Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2 Kebijakan regrouping sekolah merupakan kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah dalam upaya mengatasi masalah pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Kebijakan regrouping dilakukan berlandaskan pada
efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan terutama untuk sekolah dasar. Kebijakan tersebut diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang menjelaskan bahwa salah satu kegiatan pokok dalam mengupayakan pemerataan
pendidikan dasar adalah melaksanakan revitalisasi serta penggabungan regrouping
sekolah-sekolah terutama
sekolah dasar.
Keputusan Kemendiknas Nomor 060U2002 pasal 23 ayat 1 tentang Pedoman Pendirian
Sekolah dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 79 Tahun 2014 menyatakan bahwa penggabungan regrouping SD, bentuk sekolah hasil
regrouping merupakan sekolah lama, dengan nomor statistik sekolah NSS lama pula, meskipun terdapat perubahan nama sekolah.
Tujuan utama
dilakukannya regrouping
sekolah adalah
mengatasi masalah kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, dan efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah. Dengan dibuatnya kebijakan
regrouping sekolah, diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi sekolah yang diregrouping. Implementasi kebijakan regrouping sekolah
diharapkan bukan hanya sekedar untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan akan tetapi juga perlu mempertimbangkan dan
memperhatikan kualitas sehingga kebijakan regrouping sekolah tidak akan menimbulkan masalah baru lagi.
3 Faktanya berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
Sudiyono, dkk 2009 menunjukkan bahwa kebijakan regrouping yang ada di SD Pakem 1 berdampak pada penurunan ranking prestasi akademik siswa
sebagai pengelolaan sekolah pasca regrouping yang kurang baik. Menurunya ranking prestasi akademik siswa juga disebabkan karena sekolah memperoleh
murid yang memiliki kemampuan yang lebih rendah dari sekolah yang diregrouping. Hal serupa juga ditunjukkan dalam hasil penelitian yang pernah
dilakukan oleh Marsono 2003 yaitu kebijakan regrouping justru menimbulkan masalah, baik masalah organisasi, kesiswaan, kurikulum,
kepegawaian, pembiayaan, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan ketatalaksanaan
sekolah. Hal
tersebut terjadi
karena pelaksanaan
penggabungan sudah dilakukan akan tetapi surat keputusan penggabungan belum terbit. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Siti Irine 2012
menunjukkan bahwa pasca regrouping SD Negeri Umbulharjo 2 terus berupaya mengembangkan budaya mutu untuk memperbaiki mutu sekolah
secara bertahap. Karena guru dan kepala sekolah perlu beradaptasi dalam lingkungan yang baru.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa di beberapa daerah seperti Sragen, kebijakan regrouping justru menimbulkan masalah salah satunya adalah di
SD Negeri Mojo 58. Masalah tersebut adalah ketidaksiapan sekolah terhadap adanya kebijakan regrouping dan lemahnya perencanaan yang dilakukan oleh
sekolah karena masih belum adanya komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan orang tua siswa. Di sekolah tersebut puluhan siswa belajar di
4 emperan sekolah karena tidak kebagian kelas dan yang lebih
memperihatinkan lagi adalah bahwa masalah tersebut justru terjadi di daerah perkotaan. Siswa belajar di emperan kelas jauh dari standar pelayanan
minimal pendidikan. Padahal Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen sendiri telah memfungsikan beberapa bangunan sebagai ruang kelas seperti
memanfaatkan salah satu dari ruang perpustakaan, memanfaatkan ruang Kepala Sekolah yang lama karena Kepala Sekolah sudah satu sehingga tidak
perlu ada tiga kantor. Oleh sebab itu Kepala Sekolah sebagai pimpinan tertinggi pada sekolah tersebut hendaknya perlu membenahi sistem
manajerial dalam pengelolaan penggabungan tiga sekolah yang diregrouping tersebut.
Data selanjutnya terkait dengan masalah-masalah yang terjadi pada sekolah regrouping adalah data berdasarkan hasil penelitian dari Suwarto
2016 tentang konflik sekolah regrouping di SD Negeri Pucangsawit Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata masih terdapat
konflik atau permasalahan yang terjadi di sekolah tersebut pasca dilakukannya kebijakan regrouping yaitu konflik yang disebabkan karena
penggunaan nama sekolah yang baru yaitu tidak menggunakan nama baru tetapi menggunakan nama salah satu dari sekolah yang diregrouping. Hal ini
menimbulkan kecemburuan bagi sekolah yang lainnya ditambah lagi karena adanya saling ketidaksukaan dan perasaan negatif antara SD Negeri
Kentingan dan SD Negeri Pucangsawit. Para guru dari kedua sekolah tersebut belum bersedia menempati ruang yang sama. Hal ini menyebabkan
5 terbentuknya iklim sekolah yang tidak kondusif sehingga menghambat
kinerja warga sekolah untuk mengupayakan perbaikan kualitas sekolah pasca regrouping.
Kebijakan regrouping memang cukup efisien dalam meningkatkan mutu dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Akan tetapi di sisi lain kebijakan
tersebut ternyata justru menimbulkan berbagai masalah-masalah sosial yang muncul sebagai dampak dari kebijakan regrouping. Adanya konflik atau
masalah-masalah yang terjadi pada sekolah regrouping tentu saja tidak dapat dihindarkan karena masing-masing sekolah sebelum digabung sudah
memiliki karakter dan budaya organisasi yang berbeda sehingga menimbulkan konflik atau masalah dalam berbagai bentuk. Oleh sebab itu
menjadi tugas bagi sekolah untuk dapat menciptakan budaya dan iklim sekolah yang baru pasca regrouping sebagai upaya untuk mengatasi konflik-
konflik yang terjadi sebagai dampak dari kebijakan regrouping dengan membuat kebijakan-kebijakan baru.
