Tahap Operasi Formal LANDASAN TEORI

Berpikir juga dapat dikatakan sebagai proses yang memerantarai stimulus dan respons. Menurut Kartini Kartono dalam Khodijah, 2014:104, ada enam pola berpikir, yaitu: 1. Berpikir konkret, yaitu berpikir dalam dimensi ruang-waktu-tempat tertentu; 2. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan atau disempurnakan keluasaannya; 3. Berpikir klasifikatoris, yaitu berpikir mengenai klasifikasi atau pengaturan menurut kelas-kelas tingkat tertentu; 4. Berpikir analogis, yaitu berpikir untuk mencari hubungan antar peristiwa atas dasar kemiripannya; 5. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas, dengan pengertian yang lebih kompleks disertai pembuktian-pembuktian; dan 6. Berpikir pendek, yaitu lawan berpikir ilmiah yang terjadi secara lebih cepat, lebih dangkal, dan sering kali tidak logis.

C. Tahap Operasi Formal

Menurut Piaget dalam Paul Suparno, 2001:88, tahap operasi formal merupakan tahap akhir dalam perkembangan kognitif. Ini terjadi pada umur sekitar 11 atau 12 ke atas. Pada tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas apa yang dapat diamati saat itu. Sifat pokok pada tahap operasi formal adalah pemikiran deduktif hipotesis, induktif saintifik, dan abstraksi reflektif. Perkembangan pemikiran pada tahap ini sudah sama dengan pemikiran orang dewasa secara kualitatif. Perbedaan dengan pemikiran orang dewasa hanya terletak pada kuantitas, yaitu banyaknya skema pada orang dewasa Suparno, 2001:89. 1. Pemikiran Deduktif Hipotesis Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan yang spesifik dari sesuatu yang umum. Kesimpulan benar hanya bila premis-premis yang dipakai dalam pengambilan keputusan benar Wadsworth dalam Suparno, 2001:89. Alasan deduktif hipotesis adalah alasanargumentasi yang berkaitan dengan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis yang masih hipotesis Brainerd dalam Suparno, 2001:89. Jadi, seseorang dapat mengambil kesimpulan dari suatu proposisi yang diasumsikan, tidak perlu berdasarkan kenyataan yang real. Piaget tidak menggunakan logika untuk menguraikan pengetahuan eksplisit remaja, tetapi lebih untuk melukiskan struktur pemikiran remaja. Model logika itu lebih untuk menguraikan struktur pemikiran yang menggarisbawahi aktivitas remaja. Pemikiran logis itu lebih menjelaskan kompetensi para PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI remaja, bukan kenyataan remaja yang sesungguhnya. Dengan kata lain, dalam pemikiran remaja, Piaget dapat mendeteksi adanya pemikiran logis itu, meskipun para remaja sendiri pada kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara berpikir mereka itu logis. Dengan kata lain, model logis itu lebih merupakan hasil kesimpulan Piaget dalam menafsirkn ungkapan remaja terlepas dari apakah para remaja sendiri tahu atau tidak. a. Sistem Kombinatoris Akibat pertama remaja tidak mendasarkan pemikirannya pada objek yang konkret adalah adanya pelepasan relasi dan klasifikasi dari pengalaman konkret dan pemikiran intuitif. Pembebasan suatu bentuk dari isinya memungkinkan seseorang unuk membentuk suatu relasi dan kelas-kelas yang dapat menghadirkan semua unsur yang ada. Operasi-operasi yang umum itu menjadi sangat tampak dalam sistem kombinatoris, suatu sistem yang menggabungkan berbagai macam unsur. Contoh yang jelas adalah kemampuan remaja untuk membuat kombinasi dan permutasi dalam mengurutkan beberapa benda yang ada. Misalnya, kepada seorang remaja diberikan 3 kelereng yang berlainan warna. Ada beberapa macam kemungkinan ketiga kelereng itu disusun? Remaja sudah mulai dapat memikirkan jawabannya dengan meninjau segala kemungkinan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kombinasi ini sangat penting dalam perluasan dan pemajuan pemikiran remaja. Remaja yang dapat berpikir kombinatoris, akan dapat mengkombinaskan objek dengan objek, faktor dengan faktor, ide dengan ide, dan teori dengan teori. Di sini, realitas tidak dibatasi oleh segi konkret, tetapi dalam pengertian kombinasi yang mungkin. Kemampuan ini menguatkan seseorang untuk makin berpikir deduktif. b. Kombinasi Objek-objek dan Proposisi Sesudah umur 12 tahun, seseorang sudah dapat mengkombinasikan objek berdasarkan prinsip kombinasi tanpa dibatasi dengan kenyataan objek itu. Ia juga sudah dapat membuat permutasi dengan memperhatikan semua kemungkinan yang dapat terjadi. Meskipun remaja pada umur 12 sampai 15 tahun belum dapat menentukan hukum-hukum logika yang relevan maupun menuliskan formula semua kombinasi gagasan dan proposisi, ia sudah dapat mengkombinasikan beberapa gagasan dan hipotesis dalam pernyataan afirmatif atau negatif yang sederhana. Misalya, ia dapat mengerti dengan baik bentuk bentuk logika: jika…maka, baik ini…maupun itu, tidak ini…dan tidak itu…, dan lain-lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Pemikiran Induktif Saintifik Pemikiran induktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih umum berdasarkan kejadian-kejadian yang khusus. Pemikiran ini berkebalikan khusus dari yang umum. Pemikiran ini banyak digunakan oleh para ilmuwan dan sering disebut dengan metode ilmiah. Pada tahap pemikiran ini, anak sudah mulai dapat membuat hipotesis, menentukan ekperimen, menentukan variabel kontrol, mencatat hasil, dan menarik kesimpulan. Pada tahap pemikiran ini, seorang remaja sudah dapat memikirkan sejumlah variabel yang berbeda pada waktu yang sama. Termasuk dalam pemikiran ini adalah pengertian akan kombinasi Wadsworth dalam Suparno, 2001:92. 3. Pemikiran Abstraksi Reflektif Menururt Wadsworth dalam Suparno, 2001:95, abstarksi ini adalah abstraksi yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan matematis logis, yaitu suatu abstraksi tidak langsung terhadap objek itu sendiri. Terjadi suatu abstraksi karena seseorang melakukan suatu tindakan terhadap objek itu. Misalnya, remaja menyusun 5 keping uang. Susunan keeping itu entah dijajar, atau ditumpuk, atau dimasukkan ke dalam peti, jumlahnya tetap 5. Pengertian “5“ ini adalah abstraksi dari aksi remaja terhadap keping uang tersebut. “5“itu adalah pengetahuan matematis remaja tentang “5“. “5“ini bukan sifat uang. Menurut Piaget, pemikiran analogi dapat juga diklasifikasikan sebagai abstraksi reflektif seperti ini karena pemikiran itu tidak dapat disimpulkan dari pengalaman. Misalnya, hubungan harimau dengan bulu, seperti manusia dengan rambut.

