KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA MUTU PADA SEKOLAH REGROUPING DI SD N UNGARAN 1 YOGYAKARTA.

(1)

i

KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA MUTU PADA SEKOLAH REGROUPING DI SD UNGARAN 1 YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Nur Laila Maharani NIM 13110241040

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

As long as you have the determination and willingness, you can achieve anything that you want.

(Nur Laila Maharani)

Jika kau ingin jadi seseorang dalam hidup, Jika kau inginkan sesuatu.. Jika kau ingin memenangkan sesuatu, cukup dengar kata hatimu

Jika hatimu tak bisa menjawabnya Tutup matamu dan pikirkan kedua orang tuamu

Dan semua rintangan terlewati Semua masalah lenyap seketika Kemenangan akan jadi milikmu

Hanya milikmu (Kabhi Kushi khabhi Gam)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya karya ini, maka karya ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku tercinta, Alm. Ayah dan Ibu Sri Rahayu yang telah

memberikan kasih sayang, do’a dan dukungan yang tak pernah terputus untuk

keberhasilan anakmu ini.

2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta

3. Teman-teman Program Studi Kebijakan Pendidikan terutama Susi Susilawati, Kharitsatun Jamilah, Ade Tarina Putri, Yunitasari, Kun Azka yang telah memberikan dukungan dan tenaganya dalam membantu menyelesaikan skripsi ini.


(7)

vii

KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA MUTU PADA SEKOLAH REGROUPING DI SD N UNGARAN 1

YOGYAKARTA Oleh

Nur Laila Maharani NIM. 13110241040

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana proses formulasi kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu sekolah yang pernah dilakukan SD N Ungaran 1 Yogyakarta pasca regrouping.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian adalah SD N Ungaran 1 Yogyakarta. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Analisis data dilakukan dengan tiga tahap yaitu, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Uji keabsahan data yang digunakan adalah dengan triangulasi sumber dan teknik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses formulasi kebijakan pengembangan budaya mutu dilakukan oleh Kepala Sekolah, guru, pegawai, Komite Sekolah, dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta yang terjadi dalam 4 tahap yaitu merumuskan masalah, menetapkan agenda kebijakan, memilih alternatif kebijakan, dan melakukan penetapan kebijakan dengan membuat Surat Keputusan Kepala Sekolah tentang pengembangan budaya mutu sekolah, yaitu menyediakan fasilitas sekolah yang memadai, melaksanakan pendidikan lingkungan hidup, meningkatkan partisipasi orang tua, menciptakan pembelajaran berbasis budaya lokal (jogja), meningkatkan potensi non akademik siswa, menciptakan suasana kerja yang kondusif, menciptakan keakraban siswa dan warga sekolah, serta meningkatkan kompetensi guru dan pegawai. Kendala yang dialami dalam proses formulasi kebijakan sekolah adalah masih banyak guru dan pegawai yang tidak terlibat aktif dalam proses formulasi kebijakan.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya sehungga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kebijakan Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Mutu pada Sekolah Regrouping di SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Kebijakan Pendidikan Universita Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari, bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama, bantuan, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, atas segala kebijaksanaannya yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan bagi penulis untuk belajar di kampus tercinta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan dalam penyusunan Skripsi ini.

3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah menerima dan menyetujui skripsi ini.

4. Ibu Lusila Andriani P, M.Hum, selaku Pembimbing Skripsi yang dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan


(9)

ix

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program Studi Kebijakan Pendidikan, terima kasih atas bekal ilmu pengetahuna dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

6. Ibu Dwi Atmi Sutarini, M.Pd selaku Kepala Sekolah dan segenap keluarga besar SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta yang telah memberikan ijin, bantuan, dan kerjasamanya.

7. Alm. Ayah dan Ibu serta segenap keluarga besar saya, terima kasih atas do’a, perhatian, kasih sayang, semangat, motivasi, dukungan, dan pengorbanan yang telah diberikan dengan penuh ketulusan.

8. Sahabat terbaikku Bripda Fika Restu Diana Saputri, Kun Azka, Siti Fauziah Romadoni, Yunitasari, Ade Tarina P, Maryani, Siska Devi Saputri, Julian, Bella Novita Sari, dan Irma Monita Putri yang selalu memberikan dorongan semangat dan warna dalam hidupku, terima kasih untuk do’a, kasih sayang, motivasi, dan dukungannya.

9. Teman-teman terbaikku, Susilawati, Kharitsatun Jamilah, Oriza Sativa, Tri Wulan Ningrum, Muhammad Hanafi, Setyoko Bagus, Gani Prihatnanto dan Yunitasari yang selalu memberikan dukungan dan semangat, terimakasih karena telah menjadi sahabat terbaikku.

10. Teman-teman seperjuangan Kebijakan pendidikan angkatan 2013 terimakasih atas doa dan dorongannya.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu terimakasih telah memberikan informasi, bantuan, dan kerjasamanya.


(10)

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii

HALAMAN PERNYATAAN ……….... iii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iv

MOTTO ……… v

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. vi

ABSTRAK ………... …. vii

KATA PENGANTAR ………. viii

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ……… xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xv

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Identifikasi Masalah ……….. 7

C. Batasan Masalah ……… 8

D. Rumusan Masalah ……….. 9

E. Tujuan Masalah ……….. 9

F. Manfaat ……….. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………. 12

A. Deskripsi Teori ………. 12

1. Kebijakan Sekolah ………. 12

a. Pengertian Kebijakan Sekolah ………... 12

b. Langkah-langkah Formulasi Kebijakan ………. 17

2. Budaya Mutu ……….. 21

a. Pengertian Budaya Mutu ……… 21


(12)

xii

c. Karakteristik Sekolah Unggul Berbudaya Mutu ………….. 24

3. Sekolah Regrouping ………... 44

a. Pengertian Sekolah Regrouping ……… 27

b. Model-Model Sekolah Regrouping ……….. 30

c. Mutu Pendidikan pada Sekolah Regrouping ……… 31

B. Penelitian yang Relevan ………. 33

C. Kerangka Berpikir ……….. 36

D. Pertanyaan Penelitian ………. 38

BAB III METODE PENELITIAN ………... 40

A. Jenis Penelitian ……….. 40

B. Subyek, Obyek, dan Lokasi Penelitian ………. 41

C. Informan ……… 42

D. Teknik Pengumpulan Data ……….... 44

E. Instrumen ………... 48

F. Keabsahan Data ………. 49

G. Analisis Data ………. 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 54

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ……… 54

B. Hasil Penelitian ……… 73

C. Pembahasan ………. 116

D. Keterbatasan Penelitian ……….. 149

BAB V PENUTUP ……….. 151

A. Kesimpulan ……….. 151

B. Saran ……… 158

DAFTAR PUSTAKA ………. 159


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Kisi-Kisi Pedoman Observasi ……….. 45 Tabel 2 : Kisi-Kisi Pedoman Wawancara ……… 47 Tabel 3 : Kisi-Kisi Pedoman Dokumentasi ………. 48 Tabel 4 : Data Pendidik SD N Ungaran 1 Yogyakarta Berdasarkan

Tingkat Pendidikan ……… 61 Tabel 5 : Data Pendidik SD N Ungaran 1 Yogyakarta ………. 62 Tabel 6 : Data Pegawai SD N Ungaran 1 Yogyakarta ……….. 63 Tabel 7 : Jumlah Peserta Didik SD N Ungaran 1 Yogyakarta …….. 64


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian ... ……. 165

1.1. Surat Ijin Penelitian dari Dinas Perijinan Kota Yogyakarta. ……. 166

1.2. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas Ilmu Pendidikan……….. 167

1.3. Surat Keteragan Telah Melakukan Penelitian……… 168

Lampiran 2. Catatan Lapangan ……….. 168

Lampiran 3. Pedoman Observasi, Dokumentasi, dan Wawancara………. 184

3.1. Pedoman Observasi………. 124

3.2. Pedoman Dokumentasi……… 185

3.3. Pedoman Wawancara untuk Kepala Sekolah... 186

3.4. Pedoman Wawancara untuk Guru dan Pegawai ………... 187

3.5 Pedoman Wawancara Dinas Pendidikan……… 188

3.6. Pedoman Wawancara Komite Sekolah……….. 189

Lampiran 4. Transkrip Wawancara ……….. 190

Lampiran 5. Analisis Data.……… 202

Lampiran 6. Dokumen Sekolah.……… 214

6.1. Alur Pengambilan Kebijakan Sekolah……….. 215

6.2. Tata Tertib Sekolah... 216

6.3. Tata Tertib Sekolah... 217

6.4. Standar Operasional Kerja ... 218

Lampiran 7. Dokumentasi……… 219


(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kualitas pendidikan telah menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pada kalangan pendidikan tetapi juga pada kalangan masyarakat sehingga masalah kualitas pendidikan merupakan masalah urgent yang harus segera diselesaikan oleh bangsa kita. Hal itu disebabkan karena peran pendidikan adalah untuk melahirkan generasi-generasi muda yang berkarakter. Generasi-generasi muda berkarakter sangatlah diperlukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan dapat bersaing secara global. Oleh karena itu menciptakan lembaga pendidikan yang bermutu merupakan hal yang wajib dilakukan oleh bangsa kita.

