Sumber: APKI, diolah 2011
Gambar 2. Perkembangan Konsumsi Pulp dan Kertas di Indonesia Tahun 1989-2011
Walaupun konsumsi pulp dan kertas Indonesia masih sedikit namun dapat dilihat dari Gambar 2 bahwa terjadi peningkatan konsumsi pulp dan kertas di
Indonesia. Konsumsi pulp di Indonesia diharapkan meningkat seiring dengan berkembangannya industri percetakan, dan jumlah penduduk di Indonesia.
2.5. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Industri Pulp dan Kertas
Dalam rangka meningkatkan peranan industri pulp dan kertas dalam memenuhi kebutuhan di Indonesia, pemerintah telah menetapkan berbagai
kebijakaan mulai dari tahun 1980 sampai sekarang. Kebijakan tersebut dapat dilihat pada keterangan berikut:
2.5.1. Kebijakan tahun 1980 sampai 1997
Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan pada Mei 1980 melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Menteri Pertanian nomor
317KpstUm51980, Menteri Perindustrian nomor 182mSKS1980 dan Menteri Perdagangan nomor 196KpbV80. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk
melindungi kuantitas hutan negara Indonesia untuk tidak terjadi eksploitasi besar- besar demi memperoleh bahan kayu yang kemungkinan untuk diekspor oleh
industri-industri luar negeri karena keinginan pemerintah yang berharap industri dalam negeri dalam menghasilkan produk jadi maupun setengah jadi meningkat.
Setelah diberlakukan kebijakan tersebut terjadi beberapa dampak positif seperti tumbuhnya industri kayu dalam negeri yang digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan produk olahan kayu seperti pulp dan kertas dan meningkatnya ekspor produk barang jadi maupun setengah jadi.
1 2
3 4
5 6
7 8
J uta
t o
n
Tahun
Konsumsi Pulp Konsumsi Kertas
Kebijakan perdagangan dan impor ditetapkan oleh pemerintah guna memantapkan kebijakan pengembangan industri pulp dan kertas domestik,
pemerintah membuat beberapa perubahan dalam kebijakan perdagangan pulp dan kertas Indonesia yang tercantum pada SK Menteri Keuangan RI nomor
213KMK.011995 dimana isinya pada tahun 1995 bea masuk impor pulp diturunkan dari 5 persen menjadi 0 persen, bea masuk impor kertas tulis cetak 30
persen ditambah biaya tataniaga diturunkan menjadi 0 persen, bea masuk impor kertas industri dan kertas tisu 30 persen ditambah biaya tata niaga diturunkan
menjadi 15 persen, akan tetapi bea masuk impor kertas koran 5 persen ditambah biaya tataniaga, tetap 5 persen.
2.5.2. Kebijakan pada tahun 1998-2001
Setelah krisis ekonomi tahun 1997, International Monetary Fund IMF melakukan desakan kepada pemerintah Indonesia untuk dilakukannya pembebasan
larangan ekspor kayu bulat. Hal ini berdampak negatif pada kondisi hutan di Indonesia karena kemungkinan akan terjadi pengekplotasian kayu untuk memenuhi
permintaan kayu dari negara luar, setelah itu terdapat kebijakan lain seperti tidak ada pembatasan pelaku ekspor dan dampak negatif yang terjadi pada tahun tersebut
adalah maraknya illegal logging dan illegal trading terhadap kayu. dan banyak industri-industri hilir mengalami kesulitan bahan baku kayu.
2.5.3. Kebijakan pemerintah pada tahun 2001-sekarang
Pada tanggal 8 Oktober 2001, Pemerintah Indonesia kembali melarang ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Kehutanan Nomor:
1132Kpts-II2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292MPPKep102001. Tujuannya disebutkan untuk mencegah dimanfaatkannya
kebijakan ekspor kayu bulatbahan baku serpih oleh pelaku penebangan liar illegal logging
dan perdagangan gelap illegal trading yang mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kerusakan lingkungan di Indonesia adalah serta menjamin
ketersediaan pasokan bahan baku kayu untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu seperti pulp dan kertas di dalam negeri.
Pada tanggal 21 Mei 2003, pemerintah menetapkan suatu kebijakan dalam mengatasi kekurangan bahan baku kayu dalam industri pulp dan kertas. Kebijakan
nomor 162Kpts-II2003 berisikan tentang percepatan pembangunan Hutan