1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak dengan gangguan penglihatan atau yang disebut anak tunanetra merupakan anak yang mengalami disfungsi indra penglihatan
sehingga membutuhkan penyesuaian lingkungan, khususnya siswa tunanetra dalam mengikuti pembelajaran di sekolah, seperti yang dijelaskan
oleh Ardhi Widjaya 2014: 21 bahwa secara edukasional, seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan pembelajarannya dia
memerlukan alat bantu khusus atau teknik-teknik tertentu sehingga dia dapat belajar tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas.
Keterbatasan indra penglihatan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah sehingga membutuhkan layanan khusus yang perlu
disesuaikan dengan kebutuhan siswa, misalnya penggunaan metode pembelajaran, strategi pembelajaran, pendekatan, dan media pembelajaran,
seperti yang dijelaskan oleh Mohammad Effendi 2006: 40 bahwa anak yang mengalami ketunanetraan sejak lahir mengalami kesulitan untuk
menggambarkan hal-hal yang nyata atau konkret, meskipun peristiwa yang terjadi sangat sederhana dan mudah dikenali. Hambatan tersebut perlu
ditangani dengan mengenalkan lingkungan pada anak tunanetra menggunakan semua indra yang masih berfungsi pada proses pembelajaran
di sekolah. Salah satu hambatannya dalam menerima informasi yang bersifat abstrak dan dikomunikasikan secara verbal sehingga sulit bagi
2 siswa tunanetra untuk meresapi dan mengingatnya. Hal tersebut juga
dijelaskan oleh Soeparno 1980: 74, informasi yang dikomunikasikan melalui lambang verbal saja kemungkinan terserapnya sangat sedikit, sebab
informasi tersebut berupa kata-kata yang bersifat abstrak. Salah satu mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa tunanetra kelas
V di SLB A Yaketunis Yogyakarta adalah mata pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Pelajaran bahasa Inggris untuk siswa tunanetra
diarahkan untuk membekali siswa tunanetra dengan kompetensi berkomunikasi secara lisan maupun tulisan pada tingkat literasi tertentu
sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa Inggris. Standar kompetensi dan kompetensi dasar bahasa Inggris dalam Depdiknas 2006: 73, terdapat
empat tingkatan literasi yaitu performative; orang mampu membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara dengan simbol-simbol yang
digunakan, functional; orang mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti membaca surat kabar, manual, atau
petunjuk, informational; orang mampu mengakses pengetahuan dengan bahasanya, dan epistemic; orang mampu mengungkapkan pengetahuan ke
dalam bahasa sasaran. Standar kompetensi dan kompetensi dasar bahasa Inggris dalam
Depdiknas 2006: 76 untuk siswa tunanetra jenjang sekolah dasar yang menyelenggarakan mata pelajaran Bahasa Inggris sebagai muatan lokal
ditargetkan untuk dapat mencapai tingkat performative yaitu berkomunikasi secara lisan maupun tulisan yang meliputi keterampilan berbahasa yaitu
3 mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis dengan simbol-simbol
yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memiliki kemampuan keterampilan berbahasa Inggris memerlukan modalitas, modalitas utama
dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah penguasaan kosakata bahasa Inggris yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kata benda,
kata kerja, kata sifat, dan kata ganti. Dengan menguasai kosakata bahasa Inggris, siswa tunanetra mampu
mempunyai pengetahuan dan keterampilan berbahasa Inggris yang bermanfaat bagi siswa tunanetra untuk dapat mengakses berbagai informasi