Membangun pendidikan yang berorientasi mutu tidak hanya sekadar amanat konstitusi, tetapi merupakan sebuah keharusan dalam menghadapi tuntutan global yang mensyaratkan tampil dan berperannya manusia-manusia yang berkualitas dan mampu menunjukkan eksistensi dan integrasinya di tengah persaingan global. Secara administratif lembaga pendidikan yang bermutu dapat menggambarkan pencapaian mutu pendidikan yang diperoleh berdasarkan delapan standar yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar pengelolaan pendidikan.


(17)

2

Kebijakan regrouping sekolah merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya mengatasi masalah pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Kebijakan regrouping dilakukan berlandaskan pada efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan terutama untuk sekolah dasar. Kebijakan tersebut diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang menjelaskan bahwa salah satu kegiatan pokok dalam mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah terutama sekolah dasar. Keputusan Kemendiknas Nomor 060/U/2002 pasal 23 ayat 1 tentang Pedoman Pendirian Sekolah dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 79 Tahun 2014 menyatakan bahwa penggabungan (regrouping) SD, bentuk sekolah hasil regrouping merupakan sekolah lama, dengan nomor statistik sekolah (NSS) lama pula, meskipun terdapat perubahan nama sekolah.

Tujuan utama dilakukannya regrouping sekolah adalah mengatasi masalah kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, dan efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah. Dengan dibuatnya kebijakan regrouping sekolah, diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi sekolah yang diregrouping. Implementasi kebijakan regrouping sekolah diharapkan bukan hanya sekedar untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan akan tetapi juga perlu mempertimbangkan dan memperhatikan kualitas sehingga kebijakan regrouping sekolah tidak akan menimbulkan masalah baru lagi.


(18)

3

Faktanya berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Sudiyono, dkk (2009) menunjukkan bahwa kebijakan regrouping yang ada di SD Pakem 1 berdampak pada penurunan ranking prestasi akademik siswa sebagai pengelolaan sekolah pasca regrouping yang kurang baik. Menurunya ranking prestasi akademik siswa juga disebabkan karena sekolah memperoleh murid yang memiliki kemampuan yang lebih rendah dari sekolah yang diregrouping. Hal serupa juga ditunjukkan dalam hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Marsono (2003) yaitu kebijakan regrouping justru menimbulkan masalah, baik masalah organisasi, kesiswaan, kurikulum, kepegawaian, pembiayaan, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan ketatalaksanaan sekolah. Hal tersebut terjadi karena pelaksanaan penggabungan sudah dilakukan akan tetapi surat keputusan penggabungan belum terbit. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Siti Irine (2012) menunjukkan bahwa pasca regrouping SD Negeri Umbulharjo 2 terus berupaya mengembangkan budaya mutu untuk memperbaiki mutu sekolah secara bertahap. Karena guru dan kepala sekolah perlu beradaptasi dalam lingkungan yang baru.

Fakta lain juga menunjukkan bahwa di beberapa daerah seperti Sragen, kebijakan regrouping justru menimbulkan masalah salah satunya adalah di SD Negeri Mojo 58. Masalah tersebut adalah ketidaksiapan sekolah terhadap adanya kebijakan regrouping dan lemahnya perencanaan yang dilakukan oleh sekolah karena masih belum adanya komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan orang tua siswa. Di sekolah tersebut puluhan siswa belajar di


(19)

4

emperan sekolah karena tidak kebagian kelas dan yang lebih memperihatinkan lagi adalah bahwa masalah tersebut justru terjadi di daerah perkotaan. Siswa belajar di emperan kelas jauh dari standar pelayanan minimal pendidikan. Padahal Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen sendiri telah memfungsikan beberapa bangunan sebagai ruang kelas seperti memanfaatkan salah satu dari ruang perpustakaan, memanfaatkan ruang Kepala Sekolah yang lama karena Kepala Sekolah sudah satu sehingga tidak perlu ada tiga kantor. Oleh sebab itu Kepala Sekolah sebagai pimpinan tertinggi pada sekolah tersebut hendaknya perlu membenahi sistem manajerial dalam pengelolaan penggabungan tiga sekolah yang diregrouping tersebut.

Data selanjutnya terkait dengan masalah-masalah yang terjadi pada sekolah regrouping adalah data berdasarkan hasil penelitian dari Suwarto (2016) tentang konflik sekolah regrouping di SD Negeri Pucangsawit Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata masih terdapat konflik atau permasalahan yang terjadi di sekolah tersebut pasca dilakukannya kebijakan regrouping yaitu konflik yang disebabkan karena penggunaan nama sekolah yang baru yaitu tidak menggunakan nama baru tetapi menggunakan nama salah satu dari sekolah yang diregrouping. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi sekolah yang lainnya ditambah lagi karena adanya saling ketidaksukaan dan perasaan negatif antara SD Negeri Kentingan dan SD Negeri Pucangsawit. Para guru dari kedua sekolah tersebut belum bersedia menempati ruang yang sama. Hal ini menyebabkan


(20)

5

terbentuknya iklim sekolah yang tidak kondusif sehingga menghambat kinerja warga sekolah untuk mengupayakan perbaikan kualitas sekolah pasca regrouping.

Kebijakan regrouping memang cukup efisien dalam meningkatkan mutu dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Akan tetapi di sisi lain kebijakan tersebut ternyata justru menimbulkan berbagai masalah-masalah sosial yang muncul sebagai dampak dari kebijakan regrouping. Adanya konflik atau masalah-masalah yang terjadi pada sekolah regrouping tentu saja tidak dapat dihindarkan karena masing-masing sekolah sebelum digabung sudah memiliki karakter dan budaya organisasi yang berbeda sehingga menimbulkan konflik atau masalah dalam berbagai bentuk. Oleh sebab itu menjadi tugas bagi sekolah untuk dapat menciptakan budaya dan iklim sekolah yang baru pasca regrouping sebagai upaya untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi sebagai dampak dari kebijakan regrouping dengan membuat kebijakan-kebijakan baru.

SD Negeri Ungaran 1 merupakan Sekolah Dasar Negeri unggul yang ada di Yogyakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2012/2013 SD Negeri Ungaran 1 Yoyakarta adalah hasil regrouping dari 3 Sekolah Dasar yaitu SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta, SD Negeri Ungaran 2 Yogyakarta, dan SD Negeri Ungaran 3. Pada tahun 2012 ketiga sekolah tersebut diregrouping menjadi 1 sekolah dan diberi nama SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta. Bukan pekerjaan yang mudah


(21)

6

untuk bisa mengembangkan budaya mutu di sekolah tersebut karena di antara ketiga sekolah tersebut hanya SD Negeri Ungaran 1 yang dikenal sebagai sekolah yang bermutu baik. Namun demikian sebenarnya masing-masing sekolah memiliki kelebihannya masing-masing.

Pada awal dilakukannya regrouping sekolah masih menghadapi masalah yaitu dalam proses adaptasi. 3 sekolah yang awalnya saling bersaing setelah diregrouping harus mau bersatu dan bekerjasama. Sekolah menyadari adanya kesulitan untuk bisa menyatu dengan sekolah yang lain karena pada awal regrouping masing-masing sekolah masih sering mengunggulkan sekolah masing-masing. Oleh sebab itu Selain itu juga sekolah memiliki tanggung jawab terhadap siswa dalam jumlah yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Sehingga butuh waktu untuk dapat membangun budaya mutu yang sama pasca dilakukannya regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta.

Berdasarkan data dari UPT Pengelola TK dan SD Wilayah Utara Kota Yogyakarta SD Negeri Ungaran 1 selalu berada pada posisi pertama untuk kategori sekolah negeri. Website Dikpora memberitakan bahwa pada bulan Oktober 2015 SD Negeri Ungaran 1 berhasil memperoleh juara 1 Lomba Budaya Mutu Sekolah di Kota Padang. Sebagai tindak lanjutnya SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta dijadikan sebagai sekolah percontohan dalam hal budaya mutu pendidikan. Selain itu SD Negeri Ungaran 1 juga memiliki tanggung jawab untuk membina/mengimbaskan ilmunya ke sekolah lain. Tentu saja bukan pekerjaan mudah bagi sekolah untuk bisa mengembangkan budaya mutu pada sekolah yang diregrouping sehingga budaya mutu SD


(22)

7

Negeri Ungaran 1 dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Prestasi SD N Ungaran 1 Yogyakarta dalam memperoleh juara 1 lomba budaya mutu sekolah dasar tingkat nasional di Padang pada Tahun 2015 tidak lepas dari kesuksesannya dalam memformulasikan kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping. Pengimplementasian kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta tidak akan berhasil jika proses formulasi kebijakan tidak dilakukan secara matang. Selain itu masih jarang dilakukan penelitian tentang kebijakan pengembangan budaya mutu khususnya pada tahap formulasi kebijakan, selama ini penelitian tentang budaya mutu lebih banyak fokus pada tahap implementasinya saja. Dengan latar belakang inilah, peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang bagaimana proses formulasi kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu sekolah yang pernah dilakukan oleh SD N Ungaran 1 Yogyakarta. Hal ini untuk memperjelas fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian dengan judul “Kebijakan Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Mutu pada Sekolah Regrouping di SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

1. Kebijakan regrouping berdampak pada penurunan rangking akademik sekolah karena sekolah regrouping memperoleh tambahan murid yang memiliki kemampuan yang lebih rendah dan sebagai akibat dari pengelolaan sekolah yang kurang baik (Sudiyono, dkk, 2009).


(23)

8

2. kebijakan regrouping justru menimbulkan masalah, baik masalah organisasi, kesiswaan, kurikulum, kepegawaian, pembiayaan, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan ketatalaksanaan sekolah (Marsono, 2003).

3. Pasca regrouping guru dan Kepala Sekolah perlu beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Siti Irine, 2012).

4. Masih lemahnya perencanaan pengelolaan sekolah pasca regrouping dan ketidaksiapan sekolah terhadap kebijakan regrouping menimbulkan masalah dalam mengalihfungsikan bangunan sekolah.

5. Adanya kecemburuan, saling ketidaksukaan, dan perasaan negative antar sekolah karena penggunaan nama sekolah yang menggunakan nama hanya dari salah satu sekolah (Suwarto, 2013).

6. Pasca dilakukannya regrouping, SD N Ungaran 1 Yogyakarta mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi karena sifat egois masih melekat pada masing-masing sekolah yang masih mengunggulkan sekolahnya masing-masing.

7. SD N Ungaran 1 Yogyakarta berhasil meraih juara 1 lomba budaya mutu tingkat Nasional pada bulan Oktober 2015 di Kota Padang.

C. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah pada kajian terhadap proses formulasi kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta.


(24)

9 D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses formulasi kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta? E. Tujuan

Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengintepretasikan atau mengungkap kembali bagaimana proses pengambilan kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu sekolah pasca regrouping yang pernah dilakukan oleh SD N Ungaran 1 Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Diadakannya penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Sebagai referensi ilmiah untuk perkembangan ilmu kebijakan pendidikan seperti pada mata kuliah Standarisasi Pendidikan, Perundang-Undangan Pendidikan, Manajemen Pendidikan, Dasar-Dasar Penelitian Kebijakan, Sosio Antropologi Pendidikan, Perencanaan Pendidikan Terpadu, Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, dan Kultur Sekolah.


(25)

10 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Sekolah

Pada tataran praktis studi ini memberikan sumbangan kepada lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan dapat memanfaatkan studi ini untuk mengembangkan budaya mutu sekolah melalui kebijakan pada tataran mikro yaitu ditingkat sekolah utamanya pada sekolah regrouping. Maka perbaikan budaya mutu merupakan kebutuhan yang sangat penting baik bagi sekolah yang diregrouping ataupun yang tidak, karena jika sekolah dapat mengembangkan budaya mutu yang positif maka output yang akan dihasilkan oleh sekolah akan berkualitas dan tujuan pendidikan akan tercapai. Pada sekolah regrouping, apabila sekolah tersebut dapat mengembangkan budaya mutu yang baik maka kebijakan regrouping ini bukan hanya sekedar untuk membenahi masalah efisiensi dan efektivitas sekolah tetapi juga dapat berperan dalam memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia.

b. Bagi Peneliti

1) Memberikan pengalaman kepada penulis untuk menerapkan dan memperluas wawasan penerapan teori dan pengetahuan yang telah diterima di dalam perkuliahan pada kegiatan nyata khususnya dalam bidang penelitian kebijakan pendidikan di lapangan.


(26)

11

2) Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan rujukan atau bahkan dapat dikembangkan lebih lanjut, serta dapat dijadikan sebagai referensi terhadap penelitian yang sejenis.


(27)

12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori

1. Kebijakan Sekolah

a. Pengertian Kebijakan Sekolah

Terbentuknya kebijakan pendidikan di tingkat sekolah berawal dari kebutuhan sekolah terhadap suatu perubahan kemudian sekolah mendapatkan kewenangan yang secara sah untuk dapat membuat suatu kebijakan. Kebijakan pendidikan dalam pandangan H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho (2012: 140) merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.

Membahas tentang kebijakan sekolah Thompson (Syafaruddin, 2008: 118) mengatakan bahwa kebijakan sekolah adalah kebijakan yang dibuat oleh orang yang terpilih dan bertanggungjawab untuk membuat kebijakan pendidikan, dewan sekolah, dan unsur lain yang diberi kewenangan membuat kebijakan, baik kepala sekolah, pengawas, atau administrator yang memiliki kewenangan mengelola kebijakan dari dewan sekolah.

Sedangkan Newton dan Tarrant (Syafaruddin, 2008: 118-119) mengatakan bahwa bila kebijakan sekolah direncanakan, interaksi sedemikian menjadi rumit dengan banyak tipe perilaku manusia yang


(28)

13

secara potensial bermacam-macam latar belakang dan diperlukan kemampuan untuk memberikan kontribusi. Secara khusus, pembuatan kebijakan adalah sebagai suatu elemen penting dalam hubungan sekolah dengan masyarakat yang dilayaninya.

Duke dan Canady (Syafaruddin, 2008: 118) berpendapat bahwa:

“The policies have the potential to affecting teaching and learning. It is our belief that an understanding of local school policy, therefore is essential for those concered about increasing school effectiveness and student achievement, particularly for school administrators and board members.” Maksud dari kalimat di atas adalah kebijakan sekolah memiliki potensi untuk mempengaruhi proses belajar mengajar. Kebijakan baru yang dibuat oleh sekolah dibuat sebagai jawaban akan kebutuhan yang dibutuhkan oleh sekolah dan warga sekolah. Dibuatnya kebijakan sekolah sangatlah penting untuk dapat memajukan kualitas dan mutu sekolah tersebut.

Selanjutnya Poerwanto (2008: 129) mengatakan bahwa kebijakan organisasi adalah rumusan yang mencakup ide-ide, standar dan pola, merupakan berfikir sistem (system thinking) dari orang atau organisasi dalam upaya mencapai tujuan-tujuan yang didasari oleh pengelolaan pengetahuan. Berpikir sistem adalah pemikiran bahwa kegiatan organisasi tidak berdiri sendiri, tetapi berada pada suatu lingkungan yang elemen-elemennya saling mengait dan membentuk sebuah sistem.


(29)

14

Dari pendapat di atas penulis memahami bahwa yang dimaksud dengan kebijakan sekolah adalah seperangkat aturan yang telah dipertimbangkan, dibuat oleh sekolah, diputuskan secara bersama-sama, dan harus dipatuhi serta dijalankan oleh seluruh personel sekolah sebagai upaya memperbaiki mutu pendidikan di sekolah dengan tetap mengacu pada kebijakan pendidikan nasional. Kebijakan sekolah merupakan jawaban dari kebutuhan-kebutuhan sekolah yang urgent untuk segera mendapatkan solusi sebagai jawabannya. Kebijakan yang diambil terlebih dahulu harus melalui proses yang di dalamnya terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan oleh para pembuat kebijakan. Visi dan misi sekolah merupakan acuan sekolah dalam membuat suatu kebijakan sehingga visi dan misi sekolah harus termuat dalam kebijakan yang diambil oleh sekolah dalam rangka mewujudkan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah. Selanjutnya kebijakan yang telah diputuskan dijadikan sebagai pedoman sekolah untuk membuat strategi-strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Langkah-Langkah Formulasi Kebijakan

Dalam sebuah kebijakan terdapat proses-proses yang harus dilalui oleh para pembuat kebijakan. Proses-proses tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan sebuah kebijakan. Sejalan dengan pernyataan tersebut H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho (2012: 140) menyatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan


(30)

15

keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. Oleh sebab itu proses kebijakan pendidikan idealnya harus melalui proses dan tahap-tahap tertentu dengan tetap bertumpu pada visi dan misi sekolah.

Tahapan proses kebijakan menurut Widodo (2007: 43) secara teknis dibedakan dalam tiga tahapan, yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Tahapan proses kebijakan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah tahap formulasi atau perumusan kebijakan. Tahap formulasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahapan berikutnya pada proses kebijakan publik. Apabila proses formulasi kebijakan tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif, maka hasil kebijakan yang formulasi kebijakan pun tidak akan bisa mencapai tataran optimal. Dengan demikian kebijakan itu akan sulit diimplementasikan, bahkan bisa jadi tidak bisa diimplementasikan. Hal ini senada dengan pemikiran Wibawa (1994: 2) yang menyatakan bahwa formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai dilakukan. Disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai


(31)

tujuan-16

tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolahan tahap formulasi.

Islamy (2000: 77-101) mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat langkah dalam proses formulasi atau pengambilan kebijakan. Empat langkah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1) Perumusan Masalah (defining problem).

Pemahaman terhadap masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yang bertentangan dan rancangan peluang kebijakan-kebijakan yang baru. Perumusan masalah merupakan sumber dari kebijakan, dengan pemahaman dan identifikasi masalah yang baik maka perencanaan kebijakan dapat disusun, perumusan masalah dilakukan oleh mereka yang terkena masalah atau orang lain yang mempunyai tanggung jawab dan pembuat kebijakan harus mempunyai kapasitas untuk itu. Jika dalam suatu instansi pendidikan seperti sekolah maka orang yang mempunyai tanggung jawab dalam pembuatan kebijakan adalah kepala sekolah, guru, komite sekolah, pegawai, dan jika memungkinkan pihak luar seperti orang tua maupun masyarakat juga dilibatkan. Proses kebijakan dimulai dengan kegiatan merumuskan masalah secara benar, karena keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan perumusan kebijakan ini akan


(32)

17

sangat berpengaruh pada proses pembuatan kegiatan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijaksanaan seterusnya.

