Langkah-Langkah Formulasi Kebijakan Kebijakan Sekolah

15 keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. Oleh sebab itu proses kebijakan pendidikan idealnya harus melalui proses dan tahap-tahap tertentu dengan tetap bertumpu pada visi dan misi sekolah. Tahapan proses kebijakan menurut Widodo 2007: 43 secara teknis dibedakan dalam tiga tahapan, yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Tahapan proses kebijakan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah tahap formulasi atau perumusan kebijakan. Tahap formulasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahapan berikutnya pada proses kebijakan publik. Apabila proses formulasi kebijakan tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif, maka hasil kebijakan yang formulasi kebijakan pun tidak akan bisa mencapai tataran optimal. Dengan demikian kebijakan itu akan sulit diimplementasikan, bahkan bisa jadi tidak bisa diimplementasikan. Hal ini senada dengan pemikiran Wibawa 1994: 2 yang menyatakan bahwa formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai dilakukan. Disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan- 16 tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolahan tahap formulasi. Islamy 2000: 77-101 mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat langkah dalam proses formulasi atau pengambilan kebijakan. Empat langkah tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1 Perumusan Masalah defining problem. Pemahaman terhadap masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yang bertentangan dan rancangan peluang kebijakan-kebijakan yang baru. Perumusan masalah merupakan sumber dari kebijakan, dengan pemahaman dan identifikasi masalah yang baik maka perencanaan kebijakan dapat disusun, perumusan masalah dilakukan oleh mereka yang terkena masalah atau orang lain yang mempunyai tanggung jawab dan pembuat kebijakan harus mempunyai kapasitas untuk itu. Jika dalam suatu instansi pendidikan seperti sekolah maka orang yang mempunyai tanggung jawab dalam pembuatan kebijakan adalah kepala sekolah, guru, komite sekolah, pegawai, dan jika memungkinkan pihak luar seperti orang tua maupun masyarakat juga dilibatkan. Proses kebijakan dimulai dengan kegiatan merumuskan masalah secara benar, karena keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan perumusan kebijakan ini akan 17 sangat berpengaruh pada proses pembuatan kegiatan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijaksanaan seterusnya. 2 Agenda Kebijakan Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan. Pilihan dan kecondongan perhatian para pembuat kebijakan menyebabkan timbulnya agenda kebijakan. Sebelum masalah-masalah berkompotensi untuk masuk dalam agenda kebijakan, masalah tersebut akan berkompetisi dengan masalah yang lain yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Cob dan Elder Islamy, 2000: 83 yang mendefinisikan kebijakan sebagai agenda sistemik terdiri atas semua isu-isu yang dipandang secara umum oleh anggota-anggota masyarakat politik sebagai patut memperoleh perhatian dari publik dan mencakup masalah- masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintah masing-masing. Abdul Wahab 2004: 40 menyatakan bahwa untuk bisa masuk ke dalam agenda kebijakan suatu masalah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 18 a Isu tersebut telah mencapai suatu titik tertentu sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja. b Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak impact yang bersifat dramatik. c Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut kepentingan orang banyak. d Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas. e Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan legitimasi dalam masyarakat. f Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang fasionable, dimana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya. 3 Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk memecahkan Masalah Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Winarno 2002: 83 menyatakan bahwa dalam tahap ini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut. Islamy 2000: 92 mengatakan bahwa perumusan usulan kebijakan policy proposals adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Proses dalam kegiatan ini meliputi: a Mengidentifikasi altenatif. b Mendefinisikan dan merumuskan alternatif. c Menilai masing-masing alternatif yang tersedia. d Memilih alternatif yang memuaskan atau paling mungkin untuk dilaksanakan. 19 Dalam tahap pemilihan alternatif kebijakan sekolah para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antara berbagai aktor, masing-masing aktor menawarkan alternatif-alternatif kebijakan yang mungkin akan dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Oleh sebab itu pada tahapan ini sangat penting untuk mengetahui apa saja alternatif yang ditawarkan oleh masing-masing aktor. Selanjutnya pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negoisasi yang terjadi antara aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut. 4 Tahap Penetapan Kebijakan Setelah alternatif kebijakan dipilih dan diputuskan untuk diambil sebagai cara memecahkan masalah kebijakan, maka tahap selanjutnya yang paling akhir dalam pembuatan kebijakan adalah penetapan kebijakan. Tahap ini dilakukan agar kebijakan yang diambil mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses penetapan atau pengesahan kebijakan. Islamy 2000: 100 menyatakan bahwa proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama tehadap prinsip- prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima. Proses pengesahan kebijakan diawali dengan kegiatan persuasion, yaitu usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu 20 kebenaran atau nilai kedudukan seseorang dan mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri. Pada tahap persuasion seorang aktor meyakinkan aktor lawan tentang kebenaran atau manfaat rancangan kebijakannya, sehingga aktor lawan tersebut mengadopsi rancangan kebijakannya sendiri. Selanjutnya adalah bargaining, yaitu tawar menawar diantara para aktor pembuat kebijakan. Bargaining merupakan suatu proses penetapan kebijakan yang didalamnya terdapat dua orang aktor atau lebih yang memiliki kekuasaan yang relatif seimbang dalam mengubah tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan mereka yang saling berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya. Bargaining meliputi perjanjian negotation saling memberi dan menerima take and give, dan kompromi copromise. Dalam penetapan kebijakan sekolah para aktor pengambil kebijakan berjuang agar alternatif yang diberikan dapat diterima. Pada tahap ini juga terjadi interaksi dengan aktor-aktor lain yang memunculkan persuasi dan negosiasi. Penetapan kebijakan dilakukan agar sebuah kebijakan mempunyai kekuatan hukum yang dapat mengikat dan ditaati oleh seluruh warga sekolah, dan bentuk kebijakan yang dihasilkan seperti tata tertib sekolah, Undang-Undang, keputusan Kepala Sekolah, dan sebagainya. 21