dari berbagai sumber yang menggunakan bahasa Inggris, agar siap dalam mengikuti pendidikan lebih lanjut, dan dapat memperluas pergaulan ke
seluruh belahan dunia dengan kemampuan berbahasa Inggris yang baik. Keterampilan berbahasa Inggris dapat membuka kesempatan siswa
tunanetra untuk berprestasi, seperti siswa tunanetra yang bernama Taufik Rahmadi Sitorus, siswa kelas IX MTs Yaketunis Yogyakarta, yang
mendapat amanah sebagai juara I Lomba Pidato Bahasa Inggris Ajang Kreasi Seni dan Olahraga Madrasah Aksioma tingkat DIY untuk siswa
MTs di MAN Gandekan Bantul dikutip dari krjogja.com, serta dapat melanjutkan pendidikan keluar negeri seperti yang dikutip dari website
www.merdeka.com yaitu seorang tunanetra bernama Taufik Effendi asal Bandung yang berhasil mendapat delapan beasiswa dari Australian
Development Scholarship setelah mengalami putus sekolah dan mendapat diskriminasi pendidikan serta pekerjaan akibat keadaannya tersebut, dan
4 beliau telah mendirikan lembaga pendidikan bernama Glue Umaro
Education GLUE Institue yaitu salah satu program beasiswa penuh pendidikan bahasa Inggris bagi masyarakat tidak mampu atau memiliki
keterbatasan. Penguasaan kosakata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
siswa mampu mempunyai keterampilan berbahasa dalam menguasai kosakata yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya kata
benda, kata kerja, kata sifat, dan kata ganti. Namun demikian, siswa tunanetra membutuhkan suatu layanan dan program khusus dalam
pelaksanaan pembelajaran. Suasana pelaksanaan pembelajaran dalam bahasa Inggris bagi siswa tunanetra perlu dirancang sesuai tujuan dan
karakteristik siswanya. Hal ini berdasarkan pada teori perkembangan menurut Piaget dalam Tin Suharmini 2009: 33 yang menyebutkan bahwa
perkembangan kognitif siswa tunanetra yang berbeda dengan siswa pada umumnya serta siswa tunanetra tertinggal dalam pemahaman tugas-tugas
konseptual. Oleh karena itu, layanan dan program khusus tersebut dapat berupa penyampaian materi dengan diselingi kegiatan permainan,
penggunaan metode, dan atau penggunaan media yang relevan dengan materi dan kebutuhan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti selama Praktek Pembelajaran Lapangan PPL pada bulan Agustus tahun
2015 di kelas V SLB A Yaketunis Yogyakarta dengan jumlah lima siswa diperoleh informasi yaitu: pertama, siswa tunanetra masih memiliki
5 kemampuan penguasaan kosakata bahasa Inggris rendah dalam kehidupan
sehari-hari, kosakata tersebut perlu dikuasai oleh siswa tunanetra agar mampu mengemukakan gagasan atau perasaan serta berinteraksi dalam
bahasa Inggris untuk menunjang kegiatan kelas, sekolah, dan masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan guru mata pelajaran bahwa siswa tunanetra
masih memiliki kemampuan penguasaan kosakata bahasa Inggris rendah dalam kehidupan sehari-hari serta berdasarkan dokumentasi hasil belajar
yang ditunjukkan oleh guru yaitu siswa lupa dalam menyebutkan dan menulis kosakata bahasa Inggris, serta nilai hasil belajar siswa tunanetra
kelas V masih berada di bawah Kriteria Kentuntasan Minimum KKM sebesar 65, artinya setiap siswa mendapatkan nilai tes hasil belajar sebesar
65 dari skala 100. Selain itu, siswa tunanetra masih mengalami kesulitan dalam mengucapkan dan menuliskan kosakata bahasa Inggris. Hal
ini disebabkan oleh keterbatasan indra penglihatan siswa tunanetra sehingga sulit untuk memaknai materi penguasaan kosakata yang bersifat abstrak
serta kurangnya pengalaman konkret pada saat pembelajaran bahasa Inggris.