2) Agenda Kebijakan

Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan. Pilihan dan kecondongan perhatian para pembuat kebijakan menyebabkan timbulnya agenda kebijakan. Sebelum masalah-masalah berkompotensi untuk masuk dalam agenda kebijakan, masalah tersebut akan berkompetisi dengan masalah yang lain yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Cob dan Elder (Islamy, 2000: 83) yang mendefinisikan kebijakan sebagai agenda sistemik terdiri atas semua isu-isu yang dipandang secara umum oleh anggota-anggota masyarakat politik sebagai patut memperoleh perhatian dari publik dan mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintah masing-masing. Abdul Wahab (2004: 40) menyatakan bahwa untuk bisa masuk ke dalam agenda kebijakan suatu masalah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:


(33)

18

a) Isu tersebut telah mencapai suatu titik tertentu sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja.

b) Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.

c) Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut kepentingan orang banyak.

d) Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.

e) Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.

f) Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang fasionable, dimana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.

3) Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk memecahkan Masalah Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Winarno (2002: 83) menyatakan bahwa dalam tahap ini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut. Islamy (2000: 92) mengatakan bahwa perumusan usulan kebijakan (policy proposals) adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Proses dalam kegiatan ini meliputi:

a) Mengidentifikasi altenatif.

b) Mendefinisikan dan merumuskan alternatif. c) Menilai masing-masing alternatif yang tersedia.

d) Memilih alternatif yang memuaskan atau paling mungkin untuk dilaksanakan.


(34)

19

Dalam tahap pemilihan alternatif kebijakan sekolah para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antara berbagai aktor, masing-masing aktor menawarkan alternatif-alternatif kebijakan yang mungkin akan dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Oleh sebab itu pada tahapan ini sangat penting untuk mengetahui apa saja alternatif yang ditawarkan oleh masing-masing aktor. Selanjutnya pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negoisasi yang terjadi antara aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.

4) Tahap Penetapan Kebijakan

Setelah alternatif kebijakan dipilih dan diputuskan untuk diambil sebagai cara memecahkan masalah kebijakan, maka tahap selanjutnya yang paling akhir dalam pembuatan kebijakan adalah penetapan kebijakan. Tahap ini dilakukan agar kebijakan yang diambil mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses penetapan atau pengesahan kebijakan. Islamy (2000: 100) menyatakan bahwa proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama tehadap prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima. Proses pengesahan kebijakan diawali dengan kegiatan persuasion, yaitu usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu


(35)

20

kebenaran atau nilai kedudukan seseorang dan mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri. Pada tahap persuasion seorang aktor meyakinkan aktor lawan tentang kebenaran atau manfaat rancangan kebijakannya, sehingga aktor lawan tersebut mengadopsi rancangan kebijakannya sendiri. Selanjutnya adalah bargaining, yaitu tawar menawar diantara para aktor pembuat kebijakan. Bargaining merupakan suatu proses penetapan kebijakan yang didalamnya terdapat dua orang aktor atau lebih yang memiliki kekuasaan yang relatif seimbang dalam mengubah tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan mereka yang saling berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya. Bargaining meliputi perjanjian (negotation) saling memberi dan menerima (take and give), dan kompromi (copromise).

Dalam penetapan kebijakan sekolah para aktor pengambil kebijakan berjuang agar alternatif yang diberikan dapat diterima. Pada tahap ini juga terjadi interaksi dengan aktor-aktor lain yang memunculkan persuasi dan negosiasi. Penetapan kebijakan dilakukan agar sebuah kebijakan mempunyai kekuatan hukum yang dapat mengikat dan ditaati oleh seluruh warga sekolah, dan bentuk kebijakan yang dihasilkan seperti tata tertib sekolah, Undang-Undang, keputusan Kepala Sekolah, dan sebagainya.


(36)

21 2. Budaya Mutu

a. Pengertian Budaya Mutu

Kemendikbud dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah (2016: 65) menyatakan bahwa budaya mutu merupakan suatu kesadaran yang hadir sebagai tradisi dimana mutu pendidikan merupakan proses pencapaian yang tiada henti dan terus-menerus (berkelanjutan). Mutu menjadi impian bersama sehingga seluruh proses dalam penyelenggaraan pendidikan diletakkan sebagai upaya untuk mencapai tingkat mutu terbaik., beretos kerja yang tinggi dan pandai menangkap peluang.

Secara lebih luas Ranjit Singh Malhi (2013: 2) menjelaskan bahwa “a quality culture is a system of shared values, beliefs and norms that focuses on delighting customers an continuously improving the quality of products and services.” Budaya mutu adalah sistem untuk berbagi nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang berfokus pada upaya memuaskan pelanggan, dan terus meningkatkan produk dan layanan. Selanjutnya Ranjit Singh Malhi secara umum juga menjelaskan bahwa dalam sebuah organisasi yang berbudaya mutu, kualitas tertanam hampir di setiap aspek kehidupan organisasi, termasuk perekrutan dan promosi, orientasi karyawan dan pelatihan berkelanjutan, kompensasi/gaya manajemen, pengambilan keputusan, struktur organisasi, proses kerja, dan tata letak kantor. Secara


(37)

22

sederhana Ranjit Singh Malhi menyimpulkan bahwa dalam budaya mutu kualitas adalah cara hidup, prinsip kualitas yang dicerminkan dalam praktik, dan perilaku organisasi.

Hal lain juga diungkapkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Kemendikbud dalam buku panduan lomba budaya mutu di sekolah dasar (2016: 1-3) yang mendefinisikan budaya mutu sebagai suatu nilai dan keyakinan yang ada dalam suatu masyarakat yang digunakan sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku yang bermutu tinggi bagi masyarakat pendukungnya. Sekolah-sekolah yang memiliki budaya mutu tertentu biasanya dapat dilihat dari beberapa variabel yang mempengaruhinya seperti perolehan nilai, kondisi fisik, lingkungan sekolah, dan budaya sekolah. Budaya mutu sekolah berpengaruh terhadap kehidupan di sekolah dan budaya yang berpengaruh besar dalam kehidupan sekolah adalah budaya yang kuat. Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang menciptkan lingkungan yang kondusif untuk keberlangsungan perbaikan mutu yang berkesinambungan. Budaya mutu sekolah terdiri dari nilai-nilai, tradisi sekolah, dan harapan sekolah terhadap mutu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa budaya mutu sekolah dapat digunakan untuk menjelaskan upaya membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara sekolah dalam menghasilkan suatu produk yang memenuhi kriteria atau rujukan


(38)

23

tertentu. Sehingga produk atau output yang dihasilkan akan berkualitas dan dapat bersaing secara global.

b. Indikator Pengembangan Budaya Mutu Sekolah

Daryanto (2015: 41) menyebutkan ada beberapa indikator penciptaan budaya mutu di sekolah. Indikator penciptaan dan pengembangan budaya mutu tersebut adalah:

1) Sekolah menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, dimana para guru percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi.

2) Sekolah menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling penting untuk bersekolah.

3) Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa.

4) Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa.

Indikator-indikator penciptaan dan pengembangan budaya mutu sekolah di atas digunakan sebagai landasan untuk dapat melihat tingkat pencapaian penciptaan dan pengembangan budaya mutu. Untuk dapat menciptakan budaya mutu dan dapat mencapai indikator-indikator di atas tentunya sekolah harus memiliki cara atau strategi. Cara atau strategi penciptaan dan pengembangan indikator budaya mutu tersebut oleh Daryanto (2015: 41) dijabarkan sebagai berikut:

1) Merumuskan standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja yang tinggi baik bagi kepala sekolah, guru, staf administrasi, maupun siswa.

2) Merumuskan standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orangtuanya. Standar pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketetapan, keramahan, ketanggapan, dan pemberian jaminan mutu sekolah.

3) Melaksanakan berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi.


(39)

24

4) Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan serta hukuman bagi yang berprestasi rendah.

5) Memampukan warga sekolah untuk secara terus-menerus meningkatan kualitas guna memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan (masyarakat).

Dari bebagai pernyataan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa indikator penciptaan dan pengembangan budaya mutu sekolah lebih berorientasi pada upaya sekolah agar siswa dapat terus belajar dan berprestasi tinggi. Indikator penciptaan dan pengembangan budaya mutu tersebut dapat tercapai jika sekolah menggunakan cara atau strategi yang berorientasi pada bagaimana sekolah memberikan pelayanan prima kepada siswa dan bagaimana sekolah menciptakan iklim atau suasana yang dapat meningkatkan mutu atau kualitas sekolah.

c. Karakteristik Sekolah Unggul Berbudaya Mutu

Selain dilihat dari kualitas output, sekolah yang bermutu juga harus mampu memenuhi kebutuhan pelanggannya. Pemenuhan kebutuhan pelanggan juga harus sesuai dengan 8 standar yang telah diletakkan dalam Undang-Undang Sisdiknas, yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar pengelolaan pendidikan. Kedelapan standar tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi sekolah dalam upaya memenuhi kebutuhan pelanggannya.