D. Pemecahan Masalah

Dokumen yang terkait

Pengaruh metode pictorial riddle terhadap kemampuan representasi matematis siswa pada materi bangun segiempat di Sekolah Menengah Pertama Muslim Asia Afrika

1 18 214

ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA MATERI SISTEM PERSAMAAN ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINIER DUA VARIABEL PADA SISWA KELAS VIII SEMESTER GANJIL SMP MUHAMMADIYAH 4 SAMBI T

0 6 12

ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINIER DUA VARIABEL ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINIER DUA VARIABEL PADA SISWA KELAS VIII SEMESTER GANJIL SMP MU

0 2 15

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH, KOMUNIKASI DAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP.

2 9 47

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS IS SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN TIPE KEPRIBADIAN SISWA.

0 0 18

REPRESENTASI EKSTERNAL SISWA MTS DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN.

7 8 106

ANALISIS KESULITAN SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA MATERI PROGRAM LINIER BERDASARKAN GAYA BELAJAR SISWA

0 0 14

ANALISIS PROSES BERPIKIR KREATIF DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA MATERI ARITMATIKA SOSIAL SISWA SMP BERKEMAMPUAN TINGGI Nandya Paramitha

0 1 12

ANALISIS PEMAHAMAN KONSEP DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI MINAT BELAJAR SISWA

0 0 8

ANALISIS BERPIKIR PSEUDO DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DI SMP NEGERI 2 BANYUMAS

0 0 17