SD Negeri Ungaran 1 merupakan Sekolah Dasar Negeri unggul yang ada di Yogyakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan
Kota Yogyakarta tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 20122013 SD Negeri Ungaran 1 Yoyakarta adalah
hasil regrouping dari 3 Sekolah Dasar yaitu SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta, SD Negeri Ungaran 2 Yogyakarta, dan SD Negeri Ungaran 3.
Pada tahun 2012 ketiga sekolah tersebut diregrouping menjadi 1 sekolah dan diberi nama SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta. Bukan pekerjaan yang mudah
6 untuk bisa mengembangkan budaya mutu di sekolah tersebut karena di antara
ketiga sekolah tersebut hanya SD Negeri Ungaran 1 yang dikenal sebagai sekolah yang bermutu baik. Namun demikian sebenarnya masing-masing
sekolah memiliki kelebihannya masing-masing. Pada awal dilakukannya regrouping sekolah masih menghadapi
masalah yaitu dalam proses adaptasi. 3 sekolah yang awalnya saling bersaing setelah diregrouping harus mau bersatu dan bekerjasama. Sekolah menyadari
adanya kesulitan untuk bisa menyatu dengan sekolah yang lain karena pada awal regrouping masing-masing sekolah masih sering mengunggulkan
sekolah masing-masing. Oleh sebab itu Selain itu juga sekolah memiliki tanggung jawab terhadap siswa dalam jumlah yang jauh lebih besar dari
sebelumnya. Sehingga butuh waktu untuk dapat membangun budaya mutu yang sama pasca dilakukannya regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta.
Berdasarkan data dari UPT Pengelola TK dan SD Wilayah Utara Kota Yogyakarta SD Negeri Ungaran 1 selalu berada pada posisi pertama untuk
kategori sekolah negeri. Website Dikpora memberitakan bahwa pada bulan Oktober 2015 SD Negeri Ungaran 1 berhasil memperoleh juara 1 Lomba
Budaya Mutu Sekolah di Kota Padang. Sebagai tindak lanjutnya SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta dijadikan sebagai sekolah percontohan dalam hal
budaya mutu pendidikan. Selain itu SD Negeri Ungaran 1 juga memiliki tanggung jawab untuk membinamengimbaskan ilmunya ke sekolah lain.
Tentu saja bukan pekerjaan mudah bagi sekolah untuk bisa mengembangkan budaya mutu pada sekolah yang diregrouping sehingga budaya mutu SD
7 Negeri Ungaran 1 dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Prestasi SD N
Ungaran 1 Yogyakarta dalam memperoleh juara 1 lomba budaya mutu sekolah dasar tingkat nasional di Padang pada Tahun 2015 tidak lepas dari
kesuksesannya dalam
memformulasikan kebijakan
sekolah dalam
mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping. Pengimplementasian kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah
regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta tidak akan berhasil jika proses formulasi kebijakan tidak dilakukan secara matang. Selain itu masih jarang
dilakukan penelitian tentang kebijakan pengembangan budaya mutu khususnya pada tahap formulasi kebijakan, selama ini penelitian tentang
budaya mutu lebih banyak fokus pada tahap implementasinya saja. Dengan latar belakang inilah, peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang bagaimana
proses formulasi kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu sekolah yang pernah dilakukan oleh SD N Ungaran 1 Yogyakarta. Hal ini
untuk memperjelas fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian dengan judul
“Kebijakan Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Mutu pada Sekolah Regrouping di SD Negeri
Ungaran 1 Yogyakarta”. B.
Identifikasi Masalah
1. Kebijakan regrouping berdampak pada penurunan rangking akademik
sekolah karena sekolah regrouping memperoleh tambahan murid yang memiliki kemampuan yang lebih rendah dan sebagai akibat dari
pengelolaan sekolah yang kurang baik Sudiyono, dkk, 2009.
8 2.
kebijakan regrouping justru menimbulkan masalah, baik masalah organisasi, kesiswaan, kurikulum, kepegawaian, pembiayaan, hubungan
sekolah dengan masyarakat, dan ketatalaksanaan sekolah Marsono, 2003.
3. Pasca regrouping guru dan Kepala Sekolah perlu beradaptasi dengan
lingkungan yang baru Siti Irine, 2012. 4.
Masih lemahnya perencanaan pengelolaan sekolah pasca regrouping dan ketidaksiapan sekolah terhadap kebijakan regrouping menimbulkan
masalah dalam mengalihfungsikan bangunan sekolah. 5.
Adanya kecemburuan, saling ketidaksukaan, dan perasaan negative antar sekolah karena penggunaan nama sekolah yang menggunakan nama
hanya dari salah satu sekolah Suwarto, 2013. 6.
Pasca dilakukannya regrouping, SD N Ungaran 1 Yogyakarta mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi karena sifat egois masih melekat
pada masing-masing sekolah yang masih mengunggulkan sekolahnya masing-masing.
7. SD N Ungaran 1 Yogyakarta berhasil meraih juara 1 lomba budaya mutu
tingkat Nasional pada bulan Oktober 2015 di Kota Padang.