(40)

25

Siti Irine (2015: 92-104) mengatakan bahwa:

Upaya menciptakan sekolah unggul bagi sekolah dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas atau pembaharuan pendidikan. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa sekolah membutuhkan akuntabilitas para siswa dan orang tuanya, pembayaran pajak, dan masyarakat secara umum. Bagi guru pengertian sekolah bermutu menjadi penting dalam rangka membangun “frame of mind”. Frame of mind disini diartikan sebagai cara-cara apa yang sebaiknya diperjuangkan oleh guru dalam mengembangkan sekolah dalam proses belajarnya, sehingga sekolah berproses menuju sekolah yang berkualitas. Sama halnya dengan Siti Irine, Nanang Fattah (2012: 113) berpendapat bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang efektif menggunakan strategi peningkatan budaya mutu, strategi pengembangan kesempatan belajar, strategi memelihara kendala mutu (quality control), strategi penggunaan kekuasaan, pengetahuan dan informasi secara efisien. Sekolah yang berbudaya mutu dapat dilihat dari beberapa variabel misalnya nilai yang diperoleh, bagaimana perilaku siswa, bagaimana proses pembelajaran intrakurikuler dan ekstrakurikuler berlangsung, kondisi fisik sekolah, kinerja staff perpustakaan, lingkungan sekolah, budaya sekolah, dan manajemen sekolahnya yang berpengaruh terhadap kinerja individu dan mutu sekolah itu sendiri.


(41)

26

Bedasarkan hasil penelitian Character Education Partnership (2011: 1) menyatakan bahwa:

Budaya mutu sekolah yang positif luas mencakup etos kerja seluruh sekolah dan individu, harapan yang tinggi untuk belajar dan berprestasi, lingkungan yang aman dan peduli, nilai-nilai bersamadan kepercayaan dalam bekerjasama, pedagogi kuat dan kurikulum yang unggul, motivasi siswa yang tinggi dan keterlibatan guru yang maksimal, budaya guru professional, dan kemitraan dengan keluarga dan masyarakat.

Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Kemendikbud dalam Buku Panduan Lomba Budaya Mutu Sekolah Dasar (2016: 3) menjelaskan bahwa Sekolah Dasar berbudaya mutu adalah Sekolah Dasar yang memberikan layanan prima yang merefleksikan budaya mutu. Mutu Sekolah Dasar tercermin pada komponen-komponen:

1) pembelajaran dan ekstrakurikuler yang efektif dalam pembentukan karakter peserta didik,

2) kepemimpinan kepala sekolah disertai dengan manajemen berbasis sekolah termasuk didalamnya sekolah bersih dan sehat,

3) pengelolaan perpustakaan mendukung keefektifan pembelajaran dan menumbuh kembangkan budaya baca warga sekolah, serta 4) lingkungan sekolah merefleksikan kondisi bersih, rapih, dan sehat.

Dengan demikian Sekolah Dasar yang mengimplementasikan budaya mutu sekolah secara optimal akan menjadi acuan bagi sekolah lain di sekitarnya dan menjadi acuan pembinaan bagi Dinas Pendidikan. Dalam hal ini, Depdiknas (2000) telah merumuskan beberapa elemen budaya mutu sekolah sebagai berikut:


(42)

27

1) informasi kualitas untuk perbaikan bukan untuk mengontrol, 2) kewenangan harus sebatas tanggungjawab,

3) hasil diikuti penghargaan atau sanksi,

4) kolaborasi, sinergi, dan bukan persaingan sebagai dasar kerjasama, 5) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya,

6) atmosfir keadilan,

7) imbal jasa sepadan dengan nilai pekerjaan, dan 8) warga sekolah merasa memiliki sekolah.

Dari berbagai definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa sekolah berbudaya mutu memiliki karakteristik diantaranya adalah memiliki visi dan misi yang berfokus pada pelanggan, adanya keterlibatan total dari personel sekolah dalam upaya mengembangkan budaya mutu, adanya nilai-nilai dan keyakinan bersama, adanya komitmen dari seluruh personel untuk memperbaiki budaya mutu sekolah dan adanya perbaikan secara berkelanjutan setelah dilakukannya monitoring dan evaluasi secara berkala.

3. Sekolah Regrouping

a. Pengertian Sekolah Regrouping

Untuk mengatasi masalah mutu pendidikan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan regrouping terutama untuk sekolah dasar yang berlandaskan pada efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan. Dasar dari penggabungan sekolah adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 yang menjelaskan bahwa salah satu kegiatan pokok yang mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah dengan melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah terutama sekolah


(43)

28

dasar, agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan fasilitas yang memadai. Penggabungan juga dimaksudkan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Dasar sehingga perlu diambil kebijakan untuk menggabung, menghapus, dan atau mengganti nama sekolah dasar.

Landasan hukum lain tentang kebijakan regrouping sekolah adalah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan (Regrouping) Sekolah Dasar. Tujuan penggabungan tersebut adalah untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah dan sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan penggunaannya untuk rencana pembukaan SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara sekolah lanjutan sesuai ketentuan setempat untuk menampung sekolah dasar. Berdasarkan tujuan tersebut dapat dilihat keberhasilan dengan bercermin pada tujuan yang tertera dalam landasan hukum. Kriteria keberhasilan regrouping yang berlandaskan pada landasan hukum dan tujuan diatas adalah yaitu: 1) Pemenuhan jumlah tenaga pendidik/guru

2) Peningkatan mutu pendidikan

3) Peningkatan efisiensi biaya pendidikan 4) Efektivitas penyelenggaraan pendidikan

5) Pembukaan/pendirian SMP kecil/SMP kelas jauh untuk memanfaatkan sekolah yang ditinggalkan.

Secara lebih spesifik dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Pedoman Regrouping Satuan


(44)

29

Pendidikan, regrouping atau pengintegrasian sekolah diartikan sebagai peleburan atau penggabungan dua atau lebih sekolah yang sejenis menjadi satu sekolah. Pada bab 2 pasal 2 dijelaskan tentang parameter pelaksanaan regrouping sekolah yaitu lokasi, jumlah siswa, keterbatasan saran, dan kebijakan pemerintah. Sedangkan pada bab 2 pasal 3 dijelaskan tentang persyaratan dilakukannya regrouping sesuai parameter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yaitu:

1) Jumlah peserta didik tidak memenuhi persyaratan sesuai standar minimal yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

2) Satuan pendidikan yang diregrouping harus sesuai jenjang dan jenisnya.

3) Jarak antar satuan pendidikan yang

diregrouping/diintegrasikan saling berdekatan dalam satu wilayah dan/atau satu kompleks.

4) Jarak sekolah hasil regrouping tidak boleh melebihi dari 2 km dengan jarak sekolah terdekat baik negeri maupun swasta. Pendapat lain tentang regrouping juga diungkapkan oleh Siti Irine (2014: 267) beliau mengatakan bahwa kebijakan regrouping merupakan satu cara pengembangan sekolah dengan memberdayakan dan mengembangkan berbagai sumber daya pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dan efektivitas sekolah. Kebijakan regrouping sekolah merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki pengelolaan sekolah. Pengelolaan sekolah adalah sebuah proses untuk menempatkan sekolah sebagai lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan menyangkut visi, misi, dan tujuan sekolah yang nantinya akan


(45)

30

membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum dan program-program operatif sekolah. Diharapkan dengan adanya kebijakan yang dibuat dan pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan, maka sekolah dapat terus memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya.

b. Model-Model Sekolah Regrouping

Menurut hasil penelitian dari Dwi Budi Susanto (2009) terdapat 2 jenis model sekolah regrouping yang bisa diterapkan sebagai upaya efisiensi penyelenggaraan pendidikan yaitu regrouping dalam arti penggabungan dua sekolah menjadi satu lembaga (total regrouping) dan regrouping dalam arti penggabungan dua sekolah dibawah satu manajemen (managerial regrouping). Pada model regrouping sekolah secara total akan terjadi kelebihan tenaga pengajar atau guru sehingga kelebihan tenaga pengajar tersebut nantinya dapat dialihkan ke sekolah lain yang masih kekurangan guru.

Sedangkan pada model regrouping sekolah dalam arti penggabungan di bawah satu manajemen dua sekolah yang diregrouping tidak berdiri sebagai dua lembaga dengan manajemen yang terpisah tetapi menjadi satu lembaga dibawah satu manajemen. Dengan memberlakukan satu manajemen dan satu lembaga maka penyelenggaraan pendidikan akan lebih terarah dan


(46)

31

terencana sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan oleh sekolah yang bersangkutan.

c. Mutu Pendidikan Pada Sekolah Regrouping

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tujuan dilakukannya regrouping sekolah adalah untuk efisiensi dan efektivitas sekolah, memperbaiki pengelolaan sekolah, dan memperbaiki mutu pendidikan di sekolah. Meskipun fokus utama dalam penyelenggaraan sekolah regrouping adalah untuk efektivitas dan efisiensi pendidikan tetapi mutu pendidikan di sekolah regrouping juga harus diperhatikan. Sekolah regrouping tentu harus memiliki rencana yang baik dalam pengelolaan sekolahnya. Sekolah harus mempunyai strategi yang baik untuk membuat model pengelolaan baru untuk sekolahnya. Jika tidak maka sekolah regrouping malah justru akan menyebabkan masalah baru, masalah tersebut adalah pada mutu.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Sudiyono, dkk (2009) menunjukkan bahwa kebijakan regrouping yang ada di SD Pakem 1 berdampak pada penurunan ranking prestasi akademik siswa sebagai pengelolaan sekolah pasca regrouping yang kurang baik. Menurunyya ranking prestasi akademik siswa juga disebabkan karena sekolah memperoleh murid yang memiliki kemampuan yang lebih rendah dari sekolah yang diregrouping. Hal serupa juga ditunjukkan dalam hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh


(47)

32

Marsono (2003) yaitu kebijakan regrouping justru menimbulkan masalah, baik masalah organisasi, kesiswaan, kurikulum, kepegawaian, pembiayaan, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan ketatalaksanaan sekolah. Hal tersebut terjadi karena pelaksanaan penggabungan sudah dilakukan akan tetapi surat keputusan penggabungan belum terbit. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Siti Irine (2012) menunjukkan bahwa pasca

regrouping SD Negeri Umbulharjo 2 terus berupaya

mengembangkan budaya mutu dan memperbaiki mutu sekolah secara bertahap. Karena guru dan kepala sekolah perlu beradaptasi dalam lingkungan yang baru.