Kedua, siswa tunanetra kelas V di SLB A Yaketunis Yogyakarta terdiri dari tiga siswa tunanetra kategori kurang lihat low vision dan dua
siswa tunanetra kategori buta blind. Kelima siswa tunanetra menggunakan indra pendengaran dan indra perabaan dalam mengikuti pembelajaran di
kelas. Pada saat pembelajaran bahasa Inggris, siswa lebih sering mendengarkan penjelasan guru daripada menulis materi sehingga siswa
6 kesulitan dalam mengikuti pembelajaran bahasa Inggris. Menurut pendapat
guru, siswa mengeluhkan materi penguasaan kosakata bahasa Inggris sulit dipahami serta sulit membedakan antara penulisan dan pengucapannya,
siswa malu untuk bertanya dan menjawab pertanyaan yang diberikan, dan siswa juga melakukan blindism, yaitu siswa melakukan gerakan yang tidak
diperlukan seperti menekan bola mata dengan tangan. Ketiga, kurang efektifnya media yang digunakan dalam penguasaan
kosakata bahasa Inggris untuk siswa tunanetra. Diungkapkan guru mata pelajaran kelas V di SLB A Yaketunis bahwa dalam proses pembelajaran
bahasa Inggris guru sudah mengupayakan penggunaan media audio book dan media tiga dimensi benda asli. Menurut pendapat guru, penggunaan
media tersebut kurang efektif. Media audio book biasanya digunakan untuk latihan mendengarkan cerita bahasa Inggris dan buku bacaan bahasa
Inggris, dan media tiga dimensi benda asli hanya bisa digunakan untuk mengenalkan kosakata alat-alat mandi dalam bahasa Inggris.
Berdasarkan kondisi di atas, maka perlu adanya suatu upaya untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran bahasa Inggris. Permasalahan
tersebut berkaitan dengan keterbatasan tunanetra dalam penguasaan kosakata serta kemampuan berpikir tunanetra dari konkret ke abstrak, maka
diperlukan suatu media pembelajaran dalam pengajarannya. Media yang dibahas dalam penelitian ini adalah media dua dimensi papan magnetik
untuk siswa tunanetra kelas V di SLB A Yaketunis Yogyakarta yang bertujuan untuk penguasaan kosakata bahasa Inggris. Media dua dimensi
7 papan magnetik merupakan media pembelajaran yang dimodifikasi sesuai
tujuan dan karakteristik siswa tunanetra, medianya terdiri dari dua bagian yaitu papan magnetik dan balok huruf braille. Adapun tujuan dari
penggunaan media tersebut adalah untuk membina penguasaan kosakata melalui keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, membaca, berbicara,
dan menulis kosakata dalam pembelajaran bahasa Inggris. “Media dua dimensi hanya mempunyai dua ukuran yaitu panjang
serta lebar saja. Media ini dapat digunakan secara langsung maupun ditempelkan pada suatu latarbelakang seperti karton, kertas tebal, kayu
triplek, dan sebagainya”, Sjamsuar Mocthtar, dkk, 1984: 99. Selain itu, media pembelajaran dua dimensi meliputi grafis, media bentuk papan, dan
media cetak. Media bentuk papan tersebut juga terbagi lagi menjadi papan tulis, papan tempel, papan flanel, dan papan magnetik. Menurut Cecep
Kustandi dan Bambang Sutjipto 2013: 47, papan magnetik merupakan papan pamer yang terdiri atas permukaan baja tipis yang dilapisi magnet.
Objek yang ingin ditunjukan atau dipamerkan, diletakan di atas karton yang di belakangnya terdapat magnet kecil sehingga dengan mudah karton itu
ditempelkan ke papan magnet dan dipindahkan. Media dua dimensi papan magnetik dalam penelitian ini terdiri dari
dua bagian yaitu papan magnetik dan balok huruf braille, bagian papan magnetik dibuat dengan kayu triplek, lapisan seng, magnet, dan stiker
timbul, dan balok huruf braille dibuat dengan balok plastik yang mempunyai huruf braille di permukaannya dan magnet di bagian belakang.
8 Alasan pemilihan media dua dimensi papan magnetik terhadap
penguasaan kosakata adalah untuk mengatasi keterbatasan tunanetra terhadap penguasaan kosakata bahasa Inggris dan mengatasi keterbatasan
media pembelajaran kosakata bahasa Inggris di SLB A Yaketunis Yogyakarta, serta siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran
bahasa Inggris dengan menggunakan media dua dimensi papan magnetik. Selain itu, media dua dimensi papan magnetik belum pernah digunakan
dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas V SLB A Yaketunis Yogyakarta. Oleh karena itu peneliti ingin mengujicobakan media dua
dimensi papan magnetik terhadap penguasaan kosakata dalam pembelajaran bahasa Inggris untuk siswa tunanetra kelas V di SLB A Yaketunis
Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah