19
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai efek hepatoprotektif ekstrak etanol 90 daun jarong terhadap kadar ALT-AST pada tikus jantang galur Wistar terinduksi karbon
tetraklorida merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variabel bebas. Variabel bebas penelitian ini adalah variasi dosis
dalam ekstrak etanol 90 daun jarong. b.
Variabel tergantung. Variabel tergantung penelitian ini adalah nilai kadar ALT-AST tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon
tetraklorida setelah pemberian ekstrak etanol 90 daun jarong.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali. Hewan uji yang digunakan, yaitu
tikus jantan galur Wistar yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 160-250 g, cara pemejanan senyawa, cara pemberian ekstrak secara per
oral, frekuensi waktu pemberian ekstrak, dan letak pengambilan daun jarong.
.
b. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali
adalah Kondisi patologis dari tikus jantan galur Wistar.
3. Definisi operasional
a. Daun Stachytarpheta indica. Daun Stachytarpheta indica yang
diambil dari tanaman Stachytarpheta indica adalah daun yang berwarna hijau, segar, dan tidak rusak. Daun diambil ketika tanaman sudah
memiliki bunga dan berada dibagian tengah tumbuhan yaitu sekitar tiga daun dari atas dan tiga daun dari dasar tumbuhan Purwantisari, 2014.
b. Ekstrak etanol 90 daun Stachytarpheta indica. Ekstrak etanol
90 daun Stachytarpheta indica didapatkan dengan cara merendam memaserasi simplisia kering daun jarong ke dalam etanol 90
kemudian dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotary evaporator dan diuapkan dengan waterbath hingga bobot tetap.
c. Efek hepatoprotektif. Efek hepatoprotektif merupakan kemampuan
ekstrak Stachytarpheta indica dengan dosis tertentu yang diberikan dengan dosis tertentu yang melindungi hati dengan cara menurunkan
kadar ALT-AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.
d. Waktu pengukuran efek hepatoprotektif. Didefinisikan sebagai
selang waktu enam jam pemberian ekstrak etanol daun jarong kepada hewan uji, kemudian dipejankan CCl
4
dan 24 jam setelah pemejanan CCl
4
dilakukan pengukuran ALT-AST.
e. Dosis efektif. Didefinisikan sebagai sejumlah miligram per
kilogram berat badan mgkgBB ekstrak etanol daun jarong yang memiliki hepatoprotektif yang paling mendekati 100 bila dihitung
dari kadar ALT. f.
ALT-AST. ALT-AST adalah enzim yang ditemukan di dalam serum, yang mengindikasikan adanya kerusakan fungsi hati.
C. Bahan Penelitian
1. Bahan utama
a. Hewan uji. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tikus jantan galur Wistar yang berusia 2-3 bulan dengan berat badan 160- 250 g yang diperoleh dari daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Bahan uji. Bahan uji yang digunakan yaitu serbuk daun
Stachytarpheta indica yang diperoleh dari kebun Tanaman obat Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma. Daun dipanen pada bulan Juli- Agustus.
2. Bahan kimia
a. Hepatotoksin. Karbon Tetraklorida p.a bermerek Merck
®
. b.
Kontrol negatif. Olive oil bermerek Cesar. c.
Pelarut ekstrak. Pelarut ekstrak yang digunakan adalah etanol 96 dan aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma.
d. Pelarut hepatotoksin. Pelarut hepatotoksin adalah olive oil
bermerek Cesar. e.
Reagen ALT dan AST. Reagen yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys dan reagen AST DiaSys.
D. Alat Penelitian
1. Alat preparasi dan pembuatan ekstrak etanol daun Stachytarpheta Indica
Moisture balance , cawan porselen, panci enamel, termometer,
stopwatch , gelas Beaker, gelas ukur, batang pengaduk, penangas air, timbangan
analitik, dan kain flannel.
2. Alat pengujian hepatoprotektif
Gelas Beaker, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, pipet tetes, batang pengaduk Pyrex Iwaki Glass
®
, timbangan analitik Mettler Toledo
®
, vortex Genie Wilten
®
, spuit injeksi per oral untuk tikus, spuit injeksi intraperitonial, pipa kapiler, tabung Eppendorf, Sentrifuge, Microvitalab 200 Merck
®
, Blue tip, dan Yellow tip.
E. Tata Cara Penelitian
1. Determinasi tanaman jarong
Tanaman jarong yang diperoleh dari kebun obat kampus III Universitas Sanata Dharma, Paingan, Maguwoharjo. Tanaman jarong dideterminasi dengan
mencocokkan morfologi tanaman jarong mengacu pada Steenis, 1992.
2. Pengumpulan bahan uji
Bahan uji yang dipilih adalah daun dari tanaman jarong yang hijau, segar, dan tidak rusak. Daun diperoleh dari tanaman jarong yang berada di Kebun
Tanaman Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
3. Pembuatan serbuk
Daun jarong disortasi dan dicuci bersih dengan air mengalir. Setelah bersih, daun diangin-anginkan hingga tidak tampak basah kemudian dilakukan
pengeringan menggunakan oven pada suhu 40
o
C selama 48 jam. Setelah benar- benar kering, simplisia daun diserbuk dan diayak menggunakan ayakan nomor 40
supaya kandungan fitokimia dalam daun jarong lebih mudah terekstrak karena luas permukaan serbuk yang kontak dengan pelarut semakin besar.