Dari beberapa hasil penelitian tentang regrouping di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa mutu yang dihasilkan pada sekolah regrouping tergantung pada bagaimana pengelolaan sekolah pasca regrouping. Jika sekolah mengelola sekolahnya dengan baik maka mutu secara bertahap akan dapat diperbaiki tetapi jika sekolah tidak mengelola sekolah dengan baik maka yang terjadi hanyalah memunculkan masalah baru yaitu masalah mutu pada sekolah regroupiung. Padahal mutu pendidikan adalah prioritas utama dalam penyelenggaraan pendidikan.


(48)

33 B. Penelitian yang Relevan

Untuk menghindari duplikasi, peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil penelusuran penelitian terdahulu, diperoleh beberapa masalah yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu:

1. Pengembangan Budaya Mutu dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah di Madrasah Ibtidaiyyah Negeri Kota Bandar Lampung. Penelitian ini dilakukan oleh Syaiful Anwar, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung pada tahun 2014. Hasil penelitiannya adalah dalam tatanan birokrasi telah berkembang nilai-nilai budaya mutu, yakni nilai kemandirian, nilai inovatif, nilai perbaikan yang kontinyu, dan nilai pemberdayaan serta nilai-nilai dasar yaitu nilai-nilai dasar kesehatan, kebenaran, kasih sayang, dan spiritual. Nilai tersebut tumbuh dan berkembang bersentuhan dengan struktur yang telah mapan. Pada pola interaksi kepemimpinan mengacu pada pola interaksi kepemimpinan yang berorientasi pada pengembangan mutu, yakni inisiatif terhadap sesuatu yang inovatif, sharing visi, mendorong orang lain bertindak, dan menjadi teladan.

2. Pengembangan Budaya Mutu di SMK PGRI 1 Karanganyar. Penelitian ini dilakukan oleh Moh. Arobi, Sutama, dan Ahmad Muhibbin, mahasiswa Program Magister Manajemen Pendidikan Pascasarjana UMS Surakarta pada tahun 2013. Hasil penelitiannya


(49)

34

adalah budaya mutu di SMK PGRI 1 Karanganyar dalam peningkatan hasil belajar siswa masih terbatas pada kegiatan pembelajaran sebagaimana yang diprogramkan sekolah dalam manajemen berbasis sekolah, evaluasi diri sekolah, dan standar pelayanan minimal, jadi belum dikembangkan pada kegiatan peningkatan mutu akademik, misalnya kegiatan pembimbingan khusus bagi siswa beprestasi, pembinaan siswa yang belum berprestasi, dan sebagainya, bentuk-bentuk pengembangan budaya mutu nonakademik yang berlangsung di SMK PGRI 1 Karanganyar juga belum optimal, masih terbatas pada kegiatan pramuka yang menonjol, dan yang lainnya seperti olahraga (bolla voli, basket), seni (musik, tari, lukis), PMR, dan UKS belum optimal.

3. Pengelolaan Sekolah Dasar Regrouping (Studi Situs SDN Gondosuli 2 dan 3 Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang). Penelitian ini dilakukan oleh Murdono dan Sutama Guru SDN Muntilan dan Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2012. Hasil penelitiannya adalah Sumber Daya Manusia sekolah dasar regrouping di SDN Gondosuli 2 dan 3 tidak hanya mengukir prestasi dalam bidang akademik dan non akademik saja, namun mampu menunjukkan sikap santun dan sikap religi. Kepala sekolah memiliki sikap demokratis dengan melibatkan berbagai pihak dalam kegiatan sekolah termasuk masyarakat untuk menjadi kepanitiaan dalam pengajian akhir semester. Guru datang tepat waktu di sekolah dan


(50)

35

bersedia menjadi pemandu dalam kegiatan ekstrakurikuler tanpa memikirkan honor atau uang transport. Kinerja guru dalam mengelola pembelajaran yang menggunakan prinsip student center dan mengoptimalkan lingkungan sebagai sumber belajar mampu membawa siswa berprestasi.

Dari ketiga hasil penelitian terdahulu di atas, terdapat kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu pengembangan budaya mutu di sekolah. Akan tetapi dari keempat penelitian tersebut tidak ada yang benar-benar sama dengan masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang bagaimana kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping.

Untuk hasil penelitian yang pertama, persamaannya terletak pada pengembangan budaya mutu sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Syaiful Anwar adalah hanya ingin mengetahui pengembangan budaya mutu yang ada di Madrasah Ibtidaiyyah Negeri Bandar Lampung yang lebih menekankan pada tatanan birokrasi dan pola kepemimpinan. Untuk penelitian yang dilakukan oleh Moh. Arobi, Sutama, dan Ahmad Muhibbin lebih menekankan pada pengembangan budaya mutu akademik dan non akademik siswa. Penelitian yang ketiga yang dilakukan oleh Murdono dan Sutama membahas tentang pengelolaan sekolah regrouping dimana pengelolaan sendiri lebih berorientasi pada tindakan mengimplementasikan kebijakan. Sedangkan penelitian yang dilakukan


(51)

36

oleh peneliti fokusnya ada pada proses formulasi kebijakan dan bukan pada tahap implementasi kebijakan.

Dari pemaparan di atas telah jelas mengenai perbedaan dan persamaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu yang sudah dilakukan. Oleh karena itu penelitian-penelitian yang berjudul “Kebijakan Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Mutu pada Sekolah Regrouping di SD Ungaran 1 Yogyakarta” dapat dilakukan karena masalah yang akan diteliti bukan duplikasi dari penelitian-penelitian sebelumnya.

C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengintrepetasikan bagaimana proses formulasi kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu sekolah pasca regrouping yang pernah dilakukan oleh SD N Ungaran 1 Yogyakarta. Kebijakan regrouping sendiri merupakan strategi yang diambil oleh pemerintah dalam upaya memeratakan mutu atau kualitas pendidikan yang berlandaskan pada efektivitas dan evisiensi penyelenggaraan pendidikan. Namun pasca kebijakan regrouping bukan berarti tugas sekolah dalam memperbaiki kualitas atau mutu sekolah selesai begitu saja.

Tantangan-tantangan yang harus dihadapi sekolah pasca kebijakan regrouping akan muncul dalam bentuk masalah-masalah baru. Masalah-masalah tersebut ada pada pengelolaan kembali sekolah yang baru dan proses adaptasi. Sekolah baru pasca regrouping mengalami percampuran


(52)

37

baik budaya, karakteristik, maupun kualitas sekolah. Hal ini terjadi karena masing-masing sekolah membawa ciri khasnya masing-masing. Jika perbedaan-perbedaan tersebut tidak disatukan maka bukan tidak mungkin kualitas sekolah justru akan menurun pasca regrouping. Padahal tujuan dilakukannya regrouping sendiri adalah untuk memeratakan kualitas pendidikan di Indonesia.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, maka sekolah harus bisa mengatur ulang kembali dan membuat strategi baru untuk pengelolaan sekolah pasca regrouping agar mutu atau kualitas sekolah dapat terus diperbaiki dan ditingkatkan. Strategi tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat atau memformulasikan kebijakan sekolah yang berorientasi pada pengembangan budaya mutu sekolah. Oleh sebab itu perlu adanya perencanaan yang matang khususnya dalam tahap formulasi kebijakan sekolah agar nantinya kebijakan sekolah yang dibuat dapat menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sekolah. Proses formulasi kebijakan sekolah hendaknya melibatkan pihak-pihak yang dianggap penting dan berkemampuan untuk membuat kebijakan. Proses formulasi kebijakan itu sendiri berlangsung dalam 4 tahapan secara umun yaitu perumusan masalah, penetapan agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Sesuai dengan penjelasan di atas maka dapat dibuat kerangkan berfikir sebagai berikut:


(53)

38

Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir D. Pertanyaan Penelitian

1. Apa latar belakang dilakukannya regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta?

2. Bagaimana budaya mutu masing-masing sekolah sebelum diregrouping? 3. Apa latar belakang dibuatnya kebijakan sekolah dalam mengembangkan

budaya mutu pada sekolah regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta? 4. Bagaimana peran dari masing-masing pihak yang terlibat pada proses

formulasi kebijakan pengembangan budaya mutu pada sekolah regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta?

