Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan anti korupsi dalam Syarbini dan Arbain 2014 : 7 adalah usaha sadar untuk memberi pemahaman dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan dari pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal pada lingkungan keluarga, dan pendidikan non formal di masyarakat. Pendidikan anti korupsi dapat dikatakan sebagai sikap penolakan terhadap berkembangnya budaya korupsi. Korupsi menurut Wijaya 2014 : 4 memiliki pengertian sebagai sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan merugikan orang lain. Tindakan korupsi meliputi berbagai bentuk perbuatan, dimulai dari skala kecil hingga yang berpengaruh terhadap kepentingan orang banyak. Penolakan terhadap tindakan korupsi merupakan mentalitas dalam membina kemampuan generasi mendatang untuk mampu mengidentifikasi berbagai kelemahan dari sistem nilai yang mereka warisi dan memperbaharui sistem nilai warisan dengan situasi-situasi tertentu Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 114. Pembinaan generasi muda terhadap bahaya budaya korupsi dapat dilakukan melalui institusi pendidikan seperti halnya sekolah. Sekolah menjadi wahana yang strategis dalam pengenalan nilai-nilai pendidikan anti korupsi. Dikatakan strategis karena disadari atau tidak, anak-anak memeroleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan bermula dari pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran juga 2 menjadi waktu bagi guru dalam menginternalisasi nilai-nilai terkait suatu mata pelajaran tertentu, seperti halnya nilai-nilai pendidikan anti korupsi. Pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar SD, istilah korupsi mungkin akan terasa asing di telinga anak terutama bagi anak kelas II. Pemahaman terkait nilai- nilai pendidikan anti korupsi penting untuk diberikan sejak dini terutama pada anak usia SD. Berdasarkan hasil wawancara pada guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo, menuturkan bahwa pendidikan anti korupsi penting untuk diberikan pada anak. Menurut narasumber pendidikan anti korupsi secara tidak langsung disampaikan melalui penanaman nilai-nilai anti korupsi yang diimplementasikan dalam 2 mata pelajaran yaitu Pendidikan Kewarganegaraan PKn dan Bahasa Indonesia. Pentingnya penanaman nilai anti korupsi menurut narasumber berdasarkan pengaplikasian nilai pendidikan anti korupsi yang selalu bersinggungan dengan dunia anak. Narasumber memberikan contoh bahwa nilai pendidikan anti korupsi hadir semisal mengajarkan akan nilai kejujuran yang diimplementasikan dalam mata pelajaran PKn. Nilai ini dapat ditemukan dalam bab yang membahas nilai kejujuran maupun terdapat dalam soal. Selain itu, penggambaran nilai pendidikan anti korupsi juga dapat dimunculkan dalam cerita pada bacaan terkait amanat maupun karakter tokoh pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini menjadi alasan mengapa pendidikan anti korupsi perlu diberikan pada anak SD terutama kelas bawah. Pengenalan nilai pendidikan anti korupsi pada anak dapat dilakukan dengan beragam cara, salah satunya melalui buku cerita bergambar. Buku bergambar 3 menurut Nurgiyantoro 2010:152 adalah buku bacaan cerita anak yang di dalamnya terdapat gambar-gambarnya. Bahan bacaan anak memiliki kesan penuh gambar, warna, tersaji dengan kemasan buku yang menarik, karakter tokoh mudah dikenali, dan alur cerita yang sederhana. Buku bergambar dipergunakan untuk bacaan anak di usia awal sampai usia yang lebih besar dan bahkan, tidak jarang juga, untuk orang dewasa. Buku bergambar merupakan perpaduan antara tulisan dan gambar. Melalui gambar dapat diterjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk lebih realistis Anitah, 2009: 8. Penggambaran dalam bentuk yang lebih realistis ditunjukkan lewat hadirnya media pembelajaran di kelas. Media tersebut seperti gambar tokoh pahlawan, pakaian tradisional, rumah adat maupun keanekaragaman hayati yang ditempelkan di dinding-dinding ruang kelas. Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan oleh guru agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan di dalam diri siswa Wijaya, 2014 : 51. Pembelajaran di kelas dapat terselenggara dengan baik apabila terdapat hubungan yang saling mendukung antara guru dan juga siswa. Guru menjalankan tugas utama sebagai pendidik dan pengajar, sementara siswa membalas bantuan yang diberikan oleh guru dengan bersikap kooperatif guna mencapai kompetensi ataupun kecakapan yang ditetapkan oleh guru dalam pembelajaran. Kompetensi siswa dalam proses pembelajaran dibutuhkan guna mendukung penyampaian materi yang diberikan oleh guru. Salah satu kompetensi yang perlu dimiliki oleh siswa adalah kompetensi dalam hal membaca. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 Membaca merupakan suatu kegiatan berpikir untuk memahami dan mengetahui maksud dari keterangan yang diberikan oleh penulis. Menurut Dalman 2013: 5 membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan. Informasi hadir melalui karya tulisan penulis berupa gagasan, pengalaman dan lain sebagainya. Dalam usaha memperoleh informasi yang diberikan oleh penulis, pembaca harus mampu menginterpretasikan maksud dari tulisan penulis. Dengan demikian pembaca harus mampu menyusun pengertian-pengertian yang tertuang dalam kalimat-kalimat yang disajikan oleh pengarang sesuai dengan konsep yang terdapat pada diri pembaca Haryadi, 2007:77. Di Indonesia minat baca terbilang masih rendah. Hasil survei UNESCO pada 2011 menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih mau membaca buku secara serius jurnalasia.id, 30042016. Berdasarkan survei tersebut, ditemukan fakta di lapangan berupa hasil wawancara yang dilakukan pada guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo pada 29 November 2016, yang menunjukkan kompetensi terkait membaca belum terpenuhi oleh anak di sekolah tersebut. Dari hasil wawancara yang dilakukan hasil wawancara terlampir, ada sedikitnya 1 anak dari total 29 anak kelas II B SD Negeri Dayuharjo yang belum dapat membaca, 3 anak kurang cermat dalam mengeja dan sebagian besar kurang memahami bacaan yang dibaca. Dari hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa pembelajaran membaca perlu ditingkatkan pada siswa kelas bawah. Selain itu, menurut penuturan guru kesulitan anak dalam membaca juga dipengaruhi oleh 5 kebijakan pemerintah yang diterapkan di sekolah yaitu berupa larangan penerimaan anak baru melalui tes membaca. Oleh karena itu, ditemukan banyak anak yang belum dapat membaca memasuki jenjang pendidikan SD dikarenakan oleh sistem penerimaan siswa baru berdasarkan usia anak. Membaca sebagai salah satu cara dalam memperoleh informasi terus diusahakan hadir di sekitar lingkungan belajar anak. Hal ini terlihat dengan adanya Gerakan Literasi Sekolah GLS. GLS sebagai upaya menyeluruh yang dilakukan di lingkungan sekolah memiliki tujuan menanamkan budaya membaca sebagai kebiasaan yang menyenangkan dan ramah pada anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan. Penanaman kebiasaan membaca anak dilakukan dengan pembiasaan membaca oleh anak di sekolah dengan kisaran waktu 15 menit sebelum pelajaran dimulai dan sesudah pelajaran selesai. Sebagai gerakan yang partisipatif, GLS melibatkan seluruh elemen terutama bagi peserta didik yang diwujudkan melalui pembiasaan membaca. Tahapan keterampilan membaca anak senada dengan perkembangan anak yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan anak oleh Piaget dibagi menurut empat tahap seperti 1 tahap sensorimotor yang berlangsung sejak anak lahir hingga berusia dua tahun, 2 tahap praoperasional yang berlangsung dari usia dua tahun sampai dengan anak berusia tujuh tahun, 3 tahap operasional konkret yang berlangsung dari usia tujuh tahun sampai dengan dua belas tahun, 4 tahap operasional formal yang berlangsung pada usia dua belas tahun sampai dengan dewasa Salkind, 2009: 328. Pada anak kelas II SD, anak masuk pada tahapan operasional konkret. Menurut Jarvis 2011:142 pada tahap ini, anak 6 sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap ini, anak telah hilang kecenderungan terhadap animism dan articialisme. Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik. Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap operasional konkret masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. Hal ini merupakan kecenderungan dari anak usia sekolah awal di mana perkembangan berbanding lurus dengan logika terkait objek fisik yang abstrak. Semakin matang pola berpikir anak, semakin dapat pula menyelesaikan tugas-tugas yang mempergunakan logika pada objek yang berbentuk abstrak. Berdasarkan masalah tersebut, peneliti akan mencoba mengembangkan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II SD. Buku cerita bergambar ini diharapkan dapat memberi motivasi anak untuk meningkatkan keterampilan membaca sekaligus memperkenalkan nilai pendidikan anti korupsi disesuaikan dengan tampilan buku, isi cerita, maupun karakter tokoh menurut karakteristik siswa kelas II SD. Buku yang akan dikembangkan merupakan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 20162017. 7

1.2 Rumusan Masalah