4. Penetapan kadar air serbuk daun jarong
Serbuk daun jarong dimasukkan ke dalam alat moisture balance sebanyak 5 g, lalu diratakan. Bobot serbuk tersebut ditetapkan sebagai bobot
sebelum pemanasan, setelah itu dipanaskan pada suhu 105
o
C. Serbuk yang telah dipanaskan ditimbang kembali lalu dihitung sebagai bobot setelah pemanasan.
Pengukuran kadar air dilakukan replikasi sebanyak tiga kali. Menurut BPOM RI Kadar air serbuk diperoleh menggunakan rumus:
5. Pembuatan ekstrak kental daun jarong
Metode yang digunakan dalam pembuatan ekstrak kental adalah dengan memaserasi Serbuk daun jarong dengan etanol 90. Ekstrak cair yang diperoleh
diuapkan dengan vacuum rotary evaporator selanjutnya diuapkan kembali dalam
cawan porselen di atas waterbath sehingga didapatkan ekstrak kental dengan bobot tetap. Pembuatan ekstrak dilakukan replikasi tiga kali. Menurut Farmakope
Herbal Indonesia, ekstrak kental diperoleh ketika bobot tetap tercapai, yakni apabila perbedaan dua kali penimbangan berturut-turut setelah dikeringkan selama
1 jam tidak melebihi 0,5 mg pada penimbangan dengan menggunakan timbangan analitik.
6. Uji tabung kandungan polifenol
Uji kandungan polifenol dilakukan pada Serbuk daun jarong yang telah diuji kadar airnya. Uji dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes larutan
FeCl
3
pada ekstrak cair. Terbentuknya warna hijau-biru menunjukkan hasil positif
adanya polifenol Simaremare, 2014.
7. Penetapan dosis ekstrak etanol daun jarong.
Dasar penetapan peringkat dosis adalah bobot tertinggi tikus dan pemberian secara peroral separuhnya yaitu 2,5 mL. Penetapan dosis tertinggi
ekstrak etanol daun jarong. adalah: D x BB = C x V
D x BB tertinggi tikus kgBB = C ekstrak mgmL x 0,5 Vmax 2,5 mL D = x mgkg BB
Keterangan: D= Dosis ekstrak
C= Konsentrasi ekstrak V= Volume pemberian
Terdapat tiga peringkat dosis, dua dosis didapatkan dengan menurunkan 2 kalinya dari dosis tertinggi.
8. Pembuatan CMC-Na 1
CMC-Na 1 dibuat dengan mendispersikan lebih kurang 1,0 g CMC-Na yang telah ditimbang secara saksama, kemudian dilarutkan dengan 100 mL
aquadest. CMC-Na yang dibuat digunakan untuk melarutkan ekstrak kental etanol 90 daun jarong.
9. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50
Larutan karbon tetraklorida dibuat dengan melarutkan cairan karbon tetraklorida p.a dalam olive oil dengan perbandingan volume karbon tetraklorida
dan olive oil yakni 1:1 atau konsentrasi 50. Pembuatan karbon tetraklorida mengacu pada penelitian Janakat dan Al-Merie 2002.
10. Uji pendahuluan
a. Penetapan dosis hepatoksik. Penetapan dosis hepatotoksin
dilakukan mengacu penelitian yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie 2002 yang menyebutkan bahwa dosis hepatotoksin karbon tetraklorida
pada perbandingan CCl
4
dengan volume olive oil 1:1 yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati tikus jantan galur Wistar adalah 2
mLkgBB. b.
Penetapan waktu
pencuplikan darah.
Penetapan Waktu
pencuplikan darah dilakukan dengan cara orientasi pada tiga kelompok perlakuan waktu, yakni pada waktu ke- 0, 24, dan 48 jam. Kemudian
diukur kenaikan kadar AST-ALT. Menurut Janakat dan Al-Merie 2002, terjadi peningkatan kadar ALT pada tikus yang terinduksi karbon
tetraklorida yang dilarutkan dalam olive oil dengan perbandingan 1:1, yakni dengan dosis 2 mLkgBB.
11. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji
Tikus jantan galur Wistar yang digunakan sebagai hewan uji adalah sebanyak 30 ekor yang dibagi kedalam enam kelompok secara acak sama banyak.