Pemerataan Mutu Pendidikan

Kebijakan Regrouping Sekolah Implementasi

Muncul Masalah Baru Strategi

Formulasi Kebijakan Sekolah

Adaptasi dan Pengelolaan Sekolah Budaya, Karakteristik, dan Kualitas Masing-Masing Sekolah Berbeda Budaya Mutu Penurunan Kualitas Sekolah

1. Perumusan Masalah 2. Agenda Kebijakan

3. Penentuan Alternatif Kebijakan 4. Penetapan Kebijakan


(54)

39

5. Bagaimana langkah-langkah yang dilakukan sekolah dalam proses perumusan kebijakan pengembangan budaya mutu pada sekolah regrouping di SD N Ungaran 1 Yogyakarta?


(55)

40 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas tentang langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian, metode yang akan digunakan dalam penelitian, pendekatan penelitian dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana kerangka konsep teoritik kearah pengembangan strategi dikaji dan dianalisis melalui studi eksplorasi terhadap kepustakaan yang relevan. Data-data yang diperolehpun juga bukan berbentuk angka melainkan informasi yang berbentuk kata-kata. Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Sugiyono (2006: 11) mengatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Sedangkan menurut Irawan (2007: 215) adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan sesuatu seperti apa adanya (as it is) secara mendalam.

Melalui penelitian kualitatif deskriptif ini dapat digambarkan kondisi faktual tentang bagaimana proses perumusan atau formulasi kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu sekolah pasca regrouping yang pernah dilakukan oleh SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta dengan


(56)

41

mengintepretasikan informasi-informasi yang diperoleh dari para informan yang pernah terlibat dalam proses formulasi kebijakan sekolah.

B. Subyek, Obyek, dan Lokasi Penelitian 1. Subyek

Subyek penelitian adalah individu, benda, atau organisme yang dijadikan sebagai sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. Istilah lain yang digunakan untuk menyebut subyek penelitian adalah informan, yaitu orang yang memberi respon atas suatu perlakuan yang diberikan kepadanya. Suharsimi Arikunto (2006: 145) mengatakan bahwa subyek penelitian adalah subyek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. Dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah SD N Ungaran 1 Yogyakarta.

2. Obyek

Obyek penelitian merupakan permasalahan yang akan diteliti. Husen Umar (2005: 303) menyatakan bahwa obyek penelitian menjelaskan tentang apa dan atau siapa yang menjadi obyek penelitian. Juga dimana dan kapan penelitian dilakukan, bisa juga ditambahkan dengan hal-hal lain jika dianggap perlu. Sedangkan menurut Sugiyono (2009: 38) pengertian obyek penelitian adalah suatu atribut, sifat, nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.


(57)

42

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa obyek penelitian adalah suatu sasaran ilmiah dengan tujuan dan kegunaan tertentu untuk mendapatkan data tertentu yang mempunyai nilai, skor atau ukuran yang berbeda. Obyek penelitian ini adalah proses formulasi kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping di SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta yang beralamatkan di Jl. Serma Taruna Ramli No.3 Kota Yogyakarta. Alasan peneliti mengambil lokasi ini karena SD N Ungaran 1 Yogyakarta adalah hasil regrouping dari SD N Ungaran 1, SD N Ungaran 2, dan SD N Ungaran 3 Yogyakarta. Meskipun merupakan hasil sekolah regrouping namun pada tahun 2015 sekolah ini berhasil memperoleh juara 1 tingkat Nasional dalam lomba budaya mutu.

C. Informan

Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengumpulan data adalah pemilihan informan. Sugiyono (2014: 298) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak digunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dinamakan “Social Situation” atau situasi sosial yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu


(58)

43

dan hasil keahliannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari. Sampel dalam penelitian kualitatif disebut dengan narasumber, informan, atau partisipan.

Dalam penelitian ini peneliti menentukan informan dengan menggunakan teknik snowball sampling. Sugiyono (2014: 300) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan snowbal sampling adalah teknik penentuan informan sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal tersebut dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang cukup lengkap, maka peneliti perlu mencari lagi orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data. Jadi, untuk menentukan informan dimulai saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian sedang berlangsung. Awalnya peneliti harus menentukan key informance terlebih dahulu dengan pertimbangan bahwa key informance tersebut adalah orang yang dianggap paling tahu dan dapat memberikan informasi tentang data yang akan dicari. Kemudian peneliti akan menetapkan informan lainnya berdasarkan rekomendasi dari key informance tersebut.

Seperti yang telah disebutkan bahwa pemilihan informan pertama merupakan hal yang sangat utama sehingga harus dilakukan secara cermat. Karena penelitian ini mengkaji tentang kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu di SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta, maka peneliti memutuskan informan pertama atau key informance yang paling


(59)

44

sesuai dan tepat ialah Kepala Sekolah SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta yaitu Ibu Dwi Atmi Sutarini. Dari key informance ini selanjutnya diminta untuk memberikan rekomendasi untuk memilih informan-informan berikutnya, dengan catatan informan-informan tersebut merasakan dan menilai bagaimana budaya mutu dan kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping sehingga terjadi sinkronisasi dan validasi data yang didapatkan dari informan pertama. Dalam penelitian ini yang menjadi informan berdasarkan dari hasil rekomendasi kepala sekolah sebagai key informance yaitu Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, guru, pegawai perpustakaan, dan komite sekolah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data dalam suatu penelitian. Pada penelitian kali ini peneliti memilih pendekatan kualitatif maka data yang diperoleh haruslah mendalam, jelas dan spesifik. Selanjutnya dijelaskan oleh Sugiyono (2009: 225) bahwa pengumpulan data dapat diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi. Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara observasi, dokumentasi, dan wawancara.

1. Observasi

Nana Syaodih (2007: 220) menyatakan bahwa metode observasi adalah suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan


(60)

45

jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Pelaksanaan observasi ini dilakukan untuk memperoleh data berupa kejadian-kejadian atau hal-hal apa saja yang ada dan ditemui di SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta yang berhubungan dengan data yang akan dicari. Agar observasi berjalan dengan lancar maka peneliti menyiapkan pedoman observasi sebagai alat untuk melakukan observasi. Observasi ini dilakukan dengan mengamati dan mencatat langsung terhadap objek penelitian, yaitu dengan mengamati kegiatan-kegiatan atau aktivitas sekolah yang sedang berjalan di SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta.

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Observasi

No Aspek yang dikaji Indikator yang dicari 1. Kondisi Lingkungan

Sekolah

a. Slogan atau simbol-simbol yang ada di sekolah.

b. Kondisi fisik sekolah termasuk sarana dan prasarana sekolah.

2. Wawancara

Dalam teknik pengumpulan menggunakan wawancara hampir sama dengan kuesioner. Wawancara itu sendiri dibagi menjadi 3 kelompok yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi-terstruktur, dan wawancara mendalam (in-depth interview). Sulistyo Basuki (2006: 173) menjelaskan bahwa tujuan dari wawancara mendalam adalah untuk mengumpulkan informasi kompleks yang sebagian besar berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi. Untuk menghindari


(61)

46

kehilangan informasi, maka peneliti meminta ijin kepada informan untuk menggunakan alat perekam. Sebelum dilangsungkan wawancara mendalam, peneliti menjelaskan atau memberikan sekilas gambaran dan latar belakang secara ringkas dan jelas mengenai topik penelitian. Peneliti harus memperhatikan cara-cara yang benar dalam melakukan wawancara, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Pewawancara hendaknya menghindari kata yang memiliki arti ganda, taksa, atau pun yang bersifat ambiguitas.

b. Pewawancara menghindari pertanyaan panjang yang mengandung banyak pertanyaan khusus. Pertanyaan yang panjang hendaknya dipecah menjadi beberapa pertanyaan baru.

c. Pewawancara hendaknya mengajukan pertanyaan yang konkrit dengan acuan waktu dan tempat yang jelas.

d. Pewawancara seyogyanya mengajukan pertanyaan dalam rangka pengalaman konkrit si informan.

e. Pewawancara sebaiknya menyebutkan semua alternatif yang ada atau sama sekali tidak menyebutkan alternatif.

f. Dalam wawancara mengenai hal yang dapat membuat informan marah, malu atau canggung, gunakan kata atau kalimat yang dapat memperhalus.

Teknik wawancara dilakukan dengan bertatap muka langsung antara peneliti dengan informan. Dalam proses wawancara dilakukan tanya jawab untuk saling bertukar informasi dan ide, sehingga dapat diperoleh jawaban yang lengkap sesuai dengan pedoman wawancara yang sudah dibuat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah berkaitan dengan latar belakang dibuatnya kebijakan sekolah dalam mengembagnkan budaya mutu pada sekolah regrouping, tahap formulasi kebijakan dalam pembuatan kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping, dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.


(62)

47

Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Wawancara No. Aspek yang

dikaji

Indikator yang dicari

Informan 1 Alasan Dibuatnya

Kebijakan

a. Latar belakang dilakukannya regrouping Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Guru,

pegawai, dan Dinas

Pendidikan Kota

Yogyakarta. b. Budaya Mutu

sekolah sebelum diregrouping c. Latar belakang

pembuatan kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu Kepala

Sekolah, Guru, dan Pegawai. 2 Proses Perumusan

Kebijakan

a. Peran masing-masing pihak yang terlibat dalam formulasi kebijakan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Kepala Sekolah, Guru, Pegawai, dan Komite Sekolah b. Langkah-langkah perumusan kebijakan (perumusan masalah, agenda kebijakan, penyusunan alternatif kebijakan, penetapan kebijakan) Kepala

Sekolah, Guru, dan Pegawai.


