undang tidak dikenakan tarif. Akibatnya Perusahaan Umum Jasa Tirta II tidak mampu melaksanakan tugas dalam melakukan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi di Daerah Irigasi Jatiluhur untuk dapat memasok air kepada semua pemangku kepentingan dengan baik. Biaya operasi dan pemeliharaan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II selama 7 tahun, bukan merupakan biaya operasi dan pemeliharaan yang seharusnya, melainkan biaya yang disesuaikan dengan kondisi keuangan perusahaan terutama biaya pemeliharaan yang bersifat darurat, misalnya mengurangi kebocoran di seluruh jaringanPerusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008. Kegiatan operasi diutamakan untuk mengatur air agar tidak terjadi konflik kepentingan, melakukan alokasi air agar dapat dilakukan secara efisien, dan melaksanakan pengawasan terhadap masyarakat dalam pemanfaatan air. Pemeliharaan dilakukan terhadap prasarana yang ada agar saluran dapat berfungsi lebih baik. Pemeliharaan yang bersifat permanen dan rehabilitasi infrastruktur di Daerah Irigasi Jatiluhur masih ditangani oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Infrastruktur yang ada ketika penelitian ini dilakukan hanya berfungsi sekitar 60 ─70 persen dari kondisi ideal Nippon Koei, 2006. Nippon Koei mengemukakan bahwa biaya untuk pemeliharaan dan rehabilitasi seluruh komponen jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab perusahaan belum dapat dilakukan, sedangkan rehabilitasi saluran induk Tarum Timur, Tarum Utara, dan Tarum Barat, serta saluran sekundernya agar dapat berfungsi ke kondisi ideal ternyata memerlukan biaya lebih dari US200.00 juta yang dilaksanakan selama 5 tahun. Kondisi sarana yang kurang memadai, karena menurunnya debit sungai Citarum dan mengeringnya sungai-sungai lain di Daerah Irigasi Jatiluhur, terutama pada musim kemarau, telah mengakibatkan pelayanan Perusahaan Umum Jasa Tirta II tidak dapat menjangkau seluruh wilayah pelayanan untuk semua sektor, khususnya irigasi. Permintaan akan air baku untuk sektor perusahaan daerah air minum kabupatenkota dan industri dari tahun ke tahun meningkat terus. Perusahaan Umum Jasa Tirta II telah melakukan perjanjian kerja sama dengan perusahaan daerah air minum kabupatenkota dan industri. Pasokan air ke pengguna tersebut akan menjadi prioritas dan memberikan penerimaan yang dapat digunakan untuk menutupi biaya operasional perusahaan. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan antara perusahaan dan sektor-sektor pengguna air Katiandagho, 2007. Kondisi ini membutuhkan pengelolaan sumberdaya air secara lebih efisien untuk memenuhi seluruh sektor pengguna air, baik pertanian maupun non pertanian. Perum Jasa Tirta II mempunyai peran yang penting dalam mengelola sumberdaya air tersebut. Peningkatan penduduk dan pertumbuhan perkotaan di sekitar Daerah Irigasi Jatiluhur telah menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air. Selain debit dan sarana yang menjadi penyebab layanan kurang maksimal, pertambahan penduduk di wilayah hilir Sungai Citarum menyebabkan peningkatan permintaan air terutama dari sektor non-pertanian. Jumlah penduduk yang terus meningkat dan pertumbuhan di bidang industri menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan air. Sistem jaringan yang semula dirancang untuk penyediaan air irigasi, sebagian dialihkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Oleh sebab itu, air di wilayah Sungai Citarum menjadi sumberdaya yang langka scarce dan telah menjadi komoditas ekonomi yang mempunyai posisi strategis dan menjadi suatu ‘bisnis yang serius’ Bloomquist, 1992. Wilayah sekitar Citarum yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jumlah penduduk yang besar, dan kurang memiliki sumber air, menimbulkan peluang bagi air untuk diperlakukan sebagai barang ekonomi economic good sebagaimana yang diproklamasikan di dalam konferensi air di Dublin, Irlandia pada tahun 1992. Dengan demikian, wilayah sekitar Citarum dan DKI Jakarta merupakan pasar air water market bagi air Sungai Citarum dan air akan mempunyai nilai yang cukup berarti. Permasalahan yang dialami penyediaan air di Waduk Juanda Jatiluhur juga terjadi di berbagai negara lainnya, seperti Bendungan Aswan di Sungai Nil, Mesir, peningkatan penduduk, pertumbuhan perkotaanm, dan indusrinya menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air. Sistem jaringan yang dirancang untuk penyediaan air untuk irigasi dialihkan sebagian untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Peralihan itu telah menyebabkan kelangkaan air dan air menjadi barang ekonomi. Penetapan besaran nilai air dan alokasinya untuk setiap sektor menjadi permasalahan pengelola Barder, 2004. Permasalahan yang sama terjadi juga di Daerah Irigasi Kirindi Oya, India, yang sumber airnya berasal dari Waduk Lunuganwehera. Waduk ini mengairi 5 400 hektar dengan kapasitas waduk 227 juta meter kubik dan kapasitas terpakai mencapai 200 juta meter kubik. Perubahan penggunaan air terjadi juga di daerah irigasi ini dan ditanggapi dengan perubahan sistem jaringan dimana jaringan dibagi dua, yaitu untuk memasok kebutuhan domestik, industri dan irigasi .

1.2 Perumusan Masalah