permukaan absorpsi yang sangat luas sehingga obat dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik secara cepat Staf pengajar departemen farmakologi fakultas
kedokteran universitas sriwijaya, 2009. Obat yang dipejankan dengan rute intraperitoneal pasti akan mengalami first pass metabolism, tidak seperti rute
intramuskular atau subkutan yang terdapat pada golongan administrasi ekstravaskular Hau and Schapiro, 2002. Karbon tetraklorida pada penelitian ini
dipejankan secara i.p. Hal ini memungkinkan hepatotoksin ini untuk mengalami metabolisme oleh sitokrom P450 yang terdapat pada sel hepatosit hati menjadi
radikal toksik sehingga dapat menginduksi kerusakan hati berupa steatosis. Olive oil
berfungsi sebagai pelarut karbon tetraklorida karena bersifat non toksik dan dapat melarutkan senyawa nonpolar seperti karbon tetraklorida Strickley, 2004.
2. Penentuan dosis ekstrak etanol 90 daun jarong
Penentuan dosis ekstrak etanol 90 daun jarong mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Joshi et al., 2010 yang menyebutkan bahwa dosis
efektif ekstrak etanol daun jarong adalah 200 mgkgBB. Dosis ini ditetapkan sebagai dosis tengah. Pada penelitian ini digunakan tiga peringkat dosis dengan
faktor kelipatan 2 sehingga dosis rendah 100 mgkgBB, dosis tengah 200 mgkgBB, dan dosis tinggi 400 mgkgBB.
3. Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji
Tujuan dilakukan penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji dilakukan untuk mengetahui waktu terjadinya kerusakan yang paling besar pada
organ hati yang ditandai dengan peningkatan kadar serum ALT dan AST yang paling besar tanpa menyebabkan kematian hewan uji. Karbon tetraklorida dengan
dosis 2 mlkgBB diberikan ke tikus jantan galur Wistar secara i.p, kemudian dilakukan pencuplikan darah pada sinus orbitalis hewan uji pada jam ke-0, 24, dan
48 jam pasca pemberian CCl
4
. Uji kadar ALT tertera dalam tabel I dan gambar 9.
Tabel I. Purata kadar ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 n=3
Waktu pencuplikan
jam ke- Purata kadar ALT ±
SE UI 60,80 ± 2,27
24 181,40 ± 6,40
48 74,20 ± 1,99
Keterangan : SE = Standart Error
Gambar 8. Diagram batang purata kadar ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB
Hasil pengukuran kadar ALT pada jam ke-0, 24, dan 48 berturut-turut adalah 60,80 ± 2,27; 181,40 ± 6,40 dan 74,20 ± 1,99 UI. Hasil statistik uji T
berpasangan menunjukkan kadar ALT serum pada jam ke-0 berbeda bermakna p=0,000 dengan kadar ALT pada jam ke-24, kadar ALT serum pada jam ke-0
berbeda bermakna p=0,014 dengan kadar ALT pada jam ke-48, dan kadar ALT
serum pada jam ke-24 berbeda bermakna p=0,000 dengan kadar ALT pada jam ke-48. Analisis statistik uji T berpasangan dilakukan untuk melihat perbedaan
antara kondisi sebelum menerima pelakuan pencuplikan jam ke-0 serta jam 24 dan 48 jam setelah menerima perlakuan hepatotoksin CCl
4.
Dari hasil uji T berpasangan kadar ALT dapat disimpulkan bahwa pada jam ke-24 terjadi
peningkatan kadar ALT yang paling tinggi. Hasil uji T berpasangan ditunjukkan pada tabel II.
Tabel II. Hasil uji T berpasangan kadar ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 n=3
Waktu pencuplikan jam ke-
Jam ke-0 Jam ke-24
Jam ke-48 Jam ke-0
BB BB
Jam ke-24 BB
BB Jam ke-48
BB BB
Keterangan : BB = Berbeda bermakna Pengujian juga dilakukan terhadap kadar AST tikus. Data kadar AST
tertera pada tabel III dan gambar 10.
Tabel III. Purata kadar AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 n=3
Waktu pencuplikan
jam ke- Purata kadar AST ± SE
UI 141,20 ± 5,15
24 452,40 ± 32,45
48 156,80 ± 4,61
Keterangan : SE = Standart Error
Gambar 9. Diagram batang purata kadar AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB
Hasil yang didapat dari pengukuran kadar AST pada jam ke-0, 24, dan 48 berturut-turut adalah 141,20 ± 5,15, 452,40 ± 32,45 dan 156,80 ± 4,61 UI. Hasil
statistik uji T berpasangan menunjukkan kadar AST serum pada jam ke-0 berbeda bermakna p=0,000 dengan kadar AST pada jam ke-24, kadar AST serum pada
jam ke-0 berbeda bermakna p=0,006 dengan kadar AST pada jam ke-48, dan kadar ALT serum pada jam ke-24 berbeda bermakna p=0,001 dengan kadar
AST pada jam ke-48. Analisis statistik uji T berpasangan dilakukan untuk melihat perbedaan antara kondisi sebelum menerima pelakuan pencuplikan jam ke-0
serta jam 24 dan 48 jam setelah menerima perlakuan hepatotoksin CCl
4.
Hasil uji T berpasangan kadar AST dapat disimpulkan bahwa pada jam ke-24 terjadi
peningkatan kadar AST yang paling tinggi. Hasil uji T berpasangan ditunjukkan pada tabel IV.
Tabel IV. Hasil uji T berpasangan kadar AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB saat pencuplikan darah pada jam ke-0, 24, dan 48 n=3
Waktu pencuplikan jam ke-
Jam ke-0 Jam ke-24
Jam ke-48 Jam ke-0
BB BB
Jam ke-24 BB
BB Jam ke-48
BB BB
Keterangan : BB = Berbeda bermakna Berdasarkan data kadar ALT dan AST tersebut maka waktu pencuplikan
darah dilakukan pada jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB secara i.p.
D. Hasil Uji Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol 90 Daun Jarong Pada