(63)

48 3. Dokumentasi

Dokumen menurut Sugiyono, (2009: 240) merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen yang digunakan peneliti disini berupa foto, gambar, serta data-data mengenai hasil belajar dan prestasi siswa serta kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu di SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta. Hasil penelitian dari observasi dan wawancara akan semakin sah dan dapat dipercaya apabila didukung oleh foto-foto.

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi No Aspek yang

dikaji

Indikator yang dicari

1 Arsip tertulis a. Buku profil SD Negeri Ungaran I Yogyakarta pasca regrouping.

b. Visi dan Misi sekolah

c. Aturan-aturan tertulis tentang kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu

2 Foto a. Gedung Sekolah di SD Negeri Ungaran I Yogyakarta

b. Sarana dan prasarana sekolah

E. Instrumen

Kountur (2007: 159) menyatakan bahwa semua penelitian memerlukan instrumen untuk pengumpulan sebuah data. Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Sesuai dengan pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan dibantu alat-alat seperti alat perekam suara, tape recorder, kamera, alat tulis dan pedoman wawancara. Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan


(64)

49

penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Selain itu peneliti juga harus membuat pedoman wawancara sebagai bahan dalam menulis hasil penelitian karena jika peneliti hanya mengandalkan kemampuan ingatan yang sangat terbatas peneliti khawatir data yang sudah diperoleh ada yang lupa.

Penggunaan model wawancara tentu saja disesuaikan dengan keberadaan data-data di lapangan yang diperlukan peneliti. Dengan demikian untuk wawancara yang terstruktur, seperangkat pertanyaan sudah dipersiapkan terlebih dahulu dengan mengklasifikasikan bentuk-bentuk pertanyaan. Suharsimi Arikunto (2010: 137) menyatakan bahwa penelitian kualitatif bersifat mendeskripsikan keadaan atau fenomena yang sedang terjadi, sehingga instrumen diperlukan karena peneliti dituntut dapat menentukan data yang diangkat dari fenomena atau peristiwa tertentu, peneliti dalam melaksanakan wawancara sifatnya tidak terstruktur, tetapi minimal peneliti menggunakan ancang-ancang yang akan ditanyakan sebagai pedoman wawancara (interview guide).

F. Keabsahan Data

Sugiyono (2014: 369-376) berpendapat bahwa setiap penelitian harus memiliki kredibilitas sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Kredibilitas penelitian kualitatif adalah keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah yang majemuk atau keterpercayaan terhadap hasil data penelitian. Untuk menjaga kredibilitas data dalam penelitian ini peneliti akan


(65)

50

menggunakan cara triangulasi dan meningkatkan ketekunan. Moleong (2010: 331) mengatakan bahwa triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu sebagai bahan pertimbangan. Proses trianggulasi ini dapat dilakukan dengan cara triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu.

Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan triangulasi data. Triangulasi yang dalam penelitian ini menggunakan 3 cara yaitu triangulasi sumber, triangulasi waktu, dan triangulasi teknik.

1. Triangulasi Sumber

Sugiyono (2012: 127) menyatakan bahwa triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi sumber dalam penelitian ini adalah dengan melakukan penggalian data dari sumber yang berbeda baik sumber data primer yang meliputi kepala sekolah dan guru melalui wawancara mendalam maupun dari data sekunder seperti, kebijakan sekolah dan program-program sekolah dengan pihak luar.

2. Triangulasi Teknik

Sugiyono (2012: 127) menyatakan bahwa triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Triangulasi teknik yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pengumpulan


(1)

217

Lampiran 6.3. Tata Tertib Sekolah

TATA TERTIB GURU DAN KARYAWAN

SDN UNGARAN 1 YOGYAKARTA

1.

Hadir di sekolah paling lambat 06.45 WIB sebelum pelajaran dimulai dan pulang

setelah jam kerja selesai

2.

Petugas piket menyalami siswa di depan gerbang pintu masuk sesuai jadwal yang

telah ditentukan (datang paling lambat 06.35)

3.

Sebelum masuk kelas, guru dan karyawan membimbing siswa untuk melakukan

SEMUTLIS (Sepuluh Menit Untuk Taman dan Lingkungan Sekolah)

4.

Setiap satu bulan sekali guru dan karyawan melakukan kerjabakti bersama siswa yang

dilaksanakan pada hari jumat minggu ke 4

5.

Wajib melaksanakan tugasnya sesuai job discription masing-masing

6.

Dilarang merokok selama berada di lingkungan sekolah

7.

Membina kerjasama antar sesama warga sekolah

8.

Mematikan listrik ketika tidak digunakan

9.

Mematikan kran air ketika tidak digunakan

10.

Menggunakan telepon sekolah seperlunya

Yogyakarta, 11 Agustus 2014

Kepala Sekolah

Dwi Atmi Sutarini, M.Pd

NIP. 19680129 199203 2 005

Sanksi :

1.

Akan diberi peringatan secara lisan.

2.

Akan diberi tindakan.


(2)

218

Lampiran 6.4. Standar Operasional Kerja

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KERJ A SATPAM SDN UNGARAN 1 YOGYAKARTA

A. KEDISIPLINAN

1. Datang pukul 6.00 sudahsiap di SDN Ungaran 1 Yogyakarta

2. Mengisi buku daftar hadir/absen baik datang maupun pulang

3. Pukul 6.30 sudah siap jaga di depan pintu gerbang

4. Mengatur lalulintas kendaraan, ketika siswa naik dan turun dari kendaraan

5. Mengatur sepeda motor/mobil guru dan tamu

6. Selalu siap di pos satpam

7. Melarang siswa keluar sekolah pada jam efektif tanpa surat izin dari kepala sekolah/guru piket

8. Jika berhalangan hadir atau ada kepentingan keluar pada waktu tugas jaga, harus lapor dan mendapatkan ijin dari kepala sekolah.

9. Menanyakan kepada setiap tamu yang datang tentang keperluannya dan diminta mengisi

buku tamu

10. Selalu siap menjaga ketertiban dan keamanan di dalam lingkungansekolah SDN Ungaran

1 Yogyakarta setiap hari.

B. KESOPANAN

1. Harus sopan dalam berbicara, bersikap, dan berprilaku terhadap semua warga sekolah dan

tamu

2. Dilarang keluar masuk kantor pada jam efektif jika tidak ada kepentingan

3. Dilarang merokok pada jam kerja selama berada di lingkungan sekolah

4. Bergurau sewajarnya dengan bahasa yang santun

C. KERAPIAN

1. Selama bertugas berseragam satpam lengkap dengan atribut

2. Bersepatu dan berpakaian bebas rapi pada waktu yang telah ditentukan sesuai keputusan

kepala sekolah

3. Dilarang memakai celana pendek, kostum dan sandal pada saat bertugas kecuali ada alasan khusus

D. TUGAS TAMBAHAN

Menyiram dan merawat tanaman yang ada di lingkungan sekolah sesuai jadwal piket pada: a. Setiap sore hari

b. Setiap hari libur nasional atau hari libur lain yang telah ditentukan.

Sanksi :

1. Peringatan secara lisan.

2. Diberi peringatan secara tertulis 3. Diberi tindakan

Yogyakarta, 11 Agustus 2014

Kepala Sekolah

Dwi Atmi Sutarini, M.Pd

NIP. 19680129 199203 2 005


(3)

219

LAMPIRAN 7

Dokumentasi


(4)

220

Lampiran 7.1. Foto-Foto pada Saat Penelitian

Anak-anak sedang membaca buku

dari pojok pustaka di ruang

belajar terbuka sambil menunggu

dijemput orang tuanya

Anak-anak mengerjakan tugas saat

jam wajib kunjung perpustakaan

Antusias anak-anak untuk membaca

buku di perpustakaan besar saat jam

istirahat sekolah

Antusias anak-anak membaca buku

literasi pada saat kelas literasi sebelum

pelajaran dimulai di SD Ungaran

1Yogyakarta

Wawancara dengan

Pegawai perpustakaan SD Ungaran 1

Yogyakarta

Pupuk dan pot untuk kegiatan

SEMUTLIS (Sepuluh Menit untuk

Tanaman dan Lingkungan Sekolah)


(5)

221

Slogan berisikan pesan untuk

menghemat air

Aktivitas siswa pada saat jam istirahat

sekolah

Anak-anak pada jam pulang sekolah

membaca buku di pustaka umum di

lobby sekolah

Aktivitas siswa pada saat kegiatan

ekstrakurikuler wajib yaitu pramuka

Piala penghargaan sebagai bukti

prestasi sekolah


(6)

222

Kebun toga yang digunakan dalam

proses pembelajaran siswa

Slogan-slogan yang ada di sekolah

Slogan-slogan berbahasa inggris yang

ada di area lobby sekolah

Pamphlet untuk promosi perpustakaan

Cahaya Ilmu

Promosi koleksi buku baru

peprustakaan Cahaya Ilmu