2. Budaya Mutu

a. Pengertian Budaya Mutu

Kemendikbud dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah 2016: 65 menyatakan bahwa budaya mutu merupakan suatu kesadaran yang hadir sebagai tradisi dimana mutu pendidikan merupakan proses pencapaian yang tiada henti dan terus-menerus berkelanjutan. Mutu menjadi impian bersama sehingga seluruh proses dalam penyelenggaraan pendidikan diletakkan sebagai upaya untuk mencapai tingkat mutu terbaik., beretos kerja yang tinggi dan pandai menangkap peluang. Secara lebih luas Ranjit Singh Malhi 2013: 2 menjelaskan bahwa “a quality culture is a system of shared values, beliefs and norms that focuses on delighting customers an continuously improving the quality of products and services.” Budaya mutu adalah sistem untuk berbagi nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang berfokus pada upaya memuaskan pelanggan, dan terus meningkatkan produk dan layanan. Selanjutnya Ranjit Singh Malhi secara umum juga menjelaskan bahwa dalam sebuah organisasi yang berbudaya mutu, kualitas tertanam hampir di setiap aspek kehidupan organisasi, termasuk perekrutan dan promosi, orientasi karyawan dan pelatihan berkelanjutan, kompensasigaya manajemen, pengambilan keputusan, struktur organisasi, proses kerja, dan tata letak kantor. Secara 22 sederhana Ranjit Singh Malhi menyimpulkan bahwa dalam budaya mutu kualitas adalah cara hidup, prinsip kualitas yang dicerminkan dalam praktik, dan perilaku organisasi. Hal lain juga diungkapkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Kemendikbud dalam buku panduan lomba budaya mutu di sekolah dasar 2016: 1-3 yang mendefinisikan budaya mutu sebagai suatu nilai dan keyakinan yang ada dalam suatu masyarakat yang digunakan sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku yang bermutu tinggi bagi masyarakat pendukungnya. Sekolah-sekolah yang memiliki budaya mutu tertentu biasanya dapat dilihat dari beberapa variabel yang mempengaruhinya seperti perolehan nilai, kondisi fisik, lingkungan sekolah, dan budaya sekolah. Budaya mutu sekolah berpengaruh terhadap kehidupan di sekolah dan budaya yang berpengaruh besar dalam kehidupan sekolah adalah budaya yang kuat. Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang menciptkan lingkungan yang kondusif untuk keberlangsungan perbaikan mutu yang berkesinambungan. Budaya mutu sekolah terdiri dari nilai-nilai, tradisi sekolah, dan harapan sekolah terhadap mutu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa budaya mutu sekolah dapat digunakan untuk menjelaskan upaya membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara sekolah dalam menghasilkan suatu produk yang memenuhi kriteria atau rujukan