Kelompok I merupakan kelompok kontrol hepatotoksin yang diberi larutan karbon tetraklorida dalam olive oil 1:1 dengan dosis 2 mLkgBB secara i.p.
kemudian setelah 24 jam pemberian hepatotoksin dilakukan pengukuran kadar ALT dan AST. Pada Kelompok II kelompok kontrol negatif diberi olive oil
dosis 2 mLkgBB secara i.p. Dilakukan pengukuran kadar ALT dan AST pada jam ke-0 sebelum diberi olive oil dan jam ke-24 setelah diberi olive oil. Kelompok
III kelompok kontrol ekstrak etanol yakni diberi ekstrak etanol 90 daun Stachytarpheta indica
L. Vahl. dengan dosis ekstrak 400mgkgBB secara peroral. Kemudian setelah enam jam pemberian ekstrak dilakukan pengukuran
kadar ALT dan AST. Kelompok IV-VI kelompok perlakuan uji yang diberikan ekstrak etanol daun Stachytarpheta indica L. Vahl. Dengan dosis bertingkat
yakni 100; 200; dan 400 mgkgBB kemudian enam jam setelah pemberian ekstrak etanol 90 dilakukan induksi dengan karbon tetraklorida dengan dosis 2
mLkgBB secara i.p. Janakat dan Al-Merie, 2002. Dilakukan pengambilan darah pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan kadar ALT dan AST pada jam
ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida.
12. Pembuatan serum
Darah yang diambil dari sinus orbitalis mata tikus kemudian ditampung dalam tabung eppendrof dan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 15 menit. Bagian supernatannya diambil menggunakan mikro pipet dan kemudian ditampung kedalam tabung
eppendrof berbeda untuk kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan
8.000 rpm selama 10 menit. Kemudian dilakukan pengukuran terhadap kadar AST-ALT-nya Kuncoro, 2015.
13. Pengukuran kadar ALT-AST
Tahap analisis ALT dilakukan dengan mengambil sejumlah 100 µL serum dicampurkan dengan 1000 µL reagen I dan divortex selama 5 detik. Campuran
didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur dengan 250 µL reagen II dan divortex selama 5 detik. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit
berselang dari pemberian reagen II. Tahap analisis AST dilakukan dengan cara yang sama, yakni dengan mengambil sejumLah 100 µL serum dicampurkan
dengan 1000 µL reagen I dan divortex selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur dengan 250 µL reagen II dan divortex
selama 5 detik. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit berselang dari pemberian reagen II. kadar ALT dan AST dinyatakan dalam satuan UL.
Kadar enzim yang terjadi diukur pada panjang gelombang 340 nm, pada suhu 37ºC. Pengukuran kadar ALT-AST dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Kuncoro, 2015.
F. Tata Cara Analisis Hasil
Data kadar dari ALT dan AST serum diperoleh dilakukan analisis untuk mengetahui apakah terdistribusi normal atau tidak yaitu dengan Shapiro Wilk
karena sampel di bawah 50. Selanjutnya dilakukan uji Le vene’s test untuk
mengetahui homogenitas varian data antar kelompok sebagai syarat parametrik. Apabila hasil yang diperoleh distribusi normal, kemudian dilanjutkan dengan
analisis pola searah One Way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95 untuk mengetahui perbedaan dari masing-masing kelompok. Di lakukan Post Hoc Tukey
untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara masing-masing kelompok untuk data berdistribusi normal dan variansi homogen. Jika data yang diperoleh
berdistribusi normal dan variansi tidak homogen maka dilakukan Post Hoc Games Howell
untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara masing-masing kelompok untuk data. Perbedaan dikatakan bermakna signifikan bila memiliki
nilai p0.05, sedangkan tidak bermakna tidak signifikan bila p0,05. Bila data kadar ALT dan AST yang diperoleh tidak normal, maka
dilakukan uji Kruskall-Wallis. Selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antar kelompok. Perbedaan dikatakan
bermakna signifikan bila memiliki nilai p0,05, sedangkan tidak bermakna tidak signifikan bila p0,05. Perhitungan persen efek hepatoprotektif terhadap
hepatotoksin karbon tetraklorida diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
Wakchaure, Jain, Singhai, and Somani, 2011.
29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun jarong dengan pelarut 90 dan kekerabatan antar dosis yang diberikan
terhadap kadar ALT-AST serta mengetahui besar dosis efektif hepatoprotektif dari ekstrak etanol daun jarong 90 pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi
karbon tetraklorida. Pengamatan dilakukan dengan Pemberian ekstrak dilakukan dalam kurun waktu enam jam kemudian dipejankan karbon tetraklorida dan pada
jam ke 24 setelah pemejanan karbon tetraklorida diukur kadar ALT-AST. Penurunan kadar ALT-AST pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon
tetraklorida setelah pemberian ekstrak etanol 90 daun jarong menunjukkan bahwa terdapat efek hepatoprotektif.
Pengamatan hasil penelitian ini dapat tercapai meliputi determinasi tanaman daun Jarong, penetapan kadar air serbuk kering daun Jarong, penentuan
dosis hepatotoksin karbon tetraklorida, penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji, uji kontrol negatif olive oil, uji kontrol ekstrak daun Jarong, uji efek
hepatoprotektif ekstrak etanol 90 daun Jarong dengan dosis : 100, 200 dan 400 mgkgBB.
A. Penyiapan Bahan
1. Determinasi Tanaman
Tujuan dari determinasi tanaman adalah untuk memastikan bahwa bagian tanaman yang digunakan dalam penelitian merupakan daun jarong. Daun yang